Pembelajaran
1.1 Pengertian
Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin
“medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan
sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar
atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat
diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi
(AECT, 1977:162).
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio
visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi
pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah
instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang
muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran
berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai
bahan ajar online.
Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media
yaitu
(1) orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa
dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku,
guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)
(2) saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan)
dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)
(3) komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada
pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)
(4) media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan
kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta
perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan
efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)
(5) alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku,
tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan
komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat,
maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses
interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien
sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.
1.2 Klasifikasi
Dari segi perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori luas,
yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir (Seels & Glasgow dalam Arsyad,
2002:33). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pilihan media tradisional dapat dibedakan menjadi (1) visual
diam yang diproyeksikan, misal proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan
filmstrips, (2) visual yang tidak diproyeksikan, misal gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram,
pemaran, papan info, (3) penyajian multimedia, misal slide plus suara (tape), multi-image, (4) visual
dinamis yang diproyeksikan, misal film, televisi, video, (5) cetak, misal buku teks, modul, teks
terprogram, workbook, majalah ilmiah/berkala, lembaran lepas (hand-out), (6) permainan, misal teka-teki,
simulasi, permainan papan, dan (7) realia, misal model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka).
Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir dibedakan menjadi (1) media berbasis telekomunikasi, misal
teleconference, kuliah jarak jauh, dan (2) media berbasis mikroprosesor, misal computer-assistted
instruction, permainan komputer, sistem tutor intelejen, interaktif, hypermedia, dan compact (video) disc.
1.3 Tujuan
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu
pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca puisi. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan
bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang
berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna, (2) untuk mempermudah bagi
guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik, (3) untuk mempermudah bagi
anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh
guru/pendidik, (4) untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan
mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik, (5) untuk menghindarkan
salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau
pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik. Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang
tujuan pemanfaatan media adalah (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menimbulkan motivasi, (2) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3)
metode mengajar akan lebih bervariasi, dan (4) siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah (1) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
belajar mengajar, (2) meningkatkan motivasi belajar siswa, (3) variasi metode pembelajaran, dan (4)
peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
1.4 Manfaat
Secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (1)
media pengajaran dapat menarik dan memperbesar perhatian anak didik terhadap materi pengajaran yang
disajikan, (2) media pengajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman belajar anak didik berdasarkan
latar belakang sosil ekonomi, (3) media pengajaran dapat membantu anak didik dalam memberikan
pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara lain, (5) media pengajaran dapat membantu
perkembangan pikiran anak didik secara teratur tentang hal yang mereka alami dalam kegiatan belajar
mengajar mereka, misainya menyaksikan pemutaran film tentang suatu kejadian atau peristiwa. rangkaian
dan urutan kejadian yang mereka saksikan dan pemutaran film tadi akan dapat mereka pelajari secara
teratur dan berkesinambungan, (6) media pengajaran dapat menumbuhkan kemampuan anak didik untuk
berusaha mempelajari sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan, (7) media pengajaran dapat
mengurangi adanya verbalisme dalain suatu proses (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)
(Latuheru, 1988:23-24).
Sedangkan menurut Sadiman, dkk. (2002:16), media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang,
waktu, dan daya indera, misalnya (1) obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar,
film, atau model, (2) obyek yang kecil bisa dibantu dengan menggunakan proyektor, gambar, (3) gerak
yang terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography, (4) kejadian atau
peristiwa di masa lampau dapat ditampilkan dengan pemutaran film, video, foto, maupun VCD, (5) objek
yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan
(6) konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat
divisualisasikan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.
Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar perlu direncanakan dan
dirancang secara sistematik agar media pembelajaran itu efektif untuk digunakan dalam proses belajar
mengajar. Ada beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran, yaitu (1) pemanfaatan media dalam
situasi kelas atau di dalam kelas, yaitu media pembelajaran dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya
tujuan tertentu dan pemanfaatannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas, (2)
pemanfaatan media di luar situasi kelas atau di luar kelas, meliputi (a) pemanfaatan secara bebas yaitu
media yang digunakan tidak diharuskan kepada pemakai tertentu dan tidak ada kontrol dan pengawasan
dad pembuat atau pengelola media, serta pemakai tidak dikelola dengan prosedur dan pola tertentu, dan
(b) pemanfaatan secara terkontrol yaitu media itu digunakan dalam serangkaian kegiatan yang diatur
secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan untuk dipakai oleh sasaran
pemakai (populasi target) tertentu dengan mengikuti pola dan prosedur pembelajaran tertentu hingga
mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, (3) pemanfaatan media secara perorangan,
kelompok atau massal, meliputi (a) pemanfaatan media secara perorangan, yaitu penggunaan media oleh
seorang saja (sendirian saja), dan (b) pemanfaatan media secara kelompok, baik kelompok kecil (2—8
orang) maupun kelompok besar (9—40 orang), (4) media dapat juga digunakan secara massal, artinya
media dapat digunakan oleh orang yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seorang guru
dalam memanfaatkan suatu media untuk digunakan dalarn proses belajar mengajar harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu (1) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) isi materi pelajaran, (3) strategi belajar
mengajar yang digunakan, (4) karakteristik siswa yang belajar. Karakteristik siswa yang belajar yang
dimaksud adalah tingkat pengetahuan siswa terhadap media yang digunakan, bahasa siswa, artinya isi
pesan yang disampaikan melalui media harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa atau
kosakata yang dimiliki siswa sehingga memudahkan siswa dalam memahami isi materi yang disampaikan
melalui media. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan jumlah siswa. Artinya media yang
digunakan hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar.
1.5 Prinsip-prinsip Pemilihan Media
Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam
memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan
belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau
dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Rumampuk (1988:19) bahwa prinsip-prinsip pemilihan media adalah (1) harus diketahui
dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa, (2) pemilihan media hams secara objektif, bukan semata-
mata didasarkan atas kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan atau hiburan. pemilihan media itu
benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (3) tidak ada
satu pun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan.
Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan
melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu, (4) pemilihan media hendaknya
disesuaikan dengan metode mengajar dan materi pengajaran, mengingat media merupakan bagian yang
integral dalam proses belajar mengajar, (5) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru hendaknya
mengenal ciri-ciri dan masing-masing media, dan (6) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan
kondisi fisik lingkungan. Sedangkan Ibrahim (1991:24) menyatakan beberapa pedoman yang dapat
digunakan untuk memilih media pembelajaran, antara lain (1) sebelum memilih media pembelajaran,
guru harus menyadari bahwa tidak ada satupun media yang paling baik untuk mencapai semua tujuan.
masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. penggunaan berbagai macam media
pembelaiaran yang disusun secara serasi dalam proses belajar mengajar akan mengefektifkan pencapaian
tujuan pembelajaran, (2) pemilihan media hendaknya dilakukan secara objektif, artinya benar-benar
digunakan dengan dasar pertimbangan efektivitas belajar siswa, bukan karena kesenangan guru atau
sekedar sebagai selingan, (3) pernilihan media hendaknya memperhatikan syarat-syarat (a) sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (b) ketersediaan bahan media, (c) biaya pengadaan, dan (d)
kualitas atau mutu teknik. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran
adalah (1) media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, metode mengajar yang
digunakan serta karakteristik siswa yang belajar (tingkat pengetahuan siswa, bahasa siswa, dan jumlah
siswa yang belajar), (2) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru harus mengenal ciri-ciri dan tiap
tiap media pembelajaran, (3) pemilihan media pembelajaran harus berorientasi pada siswa yang belajar,
artinya pemilihan media untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (4) pemilihan media harus
mempertimbangkan biaya pengadaan, ketersediaan bahan media, mutu media, dan lingkungan fisik
tempat siswa belajar.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diturunkan sejumlah faktor yang mempengaruhi penggunaan
media dalam kegiatan pembelajaran yang dapat dipakai sebagai dasar dalam kegiatan pemilihan. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, (2) karakteristik siswa atau
sasaran, (3) jenis rangsangan belajar yang diinginkan, (4) keadaan latar atau lingkungan, (5)kondisi
setempat, dan (6) luasnya jangkauan yang ingin dilayani (Sadiman 2002:82).
Pemilihan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi membaca puisi juga
harus berpedornan pada prinsip-prinsip pemilihan media yang dilatari oleh sejumlah faktor di atas.
Pemilihan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan tujuan
instruksional membaca puisi yang akan dicapai, isi materi pelajaran pembelajaran membaca puisi, metode
mengajar yang akan digunakan, dan karakteristik siswa. Sehubungan dengan karakteristik siswa, guru
harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan intelektual siswa usia SMA, agar guru dapat memilih
media yang benar-benar sesuai dengan siswa yang belajar. Ketepatan dalam pemilihan media akan dapat
meningkatkan mutu proses belajar mengajar membaca puisi sehingga guru dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa.
1.6 Karakteristik Audien
Seorang guru terlebih dahulu harus mengenal/memahami karakter siswanya dengan baik agar
dalam proses belajar mengajar dapat memilih media yang baik sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Anak didik/siswa dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) tipe karakteristik, yaitu karakteristik
umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin, jenjang/tingkat kelas,
tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. Karakteristik khusus meliputi
pengetahuan, kemampuan, serta sikap mengenai topik atau materi yang disajikan/diajarkan. Hal ini
penting karena langsung berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih media dan
metode mengajar (Latuheru, 1998:3).
Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar.
Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini memiliki pengaruh yang
besar terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu, sebaliknya tanpa minat
tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaiatannya dengan sifat-sifat
siswa, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif, seperti
motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya (Usman, 2002:27).
Minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keefektifan belajar siswa. Jadi,
unsur efektif merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran (James dalam Usman, 2002:27).
A. Pendahuluan
Pembelajaran ilmu sosial IPS di lingkungan pendidikan dasar dalam kurikulum yang dipakai saat
ini cenderung dilakukan secara terpisah dan masing-masing sebagai mata pelajaran monolitik.
Masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan yang tidak secara jelas memiliki keterkaitan satu
sama lain. Bahkan menurut hasil penelitian Education Project, 1999 dalam Zamroni (2002)
dikemukakan bahwa jumlah mata pelajaran dan beban masing-masing mata pelajaran dinilai
terlalu banyak yang memberatkan baik bagi guru, lebih-lebih bagi siswa. Hal ini mendorong
guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan menekankan pada siswa untuk menghafal
pelajaran dengan mengorbankan pengembangan critical thinking. Siswa menjadi pendengar
pasif, sementara guru menyampaikan pelajaran, mendikte ataupun menulis di papan tulis.
Tradisi yang dilakukan dalam pembelajaran ilmu sosial cenderung menggunakan pendekatan
monolitik dan bersifat top down, semua materi pengajaran secara detail telah dipersiapkan oleh
pusat. Nuansa pendekatan teoritis sangat kental, ditunjukkan dengan penekanan pada
pembahasan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan relevan
bagi bangsa Indonesia. Siswa cenderung bersifat “text book” yang sama sekali tidak dikaitkan
dengan pengalaman yang dimiliki para siswa sendiri. Sebagai akibatnya pembelajaran ilmu
sosial hanya memiliki kontribusi yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakat
yang demokratis. Masyarakat yang beraneka ragam dan pluralistik merupakan ancaman bagi
desintegrasi bangsa. Oleh karena itu pembelajaran ilmu sosial seyogyanya merupakan satu
instrumen utama untuk memperkuat dan memperekat integrasi bangsa, termasuk di dalamnya
memperkuat dan mendorong proses transisi menunju masyarakat demokratis.
Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang
dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pembangunan demokrasi.
Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode) pembelajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah
secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan
masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar berwajah
Indonesia.
Fakta-fakta menunjukkan adanya ketidakpuasan siswa dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial. Hal
ini terjadi karena mereka berpendapat guru kurang menguasai materi, dan metode
pengajarannya. Mereka merasakan bahwa cara guru mengajar cenderung membosankan dan
terlalu abstrak. Oleh karena itu mereka menginginkan dan menyarankan agar guru menggunakan
variasi berbagai metode mengajar, sehingga tidak monoton dan juga sangat menginginkan agar
para guru mengajak siswa untuk belajar di lapangan dan tidak hanya belajar dari buku
(teksbooks) yang ada.
Menurut Mohammad Numan Somantri, 2001 pada dasarnya ada empat pendapat mengenai
tujuan pengajaran IPS di sekolah, yaitu:
Pertama, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik
para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya.
Menurut paham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diorganisasikan secara terpisah-pisah sesuai
dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Organisasi pelajaran
harus disusun menurut struktur disiplin ilmunya, baik proses penyusunan syntactical structure-
nya maupun conceptual structure-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan
disiplin yang lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan para siswa menjadi
warga negara yang baik. Walaupun demikian, aliran ini mengakui pentingnya menumbuhkan ciri
warga negara yang baik, karena hal itu akan datang dengan sendirinya setelah para siswa
mempelajari masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Golongan yang menganut pahan ini
tidak setuju apabila nama pengajaran IPS di sekolah di sebut “social studies”, tetapi harus
disebut “social sciences”. Golongan ini menekankan pada “content continumm” dalam mencapai
tujuan pembelajaran IPS.
Kedua, bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah menumbuhkan warga negara yang baik.
Pengajaran di sekolah harus merupakan “ a unified coordinated holistic study of men living in
societies” (Hanna , 1962 dalam Dedi Supriyadi, 2001). Menurut paham ini, sifat warga negara
yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada siswa apabila guru mendidik mereka dengan
jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaannya dari pada memusatkan perhatian pada
disiplin ilmu sosial yang terpisah-pisah seperti dilakukan di universitas. Karena itu,
pengorganisasian bahannya harus secara ilmiah dan psikologis. Golongan ini menghendaki agar
program pengajaran mengkorelasikan bahkan harus mungkin mengintegrasikan beberapa disiplin
ilmu sosial, dalam unit program studi. Golongan ini menekankan pada “process continum” dalam
mencapai tujuan pengajaran IPS.
Ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan kedua, golongan ini mengakui
kebenaran masing-masing pendapat pertama dan kedua di atas. Tujuan program pengajaran IPS
menurut kelompok ini adalah simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk
kepentingan pendidikan ( Wesley, 1964 dalam Dedi Supriyadi dan Rohmat Mulyana, 2001).
Golongan ini berpendapat bahwa bahan pelajaran IPS merupakan sebagian dari hasil penelitian
dalam ilmu-ilmu sosial, untuk kemudian dipilih dan diramu agar cocok untuk program
pengajaran di sekolah.
Keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk mempelajari bahan
pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed areas). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari
bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh
kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal. Bahan pelajaran
IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan ilmu-
ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal-hal yang tabu, para siswa akan memperoleh banyak
keuntungan, yaitu :
(b) Sifat pengajaran akan mencerminkan suasana yang mengarah pada prospek kehidupan
yang demokratis;
(c) Dapat berlatih berbeda pendapat, suatu hal yang sangat penting dalam memperkuat asas
demokrasi;
(d) Bahan yang tabu seringkali sangat dekat kegunaannya dengan kebutuhan pribadi
maupun masyarakat.
Kelemahanya adalah kesulitan dalam melakukan pemilihan bahan yang tepat untuk suatu tingkat
kelas. Kurang cermatnya mempersiapkan bahan yang tabu dapat menjadi masalah yang akan
menyulitkan guru dan masyarakat itu sendiri, bahkan bukan tidak mungkin akan mengganggu
ketertiban. Oleh karenanya, pilihan judulnya harus tepat dengan mengikutsertakan pendapat
siswa dalam masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia sekarang, berkaitan dengan pembangunan demokrasi dan menjaga
keutuhan integritas sebagai suatu bangsa yang multi-kultural, seyogyanya dapat menjadikan
pengajaran ilmu-ilmu sosial bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, melainkan harus dapat
menjadikannya sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan individu warga bangsa.
Pengajaran ilmu-ilmu sosial sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi, dan partisipasi positif
warga bangsa. Pengajaran ilmu-ilmu sosial dalam masa transisi peril menekankan pada tujuan
pengembangan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam
demokrasi.
Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pengajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan
untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
diri dan masyarakatnya. Siswa yang mempelajari ilmu-ilmu sosial harus mampu mengkaitkan
permasalahan makro (umum) ke mikro (individu), dan mampu menunjukkan pemikiran dan
perilaku yang respek terhadap hubungan antara pendidikan dan tanggungjawab pribadi untuk
memajukan kepentingan umum.
Di samping itu permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya kondisi yang semakin tidak
menguntungkan untuk pembangunan demokrasi, karena pengajaran ilmu-ilmu sosial hanya
menggunakan metode ceramah, yang berarti hanya mencekoki para siswa dengan abstraksi
masyarakat Barat, tanpa melakukan kritik dan validasi dengan masyarakat sendiri. Akibatnya,
terjadi kesenjangan antara apa yang dilihat dan dialami di masyarakatnya dengan apa yang
dipelajari di sekolah-sekolah.
Untuk itu sudah tiba saatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia untuk mulai mempersiapkan
dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang berwajah Indonesia, yang tumbuh dan lahir dari
masyarakatnya sendiri, sehingga betul-betul mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat
yang ada. Para praktisi pendidikan, khususnya Ilmuwan sosial bisa belajar dari Amerika Serikat,
sebagaimana Bloom (1987) lewat bukunya “ The Closing of The American Mind”,
mengingatkan agar bangsa Amerika membersihkan diri dari pengaruh pemikiran Jerman.
Demikian juga Indonesia dalam membangun demokrasi harus mulai membersihkan diri dari
pemikiran Barat yang mendasarkan pada Judeo-Cristian Traditions, yang hanya didasarkan
pengalaman yang terjadi di pangung sejarah Eropa Barat, khususnya Inggris, Jerman dan
Perancis dan tidak pernah memperhatikan panggung sejarah belahan dunia lain.
Bahkan Fukuyama, 1995 (dalam Zamroni, 2002:19) sudah meramalkan kemunculan demokrasi
dengan wajah bangsa-bangsa Asia ini yang berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Karena
pada hakikatnya sejarah panjang yang sudah mendarah daging suatu bangsa akan mewarnai
wajah demokrasi bangsa yang bersangkutan, cepat atau lambat. Demikian juga dengan Bangsa
Indonesia yang memiliki akar sejarah budaya panjang, yang mungkin tidak sama dengan nilai-
nilai demokrasi yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, dalam jangka panjang sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi yang terjadi, demokrasi yang berwajah Indonesia juga perlu
dilahirkan di bumi ini, agar warga bangsa tidak asing dengan sistem kehidupan sosial politiknya
sendiri. Untuk itu, betapapun kecilnya peran dan kontribusi yang akan diberikan, pengajaran
ilmu-ilmu sosial perlu mulai menyajikan dan membahas materi-materi yang muncul dari
persoalan bangsa sendiri.
Materi dan model pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah dengan mengedepankan prinsip
adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan
mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran ilmu-ilmu sosial
perlu membiasakan para siswa untuk diajak mengem-bangkan prinsip antisipatory, partisipasi
dan mapping. Antisipatori berarti siswa dibiasakan untuk dapat membaca tanda-tanda masa
depan dari apa yang dipelajari saat ini. Partisipasi maksudnya siswa diajak untuk menguji dan
menyaksikan apa yang ada dalam teori dengan kenyataan yang ada di masyarakatnya. Sedangkan
mapping artinya adalah siswa diajak untuk melakukan observasi di tengah-tengah masyarakat
sekitaarnya untuk menangkap gejala sebab akibat yang terjadi secara berulang-ulang secara
konsisten.
Pendidikan demokrasi harus bisa mengembangkan toleransi dan social trust di kalangan siswa
dengan memberikan kesempatan, bahkan mendorong setiap siswa untuk belajar hidup bersama
dan saling menghargai melalui kebiasaan hidup berdampingan, dan berinteraksi dengan individu-
individu dan kelompok-kelompok yang memiliki berbagai perbedaan dengan dirinya. Menurut
Zamroni (2002:11), secara singkat pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan:
Secara lebih khusus lagi, teori belajar yang dikembangkan dalam model pembelajaran
demokratis adalah “Teori Kognitivisme – Ausubel” yang menyatakan bahwa proses belajar
terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan
yang baru.”
Secara umum, penggunaan teori belajar Kognitivisme – Ausubel dalam praktek pembelajaran
berbasis demokratisasi belajar adalah sebagai berikut:
3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;
5. Menyajikan suatu pandangan yang menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari;
6. Membuat dan menggunakan “advance organizer”, paling tidak dengan cara membuat
rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang
menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan tersebut dengan materi
baru yang akan diberikan;
7. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan,
dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.
Dalam kajian dan perkembangan berikutnya juga digunakan teori belajar yang dikembangkan
oleh Gagne, Briggs & Wager (1993) yang menyatakan bahwa proses belajar seseorang dapat
dipengaruhi oleh faktor internal peserta didik itu sendiri dan faktor eksternal yaitu pengaturan
kondisi belajar. Dalam penerapannya pada pembelajaran demokratis ada tahapan pengkondisian
awal. Proses belajar terjadi karena sinergi memori jangka pendek dan jangka panjang diaktifkan
melalui penciptaan faktor eksternal, yaitu pembelajaran atau ling-kungan belajar. Melalui
inderanya, peserta didik dapat menyerap materi secara berbeda. Pengajar mengarahkan agar
pemrosesan informasi atau memori jangka panjang dapat berlangsung lancar.
Selanjutnya menurut Magnesen (Dryden & Vos, 1999) dalam Dewi Salma Prawiranegara (2007)
belajar dan daya serap otak manusia dapat terjadi melalui kegiatan:
Oleh karena itu pemberdayaan optimal dari seluruh indera seseorang dalam belajar dapat
menghasilkan kesuksesan bagi seseorang. Seseorang yang belajar dan terlibat langsung dengan
suatu kegiatan atau mengerjakan sesuatu dianggap sebagai cara terbaik dan bertahan lama.
Diilhami oleh teori ini maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis
dikembangkan model belajar sambil mencari dan mengerjakan sesuatu serta mempresen-tasikan/
mengatakannya kembali “membuat kliping – menganalisis – mempresentasikan” di depan kelas.
Adapun teori pembelajaran yang mengilhami inovasi model dan disain pembelajaran demokratis
adalah teorinya Bruner yang menyatakan bahwa penyajian materi bisa dimulai dari yang
termudah secara bertahap ke arah materi yang lebih sukar. Dengan kata lain, materi yang bersifat
sederhana sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu, sehingga jika diberikan materi yang lebih rumit
peserta didik tidak terlalu kaget. Dalam pelaksanaan pengembangannya model dan disain
pembelajaran demokratis, penyajian materi dimulai dari hal-hal yang berisi materi konkret,
nyata, sederhana diberikan terlebih dahulu karena lebih mudah dipahami, kemudian disusul
dengan materi abstrak, konseptual dan kompleks secara bertahap.
Sedangkan teori komunikasi yang digunakan dalam inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis adalah teori komunikasi Berlo. Teori ini mengembangkan wawasan kegiatan belajar
mengajar pada kelas konvensional sebagai suatu komunikasi. Menurut teori Berlo ini, dalam
suatu pembelajaran konvensional, pengajar adalah pengirim pesan yaitu materi ajar. Saluran
digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut bisa saja segala potensi pengajar, media
pembelajaran, serta indra yang dimiliki oleh peserta didik. Lalu peserta didik sebagai penerima
pesan atau topik yang disampaikan oleh pengajar mencerna materi.
Gangguan timbul pada pesan seperti ketiadaan aliran listrik dapat menyebabkan gangguan pada
perangkat elektronik yang seharusnya digunakan. Salah cetak pada buku bisa pula menimbulkan
gangguan. Umpan balik adalah respons peserta didik terhadap topik yang disampaikan oleh
pengajar. Pertanyaan, nilai buruk yang diperoleh mencerminkan umpan balik.
Baik pengajar maupun peserta didik ternyata dipengaruhi oleh nilai sosial, pengetahuan, dan
minat masing-masing. Pengajar yang memiliki potensi tinggi dalam disiplin ilmu serta mampu
mengolah topik menjadi sajian menarik, diyakini akan berdampak positif terhadap penerima
pesan atau peserta didik. Sebaliknya kebekuan komunikasi karena perbedaan persepsi yang besar
antara pengajar dan peserta didik berakibat buruk terhadap proses belajar. Untuk mengefektifkan
pesan/materi ajar yang disampaikan maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis difasilitasi melalui penggunaan berbagai media yang ada, tersedia dan mudah di
dapat di sekitar lingkungan keseharian siswa.
Penggunaan teori kecerdasan majemuk (multiple intelegences) juga dilakukan dalam inovasi
model dan disain pembelajaran demokratis. Teori kecerdasan majemuk atau Multiple
Intelegences adalah validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting.
Pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan, dan peng-
hargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa (peserta didik) belajar, di samping pengenalan,
pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar. Teori
kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences bukan hanya mengakui perbedaan individual ini
untuk tujuan-tujuan praktis, seperti pengajaran dan penilaian, tetapi juga menganggap serta
menerimanya sebagai sesuatu yang normal, wajar bahkan menarik dan sangat berharga.
Multiple Intelegences (MI) tidak berhubungan dengan mengidentifikasi satu kecerdasan yang
dimiliki siswa akan tetapi multiple intellegences mengembangkan kecerdasan lain yang dimiliki
siswa karena masing-masing siswa memiliki 8 (delapan) jenis kecedasan. Menurut Gardner
dalam Cambell, dkk. (2002) ke 8 (delapan) kecerdasan tersebut meliputi: (1) Logika dan
Matematika, (2) Musik, (3) Kinestetik, (4) Linguistik, (5) Spasial, (6) Antar Pribadi
(interpersonal), (7) Intra Pribadi (Intrapersonal) dan (8) Naturalis. Selanjutnya Cambell, dkk
(2002) menyatakan bahwa kreativitas dapat diekspresikan melalui semua kecerdasan tersebut.
Dalam pelayanan siswa yang menjadi perhatian guru adalah perbedaan kemampuan dan talenta
yang dimiliki siswa. Gardner menegaskan bahwa kebanyakan manusia kreatif dalam domain
yang spesifik (Cambell, dkk.2002). Apabila guru memperhatikan kemampuan dan talenta siswa
tidak menutup kemungkinan dapat mengembangkan kemampuan siswa yang lain. Menurut teori
Multiple Intelegences, seseorang dapat mempelajari apapun, asal materi itu disampaikan sesuai
dengan intelegences yang menonjol pada siswa atau peserta didik (Paul Suparno, 2004).
Dalam pengembangan lebih lanjut aspek multiple intellegences pada model pembelajaran
demokratis perlu dibahas secara lebih detail dalam kajian penelitian tersendiri terutama berkaitan
dengan karakteristik peserta didik dan gaya belajar masing-masing, yang cenderung unik dan
menarik. Untuk itu disarankan pada peneliti atau peneliti lain untuk mengkajinya dalam
penelitian fundamental berikutnya.
Karakteristik umum Inovasi model model pembelajaran demokratis yang dapat dikembangkan di
lingkungan pendidikan dasar, meliputi 5 (lima) unsur pokok, yaitu:
a. Sintakmatik ( tahap – tahap dari kegiatan) terdiri dari 7 (tujuh) tahap/ langkah, yaitu : 1)
pengkondisian awal, 2) pembentukan konseptual, 3) pembentukan kelompok kerja, 4)
proses kerja kelompok, 5) presentasi, 6) refleksi dan reinforcement, dan 7) penutup.
b. Sistem sosial yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model
pembelajaran demokratis dalam pembelajaran IPS bersifat demokratis dan adil gender, yang
ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan dari atau setidaknya diperkuat oleh
pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar.
Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal dari
pengajar. Suasana kelas akan terasa tak begitu terstruktur dan kaku, tapi dinamis dan
menggairahkan. Pengajar dan pembelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah
yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. (guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai
aktor) Di samping itu situasi pembelajaran dikembangkan atas prinsip 5 – M yaitu : (1)
menyenangkan, (2) mengasyikkan, (3) mencerdaskan, (3) menguatkan dan memanusiakan.
Lingkungan belajar yang demokratis, hendaknya mampu mewarnai suasana kelas yang
dapat digunakan sebagai ajang dialog, keterbukaan, toleransi, kritis dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip manusiawi, empati, adil gender, demokratis dan religius.
d. Sistem Pendukung; yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar, yang meliputi segala
sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk menggali berbagai informasi yang sesuai
dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Perpustakaan,
buku-buku penunjang serta bahan – bahan kliping (artikel dan gambar) dari koran, mudah
dijangkau dan relatif memadai untuk dijadikan sebagai media pembelajaran. Kelas atau
sekolah yang menerapkan model pembelajaran demokratis akan menggunakan berbagai
media dan sumber belajar yang dekat dengan konteks dan lingkungan belajar siswa.
Dampak instruksional, yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara menga-rahkan
para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Berkaitan dengan dampak instruksional ini,
sekolah atau kelas yang menerapkan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar
dalam pencapaian tujuan instruksional akan berorientasi pada materi akademik (sesuai tema
dan topik pelajaran serta standar kompetensi dasar yang digariskan dalam kurikulum). Serta
ditujukan untuk mencapai ketrampilan proses demokrasi dalam lingkup kelas (kelas
demokratis sebagai miniatur masyarakat demokratis).
Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh sebuah proses belajar
mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para pelajar
tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Sebagai dampak pengiring dari model
pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar tersebut, adalah guru dan siswa yang
terlibat dalam proses pembelajaran akan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai-
nilai demokrasi, keadilan dan kesetaraan gender. Mereka akan menjadi warganegara yang
aktif dalam proses kehidupan demokrasi sehari-hari. Siswa akan menjadi lebih berani
menyampaikan pendapat, tidak takut salah dalam belajar, berani berbeda pendapat, tapi juga
menjunjung tinggi nilai toleransi.
Sedangkan sebagai sebuah disain pembelajaran, maka inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis dikembangkan sesuai dengan pendapatnya Dick, Carey & Carey mencakup seluruh
proses yang dilaksanakan pada pendekatan sistem. Pendekatan sistem untuk disain pembelajaran
terdiri atas analisis, disain, pengembangan, implementasi dan evaluasi. Teori belajar, teori
evaluasi dan teori pembelajaran merupakan teori-teori yang melandasi disain pembelajaran.
Di samping itu Gagne, Briggs & Wager (1992) mengembangkan konsep disain pembelajaran
membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera
dan jangka panjang. Disain pembelajaran haruslah sistematis, dan menerapkan konsep
pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang.
Esensi disain pembelajaran demokratis yang dikembangkan mencakup empat komponen yaitu:
(a) peserta didik, (b) tujuan, (c) metode, dan (d) evaluasi yang dipengaruhi oleh teori belajar dan
pembelajaran serta analisis topik yang dihasilkan dari disiplin ilmu tertentu, dalam hal ini adalah
ilmu sosial.
F. Penutup
Dengan pemberlakuan KBK (2004) dan KTSP (2006) yang mana KBK dipersepsikan sebagai
kurikulum yang mengutamakan kompetensi (kemampuan). Sebagai sebuah konsepsi kurikulum,
KBK secara teoritis memberi landasan yang kuat bagi penanaman dan pengembangan nilai dan
moral manusia. Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan
dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip: (a) Berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (b) Beragam dan terpadu, (c)
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (d) Relevan dengan
kebutuhan kehidupan (e) Menyeluruh dan berkesinam-bungan (f ) Belajar sepanjang hayat (g)
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
DPR RI, 2003 . Undang – Undang Sisdiknas RI No 20 Tahun 2003, Sekretariat DPR- RI:
Jakarta.
Duerr, Karlheinz et. al, 2000, Strategies for Learning Democratic Citizenship Strasbourg:
Council for Cultural Co-Operation, Council of Europe.
Dewey, John (1963) Democracy and Education. New York, NY: Mac Millan Company
————- dkk, 2007. Buku Kerja Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design
Principles), Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Print, Murray, James Ellickson-Brown & Abdul Razak Baginda (eds), 1999. Civic
Education for Civil Society, London: ASEAN Academic Press.
Suparno, Paul, dkk. 1999. Pendidikan Dasar yang Demokratis – Suatu Usulan Untuk
Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia, Penerbit Universitas Sanata Dharma :
Yogyakarta.
Suyanto, 2001. Civic Education di Perdosenan Tinggi: Urgensi dan Metodologi, IAIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.
S. Branson, Margaret, et.al, 1999. Belajar Civic Education dari Amerika, LKiS
Yogyakarta.
Zamroni., 1994. Riset Sebagai Landasan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Karya
Ilmiah disampaikan pada Sidang Senat Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP
Yogyakarta pada tanggal 9 Juli 1994.
Zuriah, Nurul dkk. 2006. “Analisis Model Teoritik Inovasi Pembelajaran Berbasis
Demokratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar,” Laporan Hasil Penelitian Fundamental
Tahap 1 tahun 2006, Ditbinlitabmas Dikti dan Lemlit UMM.
Menurut Nasution (1986), penyakit yang paling banyak berkecamuk di sekolah adalah
verbalisme, yang terdapat dalam setiap situasi belajar. Menurutnya, penyakit tersebut biasanya
tidak terdapat dalam hal hal yang dipelajari anak-anak sebelum mereka bersekolah karena
perbendaharaan bahasanya diperoleh melalui pengalaman langsung dengan melihat, mendengar,
mencecap, meraba, serta menggunakan alat indra lainnya. Hasil pelajaran tersebut dapat
dianggap permanen dan tidak mudah dilupakannya, karena kata kata yang mereka peroleh benar
benar mereka kenal yang diperolehnya melalui pengalaman yang kongkrit.
Sumber belajar yang digunakan pengajar dan anak adalah buku-buku dan sumber informasi,
tetapi akan menjadi lebih jelas dan efektif jika pengajar menyertai dengan berbagai media
pengajaran yang dapat membantu menjelaskan bahan menjadi lebih realistik ( Hartono, 1996).
I. Pendahuluan
Pendidikan IPS (Social Studies) menurut Mayhood dkk., (1991: 10), adalah “The Social Studies are
comprissed of those aspests of history, geography, and pilosophy which in practice are selected for
instructional purposes in schools and collegs” National Council for the Social Studies (NCCS) memberikan
definisi yang lebih tegas, seperti yang dikutip Catur (2004), bahwa IPS sebagai “the study of political,
economic, culturals, and environment aspects of societies in the past, present and future”
Perkembangan Pendidikan IPS di AS sangat gencar pasca Perang Dunia I, ketika integrasi nasional
diperlukan sebagai benteng melemahnya kebudayaan Anglo-Saxon sebagai identitas peradaban mereka.
Sementara di Indonesia istilah IPS sendiri baru muncul sekitar tahun 1975-1976, pada saat penyusunan
pendidikan PSP, label untuk mata pelajaran Sejarah, Ekonomi, geografi dan mata pelajaran lainnya pada
tingkat dasar dan menengah. (Noman, 2001:101).
Noman Somantri memberikan penjelasan PIPS adalah suatu synthetic discipline yang berusaha untuk
mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis untuk
tujuan pendidikan. Makna synthetic discipline, bahwa PIPS bukan sekedar mensistesiskan konsep-
konsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mengkorelasikan
dengan masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Secara lebih tegas, bahwa
Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan, yaitu; Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; Sebagai ilmu yang
konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; Sebagai ilmu yang menyerap bahan
pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif.
Sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan di atas, perlu dilakukan bangunan kurikulum yang kuat.
Berbagai diskursus dan kebijakan pengembangan kurikulum PIPS telah dilakukan pada setiap era. Upaya
yang paling akhir adalah dengan pengembangan mata pelajaran IPS dalam kurikulum yang terintegrasi
untuk pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP), dimana pada masa sebelumnya PIPS hanya
dikenal di pendidikan dasar. Makalah ini akan mengkaji bagaimana dinamika pengembangan kurikulum
PIPS pada pendidikan dasar dan menengah.
V. Kesimpulan
Pengembangan kurikulum PIPS untuk Dikdasmen masaih menghadapi berbagai kendala, baik berkaitan
dengan jati diri PIPS maupun dalam tahap implementasi. Secara intern, bahwa bangunan PIPS sebagai
synthetic discipline yang berusaha mengorganisasikan dan mengembangkan sumbstansi ilmu-ilmu sosial
secara ilmiah dan psikologis masih menghadapi kendala pengintegrasiannya. Secara ekstern, bahwa
muncul masalah-masalah di lapangan entah berkaitan dengan pelaksana, sarana dan prasarana, maupun
subjek pembelajaran. Dengan demikian, perlu dilakukan kerjasama secara sinergis dari berbagai
komponen pendidikan, pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan idealita tujuan PIPS.
DAFTAR PUSTAKA
Barth, James L, Methods of Instruction in Social Studies Education, University Press of America, New
York.
James A Beane, Dkk, (1986), Curriculum Planning and Development, Allyn and Bacon inc., Toronto.
Jarolimek, John, (1982), Social Studies in Elementary Education, Mav Millan, London
Martorella, Peret H. (1994), Social Studies for Elementary School Children, Mac Millan, New York
Noeng Muhadjir, 200, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta
Mahood, Wayne, et.al., (1991), Teaching Social Studies in Middle and Senior High Schools, Macmillan,
Toronto.
2. Perkembangan PIPS dan PDIPS secara konseptual terkait erat pada konsep “social
studies” secara umum, dan secara kurikuler terkait erat pada perkembangan PIPS
dalam dunia persekolahan. Oleh karena itu untuk melihat bagaimana karakteristik
dan perkembangan PDIPS perlu dikaitkan dengan konsep, dan perkembangan
“social studies” dan konsep serta perkembangan PIPS dalam dunia persekolahan.
5. Pada era 1980-1990-an NCSS kelompok berhasil, menyepakati “scope and sequence
of social studies”, yakni tahun 1963; kemudian pada tahun 1989 berhasil disepakati
konsep “social studies” untuk abad ke 21 yang dituangkan dalam “Charting A
Course: Social Studies for the 21st Century”, dan terakhir pada tahun 1994
disepakati “Curriculum Standards for Social Studies”. Dalam perkembangan
terakhir itu NCSS masih tetap menempatkan “citizenship education” sebagai inti
dari tujuan “social studies”. Sementara itu pada kelompok SSEC, kelompok bidang
studi ekonomi mengembangkan secara tersendiri “economics education”.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada
tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum
tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan negara yang di dalamnya tercakup
Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan
Kewargaan Negara.
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan
Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan
IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang
menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft,
sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup
mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi
untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam
Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai
dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi
“citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan.
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini
pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan
yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora,
yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya
merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis
dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan.
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.