Anda di halaman 1dari 4

TALKSHOW “STOP EKSPLOITASI ANAK”

Nama pembicara adalah Linda Amalia Sari, S.IP (Mentri Pemberdayaan Wanita dan
Perlindungan Anak) yang diwakili oleh Ibu Sri Haryatie (Asisten Staff Ahli Deputi
4 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Arist
Merdeka Siraid (Sekretraris Komnas Perlindungan Anak), dan Dra. Dani
Krisnawati, S.H, M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM).

Dalam talk show ini diangkat beberapa isu mengenai perlindungan anak, seperti anak
yang berhadapan dengan hukum, perlindungan anak, dan peran pemerintah.

1. Anak Berhadapan dengan Hukum

Tidak jarang kita temui dalam media petelevisian maupun cetak, bahwa kondisi
penegakan hukum terhadap anak-anak memunculkan banyak pertanyaan besar.
Apakah memang hukum di Indonesia dalam memperlakukan anak-anak dihadapan
hukum selalu harus menemui sanksi berupa pidana? Banyak pula yang tidak diketahui
masyarakat awam mengenai hak-hak yang seharusnya diperoleh anak dalam
berhadapan dengan hukum (pengadilan).

Bahwa anak-anak yang dihadapkan pada hukum, seharusnya memperoleh


bantuan hukum berupa pendampingan dari pengacara (kuasa hukum). Namun,
kasus kejahatan atau pelanggaran oleh anak-anak mayoritas terjadi di tataran
masyarakat menengah ke bawah atau kurang mampu, sehingga mereka berpikir tidak
memiliki biaya yang cukup untuk membayar jasa pengacara atau sebaliknya banyak
pengacara yang tidak concern dengan kasus anak-anak karena tidak menguntungkan.
Salah satu hak lain yang harusnya diketahui oleh masyarakat luas adalah bahwa
ketika anak berhadapan dengan hukum, maka orang tua harus selalu
diikutsertakan, agar anak tidak merasa tertekan dan orang tua juga dapat mengawasi
jalannya penyidikan oleh aparat penegak hukum.
Hal menarik lainnya dalam penegakan hukum terhadap anak di Indonesia adalah
masih banyaknya hakim yang menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap
anak-anak. Bukan berarti putusan pemidanaan selalu salah dan harus dihapuskan,
tetapi sanksi pidana memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masa depan anak
sehingga seharusnya dijadikan langkah paling akhir dan hanya ke dalam kasus-kasus
yang berat saja. Apalagi bila mengingat belum banyaknya lapas anak sehingga anak-
anak akan disatukan bersama lapas dewasa, dikhawatirkan pidana penjara justru akan
menjadi tempat penganiayaan anak dan membuat anak semakin jauh melakukan
kriminalitas ketika dewasa karena sifat alamiah anak adalah meniru perilaku orang-
orang disekitarnya (di Yogyakarta sendiri, belum ada lapas khusus anak).
Dari penelitian-penelitian yang ada, ditemukan bahwa para hakim hingga saat ini
masih “gemar” memutus pidana penjara kepada kasus-kasus pelanggaran terhadap
anak hanya karena anak tersebut telah melalui proses penahanan di tingkat
penyidikan. Padahal Undang-Undang Perlindungan Anak maupun UU Pengadilan
Anak lebih mengisyaratkan kepada pemberian sanksi yang lebih humanis dengan
memberikan alternatif pilihan putusan selain pidana penjara, seperti pengawasan dan
pidana bersyarat dimana anak-anak tidak perlu menjalani hukuman di dalam jeruji
besi melainkan tetap beraktivitas sebagaimana biasa dengan pengawasan dan
monitoring oleh jaksa pelaksana. Namun, ironisnya peraturan lebih lanjut
mengenai bagaimana pelaksanaan putusan pengawasan ini belum ada atau
belum dibuat. Ini membuat cita-cita atau amanah UU Perlindungan Anak menjadi
impian belaka tanpa bisa diwujudkan.

2. Perlindungan Terhadap Anak

Apa yang dimaksud dengan anak? Anak memperoleh banyak penafsiran dalam
Undang-Undang. Umur anak dalam UU Perkawinan dan UU Ketenagakerjaan
berbeda karena melihat dari kepentingan UU itu sendiri. Namun, dalam UU
Perlindungan Anak, anak-anak adalah mereka yang berumur 18 tahun ke bawah
sampai dengan janin dalam kandungan. Melihat dari ketentuan tersebut, maka 78%
populasi Indonesia adalah anak-anak yang harus dilindungi oleh orang tuanya dan
lingkungan sekitar. Namun, dari pantauan dan pelaporan yang sampai pada Komnas
Anak, ditemukan bahwa kekerasan yang diperoleh anak-anak adalah sebanyak 68%
mengalami kekerasan seksual yang diterima dari orang-orang terdekatnya, sementara
pada kasus penelantaran mayoritas justru datang dari kalangan atas atau kalangan
elite. Hak-hak anak yang seharusnya diperoleh tanpa diskriminasi adalah: hak paling
dasar yaitu hak untuk hidup, dimana di dalamnya mencakup hak untuk tumbuh dan
berkembang dengan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hanya saja,
dalam praktek hal ini sangat sulit untuk dipantau dan ada saja rumah sakit yang
melakukan penyanderaan terhadap anak karena ketidakmampuan orang tua dalam
membayar biaya rumah sakit. Dalam kondisi seperti inilah, diperlukan kerjasama
LSM anak dan peran Komnas Anak dibutuhkan.

Perlindungan Anak mencakup perlindungan dari kekerasan fisik dan psikis.


Kekerasan fisik termasuk ke dalamnya adalah kekerasan seksual yang diancam pidana
penjara 15 tahun oleh UU Perlindungan Anak. Sementara, ancaman untuk kekerasan
psikis berkisar 3 tahun penjara.

3. Peran Pemerintah (Kementrian PP dan PA) sebagai Pembuat Kebijakan

Diakui oleh kemetrian, bahwa sosialisasi kebijakan dalam hal perlindungan anak
belumlah maksimal dikarenakan tidak dapat menembus pada tataran paling bawah.
Selain itu, karena tugas kementrian tidak mengkhususkan pada bidang tertentu dalam
kaitannya dengan anak, oleh karena itu bentuk penanganan yang dilakukan oleh
kementrian bukanlah penanganan lapangan. Kementerian dibantu dan berkoordinasi
dengan Lembaga Masyarakat seperti KPAI yang melakukan pengawasan terhadap
bidang perlindungan anak juga dalam kaitannya dengan daerah maka berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah. Kemudian, dalam hal kasus traficking, kemerntrian
bekerja sama melakukan kesepakatan dengan gubernur-gubernur untuk memutus
rantai traficking. Sementara dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum,
kementrian bekerja sama dengan kementrian kesehatan dan pendidikan untuk
melindungi hak pendidikan dan kesehatan anak-anak yang berada di lapas, serta
melakukan sosialisasi mengenai paradigma masyarakat mengenai lapas anak bahwa
lapas anak bukanlah tempat menghukum melainkan pembinaan.

*Di Yogyakarta sendiri kepanjangan pemerintah ada pada Badan Pemberdayaan


Perempuan dan Masyarakat. Selain itu, ada lembaga tempat pengaduan isu wanita dan
anak ke Pusat Studi Wanita di UGM
SASARAN PESERTA
Mahasiswa Se-DIY, Civitas akademika UGM, LSM Anak, Pemerintah Daerah dan
Pusat, dan Masyarakat umum yang cinta Indonesia.

TUJUAN
Dengan menyelenggarakan diskusi ini diharapkan akan tercapai beberapa hal, antara
lain:

1. Membangkitkan rasa peduli dan mengingatkan Masyarakat bahwa hak hak anak
banyak yang telah dilanggar

2. Mempertanyakan pemerintah mengenai implementasi hukum dan nasib anak anak


yang terlantar, tereksploitasi dan teraniaya. Membangun mekanisme control
pengawasan yang dilakukan baik oleh mahasiswa, LSM maupun masyarakat untuk
memastikan implementasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berjalan dengan
baik dan benar.

TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN


Hari : Sabtu, 11 Desember 2010
Waktu : 08.00 – 12.00 WIB
Tempat : Ruang Multimedia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai