Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Putri aurora
Nike meilani
Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Lahir: Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922
Yani (juga dieja Achmad Yani) lahir di
Wafat: Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965
Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni
1922 – meninggal di Lubang Buaya, Makam
TMP Kalibata - Jakarta
Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 :
tahun) adalah seorang pahlawan revolusi
dan nasional Indonesia.
Beliau dikenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan PKI (Partai
Komunis Indonesia). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun
1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh
dan tani. Karena itulah beliau menjadi salah satu target PKI yang akan diculik dan dibunuh di
antara tujuh petinggi TNI AD melalui G30S (Gerakan Tiga Puluh September). Ia ditembak di
depan kamar tidurnya pada subuh 1 Oktober 1965. Mayatnya kemudian ditemukan di
Lubang Buaya.[1]
Masa Muda
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 June 1922 dari
keluarga Wongsoredjo, yang bekerja di pabrik gula milik pengusaha Belanda. Tahun 1927,
Yani pindah bersama keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya bekerja untuk seorang
jendral Belanda. Di Batavia, Yani menyelesaikan sekolah dasar dan sekolah menengahnya.
Tahun 1940, Yani meninggalkan bangku sekolah tinggi untuk masuk dinas kemiliteran
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dia masuk Dinas Topografi Militer di Malang, Jawa
Timur, tapi berhenti karena invasi Jepang tahun 1942. Di waktu yang sama keluarganya
pindah kembali ke Jawa Tengah.
Pendidikan
Bintang Kehormatan
Bintang RI Kelas II
Bintang Sakti
Bintang Gerilya
Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
Satyalancana G: O.M. I dan VI
Satyalancana Sapta Marga (PRRI)
Satyalancana Irian Barat (Trikora)
Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain
Letnan Jenderal Anumerta S. Parman (1918-1965)
Pierre Andreas Tendean adalah seorang keturunan Menado. Di rumah A.H. Nasution beliau
biasanya disapa dengan “Pierre”, bukan Tendean. Tendean sendiri adalah nama fam yang
dipakainya– Tendean : Tempat berpijak. Beliau adalah putera dari DR. A.L Tendean yang
berasal dari Minahasa, sedang ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME.
Beliau lahir di Jakarta, 21 Februari 1939, dan beragama Protestan. Lulus dari SMA
“B” dilanjutkan ke Akmil Jurtek AD. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak
dan adiknya semua wanita, sehingga sebagai satu-satunya anak lelaki dialah tumpuan
harapan orang tuanya.
Dalam jabatan sebagai Ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution inilah Pierre Tendean
gugur, ketika G 30 S/PKI berusaha untuk menculik/membunuh Jenderal TNI A.H. Nasution.
Di saat gerombolan G 30 S/PKI ingin menculik Pak Nas pada dini hari tanggal 1
Oktober 1965, Pierre yang saat itu sedang tidur di paviliun rumah Pak Nas, segera bangun,
karena mendengar kegaduhan di rumah pak Nas. Ketika ia keluar ia sudah menjinjing
senjata, namun ia ditangkap oleh gerombolan penculik yaitu oleh Pratu Idris dan Jahurup.
Pierre disangka sebagai Pak Nas. Kemudian dia diikat kedua tangannya dan dibawa dengan
truk ke Lubang Buaya. Waktu itu gerombolan menyangka bahwa Pak Nas berhasil ditangkap
hidup-hidup.
R. Suprapto
R. Suprapto
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20
Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam Gerakan 30
September dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dikata hampir seusia
dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang
Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS
(setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan
berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk
menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi
masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan
tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat
yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas
Karier Militer:
Prestasi:
Pria kelahiran Balige, Tapanuli yang bernama lengkap Donald Isac Panjaitan, ini
masuk militer pada jaman pendudukan Jepang. Setelah lebih dulu mengikuti latihan Gyugun,
ia selanjutnya ditugaskan di Gyugun Pekanbaru, Riau. Setelah kemerdekaan RI, ia
merupakan salah seorang pembentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari
Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah
Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam
pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti
latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau
hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh
pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi
Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke
Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai
Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase
Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962,
perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College,
Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Penganut Kristen ini, terkenal sangat taat beragama. Karenanya, dia juga salah satu
perwira di jajaran TNI AD yang tidak menyukai PKI sekaligus yang menolak pembentukan
Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani sesuai rencana PKI. Dan karena itulah
dirinya dimusuhi dan dibunuh oleh PKI.
Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan
pemanggilan mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada pimpinan tertinggi militer,
Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun terlebih dahulu berpakaian resmi. Namun
firasatnya yang tajam sepertinya merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum
memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon doa kepada
Tuhan. Namun belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya
dengan peluru.
Ia bersama enam perwira lainnya, lima diantaranya perwira tinggi yakni: Jend. TNI
Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman;
Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu perwira
pertama, ajudan Jenderal Nasution yakni Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean pada
malam itu gugur sebagai bunga bangsa demi mempertahankan ideologi Pancasila.
Kini di Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan,
berdiri Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan atas peristiwa itu. Dan pada era
pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari
Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional
Perwira kelahiran Surabaya ini pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia
pada Konferensi Meja Bundar, Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan terakhir sebagai
Deputy III Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Pria yang sebelum masuk
tentara pernah duduk di Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran) ini seorang perwira yang fasih
berbicara dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Kemampuannya itu membuat dirinya
menjadi perwira penyambung lidah yang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan.
Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya
memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS
(setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko
(Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ide-ide yang tidak populer dan mengandung resiko tinggi pun sering dilontarkan oleh
partai komunis itu. Seperti ide untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani atau yang
disebut dengan Angkatan Kelima. Ide tersebut tidak disetujui oleh sebagian besar perwira
AD termasuk oleh M.T. Haryono sendiri dengan pertimbangan adanya maksud tersembunyi
di balik itu yakni mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Di samping itu,
pembentukan Angkatan Kelima tersebut sangatlah memiliki resiko yang sangat tinggi.
Namun karena penolakan itu pula, dirinya dan para perwira lain dimusuhi dan menjadi
target pembunuhan PKI dalam pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama
enam perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta
Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI
Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian
dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang
Buaya tanpa prikemanusiaan.
M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai
Pahlawan Revolusi. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal
kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal.
Agama: Islam
Tanda Penghormatan: Pahlawan Revolusi
Pendidikan:
HIS di Semarang
AMS tahun 1942 di Semarang
Balai Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta.
Karir:
Siswondo Parman
Siswondo Parman
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah,
4 Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun)
atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia
dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa G30S PKI dan
mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga
banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara
para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri
dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban
pembunuhan PKI.
Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah
menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya,
tentara Jepang telah menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil
diraihnya.
Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan
Kempeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian
dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan
pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan
Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulan
Desember 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di
Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya.
Pada bulan Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta
Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan
Westerling. Selanjutnya, pada Maret 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun
kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police
School.
Tugas sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan 1945. Sutoyo menjabat
Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo dengan pangkat Kapten (1946).
Kemudian menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta (1948-1949). Pada tahun 1950 Mayor
Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan tahun 1951 Danyon V CPM.
Lalu pada tahun 1954 menjabat sebagai Kepala Staf MBPM hingga akhir tahun 1954.
Mulai tahun 1955 sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga
tahun 1956. Sejak tahun ini diangkat menjadi Asisten ATMIL di London. Setelah kembali di
tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus "C" Seskoad tahun 1960. Pada tahun
1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964
dinaikan pangkatnya menjadi Brigjen.
Firasat itu ternyata terbukti tanggal 1 Oktober jam 04.00 Brigjen TNI Sutoyo diculik
dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI. Adapun gerombolan yang bertugas menculik
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo dipimpin oleh Serma Surono dari Men Cakrabirawa dengan
kekuatan 1 (satu) peleton. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada
pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah. Setelah pintu
dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam
rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden.
Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu
pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu
Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk
selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya, gugur dianiaya di luar batas-batas kemanusiaan
oleh gerombolan G 30 S/PKI.
Sugiono
Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaran, Gunungkidul, 12
Agustus 1926 - meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39 tahun)
adalah seorang pahlawan Indonesia yang merupakan salah seorang korban peristiwa
Gerakan 30 September.
Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki;
R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny
Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang
anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal.
Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.
Katamso Darmokusumo
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari
1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu
pahlawan nasional Indonesia. Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa
Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Kusumanegara, Yogyakarta.
Salah satu tokoh yang menjadi sasaran penculikan adalah Menko Hankam/Kasab
(Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata), Jenderal
A.H. Nasution. Rumah Nasution bersebelahan dengan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena.
Kedua rekan jaga lainnya sudah disekap gerombolan PKI. Satsuit Tubun pun
dibangunkan paksa. Melihat wajah yang membangunkan bukanlah kedua temannya, Satsuit
Tubun langsung menembak anggota gerombolan yang membangunkannya.
Saat yang sama, si anggota gerombolan pun melepaskan tembakan. Satsuit Tubun
pun rebah berlumuran darah dan meninggal seketika.
Siapa Dia?
K.S Tubun dilahirkan tanggal 14 Oktober 1928 di Rumadian, Pulau Kei Kecil, Maluku
Tenggara. Keputusannya untuk masuk dalam dunia militer dimulai tahun 1951. Saat itu,
Kepolisian Negara (sekarang POLRI), membuka kesempatan bagi para pemuda untuk
menjadi anggota Polisi.
Karir Militer
Dalam karir kemiliterannya, Satsuit Tubun seringkali ikut serta mempertahankan keamanan
negara. Khususnya ketika banyak pemberontakan yang terjadi di berbagai pelosok
Indonesia.
Pada peristiwa pembebasan Irian Barat pun, Satsuit Tubun ikut serta. Pada tahun-
tahun inilah pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Polisi (Sersan Polisi).
Selesai tugas di Irian Barat, Satsuit Tubun tidak lagi mendapat tugas ke luar daerah.
Namun ia masih diberi kehormatan untuk menjadi anggota pasukan pengawal kediaman
Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena.
Jasa dan pengorbanan Satsuit Tubun dihargai pemerintah. Ia pun diberi gelar
Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Ajun Inspektur Polisi
Kelas II (Letnan Dua Polisi).
Soekarno
Presiden Indonesia ke-1
Masa jabatan
17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967(21 tahun)
Pengganti Soeharto
6 Juni 1901
Lahir
Blitar, Jawa Timur, Hindia Belanda
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PNI
Guntur Soekarnoputra
Megawati Soekarnoputri
Rachmawati Soekarnoputri
Sukmawati Soekarnoputri
Anak Guruh Soekarnoputra (dari Fatmawati)
Taufan Soekarnoputra
Bayu Soekarnoputra (dari Hartini)
Totok Suryawan (dari Kartini Manoppo)
Kartika Sari Dewi Soekarno (dari Ratna Sari Dewi)
Insinyur
Profesi
Politikus
Agama Islam
Tanda tangan
Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal
di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang
menjabat pada periode 1945 - 1966.[1] Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[2] Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia
yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri
yang menamainya Pancasila.[2] Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama
dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Nama
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya. [1]
Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi
Soekarno oleh ayahnya.[1] [3] Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam
kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[1] [3] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa
Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik". [3]
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya
sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah
(Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena
tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Soekarno
adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Kehidupan
Kiprah politik
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang
merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.[1] Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.[6] Aktivitas
Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan
memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali
pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan
diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun
semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
[sunting] Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr.
Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia
yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima
langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci)
kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan
pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu
dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh
Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang
kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat
Indonesia sendiri.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip
Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha
menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA
(Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November
1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya
kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang
mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak
jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin
negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy
(Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Kejatuhan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh
dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.
[7] [6]
Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun
PKI dituduh terlibat di dalamnya.[6] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan
menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI
dibubarkan.[7] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan
dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).[2] [7] Sikap Soekarno yang
menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. [6] [2]
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[8] Sebelumnya,
ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina,
Austria tahun 1961 dan 1964.[8] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas
Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih
memilih pengobatan tradisional.[8] Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat)
Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[8] [1] Jenazah Soekarno pun
dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[8] Sebelum
dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter
Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[8] Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono
beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.[8]
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno
semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan
kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno
hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis,
Bogor, namun pemerintah memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman
Soekarno.[8] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.[8] Jenazah
Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya
bersebelahan dengan makam ibunya.[8] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh
Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. [8] Pemerintah kemudian
menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.[8]
Peninggalan
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka
Kantor Filateli Jakarta menerbitkan perangko "100 Tahun Bung Karno".[5] Perangko yang
diterbitkan merupakan empat buah perangko berlatarbelakang bendera Merah Putih serta
menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik
Indonesia.[5] Perangko pertama memiliki nilai nominal Rp. 500 dan menampilkan potret
Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp. 800 dan gambar Soekarno
ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920an terpampang di atasnya. Sementara itu,
perangko yang ketiga memiliki nominal Rp. 900 serta menunjukkan foto Soekarno saat
proklamasi kemerdekaan RI. Perangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika
menjadi Presiden dan bernominal Rp. 1000. Keempat perangko tersebut dirancang oleh Heri
Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri. [5] Selain perangko, Divisi
Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan perangko, album koleksi
perangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung
Karno.[5]
Perangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada
tanggal 19 Juni 2008. Perangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba
Fidel Castro.[9] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan
peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga pada
tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai
sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde
Baru, komplek olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan
Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu
Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung
Karno.[10]
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan
melestarikan benda-benda seni maupun non-seni kepunyaan Soekarno yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia.[12] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh
delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri,
Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[12] Di tahun 2003,
Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[5] Di stan tersebut
ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di
Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden. [5] Selain
memperlihatkan video dan foto, berbagai cinderamata Soekarno dijual di stan tersebut. [5]
Diantaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno serta kartu pos
Soekarno.[5]
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda
warisan Soekarno.[5] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri
Pertahanan Udara Sedang.[5] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya
sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[5]
Benda-benda tersebut antara lain adalah sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat
yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM
Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa
deposito hibah.[5] Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat
deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank Netherland.[5] Meskipun emas yang
ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian
dari emas tersebut.[13]
Penghargaan
Pada bulan April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 104 tahun
mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.[5] Penghargaan
tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of
OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya
dilapisi emas.[5] Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah
mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju
serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan dan
membebaskan diri dari apartheid.[5] Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan
di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria dan dihadiri oleh Megawati
Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima penghargaan.
Mohammad Hatta
Dr.(H.C.). Drs. H. Mohammad Hatta
12 Agustus 1902
Lahir
Bukittinggi, Sumatera Barat, Hindia Belanda
14 Maret 1980 (umur 77)
Meninggal
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik Non Partai
Suami/Istri Rahmi Rachim
Meutia Hatta
Anak Gemala Hatta
Halida Hatta
Agama Islam
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77
tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden
Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional
Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah
seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar.
Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin
berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-
pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah
Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara.
Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu,
telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air.
Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh
Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di
Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah
mereka di media massa.
Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun
pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca
berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta
mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam
Neratja.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia
bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School.
Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera,
“Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang
terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah
musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu
miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,”
rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan,
pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan
asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota
JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota.
Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air.
Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu.
Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana
Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada
pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan
redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun,
“Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam
Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan
surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia
dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang
mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick
man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan
peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial
tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di
tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Perangko Satu Abad Bung Hatta diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 2002
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal
Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah
Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang
terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat
Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama
Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI,
bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka keduanya
disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kehidupan pribadi
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia
Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah.
Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum
Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah
memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi
begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu
merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut sebagai
salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan,
mulai dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu
melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan
usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik
Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan
kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin
banyak yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda,
Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda.
Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan
belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta,
sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua
Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur
pendidikan Belanda / Eropa yang bernafas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau
mulai aktif di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-
pemuda Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam
organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “.
Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting”
karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi
pengganti yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi
yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta.
Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional
Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta
bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpi. Organisasi ini
memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan
menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa
dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932
anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia.
Organisasi ini mendapat pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan
mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang
merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di
dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan
dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah di
Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 diantaranya:
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta
dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap konsisten
melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-
pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa
melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah
puluhan. Dalam kenyataanya memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit
politik yang berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan
wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah
mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?. Sebagai salah satu
sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu melihat
berapa persen diantara tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di
Indonesia sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen
diantara mereka yang sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat
Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-
tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan kemajuan
masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-saat mereka
membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat akan diadakannnya
pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada), setelah
kegiatan itu berlangsung mereka mulai meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun
ada beberapa partai dan tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan
memperhatikan masyarakat.
Apakah kita masih menganggap bahwa seorang penjahat, pemaling (koruptor) yang
lolos dari sergapan hukum sebagai tokoh panutan kita di organisasi, partai politik,
pemerintahan, atau kehidupan sehari-hari?. Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan
Muhammad Hatta dalam kehidupan politiknya yang selalu bertindak demi kesejahteraan
dan kemajuan rakyat Indonesia.
Perpustakaan
Perpustakaan Bung Hatta memiliki lebih dari 8.000 buku, terdiri dari Sejarah, Budaya,
Politik, Bahasa dan lain-lain. Hal inilah yang turut menyumbang kemampuan Beliau dalam
berdiplomasi utnuk memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia
Mohammad Yamin
Mohammad Yamin
Menteri Penerangan ke-14
Masa jabatan
6 Maret 1962 – 13 November 1963
Presiden Soekarno
Pendahulu Maladi
Pengganti Roeslan Abdulgani
24 Agustus 1903
Lahir
Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda
17 Oktober 1962 (umur 59)
Meninggal
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Agama Islam
Biografi
Kesusasteraan
Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seorang
penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan.
Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah
jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada
bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah
Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern
Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam
bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga
merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama
sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa
orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang
berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an
sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana
merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.
Politik
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia
kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya
dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres
Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa
gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya
bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada
Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah
Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup
Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia
Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi
presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk
jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Karya-karyanya