Anda di halaman 1dari 25

Media 

Pembelajaran
 1.1 Pengertian
Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin
“medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan
sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar
atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat
diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi
(AECT, 1977:162).
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio
visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi
pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah
instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang
muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran
berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai
bahan ajar online.
Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media
yaitu
(1)     orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa
dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku,
guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)
(2)     saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan)
dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)
(3)     komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada
pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)
(4)     media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan
kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta
perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan
efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)
(5)     alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku,
tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan
komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat,
maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses
interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien
sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.
 
1.2 Klasifikasi
Dari segi perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kategori luas,
yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir (Seels & Glasgow dalam Arsyad,
2002:33). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pilihan media tradisional dapat dibedakan menjadi (1) visual
diam yang diproyeksikan, misal proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, dan
filmstrips, (2) visual yang tidak diproyeksikan, misal gambar, poster, foto, charts, grafik, diagram,
pemaran, papan info, (3) penyajian multimedia, misal slide plus suara (tape), multi-image, (4) visual
dinamis yang diproyeksikan, misal film, televisi, video, (5) cetak, misal buku teks, modul, teks
terprogram, workbook, majalah ilmiah/berkala, lembaran lepas (hand-out), (6) permainan, misal teka-teki,
simulasi, permainan papan, dan (7) realia, misal model, specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka).
Sedangkan pilihan media teknologi mutakhir dibedakan menjadi (1) media berbasis telekomunikasi, misal
teleconference, kuliah jarak jauh, dan (2) media berbasis mikroprosesor, misal computer-assistted
instruction, permainan komputer, sistem tutor intelejen, interaktif, hypermedia, dan compact (video) disc.
 
1.3 Tujuan
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu
pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca puisi. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan
bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah (1) agar proses belajar mengajar yang sedang
berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna, (2) untuk mempermudah bagi
guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik, (3) untuk mempermudah bagi
anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh
guru/pendidik, (4) untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan
mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik, (5) untuk menghindarkan
salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau
pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik. Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang
tujuan pemanfaatan media adalah (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menimbulkan motivasi, (2) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami, (3)
metode mengajar akan lebih bervariasi, dan (4) siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah (1) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
belajar mengajar, (2) meningkatkan motivasi belajar siswa, (3) variasi metode pembelajaran, dan (4)
peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
 
1.4 Manfaat
Secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu (1)
media pengajaran dapat menarik dan memperbesar perhatian anak didik terhadap materi pengajaran yang
disajikan, (2) media pengajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman belajar anak didik berdasarkan
latar belakang sosil ekonomi, (3) media pengajaran dapat membantu anak didik dalam memberikan
pengalaman belajar yang sulit diperoleh dengan cara lain, (5) media pengajaran dapat membantu
perkembangan pikiran anak didik secara teratur tentang hal yang mereka alami dalam kegiatan belajar
mengajar mereka, misainya menyaksikan pemutaran film tentang suatu kejadian atau peristiwa. rangkaian
dan urutan kejadian yang mereka saksikan dan pemutaran film tadi akan dapat mereka pelajari secara
teratur dan berkesinambungan, (6) media pengajaran dapat menumbuhkan kemampuan anak didik untuk
berusaha mempelajari sendiri berdasarkan pengalaman dan kenyataan, (7) media pengajaran dapat
mengurangi adanya verbalisme dalain suatu proses (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)
(Latuheru, 1988:23-24).
Sedangkan menurut Sadiman, dkk. (2002:16), media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan ruang,
waktu, dan daya indera, misalnya (1) obyek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar,
film, atau model, (2) obyek yang kecil bisa dibantu dengan menggunakan proyektor, gambar, (3) gerak
yang terlalu cepat dapat dibantu dengan timelapse atau high-speed photography, (4) kejadian atau
peristiwa di masa lampau dapat ditampilkan dengan pemutaran film, video, foto, maupun VCD, (5) objek
yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan model, diagram, dan lain-lain, dan
(6) konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-lain) dapat
divisualisasikan dalam bentuk film, gambar, dan lain-lain.
Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar perlu direncanakan dan
dirancang secara sistematik agar media pembelajaran itu efektif untuk digunakan dalam proses belajar
mengajar. Ada beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran, yaitu (1) pemanfaatan media dalam
situasi kelas atau di dalam kelas, yaitu media pembelajaran dimanfaatkan untuk menunjang tercapainya
tujuan tertentu dan pemanfaatannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi kelas, (2)
pemanfaatan media di luar situasi kelas atau di luar kelas, meliputi (a) pemanfaatan secara bebas yaitu
media yang digunakan tidak diharuskan kepada pemakai tertentu dan tidak ada kontrol dan pengawasan
dad pembuat atau pengelola media, serta pemakai tidak dikelola dengan prosedur dan pola tertentu, dan
(b) pemanfaatan secara terkontrol yaitu media itu digunakan dalam serangkaian kegiatan yang diatur
secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan untuk dipakai oleh sasaran
pemakai (populasi target) tertentu dengan mengikuti pola dan prosedur pembelajaran tertentu hingga
mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut, (3) pemanfaatan media secara perorangan,
kelompok atau massal, meliputi (a) pemanfaatan media secara perorangan, yaitu penggunaan media oleh
seorang saja (sendirian saja), dan (b) pemanfaatan media secara kelompok, baik kelompok kecil (2—8
orang) maupun kelompok besar (9—40 orang), (4) media dapat juga digunakan secara massal, artinya
media dapat digunakan oleh orang yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan secara bersama-sama.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seorang guru
dalam memanfaatkan suatu media untuk digunakan dalarn proses belajar mengajar harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu (1) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (2) isi materi pelajaran, (3) strategi belajar
mengajar yang digunakan, (4) karakteristik siswa yang belajar. Karakteristik siswa yang belajar yang
dimaksud adalah tingkat pengetahuan siswa terhadap media yang digunakan, bahasa siswa, artinya isi
pesan yang disampaikan melalui media harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa atau
kosakata yang dimiliki siswa sehingga memudahkan siswa dalam memahami isi materi yang disampaikan
melalui media. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan jumlah siswa. Artinya media yang
digunakan hendaknya disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar.
 
1.5 Prinsip-prinsip Pemilihan Media
Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada pertimbangan seorang guru dalam
memilih dan menggunakan media pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan
belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya beraneka ragam media yang dapat digunakan atau
dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Rumampuk (1988:19) bahwa prinsip-prinsip pemilihan media adalah (1) harus diketahui
dengan jelas media itu dipilih untuk tujuan apa, (2) pemilihan media hams secara objektif, bukan semata-
mata didasarkan atas kesenangan guru atau sekedar sebagai selingan atau hiburan. pemilihan media itu
benar-benar didasarkan atas pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (3) tidak ada
satu pun media dipakai untuk mencapai semua tujuan. Setiap media memiliki kelebihan dan kelemahan.
Untuk menggunakan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya dipilih secara tepat dengan
melihat kelebihan media untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu, (4) pemilihan media hendaknya
disesuaikan dengan metode mengajar dan materi pengajaran, mengingat media merupakan bagian yang
integral dalam proses belajar mengajar, (5) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru hendaknya
mengenal ciri-ciri dan masing-masing media, dan (6) pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan
kondisi fisik lingkungan. Sedangkan Ibrahim (1991:24) menyatakan beberapa pedoman yang dapat
digunakan untuk memilih media pembelajaran, antara lain (1) sebelum memilih media pembelajaran,
guru harus menyadari bahwa tidak ada satupun media yang paling baik untuk mencapai semua tujuan.
masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan. penggunaan berbagai macam media
pembelaiaran yang disusun secara serasi dalam proses belajar mengajar akan mengefektifkan pencapaian
tujuan pembelajaran, (2) pemilihan media hendaknya dilakukan secara objektif, artinya benar-benar
digunakan dengan dasar pertimbangan efektivitas belajar siswa, bukan karena kesenangan guru atau
sekedar sebagai selingan, (3) pernilihan media hendaknya memperhatikan syarat-syarat (a) sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (b) ketersediaan bahan media, (c) biaya pengadaan, dan (d)
kualitas atau mutu teknik. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran
adalah (1) media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, metode mengajar yang
digunakan serta karakteristik siswa yang belajar (tingkat pengetahuan siswa, bahasa siswa, dan jumlah
siswa yang belajar), (2) untuk dapat memilih media dengan tepat, guru harus mengenal ciri-ciri dan tiap
tiap media pembelajaran, (3) pemilihan media pembelajaran harus berorientasi pada siswa yang belajar,
artinya pemilihan media untuk meningkatkan efektivitas belajar siswa, (4) pemilihan media harus
mempertimbangkan biaya pengadaan, ketersediaan bahan media, mutu media, dan lingkungan fisik
tempat siswa belajar.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diturunkan sejumlah faktor yang mempengaruhi penggunaan
media dalam kegiatan pembelajaran yang dapat dipakai sebagai dasar dalam kegiatan pemilihan. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah (1) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, (2) karakteristik siswa atau
sasaran, (3) jenis rangsangan belajar yang diinginkan, (4) keadaan latar atau lingkungan, (5)kondisi
setempat, dan (6) luasnya jangkauan yang ingin dilayani (Sadiman 2002:82).
Pemilihan media pembelajaran oleh guru dalam pembelajaran berbasis kompetensi membaca puisi juga
harus berpedornan pada prinsip-prinsip pemilihan media yang dilatari oleh sejumlah faktor di atas.
Pemilihan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan tujuan
instruksional membaca puisi yang akan dicapai, isi materi pelajaran pembelajaran membaca puisi, metode
mengajar yang akan digunakan, dan karakteristik siswa. Sehubungan dengan karakteristik siswa, guru
harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan intelektual siswa usia SMA, agar guru dapat memilih
media yang benar-benar sesuai dengan siswa yang belajar. Ketepatan dalam pemilihan media akan dapat
meningkatkan mutu proses belajar mengajar membaca puisi sehingga guru dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa.
 
1.6 Karakteristik Audien
Seorang guru terlebih dahulu harus mengenal/memahami karakter siswanya dengan baik agar
dalam proses belajar mengajar dapat memilih media yang baik sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Anak didik/siswa dapat diidentifikasi melalui 2 (dua) tipe karakteristik, yaitu karakteristik
umum dan karakteristik khusus. Karakteristik umum meliputi umur, jenis kelamin, jenjang/tingkat kelas,
tingkat kecerdasan, kebudayaan ataupun faktor sosial ekonomi. Karakteristik khusus meliputi
pengetahuan, kemampuan, serta sikap mengenai topik atau materi yang disajikan/diajarkan. Hal ini
penting karena langsung berpengaruh dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih media dan
metode mengajar (Latuheru, 1998:3).
Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar.
Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini memiliki pengaruh yang
besar terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu, sebaliknya tanpa minat
tidak mungkin melakukan sesuatu. Keterlibatan siswa dalam belajar erat kaiatannya dengan sifat-sifat
siswa, baik yang bersifat kognitif seperti kecerdasan dan bakat maupun yang bersifat afektif, seperti
motivasi, rasa percaya diri, dan minatnya (Usman, 2002:27).
Minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keefektifan belajar siswa. Jadi,
unsur efektif merupakan faktor yang menentukan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran (James dalam Usman, 2002:27).
A. Pendahuluan

Pembelajaran ilmu sosial IPS di lingkungan pendidikan dasar dalam kurikulum yang dipakai saat
ini cenderung dilakukan secara terpisah dan masing-masing sebagai mata pelajaran monolitik.
Masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan yang tidak secara jelas memiliki keterkaitan satu
sama lain. Bahkan menurut hasil penelitian Education Project, 1999 dalam Zamroni (2002)
dikemukakan bahwa jumlah mata pelajaran dan beban masing-masing mata pelajaran dinilai
terlalu banyak yang memberatkan baik bagi guru, lebih-lebih bagi siswa. Hal ini mendorong
guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan menekankan pada siswa untuk menghafal
pelajaran dengan mengorbankan pengembangan critical thinking. Siswa menjadi pendengar
pasif, sementara guru menyampaikan pelajaran, mendikte ataupun menulis di papan tulis.

Tradisi yang dilakukan dalam pembelajaran ilmu sosial cenderung menggunakan pendekatan
monolitik dan bersifat top down, semua materi pengajaran secara detail telah dipersiapkan oleh
pusat. Nuansa pendekatan teoritis sangat kental, ditunjukkan dengan penekanan pada
pembahasan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan relevan
bagi bangsa Indonesia. Siswa cenderung bersifat “text book” yang sama sekali tidak dikaitkan
dengan pengalaman yang dimiliki para siswa sendiri. Sebagai akibatnya pembelajaran ilmu
sosial hanya memiliki kontribusi yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakat
yang demokratis. Masyarakat yang beraneka ragam dan pluralistik merupakan ancaman bagi
desintegrasi bangsa. Oleh karena itu pembelajaran ilmu sosial seyogyanya merupakan satu
instrumen utama untuk memperkuat dan memperekat integrasi bangsa, termasuk di dalamnya
memperkuat dan mendorong proses transisi menunju masyarakat demokratis.

Inovasi dan reorientasi pembelajaran ilmu sosial sangat diperlukan agar pembelajaran yang
dilakukan memberikan kontribusi maksimal dalam proses akselerasi pembangunan demokrasi.
Tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan (metode) pembelajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah
secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan
masyarakat Indonesia, sehingga pengembangan ilmu-ilmu sosial benar-benar berwajah
Indonesia.

B. Kendala yang di hadapi Pembelajaran IPS

Fakta-fakta menunjukkan adanya ketidakpuasan siswa dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial. Hal
ini terjadi karena mereka berpendapat guru kurang menguasai materi, dan metode
pengajarannya. Mereka merasakan bahwa cara guru mengajar cenderung membosankan dan
terlalu abstrak. Oleh karena itu mereka menginginkan dan menyarankan agar guru menggunakan
variasi berbagai metode mengajar, sehingga tidak monoton dan juga sangat menginginkan agar
para guru mengajak siswa untuk belajar di lapangan dan tidak hanya belajar dari buku
(teksbooks) yang ada.

Menurut Mohammad Numan Somantri, 2001 pada dasarnya ada empat pendapat mengenai
tujuan pengajaran IPS di sekolah, yaitu:

Pertama, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik
para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya.
Menurut paham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diorganisasikan secara terpisah-pisah sesuai
dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Organisasi pelajaran
harus disusun menurut struktur disiplin ilmunya, baik proses penyusunan syntactical structure-
nya maupun conceptual structure-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan
disiplin yang lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan para siswa menjadi
warga negara yang baik. Walaupun demikian, aliran ini mengakui pentingnya menumbuhkan ciri
warga negara yang baik, karena hal itu akan datang dengan sendirinya setelah para siswa
mempelajari masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Golongan yang menganut pahan ini
tidak setuju apabila nama pengajaran IPS di sekolah di sebut “social studies”, tetapi harus
disebut “social sciences”. Golongan ini menekankan pada “content continumm” dalam mencapai
tujuan pembelajaran IPS.

Kedua, bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah menumbuhkan warga negara yang baik.
Pengajaran di sekolah harus merupakan “ a unified coordinated holistic study of men living in
societies” (Hanna , 1962 dalam Dedi Supriyadi, 2001). Menurut paham ini, sifat warga negara
yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada siswa apabila guru mendidik mereka dengan
jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaannya dari pada memusatkan perhatian pada
disiplin ilmu sosial yang terpisah-pisah seperti dilakukan di universitas. Karena itu,
pengorganisasian bahannya harus secara ilmiah dan psikologis. Golongan ini menghendaki agar
program pengajaran mengkorelasikan bahkan harus mungkin mengintegrasikan beberapa disiplin
ilmu sosial, dalam unit program studi. Golongan ini menekankan pada “process continum” dalam
mencapai tujuan pengajaran IPS.

Ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan kedua, golongan ini mengakui
kebenaran masing-masing pendapat pertama dan kedua di atas. Tujuan program pengajaran IPS
menurut kelompok ini adalah simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk
kepentingan pendidikan ( Wesley, 1964 dalam Dedi Supriyadi dan Rohmat Mulyana, 2001).
Golongan ini berpendapat bahwa bahan pelajaran IPS merupakan sebagian dari hasil penelitian
dalam ilmu-ilmu sosial, untuk kemudian dipilih dan diramu agar cocok untuk program
pengajaran di sekolah.

Keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk mempelajari bahan
pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed areas). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari
bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh
kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal. Bahan pelajaran
IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan ilmu-
ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal-hal yang tabu, para siswa akan memperoleh banyak
keuntungan, yaitu :

(a) Dapat mempelajari masalah-masalah sosial yang perlu mendapatkan peme-cahannya;

(b) Sifat pengajaran akan mencerminkan suasana yang mengarah pada prospek kehidupan
yang demokratis;

(c) Dapat berlatih berbeda pendapat, suatu hal yang sangat penting dalam memperkuat asas
demokrasi;
(d) Bahan yang tabu seringkali sangat dekat kegunaannya dengan kebutuhan pribadi
maupun masyarakat.

Kelemahanya adalah kesulitan dalam melakukan pemilihan bahan yang tepat untuk suatu tingkat
kelas. Kurang cermatnya mempersiapkan bahan yang tabu dapat menjadi masalah yang akan
menyulitkan guru dan masyarakat itu sendiri, bahkan bukan tidak mungkin akan mengganggu
ketertiban. Oleh karenanya, pilihan judulnya harus tepat dengan mengikutsertakan pendapat
siswa dalam masyarakat.

C. Pembelajaran IPS dengan Model Demokratis

Bagi bangsa Indonesia sekarang, berkaitan dengan pembangunan demokrasi dan menjaga
keutuhan integritas sebagai suatu bangsa yang multi-kultural, seyogyanya dapat menjadikan
pengajaran ilmu-ilmu sosial bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, melainkan harus dapat
menjadikannya sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan individu warga bangsa.
Pengajaran ilmu-ilmu sosial sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi, dan partisipasi positif
warga bangsa. Pengajaran ilmu-ilmu sosial dalam masa transisi peril menekankan pada tujuan
pengembangan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam
demokrasi.

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pengajaran ilmu-ilmu sosial bertujuan
untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
diri dan masyarakatnya. Siswa yang mempelajari ilmu-ilmu sosial harus mampu mengkaitkan
permasalahan makro (umum) ke mikro (individu), dan mampu menunjukkan pemikiran dan
perilaku yang respek terhadap hubungan antara pendidikan dan tanggungjawab pribadi untuk
memajukan kepentingan umum.

Di samping itu permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya kondisi yang semakin tidak
menguntungkan untuk pembangunan demokrasi, karena pengajaran ilmu-ilmu sosial hanya
menggunakan metode ceramah, yang berarti hanya mencekoki para siswa dengan abstraksi
masyarakat Barat, tanpa melakukan kritik dan validasi dengan masyarakat sendiri. Akibatnya,
terjadi kesenjangan antara apa yang dilihat dan dialami di masyarakatnya dengan apa yang
dipelajari di sekolah-sekolah.

Untuk itu sudah tiba saatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia untuk mulai mempersiapkan
dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang berwajah Indonesia, yang tumbuh dan lahir dari
masyarakatnya sendiri, sehingga betul-betul mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat
yang ada. Para praktisi pendidikan, khususnya Ilmuwan sosial bisa belajar dari Amerika Serikat,
sebagaimana Bloom (1987) lewat bukunya “ The Closing of The American Mind”,
mengingatkan agar bangsa Amerika membersihkan diri dari pengaruh pemikiran Jerman.
Demikian juga Indonesia dalam membangun demokrasi harus mulai membersihkan diri dari
pemikiran Barat yang mendasarkan pada Judeo-Cristian Traditions, yang hanya didasarkan
pengalaman yang terjadi di pangung sejarah Eropa Barat, khususnya Inggris, Jerman dan
Perancis dan tidak pernah memperhatikan panggung sejarah belahan dunia lain.
Bahkan Fukuyama, 1995 (dalam Zamroni, 2002:19) sudah meramalkan kemunculan demokrasi
dengan wajah bangsa-bangsa Asia ini yang berbeda dengan demokrasi Amerika Serikat. Karena
pada hakikatnya sejarah panjang yang sudah mendarah daging suatu bangsa akan mewarnai
wajah demokrasi bangsa yang bersangkutan, cepat atau lambat. Demikian juga dengan Bangsa
Indonesia yang memiliki akar sejarah budaya panjang, yang mungkin tidak sama dengan nilai-
nilai demokrasi yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, dalam jangka panjang sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi yang terjadi, demokrasi yang berwajah Indonesia juga perlu
dilahirkan di bumi ini, agar warga bangsa tidak asing dengan sistem kehidupan sosial politiknya
sendiri. Untuk itu, betapapun kecilnya peran dan kontribusi yang akan diberikan, pengajaran
ilmu-ilmu sosial perlu mulai menyajikan dan membahas materi-materi yang muncul dari
persoalan bangsa sendiri.

Materi dan model pengajaran ilmu-ilmu sosial perlu diubah dengan mengedepankan prinsip
adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan
mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran ilmu-ilmu sosial
perlu membiasakan para siswa untuk diajak mengem-bangkan prinsip antisipatory, partisipasi
dan mapping. Antisipatori berarti siswa dibiasakan untuk dapat membaca tanda-tanda masa
depan dari apa yang dipelajari saat ini. Partisipasi maksudnya siswa diajak untuk menguji dan
menyaksikan apa yang ada dalam teori dengan kenyataan yang ada di masyarakatnya. Sedangkan
mapping artinya adalah siswa diajak untuk melakukan observasi di tengah-tengah masyarakat
sekitaarnya untuk menangkap gejala sebab akibat yang terjadi secara berulang-ulang secara
konsisten.

Dalam pendidikan demokrasi mutlak diperlukan adanya pengembangan kemampuan berpikir


kritis, analitis dan jernih disertai dengan pengendalian diri yang tinggi. Menurut Snauwaert
(2001) yang dikutip Zamroni, 2002 menyatakan bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kemanusiaan, dan menitikberatkan pada tujuan untuk
mengembangkan pada diri siswa empati, toleransi, respek pada yang lain, dan memiliki
pandangan sebagai warga negara bangsa dan warga masyarakat global. Hal ini dapat dilakukan
apabila sekolah dapat mentransfer pengajaran yang bersifat akademis sempit ke dalam realitas
kehidupan yang amat luas di masyarakat.

Pendidikan demokrasi harus bisa mengembangkan toleransi dan social trust di kalangan siswa
dengan memberikan kesempatan, bahkan mendorong setiap siswa untuk belajar hidup bersama
dan saling menghargai melalui kebiasaan hidup berdampingan, dan berinteraksi dengan individu-
individu dan kelompok-kelompok yang memiliki berbagai perbedaan dengan dirinya. Menurut
Zamroni (2002:11), secara singkat pendidikan demokrasi memiliki empat tujuan:

a) mengembangkan kepribadian siswa sehingga memiliki sifat empati, respek, toleransi


dan kepercayaan pada orang lain,

b) mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia,

c) meningkatkan kemampuan mengambil keputusan secara nasional dan,


d) meningkatkan kemampuan berkomunikasi diantara sesama warga.

D. Inovasi Model dan Desain Pembelajaran Demokratis

Inovasi model dan disain pembelajaran demokratis semula dikembangkan berlandaskan


kerangka pikir Teori Belajar Kognitivisme. Menurut teori ini “belajar” adalah perubahan
persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah
mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini
tertata dalam bentuk struktur kognitif. Proses belajar akan berjalan baik apabila materi pelajaran
yang baru beradaptasi (bersambung) secara “klop” dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki
siswa.

Secara lebih khusus lagi, teori belajar yang dikembangkan dalam model pembelajaran
demokratis adalah “Teori Kognitivisme – Ausubel” yang menyatakan bahwa proses belajar
terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan
yang baru.”

Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap :

a. memperhatikan stimulus yang diberikan;

b. memahami makna stimulus;

c. menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Secara umum, penggunaan teori belajar Kognitivisme – Ausubel dalam praktek pembelajaran
berbasis demokratisasi belajar adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional;

2. Mengukur kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran (minat, kemampuan, struktur


kognitif) baik melalui test awal (pre test), interview, review, pertanyaan dan lain-lain.

3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;

4. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut;

5. Menyajikan suatu pandangan yang menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari;

6. Membuat dan menggunakan “advance organizer”, paling tidak dengan cara membuat
rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang
menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan tersebut dengan materi
baru yang akan diberikan;
7. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan,
dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada.

8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

Dalam kajian dan perkembangan berikutnya juga digunakan teori belajar yang dikembangkan
oleh Gagne, Briggs & Wager (1993) yang menyatakan bahwa proses belajar seseorang dapat
dipengaruhi oleh faktor internal peserta didik itu sendiri dan faktor eksternal yaitu pengaturan
kondisi belajar. Dalam penerapannya pada pembelajaran demokratis ada tahapan pengkondisian
awal. Proses belajar terjadi karena sinergi memori jangka pendek dan jangka panjang diaktifkan
melalui penciptaan faktor eksternal, yaitu pembelajaran atau ling-kungan belajar. Melalui
inderanya, peserta didik dapat menyerap materi secara berbeda. Pengajar mengarahkan agar
pemrosesan informasi atau memori jangka panjang dapat berlangsung lancar.

Selanjutnya menurut Magnesen (Dryden & Vos, 1999) dalam Dewi Salma Prawiranegara (2007)
belajar dan daya serap otak manusia dapat terjadi melalui kegiatan:

1. membaca daya serapnya sebanyak 10%

2. mendengar daya serapnya sebanyak 20%

3. melihat daya serapnya sebanyak 30 %

4. melihat dan mendengar daya serapnya sebanyak 50%

5. mengatakan kembali daya serapnya sebanyak 70%

6. mengatakan sambil mengerjakan daya serapnya sebanyak 90%.

Oleh karena itu pemberdayaan optimal dari seluruh indera seseorang dalam belajar dapat
menghasilkan kesuksesan bagi seseorang. Seseorang yang belajar dan terlibat langsung dengan
suatu kegiatan atau mengerjakan sesuatu dianggap sebagai cara terbaik dan bertahan lama.
Diilhami oleh teori ini maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran demokratis
dikembangkan model belajar sambil mencari dan mengerjakan sesuatu serta mempresen-tasikan/
mengatakannya kembali “membuat kliping – menganalisis – mempresentasikan” di depan kelas.

Adapun teori pembelajaran yang mengilhami inovasi model dan disain pembelajaran demokratis
adalah teorinya Bruner yang menyatakan bahwa penyajian materi bisa dimulai dari yang
termudah secara bertahap ke arah materi yang lebih sukar. Dengan kata lain, materi yang bersifat
sederhana sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu, sehingga jika diberikan materi yang lebih rumit
peserta didik tidak terlalu kaget. Dalam pelaksanaan pengembangannya model dan disain
pembelajaran demokratis, penyajian materi dimulai dari hal-hal yang berisi materi konkret,
nyata, sederhana diberikan terlebih dahulu karena lebih mudah dipahami, kemudian disusul
dengan materi abstrak, konseptual dan kompleks secara bertahap.
Sedangkan teori komunikasi yang digunakan dalam inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis adalah teori komunikasi Berlo. Teori ini mengembangkan wawasan kegiatan belajar
mengajar pada kelas konvensional sebagai suatu komunikasi. Menurut teori Berlo ini, dalam
suatu pembelajaran konvensional, pengajar adalah pengirim pesan yaitu materi ajar. Saluran
digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut bisa saja segala potensi pengajar, media
pembelajaran, serta indra yang dimiliki oleh peserta didik. Lalu peserta didik sebagai penerima
pesan atau topik yang disampaikan oleh pengajar mencerna materi.

Gangguan timbul pada pesan seperti ketiadaan aliran listrik dapat menyebabkan gangguan pada
perangkat elektronik yang seharusnya digunakan. Salah cetak pada buku bisa pula menimbulkan
gangguan. Umpan balik adalah respons peserta didik terhadap topik yang disampaikan oleh
pengajar. Pertanyaan, nilai buruk yang diperoleh mencerminkan umpan balik.

Baik pengajar maupun peserta didik ternyata dipengaruhi oleh nilai sosial, pengetahuan, dan
minat masing-masing. Pengajar yang memiliki potensi tinggi dalam disiplin ilmu serta mampu
mengolah topik menjadi sajian menarik, diyakini akan berdampak positif terhadap penerima
pesan atau peserta didik. Sebaliknya kebekuan komunikasi karena perbedaan persepsi yang besar
antara pengajar dan peserta didik berakibat buruk terhadap proses belajar. Untuk mengefektifkan
pesan/materi ajar yang disampaikan maka dalam inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis difasilitasi melalui penggunaan berbagai media yang ada, tersedia dan mudah di
dapat di sekitar lingkungan keseharian siswa.

Penggunaan teori kecerdasan majemuk (multiple intelegences) juga dilakukan dalam inovasi
model dan disain pembelajaran demokratis. Teori kecerdasan majemuk atau Multiple
Intelegences adalah validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting.
Pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan, dan peng-
hargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa (peserta didik) belajar, di samping pengenalan,
pengakuan dan penghargaan terhadap setiap minat dan bakat masing-masing pembelajar. Teori
kecerdasan majemuk atau Multiple Intelegences bukan hanya mengakui perbedaan individual ini
untuk tujuan-tujuan praktis, seperti pengajaran dan penilaian, tetapi juga menganggap serta
menerimanya sebagai sesuatu yang normal, wajar bahkan menarik dan sangat berharga.

Multiple Intelegences (MI) tidak berhubungan dengan mengidentifikasi satu kecerdasan yang
dimiliki siswa akan tetapi multiple intellegences mengembangkan kecerdasan lain yang dimiliki
siswa karena masing-masing siswa memiliki 8 (delapan) jenis kecedasan. Menurut Gardner
dalam Cambell, dkk. (2002) ke 8 (delapan) kecerdasan tersebut meliputi: (1) Logika dan
Matematika, (2) Musik, (3) Kinestetik, (4) Linguistik, (5) Spasial, (6) Antar Pribadi
(interpersonal), (7) Intra Pribadi (Intrapersonal) dan (8) Naturalis. Selanjutnya Cambell, dkk
(2002) menyatakan bahwa kreativitas dapat diekspresikan melalui semua kecerdasan tersebut.

Dalam pelayanan siswa yang menjadi perhatian guru adalah perbedaan kemampuan dan talenta
yang dimiliki siswa. Gardner menegaskan bahwa kebanyakan manusia kreatif dalam domain
yang spesifik (Cambell, dkk.2002). Apabila guru memperhatikan kemampuan dan talenta siswa
tidak menutup kemungkinan dapat mengembangkan kemampuan siswa yang lain. Menurut teori
Multiple Intelegences, seseorang dapat mempelajari apapun, asal materi itu disampaikan sesuai
dengan intelegences yang menonjol pada siswa atau peserta didik (Paul Suparno, 2004).
Dalam pengembangan lebih lanjut aspek multiple intellegences pada model pembelajaran
demokratis perlu dibahas secara lebih detail dalam kajian penelitian tersendiri terutama berkaitan
dengan karakteristik peserta didik dan gaya belajar masing-masing, yang cenderung unik dan
menarik. Untuk itu disarankan pada peneliti atau peneliti lain untuk mengkajinya dalam
penelitian fundamental berikutnya.

E. Karakteristik Model Pembelajaran Demokratis

Karakteristik umum Inovasi model model pembelajaran demokratis yang dapat dikembangkan di
lingkungan pendidikan dasar, meliputi 5 (lima) unsur pokok, yaitu:

a. Sintakmatik ( tahap – tahap dari kegiatan) terdiri dari 7 (tujuh) tahap/ langkah, yaitu : 1)
pengkondisian awal, 2) pembentukan konseptual, 3) pembentukan kelompok kerja, 4)
proses kerja kelompok, 5) presentasi, 6) refleksi dan reinforcement, dan 7) penutup.

b. Sistem sosial yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model
pembelajaran demokratis dalam pembelajaran IPS bersifat demokratis dan adil gender, yang
ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan dari atau setidaknya diperkuat oleh
pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar.
Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal dari
pengajar. Suasana kelas akan terasa tak begitu terstruktur dan kaku, tapi dinamis dan
menggairahkan. Pengajar dan pembelajar memiliki status yang sama dihadapan masalah
yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. (guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai
aktor) Di samping itu situasi pembelajaran dikembangkan atas prinsip 5 – M yaitu : (1)
menyenangkan, (2) mengasyikkan, (3) mencerdaskan, (3) menguatkan dan memanusiakan.
Lingkungan belajar yang demokratis, hendaknya mampu mewarnai suasana kelas yang
dapat digunakan sebagai ajang dialog, keterbukaan, toleransi, kritis dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip manusiawi, empati, adil gender, demokratis dan religius.

c. Prinsip Reaksi/Pengelolaan; yaitu pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana


seharusnya guru melihat dan memperlakukan peserta didik, termasuk bagaimana seharusnya
pengajar atau pendidik memberikan respon terhadap mereka. Dalam kelas yang menerapkan
model pembelajaran yang berbasis demokratisasi belajar guru atau pengajar lebih berperan
sebagai fasilitator, mediator, konselor, konsultan dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam
kelas ini mengedepankan prinsip relasi dan interaksi edukatif berpola demokratis –
partisipatif – dialogis dan adil gender. Di samping itu juga dikembangkan pola pikir kritis –
kreatif – reflektif berasaskan kebebasan berpendapat. Sikap guru harus menjauhi model
indoktrinatif, dan lebih berperan sebagai fasilitator dan moderator yang baik, yang
membiarkan dan merangsang siswa untuk aktif dalam menggeluti bahan pelajaran.
Hubungan antarguru yang saling terbuka, saling menghargai, saling membantu dalam
bekerjasama, dan demokratis dalam menentukan kehidupan sekolah akan membantu siswa
untuk menerapkan perilaku demokrasi yang baik di kemudian hari.

d. Sistem Pendukung; yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar, yang meliputi segala
sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk menggali berbagai informasi yang sesuai
dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok. Perpustakaan,
buku-buku penunjang serta bahan – bahan kliping (artikel dan gambar) dari koran, mudah
dijangkau dan relatif memadai untuk dijadikan sebagai media pembelajaran. Kelas atau
sekolah yang menerapkan model pembelajaran demokratis akan menggunakan berbagai
media dan sumber belajar yang dekat dengan konteks dan lingkungan belajar siswa.

e. Dampak Instruksional dan Pengiring;

Dampak instruksional, yaitu hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara menga-rahkan
para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Berkaitan dengan dampak instruksional ini,
sekolah atau kelas yang menerapkan model pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar
dalam pencapaian tujuan instruksional akan berorientasi pada materi akademik (sesuai tema
dan topik pelajaran serta standar kompetensi dasar yang digariskan dalam kurikulum). Serta
ditujukan untuk mencapai ketrampilan proses demokrasi dalam lingkup kelas (kelas
demokratis sebagai miniatur masyarakat demokratis).

Dampak Pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh sebuah proses belajar
mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para pelajar
tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Sebagai dampak pengiring dari model
pembelajaran IPS berbasis demokratisasi belajar tersebut, adalah guru dan siswa yang
terlibat dalam proses pembelajaran akan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai-
nilai demokrasi, keadilan dan kesetaraan gender. Mereka akan menjadi warganegara yang
aktif dalam proses kehidupan demokrasi sehari-hari. Siswa akan menjadi lebih berani
menyampaikan pendapat, tidak takut salah dalam belajar, berani berbeda pendapat, tapi juga
menjunjung tinggi nilai toleransi.

Sedangkan sebagai sebuah disain pembelajaran, maka inovasi model dan disain pembelajaran
demokratis dikembangkan sesuai dengan pendapatnya Dick, Carey & Carey mencakup seluruh
proses yang dilaksanakan pada pendekatan sistem. Pendekatan sistem untuk disain pembelajaran
terdiri atas analisis, disain, pengembangan, implementasi dan evaluasi. Teori belajar, teori
evaluasi dan teori pembelajaran merupakan teori-teori yang melandasi disain pembelajaran.

Di samping itu Gagne, Briggs & Wager (1992) mengembangkan konsep disain pembelajaran
membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera
dan jangka panjang. Disain pembelajaran haruslah sistematis, dan menerapkan konsep
pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang.

Esensi disain pembelajaran demokratis yang dikembangkan mencakup empat komponen yaitu:
(a) peserta didik, (b) tujuan, (c) metode, dan (d) evaluasi yang dipengaruhi oleh teori belajar dan
pembelajaran serta analisis topik yang dihasilkan dari disiplin ilmu tertentu, dalam hal ini adalah
ilmu sosial.

F. Penutup

Dengan pemberlakuan KBK (2004) dan KTSP (2006) yang mana KBK dipersepsikan sebagai
kurikulum yang mengutamakan kompetensi (kemampuan). Sebagai sebuah konsepsi kurikulum,
KBK secara teoritis memberi landasan yang kuat bagi penanaman dan pengembangan nilai dan
moral manusia. Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan
dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip: (a) Berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (b) Beragam dan terpadu, (c)
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (d) Relevan dengan
kebutuhan kehidupan (e) Menyeluruh dan berkesinam-bungan (f ) Belajar sepanjang hayat (g)
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22


Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Puskur:
Jakarta.

DPR RI, 2003 . Undang – Undang Sisdiknas RI No 20 Tahun 2003, Sekretariat DPR- RI:
Jakarta.

Duerr, Karlheinz et. al, 2000, Strategies for Learning Democratic Citizenship Strasbourg:
Council for Cultural Co-Operation, Council of Europe.

Dewey, John (1963) Democracy and Education. New York, NY: Mac Millan Company

Kerr, David, 1999. Citizenship Education: An international Comparison, (London) :


NFER & QCA.

Nuh, Muhammad. 2004. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan


Konstruktivistik dalam Pengajaran, Unesa : Surabaya.

Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya


dalam KBK, Penerbit Universitas Negeri Malang: Malang.

Prawiradilaga, Dewi Salma, 2007. Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design


Principles), Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

————- dkk, 2007. Buku Kerja Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design
Principles), Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

Print, Murray, James Ellickson-Brown & Abdul Razak Baginda (eds), 1999. Civic
Education for Civil Society, London: ASEAN Academic Press.

Priyatni, Endah Tri, 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran


Kontekstual, Makalah dalam TOT Pembelajaran Demokratis di FKIP- UMM tanggal 11
Agustus 2004, Univ. Muhammadiyah Malang: Malang.
Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra, 1996. Teori Belajar dan Model-Model
Pembelajaran ; Program Pengembangan Ketrampilan Dasar Instruksional (Pekerti) Untuk
Dosen Muda Buku IB, P3AI Dikti : Jakarta.

Sumantri, Numan, 2001.Pembaharuan Pendidikan IPS, Rosda Karya : Bandung.

Suparno, Paul, dkk. 1999. Pendidikan Dasar yang Demokratis – Suatu Usulan Untuk
Reformasi Pendidikan Dasar di Indonesia, Penerbit Universitas Sanata Dharma :
Yogyakarta.

Suyanto, 2001. Civic Education di Perdosenan Tinggi: Urgensi dan Metodologi, IAIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.

S. Branson, Margaret, et.al, 1999. Belajar Civic Education dari Amerika, LKiS
Yogyakarta.

Wiryokusumo, Iskandar, 2000. Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari


Pengalaman Empiris, Kumpulan Makalah Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era
Demokratisasi Belajar, Univ. Negeri Malang bekerjasama dengan IPTPI – Malang,
tanggal 7 Oktober 2000.

Zamroni., 1994. Riset Sebagai Landasan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Karya
Ilmiah disampaikan pada Sidang Senat Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP
Yogyakarta pada tanggal 9 Juli 1994.

Zuriah, Nurul dkk. 2006. “Analisis Model Teoritik Inovasi Pembelajaran Berbasis
Demokratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar,” Laporan Hasil Penelitian Fundamental
Tahap 1 tahun 2006, Ditbinlitabmas Dikti dan Lemlit UMM.

Menurut Nasution (1986), penyakit yang paling banyak berkecamuk di sekolah adalah
verbalisme, yang terdapat dalam setiap situasi belajar. Menurutnya, penyakit tersebut biasanya
tidak terdapat dalam hal hal yang dipelajari anak-anak sebelum mereka bersekolah karena
perbendaharaan bahasanya diperoleh melalui pengalaman langsung dengan melihat, mendengar,
mencecap, meraba, serta menggunakan alat indra lainnya. Hasil pelajaran tersebut dapat
dianggap permanen dan tidak mudah dilupakannya, karena kata kata yang mereka peroleh benar
benar mereka kenal yang diperolehnya melalui pengalaman yang kongkrit.
Sumber belajar yang digunakan pengajar dan anak adalah buku-buku dan sumber informasi,
tetapi akan menjadi lebih jelas dan efektif jika pengajar menyertai dengan berbagai media
pengajaran yang dapat membantu menjelaskan bahan menjadi lebih realistik ( Hartono, 1996).

a.Pengertian Media Pembelajaran


Banyak sekali pengertian media pembelajaran yang diungkapkan oleh para ahli, tapi secara
terminology kata media berasal dari bahasa latin medium yang artinya perantara, sedangkan
dalam bahasa arab media berasal dari kata “wasaaila” artinya pengantar pesan dari pengirim
kepada penerima pesan.
Munculnya berbagai macam definisi tentang media pembelajaran pada dasarnya disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam sudut pandang, maksud, dan tujuannya. AECT (Association for
Education and Communicatian Technology) dalam Harsoyo (2002) mengatakan bahwa “Media
merupakan segala bentuk yang dimanfaatkan dalam proses penyaluran informasi.”
Sedangkan NEA (National Education Association) dalam Harsoyo (2002) memaknai media
sebagai segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibincangkan
beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas, Bovee (1997) menyatakan bahwa media adalah sebuah alat
yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang
berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses
komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa
bantuan sarana penyampai pesan atau media.
Lebih lanjut Raharjo (1991) menyimpulkan beberapa pandangan para ahli tentang media, yaitu
Gagne yang menempatkan media sebagai komponen sumber, mendefinisikan media sebagai
“komponen sumber belajar di lingkungan peserta didik yang dapat merangsangnya untuk
belajar.” Briggs berpendapat bahwa media harus didukung sesuatu untuk mengkomunikasikan
materi (pesan kurikuler) supaya terjadi proses belajar, yang mendefinisikan media sebagai
wahana fisik yang mengandung materi instruksional. Wilbur Schramm mencermati pemanfaatan
media sebagai suatu teknik untuk menyampaikan pesan, di mana ia mendefinisikan media
sebagai teknologi pembawa informasi/pesan instruksional.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya media pembelajaran
merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan pengirim kepada
penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa yang
menjurus ke arah terjadinya proses belajar.
Selain itu pula media memiliki fungsi yang jelas yaitu memperjelas, memudahkan dan membuat
menarik pesan kurikulum yang akan disampaikan oleh guru kepada peserta didik sehingga dapat
memotivasi belajarnya dan mengefisienkan proses belajar, sekaligus membantu peserta didik
dalam memproses pesan-pesan pendidikan atau bahan-bahan pembelajaran yang disampaikan.

b.Media dalam Proses Pembelajaran


Proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan
kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut, siswa
berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran.
Prinsip pengajaran yang baik adalah jika proses belajar tersebut mampu mengembangkan konsep
generalisasi, dan bahan abstrak dapat menjadi hal yang jelas dan nyata. Sumber belajar yang
digunakan pengajar dan anak adalah buku-buku dan sumber informasi, tetapi akan lebih jelas dan
efektif jika pengajar menyertai dengan berbagai media pengajaran yang dapat membantu
menjelaskan bahan menjadi lebih realistik (Hartono, 1996)
Berkenaan dengan taraf berpikir siswa, taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan
dimulai dari berpikir konkret menuju ke berpikir kompleks. Dalam hal ini, penggunaan media
pembelajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut sebab melalui media, hal-hal yang
abstrak dapat dikongkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan. (Chaerudin,
2004)
Edgar Dale (1991) menggambarkan pentingnya visualisasi dan verbalistis dalam pengalaman
belajar yang disebut “Kerucut pengalaman Edgar Dale” dikemukakan bahwa ada suatu
kontinuum (kesinambungan) dari konkrit ke abstrak antara pengalaman langsung, visual dan
verbal dalam menanamkan suatu konsep atau pengertian. Semakin konkrit pengalaman yang
diberikan akan lebih menjamin terjadinya proses belajar.
Dari gambar kerucut pengalaman, dapat kita lihat rentangan tingkat pengalaman  dari yang
bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol komunikasi, yang merentang
dari yang bersifat kongkrit ke abstrak, dan tentunya memberikan implikasi tertentu terhadap
pemilihan metode dan bahan pembelajaran, khususnya dalam pengembangan media
pembelajaran
Menurut Sardiman (1991), media pengajaran mempunyai nilai-nilai praktis, diantaranya :
1.Meletakkan dasar-dasar kongkret dari konsep yang bastrak, sehingga dapat mengurangi
pemahaman yang bersifat verbalisme
2.Menampilkan objek yang terlalu besar dan tidak memungkinkan untuk di bawa ke dalam kelas.
3.Memperlambat gearakn yang terlalu cepatdan mempercepat gerakan yang lambat.
4.Karena informasi yang diperoleh siswa berasal dari satu sumber serta dalam situasi dan kondisi
yang sama, maka dimungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi pada siswa.
5.Membangkitkan motivasi belajar siswa
6.Dapat mengontrol dan mengatur tempo belajar siswa
7.Memungkinkan siswa berinteraksi secara langsung dengan lingkungan sumber belajar
8.Bahan pelajaran dapat diulang sesuai dengan kebutuhan dan atau dsimpan untuk digunakan
pada saat yang lain.
9.Memungkinkan menampilkan objek yang langka
10.Menampilkan objek yang sulit diamati oleh mata telanjang
Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, (1985) adalah :
1.Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar
2.Pembelajaran dapat lebih menarik
3.Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
4.Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek
5.Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
6.Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan
7.Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
8.Peran guru berubahan kearah yang positif
Dari uraian di atas dapat disimpulkan betapa pentingnya media pembelajaran dalam proses
pembelajaran di sekolah, dimana media pembelajaran merupakan alat  bantu yang dapat
mempermudah proses penerimaan materi pelajaran yang disampaikan pendidik dan sudah barang
tentu akan mempermudah pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran. Hal ini dikarenakan
peserta didik (murid) akan lebih termotivasi dalam mempelajari materi bahasan.

c.Jenis-jenis Media Pembelajaran


Media cukup banyak macamnya, Raharjo (1991) menyatakan bahwa ada media yang hanya
dapat dimanfaatkan bila ada alat untuk menampilkanya. Ada pula yang penggunaannya
tergantung pada hadirnya seorang guru, tutor atau pembimbing (teacher independent). Media
yang tidak harus tergantung pada hadirnya guru lazim tersebut media instruksional dan bersifat
“Self Contained”, maknanya: informasi belajar, contoh, tugas dan latihan serta umpan balik yang
diperlakukan telah diprogramkan secara terintegrasi.
Dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Pendidikan”, Sudirman N (1991) membagi media
pembelajaran sebagai berikut :
1)Dilihat dari jenisnya, media dibagi ke dalam :
a.Media Auditif, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio,
cassette recorder.
b.Media Visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media visual ini ada
yang menampilkan gambar diam ataupun gambar bergerak.
c.Media AudioVisual, yaitu media yang mempynyai unsure suara dan unsure gambar. Jenis
media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang
pertama dan kedua. Media audiovisual ini dapat dibagi lagi ke dalam (a) audiovisual diam dan
(b) audiovisual gerak.
2)Dilihat dari daya liputnya, media dibagi ke dalam :
a)Media yang mempunyai daya liput yang luas dan serentak.
b)Media yang mempunyai daya liput yang terbatas oleh ruangan dan tempat, yaitu media yang
dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus.
c)Media untuk pengajaran individual seperti modul berprogram dan pengajaran melalui
computer.
3)Dilihat dari bahan dan pembuatannya, media dibagi ke dalam :
a)Media yang sederhana, yaitu media yang bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya
murah, cara pembuatannya mudah dan penggunaannya yang tidak sulit
b)Media yang kompleks, yaitu media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta
mahal harganya, sulit membuatnya dan penggunaannya memerlukan keterampilan yang
memadai.
Dari urian di atas, dapat disimpulkan pentingnya media dalam proses pembelajaran di sekolah.
Media pembelajaran merupakan alat bantu yang dapat mempermudah proses penerimaan materi
pelajaran yang disampaikan pendidik dan sudah barang tentu akan mempermudah pencapaian
keberhasilan tujuan pembelajaran. Hal dikarenakan perserta didik akan lebih termotivasi dalam
mempelajari materi bahasan.
Namun walau bagaimanapun, sebaik apapun media pembelajaran yang digunakan, tetap
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, dan tidak bisa menggantikan peran
guru seutuhnya. Artinya, media tanpa guru adalah suatu hal yang mustahil dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran, dan peranan guru masih tetap diperlukan sekalipun media telah
merangkum semua bahan pembelajaran yang diperlukan siswa.
Pengertian pembaharuan dan pendidikan ips

I. Pendahuluan
Pendidikan IPS (Social Studies) menurut Mayhood dkk., (1991: 10), adalah “The Social Studies are
comprissed of those aspests of history, geography, and pilosophy which in practice are selected for
instructional purposes in schools and collegs” National Council for the Social Studies (NCCS) memberikan
definisi yang lebih tegas, seperti yang dikutip Catur (2004), bahwa IPS sebagai “the study of political,
economic, culturals, and environment aspects of societies in the past, present and future”
Perkembangan Pendidikan IPS di AS sangat gencar pasca Perang Dunia I, ketika integrasi nasional
diperlukan sebagai benteng melemahnya kebudayaan Anglo-Saxon sebagai identitas peradaban mereka.
Sementara di Indonesia istilah IPS sendiri baru muncul sekitar tahun 1975-1976, pada saat penyusunan
pendidikan PSP, label untuk mata pelajaran Sejarah, Ekonomi, geografi dan mata pelajaran lainnya pada
tingkat dasar dan menengah. (Noman, 2001:101).
Noman Somantri memberikan penjelasan PIPS adalah suatu synthetic discipline yang berusaha untuk
mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis untuk
tujuan pendidikan. Makna synthetic discipline, bahwa PIPS bukan sekedar mensistesiskan konsep-
konsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mengkorelasikan
dengan masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Secara lebih tegas, bahwa
Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan, yaitu; Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; Sebagai ilmu yang
konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; Sebagai ilmu yang menyerap bahan
pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif.
Sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan di atas, perlu dilakukan bangunan kurikulum yang kuat.
Berbagai diskursus dan kebijakan pengembangan kurikulum PIPS telah dilakukan pada setiap era. Upaya
yang paling akhir adalah dengan pengembangan mata pelajaran IPS dalam kurikulum yang terintegrasi
untuk pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP), dimana pada masa sebelumnya PIPS hanya
dikenal di pendidikan dasar. Makalah ini akan mengkaji bagaimana dinamika pengembangan kurikulum
PIPS pada pendidikan dasar dan menengah.

II. Pendidikan IPS pada Pendidikan Dasar dan Menegah


Istilah Pendidikan IPS telah lama kita kenal dalam mata pelajaran di pendidikan dasar (SD). Pendidikan
IPS untuk pendidikan dasar dan menengah sumber bahannya adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti
yang disajikan pada tingkat universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan, kematangan
jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan, diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi
untuk tujuan institusional Dikdasmen (Saidihardjo, 1997). Pendidikan IPS di SD telah mengintegrasikan
bahan pelajaran dalam satu bidang studi. Hingga sekarang, bahwa buku-buku IPS untuk SD telah
memasukkan setidaknya lima sub bidang studi, yakni Sejarah, Geografi, Politik, Hukum, dan Ekonomi.
Guru-guru mata pelajaran di SD-pun telah disiapkan secara khusus, seperti SPG, dan PGSD (untuk saat
ini). Paradigma pengembangan guru SD memang untuk bisa mengajar seluruh bidang studi, keculai
Agama dan Penjaskes.
Menurut Noman Sumantri bahwa tujuan Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah :
1. Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan, moral, ideologi negara dan agama.
2. Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
3. Menekankan reflective inquiry
PIPS menurut NCCS mempunyai tujuan informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai
dan tingkah laku (attitude and values), dan tujuan ketrampilan (skill): sosial, bekerja dan belajar, kerja
kelompok, dan ketrampilan intelektual (Jarolimelc, 1986:5-8). Berdasarkan pengertian dan tujuan
pendidikan IPS tersebut, maka kurikulum Pendidikan IPS harus memuat bahan pelajaran yang sesuai
dengan tujuan institusional dan tujuan pendidikan nasional. Di dalamnya hendaknya berisikan bahan
yang memungkinkan siswa untuk berfikir kritis. Dengan demikian, bahwa kurikulum pendidikan IPS
harus memperhatikan pengembangan akal siswa. Pendidikan IPS harus membuat struktur keilmuan
yang kuat, menyesuaikan tingkat keberadaan siswa. Walaupun demikian, kurikulum harus tetap terbuka
untuk masuknya bahan kenyataan hidup seperti model perilaku manusia yang dialami lewat ; a) proses
keyakinan agama, b)keyakinakan pada dasar negara , c)proses pengaruh produksi estetika, d)proses
pengalaman sejarah, e)proses pengalaman logika, f)proses pengalaman dari tantangan ekonomi, sains,
dan teknologi.
Pasal 37 UU SISDIKNAS tahun 2003 mengamanatkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah
wajib memuat IPS yang merupakan ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan sebagainya, yang
dimaksud untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik
terhadap kondisi sosial masyarakat. Sebagai implikasi dari maksud dan tujuan PIPS, maka kurikulum
Pendidikan IPS hendaknya berisikan garis-garis besar struktur disiplin ilmu dan model perilaku manusia
yang tumbuh dalam masyarakat, sehingga isi kurikulumnya akan terdiri atas (Noman Sumantri, 2001:45-
46):
1. Model inquiry, masing-masing disipliln ilmu yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan pokok dan
metode research setiap disipliln ilmu-ilmu sosial, psikologi dan agama.
2. Batang tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang terdiri atas beberapa konsep. Konsep-konsep
psikologi, fulsafat dan agama akan sangat berguna untuk menghidupkan dan memperkuan kurikulum
PIPS.
3. Generalisasi, dari konsep-konsep dalam butir 2 tersebut, hendaknya meningkat kesukarannya dalam
bentuk generalisasi.
Martorella (1994: 48-49) menekankan 9 kategori yang harus dimasukan dalam kurikulum IPS pendidikan
dasar , yakni ; expressing, producing, transform, communicating, educating, recreating, protecting,
governing, dan creating. Di Amerika kurikulum PIPS untuk pendidikan dasar dan menengah telah
memasukan beberapa permasalahan yang sederhana mulai dari rumah, komunitas, hingga negara dan
dunia. Pendidikan IPS bukan sekedar bertujuan membuat siswa berperilaku atau menjadi warga negara
yang baik, tetapi sekaligus menjadi warga negara yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan
yang ada, sesuai dengan tingkatannya.
Implimentasi kurikulum dalam pendidikan dasar, bahwa secara ideal PIPS mampu ‘membentuk‘ siswa
yang baik dan mampu berfikir secara cerdas, Maksudnya bahwa siswa mampu menyeleksi,
mengadaptasi, mengabsorbsi, dan mengaplikasikan nilai-nilai yang ada dalam agama, kebudayaan,
negara, dan negara-negara lain. Selain itu bahwa siswa mampu menyelesaikan permalasahan-
permasalahan sosial sederhana yang mereka hadapi, disamping permasalahan-permasalahan akademis.
Dalam pembelajaran, bukan meletakkan kemampuan kognitif sebagai tujuan pembelajaran, tetapi
melakukan keseimbangan dengan afektif dan psikomotorik. Konsekuensinya, bahwa dalam
pembelajaran guru harus mampu mengajak siswa memasuki berbagai pengalaman baik nyata maupun
imajinasi (melalui media).
Pendidikan IPS dapat berorientasi pada pendekatan monodisipliner serta inter- dan trans-disipliner,
Pendidikan Ekonomi, Geografi, dan Pendidikan Sejarah merupakan contoh pendekatan monodisipliner,
sedangkan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai contoh Pendekatan trans-
disipliner. Kurikulum Pendidikan IPS pada pendidikan dasar jauh dari orientasi pendekatan mono-
disipliner.

III. Beberapa Permasalahan PIPS pada Pendidikan Dasar dan Menegah


a. Permasalahan PIPS Pendidikan Dasar
Pengembangan kurikulum PIPS untuk sekolah dasar telah cukup lama dikembangkan. Format sistemnya
lebih matang dibandingkan kurikulum PIPS untuk tingkat SMP. Hanya saja masih terdapat beberapa
permasalahan kurikulum PIPS di SD, diantaranya adalah; Pertama, bahwa pendekatan proses yang
menjadi salah satu acuan kurikulum PIPS di SD masih kering. Terutama untuk SD-SD yang sangat jauh
komunikasinya dengan sekolah-sekolah lainnya, pelaksanaan kurikulum kadang stagnan (jalan di
tempat). Hal ini mengingat besarnya jumlah SD yang jauh dari jangkauan komunikasi ideal.
Kedua, bahwa persepsi PIPS sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting, atau kadang disepelekan
karena terlalu mudah, menggiring pembelajaran IPS hanya menekankan aspek kognitif. Aspek afektif
dan psikomotorik jarang dibuat parameter secara lebih tegas. Ketiga, bahwa pembelajaran IPS pada
tingkat SD belum begitu besar peranannya secara realita sebagai problem solving dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Permasalahan Kurikulum PIPS pada Pendidikan Menengah
Untuk waktu ke depan, terdapat karakteristik yang membedakan PIPS pada siswa SMP dan SMA. Pada
masa sebelumnya, bahwa di SMP mata pelajaran IPS masih bersifat mono-disipliner, di mana terdapat
mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi, seperti halnya di SMA, maka untuk waktu ke depan
kurikulum PIPS untuk SMP telah menyatukan seluruh ilmu-ilmu sosial dalam mata pelajaran IPS.
Kurikulum Berbasis Kompetensi telah menyusun mata pelajaran IPS SMP dalam satu bidang studi.
Namun demikian masih terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan konsep dan implementasi
kurikulum IPS untuk SMP. Pertama, bahwa walaupun kurikulum IPS tersusun secara integral, tetapi
belum menonjolkan sebagai sebuah pendekatan inter- dan transdisiplin. Fenomena ini kadang terjadi
‘penerjemahan’ yang berbeda antar guru. Kedua, sulitnya membuat kelas berkolaborasi, terutama
koordinasi waktu dan tenaga, sehingga guru akan memilih pembelajaran separated, sesuai dengan
bidang studinya sendiri-sendiri. Ketiga, bahwa pendekatan trans- dan inter-disiplin PIPS di SMP
dikhawatirkan hanya sebagai formalitas kurikulum, yang hanya terlihat dalam pelaporan dan penilaian
akhir yang menggabungkan tiga bidang studi. Keempat, rendahnya motovasi guru untuk melakukan
perubahan dan pembaharuan dalam pengajaran, sehingga mereka cenderung monoton melakukan yang
biasanya mereka lakukan. Implikasinya bahwa IPS menjadi mata pelajaran yang kurang diminati, atau
disukai karena terkesan sebagai mata pelajaran hapalan.
Kurikulum PIPS di SMA telah menerapkan konsep kurikulum monodisiplin, kecuali PKN. Untuk sekolah
yang melakukan penjurusan IPA dan IPS, bahkan telah memasukkan beberapa mata pelajaran seperti
Ilmu Politik, Hukum, dan Tata Negara. Kurikulum IPS untuk SMA memang sudah mempersiapkan siswa
untuk menjadi akademisi. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan
kurikulum PIPS di SMA. Pertama, terjadinya perbedaan antara SMA-SMA umum dan SMK, sementara
belum terdapat konsep PIPS yang mantap. Kedua, bahwa PIPS di SMA/SMK masih mengedepankan
aspek kognitif, fenomena ini berangkat dari munculnya pragmatisme pendidikan.
Ketiga, bahwa munculnya penjurusan IPA dan IPS di SMA ternyata tidak berpengaruh signifikan dalam
pembelajaran IPS di perguruan tinggi. Bahkan sering lulusan IPA mempunyai kelebihan-kelebihan di PT
ketika mereka masuk jurusan ilmu-ilmu sosial. Keempat, bahwa PIPS di SMA/SMK belum mampu secara
signifikan menjadi pegangan problem solver para siswa.

IV. Orientasi Kurikulum PIPS


Berkaitan dengan berbagai permasalahan kurikulum PIPS pada Dikdasmen, maka perlu diperhatikan
beberapa rekomendaso untuk penyempurnaan kurikulum. Pertama, bahwa kurikulum PIPS Dikdasmen
harus mengacu pada kebutuhan saat ini dan jauh yang akan datang. Siswa harus diajak untuk menjadi
problem solver masalah-masalah masa kini, dan antisipatif pada permasalahan-permasalahan
mendatang. Seperti dalam bukunya Jamus A Beane (1986) Curriculum Planing and Development, yang
menekankan perlunya membuat estimasi fenomena yang akan datang, dengan berpijak pada fenomena
masa lalu dan saat ini.
Kedua, bahwa eksistensi PIPS Dikdasmen tidak terlepas dari PTK, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu
perlu membuat jaringan yang sinergis guna membangun kurikulum yang fleksibel. Optimalisasi
kurikulum IPS Berbasis Sekolah perlu dikembangkan sebagai salah satu jawaban fenomena ini. Ketiga,
perubahan kurikulum IPS tidak dilakukan secara tambal sulam, melainkan lebih bersifat holistik
interdisipliner, dan berorientasi pada ‘functional knowledge’ dan aspirasi kebudayaan Indonesia dan
nilai-nilai agama.

V. Kesimpulan
Pengembangan kurikulum PIPS untuk Dikdasmen masaih menghadapi berbagai kendala, baik berkaitan
dengan jati diri PIPS maupun dalam tahap implementasi. Secara intern, bahwa bangunan PIPS sebagai
synthetic discipline yang berusaha mengorganisasikan dan mengembangkan sumbstansi ilmu-ilmu sosial
secara ilmiah dan psikologis masih menghadapi kendala pengintegrasiannya. Secara ekstern, bahwa
muncul masalah-masalah di lapangan entah berkaitan dengan pelaksana, sarana dan prasarana, maupun
subjek pembelajaran. Dengan demikian, perlu dilakukan kerjasama secara sinergis dari berbagai
komponen pendidikan, pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan idealita tujuan PIPS.

DAFTAR PUSTAKA

Barth, James L, Methods of Instruction in Social Studies Education, University Press of America, New
York.

E Mulyasa, (2004), Implementasi Kurikulum 2004,, Rosda Bandung

------------, (2004), KBK Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Rosda, Bandung.

James A Beane, Dkk, (1986), Curriculum Planning and Development, Allyn and Bacon inc., Toronto.

Jarolimek, John, (1982), Social Studies in Elementary Education, Mav Millan, London

Martorella, Peret H. (1994), Social Studies for Elementary School Children, Mac Millan, New York

M. Numan Somantri, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Rosda, Bandung

N. Daljoeni, (992), Dasar-dasar IPS, Alumni, Bandung

Noeng Muhadjir, 200, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta

S. Nasution, (2003), Asas-Asas Kurikulum, Bumi Aksara, Jakarta

Mahood, Wayne, et.al., (1991), Teaching Social Studies in Middle and Senior High Schools, Macmillan,
Toronto.

PARADIGMA PENDIDIKAN IPS

Konsep dan Rasional “Social Studies” Secara Umum


1. Dalam wacana kurikulum sistem Pendidikan di Indonesia terdapat tiga jenis
program pendidikan sosial, yakin: program (pendidikan) ilmu-ilmu sosial (IIS)
yang dibina pada fakultas-fakultas sosial murni; disiplin ilmu pengetahuan sosial
(PDPIS) yang dibina pada fakultas-fakultas pendidikan ilmu sosial: dan pendidikan
ilmu pengetahuan sosial (PIPS) yang diberikan terutama di dalam pendidikan
persekolahan

2. Perkembangan PIPS dan PDIPS secara konseptual terkait erat pada konsep “social
studies” secara umum, dan secara kurikuler terkait erat pada perkembangan PIPS
dalam dunia persekolahan. Oleh karena itu untuk melihat bagaimana karakteristik
dan perkembangan PDIPS perlu dikaitkan dengan konsep, dan perkembangan
“social studies” dan konsep serta perkembangan PIPS dalam dunia persekolahan.

3. Konsep “social studies” secara umum berkembang secara evolusioner di Amerika


Serikat sejak tahun 1800-an, yang kemudian mengkristal menjadi domain
pengkajian akademik pada tahun 1900-an, antara lain dengan berdirinya National
Council for the Social Studies (NCSS) pada tahun 1935. Pilar akademik pertama
muncul dalam pertemuan pertama NCSS tahun 1935, berupa kesepakatan untuk
menempatkan “social studies” sebagai “core curriculum”, dan pada tahun 1937
berupa kesepakatan mengenai pengertian “social studies” yang berawal dari
pandangan Edgar Bruce Wesley, yakni “The social studies are the social. sciences
simplified for pedagogical purposes”.

4. Dari penelusuran historis epistemologis, tercatat bahwa dalam kurun waktu 40


tahunan sejak tahun 1935 bidang studi “social studies” mengalami perkembangan
yang ditandai dengan ketakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan
ketakmajuan. Antara tahun 1940-1950 “social studies” mendapat serangan dari
berbagai sudut; tahun. 1960-1970-an timbulnya tarik-menarik antara pendukung
gerakan the new social studies yang dimotori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu
sosial dengan gerakan “social studies” yang menekankan pada “citizenship
education”. Para pendukung gerakan “the new social studies” kemudian
mendirikan Social Science Education Consortium (SSEC). Sedangkan NCSS terus
mengembangkan gerakan “social studies” yang terpisah pada “citizenship
education”

5. Pada era 1980-1990-an NCSS kelompok berhasil, menyepakati “scope and sequence
of social studies”, yakni tahun 1963; kemudian pada tahun 1989 berhasil disepakati
konsep “social studies” untuk abad ke 21 yang dituangkan dalam “Charting A
Course: Social Studies for the 21st Century”, dan terakhir pada tahun 1994
disepakati “Curriculum Standards for Social Studies”. Dalam perkembangan
terakhir itu NCSS masih tetap menempatkan “citizenship education” sebagai inti
dari tujuan “social studies”. Sementara itu pada kelompok SSEC, kelompok bidang
studi ekonomi mengembangkan secara tersendiri “economics education”.

Paradigma Pendidikan IPS Indonesia

Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh


pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki
pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi
tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat
disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National
Council for the Social Studies (NCSS).

Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada
tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum
tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan negara yang di dalamnya tercakup
Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan
Kewargaan Negara.

Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan
Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk
pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan
IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang
menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft,
sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup
mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi
untuk SPG.

Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam
Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai
dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi
“citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan.
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.

Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini
pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan
yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora,
yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya
merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis
dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan.
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.

Anda mungkin juga menyukai