Ketentuan Pasal 12 ayat (2) COW tidak dapat dibatalkan atau diubah
dengan peraturan perundang-undangan mengenai Bea Masuk dan PPN
selama dalam jangka waktu 18 tahun tersebut. Keberadaan suatu
peraturan perundang-undangan baru tidak serta merta dapat
membatalkan atau mengubah isi dari Kontrak Karya.
Di dalam pasal 12 ayat (2) COW terdapat ketentuan:
Dan jelas, sebelum masuk kepada pasal 13.6, pada pasal 12.2 sudah
dinyatakan dengan jelas bahwa dalam bea masuk dan PPN PT FI
mendapatkan fasilitas yang dijanjikan oleh pemerintah berupa
pembebasan bea masuk dan Fasilitas PPN berupa full relief dan
postponement.
Jelas Pasal 12 (2) adalah dasar hukum pemberian fasilitas khusus atas
bea masuk serta pembebasan bea masuk (“import duties”) serta
Penundaan (“Postponement”) dan Pembebasan (“Full Relief”) dari
Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) selama 18 tahun seperti yang sudah
dijelaskan di atas.
Dengan adanya pasal 12 (2) ini maka berlaku asas hukum lex specialis
derogate lex generalis
Kantor Pajak menafsirkan bahwa fasilitas PPN sebagaimana ketentuan Pasal
12 ayat 2 CoW dapat diberikan kepada PTFI hanya jika terdapat peraturan
yang berlaku dari waktu ke waktu mengenai pemberian fasilitas PPN
tersebut; dan karenanya berkeinginan mengenakan kewajiban dan formalitas
PPN terhadap PTFI berdasarkan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku
selama jangka waktu 18 tahun tersebut. PTFI memiliki pemahaman bahwa
fasilitas PPN termaksud bersifat nail down atau tidak dipengaruhi oleh
peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu selama jangka waktu 18 tahun,
pemahaman mana sama dengan pemahaman Kementerian ESDM dan BKPM;
dan karenanya tidak dapat dikenakan kewajiban dan formalitas PPN untuk
jangka waktu 18 tahun tersebut sebagaimana penafsiran Kantor Pajak.
Apakah perbedaan penafsiran/pemahaman antara Kantor Pajak dan PTFI
tersebut merupakan permasalahan hukum (kontrak) atau permasalahan
perpajakan?
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa ketentuan Pasal 12 (2) adalah
pemberian hak fasilitas kepada PT FI yang diberikan oleh Pemerintah RI.
Pemerintah RI berkewajiban untuk melakukan pemenuhan hak
(prestasi) tersebut dengan mengeluarkan dasar hukum pemberian fasilitas
istimewa terhadap PT FI.
Oleh karena itu, untuk “menjamin” pemenuhan prestasi, oleh karena itu
diberlakukan prinsip “nail down” dalam suatu peraturan dimana bahwa apa
yang diperjanjikan tidak akan begitu saja terpengaruh oleh perubahan suatu
peraturan hukum RI. (“otherwise payable as provided by the law and
regulations from time to time effect)
Prinsip dasar pasal ini haruslah dilihat sebagai “nail down”, karena prinsip
tersebut yang memberikan ketenangan dalam berinvestasi tanpa harus takut
terpengaruh oleh situasi yang tidak pasti akibat perubahan-perubahan
peraturan.
Bahwa karena tidak dikenalnya istilah keringanan penuh (full relief) dalam
sistem hukum Indonesia menjadi dasar argumentasi oleh karena itu pasal
12.2 Kontrak Karya tidak dapat dilaksanakan.
Dalam Pasal 12.2 jelas yang berkewajiban melakukan prestasi dalam kontrak
karya ini adalah Pemerintah RI. Oleh karena itu pemerintah RI melalui
Keputusan Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM mengeluarkan
produk-produk hukum berupa keputusan-keputusan (vide kronologi putusan).
Begitu juga dengan BKPM, juga berhak menafsirkan perjanjian ini karena
mempunyai kewenangan lewat Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Akan tetapi dalam menafsirkan suatu perjanjian juga harus dilihat aspek
historis yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari sudut pandang penafsiran
secara Historis, haruslah dilihat apa yang menjadi semangat dari pemberian
fasilitas tersebut dalam kontrak karya. Semangat pemberian fasilitas tersebut
adalah pemberian kemudahan kepada investor, dalam hal ini PT FI, pada
saat ditandatanganinya perjanjian (1991) oleh pemerintah RI melalui
Kementerian Pertambangan pada saat itu.
Termasuk juga masalah “istilah” yang tidak dikenal di dalam kontrak tersebut
seperti yang didalilkan DJP. Dalam hal ini, penafsiran secara gramatikal
mutlak diperlukan karena kontrak tersebut dibuat secara Bi-Lingual dan jelas
di dalam pasal 32 Kontrak Karya disebutkan terjemahan yang diutamakan
adalah terjemahasan berbahasa Inggris. Istilah-istilah teknis hukum pun
haruslah dilihat secara kontekstual gramatikal berdasarkan asal kata dan
maksud kontrak tersebut.
Bahwa fasilitas seperti Full Relief (Tax Exemption) dan Posponement adalah
istilah yang memang biasa dipakai di sistem hukum Amerika Serikat (AS).
Istilah tersebut dinyatakan dalam Economic Growth and Tax Relief
Reconciliation Act AS.
Oleh karena itu menjadi jelas, bahwa kelalaian pemenuhan prestasi oleh
pemerintah RI dalam bentuk ketiadaan alas hukum tidak dapat menjadi
alasan untuk meniadakan klausul perjanjian kontrak karya.
Pasal 12
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak
Oleh karena itu, jalur formal untuk “menyamakan” penafsiran selain mediasi
antara para pihak adalah melalui Badan peradilan perdata yang ada, baik itu
melalui pengadilan umum maupun jalur arbitrase, untuk mencegah hal ini
masuk lebih jauh kepada sengketa pajak.