Anda di halaman 1dari 23

 PEMILIHAN LOKASI

Pemilihan lokasi pada dasarnya adalah menentukan suatu


tempat atau lokasi yang tepat untuk suatu perisahaan atau
perkantoran atau lokasi untuk tujuan tertentu, dengan
memperhitungkan kelebihan dan kekurangan lokasi
tersebut. Dalam pemilihan lokasi kita akan membandingkan
suatu lokasi dengan lokasi lainnya, berdasarkan nilai break
even point lokasi tersebut.

PERENCANAAN TATA LETAK PABRIK (PTLP)

Dalam PTLP ini pada dasarnya akan meupakan proses


pengurutan dari suatu perencanaan tata letak yang
sistematis. Urutan proses tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Pemilihan Lokasi
2. Opeation Process Chart (OPC)
3. Routing Sheet
4. Multi Product Process Chart (MPPC)
5. Menentukan Gudang
6. Ongkos Material Handling (OMH)
7. From To Chart (FTC)
8. Outflow, Inflow
9. Tabel Skala Prioritas (TSP)
10. Activity Relationship Diagram (ARD)
11. Activity Relationship Chart (ARC)
12. Area Alocation Diagram (AAD)
13. Template

 PEMILIHAN LOKASI
Pemilihan lokasi pada dasarnya adalah menentukan suatu
tempat atau lokasi yang tepat untuk suatu perisahaan atau
perkantoran atau lokasi untuk tujuan tertentu, dengan
memperhitungkan kelebihan dan kekurangan lokasi
tersebut. Dalam pemilihan lokasi kita akan membandingkan
suatu lokasi dengan lokasi lainnya, berdasarkan nilai break
even point lokasi tersebut.

Contoh :

Sebuah perusahaan akan mendirikan pabrik baru dengan


calon lokasi didirikan di Bandung, Cirebon, dan Bogor
dengan data sebagai berikut :

Bandung Cirebon Bogor


Pajak / th 1.000.000 500.000 1.200.000
Listrik / th 2.000.000 1.500.000 2.100.000
Ongkos buruh / unit 1.000 1.200 850
Ongkos operasi / unit 3.000 3.500 2.000
Kapasitas produksi = 1000 unit / th

Penyelesaian :

Penjualan = Fixed Cost + Variable Cost + Profit


BEP tercapai pada profit = 0
Maka BEP = Fixed Cost + Variable Cost

Bandung Cirebon Bogor


Listrik/th 1.000.000 500.000 1.200.000
FC Pajak/th 2.000.000 1.500.000 2.100.000
Jumlah 3.000.000 2.000.000 3.300.000

Ongkos buruh/unit 1.000 1.200 850


VC Ongkos operasi/unit 3.000 3.500 2.000
Juml ah 4.000 4.700 2.850
Jika dianggap sebagai persamaan linear, maka :

BEP = FC + VC (X) X = produksi

Bandung = 3.000.000 + 4.000 (1000) = 7.000.000


Cirebon = 2.000.000 + 4.700 (1000) = 6.700.000
Bogor = 3.300.000 + 2.850 (1000) = 6.150.000 *

Maka kita pilih lokasi Bogor


 OPERATION PROCESS CHART (OPC)
OPC adalah suatu diagram yang menggambarkan langkah-
langkah proses yang dialami oleh bahan baku yag meliputi
urutan proses operasi dan pemeriksaan. Pembuatan OPC
ini merupakan tahap pertama dalam urutan untuk
merencanakan tata letak pabrik.

Pada OPC ini berisi informasi mengenai :

1. Deskripsi proses bagi setiap kegiatan/aktivitas


2. Waktu penyelesaian masing-masing kegiatan
3. Peralatan/mesin yang digunakan
4. Persentase scrap dari aktivitas

 ROUTING SHEET
Langkah selanjutnya dalam merencanakan tata letak pabrik
adalah pembuatan routing sheet.
Routing sheet ini digunakan untuk :
1. Menghitung jumlah mesin yang diperlukan
2. Menghitung jumlah part yang harus dipersiapkan dalam
usaha memperoleh sejumlah produk jadi yang diinginkan.
Contoh Tabel Routing Sheet :

No. Deskripsi Msn Produk % Bahan Bahan Effisiensi Kebutuhan


Op. (alat) Msn / Scrap Diminta Dipersiap Msn mesin
jam kan Teori Aktual
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Untuk pengisian Routing Sheet :

Kolom 1 – 5 : Diisi dari OPC


Komlom 6 : Produk akhir per jam
kolom (6)
Kolom 7 : 1 − % Scrap
kolom (7)
Kolom 8 : % Effisiensi Msn
kolom (8)
Kolom 9 : kolom (4)

 MULTI PRODUCT PROCESS CHART


(MPPC)
Setelah kita memahami OPC dan Routing Sheet maka
langkah selanjutnya adalah pengisian tabel MPPC dimana
dalam pengisiannya terlebih dahulu mengetahui OPC dan
Routing Sheet .

Contoh Tabel MPPC :

Deskripsi Nomor Komponen Jumlah mesin


Peralatan 100 200 300 400 Teoritis Aktual
Receiving
Meja Pabrikasi
……………………
……………………
……………………
………

 GUDANG
Dalam hal ini gudang terbagi atas 2 bagian, yaitu gudang
untuk receiving dan shipping, dimana pada masing-masing
gudang tersebut dihitung tempat yang paling memungkinkan
dengan perhitungan pada bahan atau material yang akan
ditempatkan, ditambag dengan allowance yang diperlukan.
Dilihat dari cara penyimpanannya terdiri atas dua bagian,
yaitu rak dan tumpukan.

Tumpukan

Contoh :

Ukuran material 40 cm x 100 cm x 20 cm (P x L x T)


Material yang dibutuhkan 100 buah
Maksimum tumpukan 5 buah
Allowance 200%

Penyelesaian :

40 x 100 x 20 = 80.000 cm2


80.000 / 20 = 4.000 cm2
4.0 x 100 = 400.000 cm2
400.000 / 5 (maks. Tumpukan) = 80.000 cm2
80.000 cm2 + (80.000 x 200%) = 240.000 cm2
Luas gudang = 1.200.000 cm2

 Rak
Jika untuk ukuran material diatas dibatasi dengan ukuran
rak; Ukuran rak 80 x 200 x 100 cm
Maka :
80 x 200 x 100 = 1.600.000 cm2
1.600.000 / 80.000 = 20 unit material
maka untuk 100 unit = 100 / 20 = 5 buah rak
Luas gudang = 5 (80 x 200) = 80.000 cm2
= 80.000 + (80,000 x 200%) = 240.000 cm2

 ONGKOS MATERIAL HANDLING (OMH)


Aktivitas pemindahan bahan (material handling) merupakan
salah satu yang cukup penting untuk diperhatikan dan
diperhitungkan. Aktivitas pemindahan bahan tersebut dapat
ditentukan dengan terlebih dahulu memperhatikan aliran
bahan yang terjadi dalam operasi. Kemudian harus
diperhatikan tipe layout yang akan digunakan :

Ada beberapa tipe layout :

1. Layout by Process; Tipe layout yang diasa digunakan


dengan mengelompokkan tiap jenis mesin dalam satu
kelompok untuk melaksanakan jenis pekerjaan yang
sejenis.
2. Layout by Product; Lauout yang merupakan suatu garis
operasi yang artinya mesin disusun berdasarkan urutan
proses operasi yang diperlukan.

3. Group Layout; Merupakan penggabungan layout proses


dengan layout produk dengan cara penyelesaian suatu
operasi pada suatu departemen kemudian dilanjutkan
dengan proses berikutnya.
4. Fixed Layout; Digunakan untuk produksi barang-barang
besar, misalnya kapal laut, sehingga memungkinkan
mesin atau peralatan yang mendatangi objek produk.

Kembali pada OMH maka proses material handling ini


merupakan perhitungan ongkos yang diperlukan untuk suatu
pergerakan material dari suatu departemen ke departemen
lain.

 FROM TO CHART (FTC)


From to chart merupakan penggambaran tentang berapa
total ongkos material handling, OMH, dari suatu bagian
aktivitas menuju aktivitas yang lainnya dalam suatu pabrik.
FTC diisi berdasarkan data dari OMH.
KE A B C D JUMLAH
DARI
A Xxxxxxxx 10 20 30 60
B - Xxxxxxxx - 40 40
C - 20 Xxxxxxxx 10 10
D 20 - - Xxxxxxxx 20
JUMLAH 20 30 20 80 150

 OUTFLOW
Ialah untuk melihat koefisien ongkos yang keluar dari
suatu mesin

KE A B C D
DARI
A XXXXXX 0.25 0.6 1.5
B - XXXXXXX - 2
C - 0.5 XXXXXXX 0.5
D 0.3 - - XXXXXXX

Ongkos dari A ke B 10
Ongkos A – B = =
Ongkos yang keluar dari B 40 = 0,25
30
A–D= 20
= 1,5

 INFLOW
Ialah untuk melihat koefisien ongkos yang masuk dari ke
mesin
KE A B C D
DARI
A XXXXXX 0.33 1.0 0.37
B - XXXXXXX - 0.5
C - 0.66 XXXXXXX 0.12
D 1.0 - - XXXXXXX

Ongkos dari A ke B 10
Ongkos A – B = Ongkos yang masuk ke B 30 =
= 0,333
20
A–D= 20
= 1,0

 TABEL SKALA PRIORITAS (TSP)


TSP adalah menentukan urutan prioritas berdasarkan data
yang diperoleh dari OutFlow atau InFlow (pilih salah satu).
Untuk persoalan diatas :
Berdasarkan out flow

Prioritas I II III IV V
A D C B
B D
C B D
D A

 ACTIVITY RELATIONSHIP DIAGRAM (ARD)


ARD adalah menerapkan hasil dari TSP ke dalam suatu
diagram untuk menyusun tingkat kedekatan berdasarkan
prioritas yang telah dibuat.

Dari persoalan diatas :


 ACTIVITY RELATIONSHIP CHART (ARC)
Dalam industri pada umumnya terdapat sejumlah kegiatan
atau aktivitas yang menunjang jalannya suatu industri.
Setiap kegiatan atau aktivitas tersebut saling berhubungan
(berinteraksi) antara satu dengan lainnya, dan yang paling
penting diketahui bahwa setiap kegiatan tersebut
membutuhkan tempat untuk melaksanakannya. Aktifitas
atau kegiatan tersebut diatas dapat berupa aktivitas
produksi, administrasi, assembling, inventory, dll.

Sebagaimana diketahui diatas bahwa setiap kegiatan atau


aktifitas tersebut saling berhubungan antara satu dengan
lainnya ditinjau dari beberapa kriteria, maka dalam
perencanaan tata letak pabrik harus dilakukan
penganalisaan yang optimal.

Teknik yang digunakan sebagai alat untuk menganalisa


hubungan antar aktifitas yang ada adalah Activity
Relationship Chart.

Teknik ARC
Teknik penganalisaan menggunakan ARC dikemukakan
oleh Richard Muthe, adalah sebagai berikut :

1. Hubungan antar aktifitas ditunjukkan dengan tingkat


kepentingan hubungan antar aktifitas tersebut yang
dikonversikan dalam bentuk huruf, sebagai berikut :

No. TINGKAT KEPENTINGAN KODE WARNA


1 MUTLAK PENTING A MERAH
2 PENTING TERTENTU E KUNING
3 PENTING I HIJAU
4 BIASA O BIRU
5 TIDAK PENTING U PUTIH
6 TIDAK DIINGINKAN X COKLAT

2. Alasan untuk menyatakan tingkat kepentingan tersebut


adalah sebagai berikut :

a. Menggunakan catatan yang sama


b. Menggunakan personil yang sama
c. Menggunakan ruang yang sama
d. Tingkat hubungan personil
e. Tingkat hubungan kertas kerja
f. Urutan aliran kertas
g. Melakukan aliran kerja yang sama
h. Menggunakan peralatan dan fasilitas yang sama
i. Ribut, kotor, getaran, debu, dan lain-lain
j. Lain-lain yang mungkin perlu

Untuk mempermudah penganalisaan selanjutnya maka


hubungan antar aktivitas tersebut dibuat kedalam kertas
kerja (work sheet) yang dibuat sebagai berikut :
WORK SHEET FOR ACTIVITY RELATIONSHIP CHART
NO. ACTIVITY DEGREE OF CLOSENESS
A E I O U X
1 Rec.& Shipp. 2 - 5 3, 4, 8 6, 7 -
2 Stock Room 1, 5 - - 3, 4, 8 6, 7 -
3 Tool Rom 4, 5 - - 1, 2 6, 7, 8 -
4 Maintenance 3, 5 - - 1, 2, 8 6, 7 -
5 Production 2, 3, 4 6, 7, 8 1 - - 4
6 Locker Room - 5 7 8 1, 2, 3 -
7 Food Service - 5 6 1,2,3 3, 8 6
8 Office - 5 - -

 AREA ALOCATION DIAGRAM (AAD)


Area Alocation Diagram merupakan lanjutan dari ARC.
Dimana dalam ARC telah diketahui kesimpulan tingkat
kepentingan antar aktivitas dengan demikian berarti bahwa
ada sebagian aktivitas harus dekat dengan aktivitas yang
lainnya dan ada juga sebaliknya. Atau dapat dikatakan
bahwa hubungan antar aktivitas mempengaruhi tingkat
kedekatan antar tata letak aktivitas tersebut. Kedekatan tata
letak aktivitas tersebut ditentukan dalam bentuk Area
Alocation Diagram. Adapun dasar pertimbangan dalam
prosedur pengaloaksian area ini adalah sebagai berikut :
 Aliran produksi, material, peralatan
 ARC, informasi aliran, aliran personil, hubungan fisikal
 Tempat yang dibutuhkan
 ARD

AAD ini merupakan lanjutan penganalisaan tata letak


setelah ARC, maka sesuai dengan persoalan ARC diatas
maka dapat dibuat AAD-nya.

AAD merupakan Template secara global informasi yang


dapat dilihat hanya pemanfaatan area saja, sedangkan
gambar visualisasi secara lengkap dapat dilihat pada
template yang merupakan hasil akhir dari penganalisaan
dan perencanaan tata letak pabrik.

Gambar contoh AAD :

RECEIVING STOCK ROOM TOOL ROOM


&
SHIPPING MAINTENANCE

PRODUCTION

LOCKER ROOM

FOOD SERVICE OFFICE

 TEMPLATE
Template merupakan suatu gambaran yang telah jelas dari
tata letak pabrik yang akan dibuat dan merupakan gambaran
detail dari AAD yang telah dibuat.

Informasi yang dapat dilihat pada Template :


a. Tata letak kantor dan peralatannya
b. Tata letak pelayanan yang ada di pabrik, misalnya jalan,
kantin, sarana olah raga, dan lain-lain.
c. Tata letak bagian produksi, misalnya receiving, pabrikasi,
assembling, shipping.
d. Aliran setiap material, mulai dari receiving sampai dengan
shipping
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK
PERIKANAN BUDIDAYA
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN BAHAN/MATERIAL PRODUK PERIKANAN BUDIDAYA
DALAM MENGHADAPI PASAR GLOBAL: PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh:
irfanto
I. PENDAHULUAN
Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan
lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan/petani ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi
tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan.
Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor
produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat.
Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 %
pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan
lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula
kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut
FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.
Pasar domestik cukup kuat, dari produksi perikanan 1998 tercatat 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri
sebesar 4 juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan.
Berdasarkan PROTEKAN 2003 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998
baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan (26,55
kg/kapita/tahun) (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih
memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001). Hal ini tidak mungkin dipenuhi
oleh usaha penangkapan saja tetapi juga oleh hasil budidaya. Bila dilihat dari produksi perikanan 4,7 juta
ton, lebih dari 75 % dari produksi tersebut berasal dari penangkapan. Disisi lain dari sumberdaya ikan
lestari (MSY) sebesar 6,2 juta ton/tahun produksi penangkapan hampir mendekati titik jenuh. Sedangkan
potensi untuk perikanan budidaya masih sangat besar, dimana 4,29 juta ha hutan bakau yang ada 830.000
ha (20 %) dapat dimanfaatkan untuk budidaya air payau, perairan umum seluas 14 juta ha, dimana 140.000
ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya air tawar belum lagi luasnya daerah persawahan (1,7 juta ha) yang
dapat dimanfaatkan untuk budidaya (mina padi) serta perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan
untuk budidaya laut (Ditjen Perikanan, 1995).
Dengan demikian peluang untuk mengembangkan perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi
kebutuhan pasar domestik dan dunia. Sedangkan tantangan yang akan terus dihadapi pada pasar dunia bagi
komoditi ekspor perikanan budidaya adalah yang menyangkut mutu dan sanitasi (food safety) seperti
masalah kandungan hormon dan antibiotik, bakteri patogen, racun hayati laut (biotoxyn), pestisida, dimana
kandungan-kandungan ini berasal dari lingkungan budidaya serta masalah lain seperti gencarnya kampanye
anti udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan
kelestarian lingkungan. Oleh karena itu perlu meningkatkan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan
bernilai tinggi serta menerapkan system jaminan mutu/food safety (HACCP) di unit-unit produksi yang
diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan negara-negara importir.
Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah AMDAL dan kelestarian
lingkungan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan ekspor udang
tambak.
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety”
maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi
olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
I.2. PELUANG EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Peluang Sumber daya perikanan budidaya
Kebutuhan ikan untuk pasar dunia sampai tahun 2010 diperkirakan oleh FAO, masih akan kekurangan
pasok ikan sebesar 2 juta ton/tahun. Hal ini tidak mungkin dipenuhi oleh usaha penangkapan, namun harus
dipasok oleh usaha budidaya.
Indonesia mempunyai peluang yang sangat baik untuk terus mengembangkan perikanan budidaya. Hal ini
didukung dari data Ditjen Perikanan (1995), bahwa potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar
khususnya untuk jenis-jenis ikan komersial seperti udang, kerapu, baronang, kakap putih, rumput laut,
kerang-kerangan, paha kodok, bekicot dan lain-lainnya. Dengan areal hutan bakau seluas 830.000 ha dapat
dimanfaatkan untuk pertambakan dengan potensi produksi 964.143 ton udang dan 308.275 ton ikan.
Sedangkan dari perairan umum (waduk, danau, rawa, sungai, dan lainnya), 140.000 ha dapat dimanfaatkan
untuk budidaya air tawar yang diperkirakan produksinya mencapai 800.000 – 900.000 ton pertahun, belum
lagi daerah persawahan (1,7 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya mina padi. Sedangkan
perairan pantai seluas 80.925 ha, dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dengan potensi produksi 46,73
ton pertahun yang terdiri dari ikan 1,08 juta ton, kerang-kerangan 45,171 juta ton dan rumput laut 482 ribu
ton.
Secara umum permintaan terhadap komoditi perikanan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut,
kepiting, kerang-kerangan dan lain sebagainya. Sementara itu, meningkatnya permintaan ikan di pasaran
dunia dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, bergesernya selera konsumen
dari “red meat” ke “white meat” dan kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta rasa
ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak seperti adanya penyakit Mad cow disease,
Dioxin dan penyakit mulut dan kuku yang melanda hewan ternak di Eropa dan Amerika memberikan
dampak positip pada peningkatan konsumsi ikan.
Peluang ekspor perikanan budidaya
Dari data statistik ekspor perikanan menurut negara tujuan tahun 2000 ke 91 negara, dimana secara
keseluruhan dari tahun 1998 sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1.698.675 meningkat menjadi 703.155
ton dengan nilai US$ 1.739.312 pada tahun 2000. Jumlah ekspor terbesar ditujukan ke jepang (50 %),
Amerika (17 %), UE (13 %), Asia (20%) dan ASEAN (10 %). Sedangkan keragaman ekspor komoditi
perikanan sebagian masih dalam bentuk utuh beku dan segar dimana sebagian pasar utamanya adalah
Jepang (Ditjen Perikanan, 2000). Sedangkan dari data sertifat ekspor 1999 – 2000 (BPPMHP, 2000), hasil
perikanan budidaya seperti kerapu, nila, udang dan rumput terjadi peningkatan ekspor pada komoditas ikan
nila dan kerapu. Untuk ekspor ikan nila dalam bentuk utuh maupun fillet ditujukan kenegara seperti
Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan Singapura. Peningkatan ekspor pada ikan nila sangatlah
meyakinkan di masa mendatang oleh karena daging nila umumnya berwarna putih dan dapat digunakan
untuk pengganti produksi filet ikan kakap merah yang sebagai salah satu primadona perdagangan ikan
internasional. Dengan demikian ikan nila telah menunjukkan kemantapan dengan perluasan pasar secara
cepat di AS dan negara-negara Eropa. Sedangkan pada ikan kerapu ekspornya ditujukan kenegara Amerika,
Australia, Hongkong, Taiwan, Inggris, Jepang dan Singapura.
Permintaan udang windu terus meningkat sedikitnya diatas harga US$ 15/ kg. Dilain pihak harga udang
putih bergerak naik sekitar US$ 12/kg sedangkan harga udang Pandalus cenderung menurun mendekati
US$ 6/kg (Seafood International, 2001). Sedangkan Jepang, Amerika dan Uni Eropa tetap merupakan
negara pengimpor udang terbesar. Dilain pihak sumberdaya udang cenderung menurun dan hampir
menunjukkan kepunahannya dialam/diperairan umum. Hal ini ditandai munculnya ukuran (size) pada
udang-tangkap yang diekspor serta menurunnya jumlah tangkapan udang di laut. Komoditas perikanan
yang lain seperti rumput laut merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, akan tetapi di
ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah yang kemudian di impor kembali dalam bentuk produk jadi.
Eksplotasi rumput laut masih terbatas makro algae dimana alga dikonsumsi sebagai bahan makanan
tambahan bukan sebagai bahan makanan utama. Konsumsi rumput laut per hari di Jepang adalah 10 gr
orang/hari, sedangkan nilai komersial yang penting pada rumput laut adalah asam alginat dan turunannya
focoidan dan laminaran untuk alga merah dan untuk alga coklat adalah agar dan carrageenan. Untuk
kawasan ASEAN seperti Philipina, industri rumput laut berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 670 juta
per tahun yang bahan bakunya justru di Impor dari Indonesia. Dengan demikian peluang dan prospek
pengembangan budidaya ikan nila, kerapu, udang dan rumput laut cukup besar pasarnya, namun
kekewatiran masyarakat terhadap hasil perikanan budidaya juga semakin meningkat.
I.3 TANTANGAN EKSPOR KOMODITI PERIKANAN BUDIDAYA
Dengan adanya era globalisasi maka system perdagangan komoditi perikanan tidak hanya ditentukan oleh
faktor “supply and demand” semata-mata, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai konvensi dan perjanjian
internasional yang cenderung mengatur mekanisme perdagangan internasional komoditi perikanan.
Secara umum, masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan ekspor komoditi perikanan adalah tarif
bea masuk yang dikenakan oleh negara pengimpor sangat bervariasi dari negara dan dari jenis ke jenis.
Selain itu issu global seperti issu lingkungan, jaminan keamanan pangan (food safety) dan sebagainya, serta
dimasukkannya perjanjian SPS (sanitary and phytosanitary) sebagai salah kesepakatan GATT putaran
Uruguay, mempunyai tujuan memperlancar perdagangan hasil pertanian. Akan tetapi pada kenyataannya,
dimanfaatkan oleh beberapa negara industri sebagai hambatan teknis (techincal barrier) dalam
perdagangan, dengan tujuan untuk menyaring masuknya keomoditas pertanian dari luar.
Masalah lain sebagai tantangan ekspor komoditi perikanan Indonesia adalah adanya sinyalemen tentang
kontaminasi ikan salmon oleh senyawa PCB (Polychlorinated biphenyl) dan dioxin yang sangat berbahaya
sehingga menimbulkan animo masyarakat terhadap ikan salmon cenderung menurun. Hal ini tentu dapat
saja terjadi bagi komdoditi perikanan Indonesia, dimana pencemaran dioksin (racun hayati laut) dari PSP
(Paralytic Shellfish Poisoning) juga melanda beberapa perairan Indonesia. Sedangkan masalah GMOs
(Genetically Modified Organisms) dan LMOs (Living Modified Organisms) perlu dipertimbangkan, oleh
karena berkembangnya rekayasa genetika. Masalah ini sering menjadi batasan import bagi Jepang dan UE.
Sebagai contoh sering terjadi pada tuna kaleng yang menggunakan media minyak (kedele) yang berasal
dari GMOs banyak yang ditolak oleh 2 negara tersebut.
Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh komoditi perikanan budidaya adalah adanya :
1. Bakteri patogen : Salah satu persyaratan yang ditetapkan oleh negara pengimpor maju pada komoditas
perikanan adalah bebas dari bakteri patogen. Eropa mempersyaratkan udang beku (kecuali udang rebus
beku) harus bebas dari bakteri Salmonella dan beberapa negara lain mempersyaratkan E. coli dan bakteri
patogen. Penyebab masuknya bakteri tersebut adalah kurangnya sanitasi dan higiene dalam budidaya,
sebagai contoh hasil pengujian BPPMHP (1997) menyebutkan dari kombinasi ikan nila dan ternak ayam
(Longyam), positip mengandung Salmonella.
Selain itu, pada komoditi kekerangan, beberapa negara maju memberlakukan syarat yang lebih ketat
terhadap masuknya impor kekerangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah adanya standar sanitasi
terhadap perairan untuk budidaya dan pengumpul. Dari hasil monitoring perairan untuk budidaya kerang
yang dilakukan BPPMHP (1999), terjadi pencemaran bakteri V. parahaemolyticus diperairan Riau, Jawa
Timur dan Jawa Tengah dengan kandungan bakteri bervariasi 23 - < 1100/gr, sedangkan standar dari UE
adalah < 300/100 gr. Menurut Tyoyib et al (1977) beberapa bakteri patogen ditemukan pada kerang
Anadara dan Crassostrea yang ditangkap di teluk Jakarta, dimana kerang Anadara ditemukan Salmonella
52,3 %, Shigella 6,3 %, E. coli 8,3 %, Staphilococus 1 % dan V. parahaemolyticus 3 %. Sedangkan
Crassostrea mengandung Salmonella 46 %, E. coli 16 %, Staphilococus 37,1 % dan V. parahaemolyticus
5,5 %.
Syarat lain adalah untuk kekerangan yang akan dipasarkan diharuskan melakukan purifikasi (pembersihan).
Salah satu metode purifikasi (pembersihan) adalah depurasi, dari hasil uji coba depurasi dengan sinar U.V ,
selama 48 jam dapat menurunkan ALT dari 106 menjadi 103 serta E. coli < 3 per gr contoh daging kerang
(BPPMHP, 1994).
2. Marine biotoxin (racun hayati laut) : Selain mengandung bakteri patogen, beberapa komoditi perikanan
dapat tercemar oleh adanya biotoxin. Hal ini disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP
(Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish
Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Dari hasil monitoring
BPPMHP (1999) perairan yang mengandung PSP > 80 Ug/100 gr adalah perairan Lampung dan Ambon.
Oleh karena itu perairan tersebut tertutup untuk budidaya dan penangkapan. Sedangkan komoditasnya tidak
boleh dijual atau diekspor. Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan. Sedangkan
CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu dsb. Oleh karena itu pada ikan karang dan
kekerangan yang akan diekspor, beberapa negara mempersyaratkan komoditas bebas dari dioksin.
3. Hormon, antibiotik, pestisida dan logam berat : Dengan dalih untuk meningkatkan keamanan pangan
(food safety) pada produk perikanan yang beredar di pasaran, Eropa telah mengeluarkan peraturan kepada
semua negara pengekspor ikan budidaya untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring
residu hormon dan antibiotik. Bagi negara yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka izin ekspor ke
UE akan dicabut. Dari hasil monitoring antibiotik yang dilakukan BPPMHP (2000) pada beberapa udang di
tambak Jawa dan Lampung, dihasilkan udang positip mengandung antibitoik. Untuk itu perlu upaya
pengendalian pengunaan antibiotik adalah dengan memberikan antibiotik (jika diperlukan) pada ikan/udang
yang dibudidayakan. Sedangkan penen dapat dilakukan minimal 1 bulan setelah pemberian antibiotik untuk
menghindari adanya residu. Untuk residu hormon dan pestisida sampai saat ini belum dilakukan pengujian.
Sedangkan untuk logam berat BPPMHP (1999) telah melakukan monitoring dengan hasil logam berat
(merquri) pada komoditas perikanan masih dibawah ambang batas (< 0,5 ppm).
4. Kampanye anti udang tambak : Dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap
kelestarian lingkungan, beberapa negara maju dan kelompok LSM yang tergabung dalam Global
Aquaculture Alliance (GAA) telah mulai mengadakan kampanye anti udang tambak. Hal ini disebabkan
karena pembuatan tambak udang dianggap merusak hutan bakau dan menggamggu kelestarian lingkungan.
Untuk itu dalam upaya menangkal kampanye anti udang tambak, setiap pengembangan tambak selalu
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan atau AMDAL
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kiat yang harus ditempuh oleh dalam menghadapi pasar global
adalah dengan meningkatkan efisiensi mulai dari saat budidaya sampai pemasaran agar harga di pasar lebih
kompetitif serta meningkatkan sistem pembinaan mutu (PMMT) yang mengacu pola HACCP yang secara
resmi diakui oleh CAC/FAO/WHO.
II.PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN HACCP DI BUDIDAYA
Potensi bahaya (Hazard) dalam budidaya ikan/udang adalah berupa bahaya biologi, kimia dan fisik. Bahaya
ini dapat setiap waktu masuk pada ikan/udang yang dibudidayakan dan pada pengolahan, seperti
tercemarnya pakan oleh pestisida, tidak tepatnya penggunaan bahan kimia/obat-obatan,tercemarnya
lingkungan budidaya oleh bakteri/virus, terjadinya kontaminasi selama pengolahan produk dan lain
sebagainya. Hazard yang spesifik pada budidaya udang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh-contoh hazard pada produk budidaya
Kelompok Hazard
Contoh hazard
Biologi
Bakteri patogen
Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio

Cholerae, Vibrio parahaemolyticus,

Aeromonas hydrophilla, Listeria mono

cytogenes dan lain-lain

Parasit/protozoa
Parasit padaTrematoda,Cestoda/

Nematoda ( Clonorchis sinensis,

Anisakis dan lain-lain

Virus
Hepatitis A, Norwalk virus dll

Mycotoxin
Aflatoxin
Kimia
Residu obat
Hormon, antibiotik, pengatur tumbuh

Residu Pestisida
Herbisida, Fungisida, insektisida

Logam berat
Merkuri, cadmium, copper dll
Fisika

Kaca, kayu, rambut dll.


Sumber : FDA, 1998
Tabel 2. Potensi hazard pada beberapa ikan budidaya.
Komoditas
Potensi hazard
Udang tambak
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Tilapia/nila
Kimia
Aldrin/dieldrin, benzen hexachlorida, DDT, TDE, DDE, Fluridone, Nikel, Arsen, Cadmium

Obat-obatan
Oxitetracyclin,Tricaine, larutan.forma-lin,sulfamerzin,Sulfadimethoxin
Kakap
Biologi
parasit anisakis, pseudoterranova, eustrongylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Kerapu
Biologi
anisakis, pseudoterranova, eustrong-ylides

Dioksin
PSP, DSP, NSP, ASP, CFP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dari beberapa literatur potensi hazard dari Salmonella dan Vibrio dalam budidaya udang sering terjadi
pertentangan. Dimana menurut Reilly and Twiddy (1992) dalam Mahony (1995), Salmonella dan Vibrio
hidup pada bagian tumbuhan alam (plangton) di tambak udang. Namun dari penelitian Dalsgaard et al
(1995) dalam Mahony (1995) tidak ditemukan secara nyata Salmonella pada udang maupun tambak udang.
Sedangkan dari pengujian BPPMHP (1996) Salmonella positip ditemukan pada pakan ayam, kotoran ayam
dan ikan yang memakan kotoran ayam. Dengan demikian Salmonella dapat masuk ke dalam udang/ikan
yang dibudayakan, disebabkan dari suplai air dan pakan yang terkontaminasi. Beberapa contoh potensi
hazard pada ikan/udang budidaya dapat dililhat pada Tabel 2.

Pemilihan lokasi/tempat
¯
suplai air
¯
Air ¾¾¾¾¾¾¾¾¾ Lingkungan pemeliharaan
Pengeloaan ikan/udang ï¾¾® ¯
Kondisi kolam Produksi * *Persoalan penting di produksi :
Obat/bahan kimia ¯ Pengeloaan kolam, pemberian
Panen pakan dan kesehatan udang
¯
Penerimaan
¯
Pengolahan
¯
Penyimpanan
¯
CCP Pengiriman
Gambar 1. Tahapan budidaya secara umum
Dalam proses pengolahan dan pembekuan udang bahan materialnya antara lain terdiri dari udang itu
sendiri,es,dan air.Untuk udang perusahaan langsung mendapatkannya dari para petambak udang,dalam
proses penerimaan bahan baku tidak semua udang dari petambak diterima oleh perusahaan.Ada
persyaratan-persyaratan khusus yang dikeluarkan perusahaan untuk menentukan baik atau buruknya
kualitas udang yang dihasilkan antara lain berdasarkan:
a. SNI (Standar Nasional Indonesia) artinya disini SNI tidak hanya berlaku pada tahap pengolahan dari
industry saja tetapi juga pada proses pembudidayaan ditambak yang merupakan titik awal (sebagai hulu)
dari input industri pengolahan dan pembekuan udang.Adapun SNI (standar Nasional Indonesia) yang
diberlakukan pada pembudidayaan dimulai dari kualitas airnya,kualitas benih yang ditebar,kualitas
pakan,metode atau cara pemberian pakan,perlengkapan dan peralatan sanitasiyang ada,metode atau cara
pemanenan,serta penanganan lebih lanjut sebelum udang tersebut masuk industry.
b. Standar yang ditetapkan oleh perusahaan itu sendiri,disini setiap perusahaan mempunyai standar-standar
sendiri dalam menerima bahan baku dari luar,adapun cara yang dilakukan semua industry dalam menerima
bahan baku pada umunya yaitu proses sortirasi yaitu proses memilah-milah antara bahan baku yang bagus
dengan bahan baku yang jelek berdasarkan pengamatan visual,bau,kekompakan tubuh udang ketika ditekan
(organoleptik)
Dari kedua jenis standar yang sudah ditetapkan ,apabila bahan baku udang dari petambak memenuhi maka
akan diterima dan sebaliknya bila tidak memenuhi akan direject (ditolak).Pada sanitasi bahan untuk
mencegah kontaminasi bahan dari luar,sebaiknya perusahaan atau industry harus memperhatikan:
a. Memilih supplier yang bersertifikat (memilih bahan baku yang baik atau sesuai dengan yang dibutuhkan)
b. Melihat atau memonitoring suplier dalam proses memperoleh atau menghasilkan bahan baku tersebut.
c. Selalu ada tindakan preventif antara lain dengan adanya GMP (Good manufacturing Product) untuk
mencegah kontaminasi ulang (Man , Material , Method , Machine).Jika memang terjadi kontaminasi silang
maka produk tersebut akan ditahan untuk diproses ulang tetapi sebelumya dilihat dahulu dimana proses
yang menyebabkan kontaminasi silang tersebut untuk ditindaklanjuti agar tidak terjadi kesalahan yang
sama.
Untuk bahan baku es penting karena mencakup dari prinsip-prinsip sanitasi karena semua produk perikanan
banyak bergantung pada es dan air.Es yang berfungsi sebagai pembeku atau pendingin udang umunya
ditempatkan pada tempat pengolahan sementara pada industry.Tempat penyimpanan sementara ini dipakai
misalnya ketika datangnya bahan baku udang yang waktunya diluar jam kerja perusahaan maka tempat
satu-satunya ditampung d itempat penyimpanan sementara yang berpendingin es agar udang tidak rusak
kualitasnya.Dalam memperoleh bahan baku es ini ada perusahaan yang memproduksi es sendiri,dalam hal
ini kulitas es dapat terpenuhi sesuai keinginan perusahaan itu sendiri,selain itu perusahaan tersebut dalam
proses produksi es harus siap dengan es (ice flag) dimana 1 ice flag menghasilkan 5-10 ton/jam.Untuk
perusahaan yang memperoleh bahan baku es dari luar dapat memperoleh es dengan kualitas baik dengan
cara menetapkan standar baku mutu es yang sesuai dengan ketetapan SNI,selain itu dapat melakukan
pengawasan atau monitoring terhadap supplier tentang proses pembutan es yang dihasilkan dengan harapan
es yang dihasilkan kualitasnya layak dipakai atau tidak,selain itu dapat dilakukan sortirasi atas semua es
yang masuk dari berbagai macam supplier.
Untuk bahan baku air ini juga sangat penting karena berbagai macam proses pencucian baik alat maupun
bahan lainnya termasuk udang menggunakan air.Dalam perusahaan air dapat diperoleh dari berbagai
macam ada ynag dari PAM dan ada juga yang memperolehnya dari sumur .Adapun 4 macam penggolongan
air berdasarkan kualitasnya antara lain:
1. Golongan A,yaitu air yang lansung dapat dikonsumsi tanpa adanya proses pengolahan lebih lanjut.
2. Golongan B,yaitu air jika dikonsumsi harus dilakukan proeses pengolahan lebih lanjut.
3. Golongan C,yaitu air yang bisa digunakan untuk kegitan pertanian ,peternakan ,dan perikanan.
4. Golongan D,yaitu golongan air yang sudah tercemar dari berbagai macam limbah.
Langkah-langkah penerapan HACCP di budidaya yaitu didahului dengan memenuhi kelayakan dasar (pre-
requisite) budidaya. Kelayakan dasar ini berisi GCP (Good Culture Practices) yang mengatur kebersihan
umum, pembesaran dan penanganan. Kebersihan umum meliputi kebersihan area, pembersihan peralatan
sebelum dan sesudah digunakan dan kebersihan gudang penyimpanan. Sedangkan pembesaran dan
penanganan meliputi catatat dalam menjaga dan menyediakan : air dan penggunaan air, pakan dan
pemberian pakan, penyakit dan pengontrolan penyakit, obat-obatan dan bahan kimia dengan petunjuk
penggunaan, waktu dan periode pemberian; teknik pasca panen, pembersihan produk dengan air bersih,
temperatur produk, pencegahan kontaminasi selama panen, sortasi, transpotasi serta kelambatan
penanganan seminim mungkin. Secara garis besarnya, alur proses budidaya terdiri dari pemilihan
lokasi/tempat budidaya, suplai air, pengelolaan lingkungan ikan/udang yang dipelihara, produksi dan panen
(Gambar 1).
Pada periode pemeliharaan udang, waktu pemeliharaan selama 3 – 4 bulan. Sedangkan tahapan yang
dilakukan meliputi persiapan kolam (pengeringan, pengapuran, pembrantasan predator dan lain-lainnya),
pemasukan air, penyediaan benih/benur, pemberian pakan, perawatan udang (antibiotik, bahan kimia dsb),
penggantian air secara berkala, panen, sortasi, pengepakan dan transpotasi ke unit pengolahan. Titik-titik
kritis (CCP) yang ada pada alur proses terjadi pada waktu pemeliharaan/pembesaran (growing), dimana
pekerjaan yang terdapat pada tahap pemeliharaan adalah pengantian air, pengeloaan udang, kondisi kolam
dan penggunaan obat/bahan kimia. Hazard yang potensial adalah Salmonella yang disebabkan oleh suplai
air, pakan dan pupuk. Untuk itu perlu menguji penyebab hazard tersebut secara berkala, sedangkan
tindakan koreksinya adalah dengan mentreatment atau mencegah hazard tersebut masuk kedalam tempat
pemeliharaan. Hazard lain selama pembesaran adalah adanya residu antibiotik atau bahan kimia. Untuk itu
perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar sampai residu tersebut hilang.
Sedangkan pada panen dilakukan secara manual dengan memberikan es pada udang-udang yang
ditangkap,disortasi dan dipak dalam es, kemudian dikirim ke industri pengolahan. Hazard yang potensial
adalah kontaminasi Salmonella dan adanya benda asing (kaca, rambut, kayu dsb). Generic hazard pada
budidaya dapat dilihat Tabel 3.

Tabel 3. Generic HACCP untuk produksi udang budidaya


Tahapan produksi
Hazard
Di pantau oleh
Pemilihan lokasi
Kontaminasi kimia
Kelayakan dasar

Kontaminasi biologi

Pembesaran

- Kondisi kolam
Kontaminasi kimia
GMP
- Suplai air
Salmonella
CCP
- Pakan/pupuk
Salmonella
CCP
- Penggunaan bahan

CCP
Kimia/obat-obatan

Panen
Kontaminasi Salmonella
CCP

Kaca, kayu dll


CCP
Sumber : SEAFDEC, 1997
Dengan adanya HACCP pada unit budidaya yang dilaksanakan dengan konsisten, maka bahan baku yang
diterima di unit pengolahan, sudah terjamin mutu dan keamanan. Dengan demikian segala tantangan yang
menyangkut issu pada pasar internasional dapat diatasi.
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN
Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety”
maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi
olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat).
Dalam PROTEKAN 2004, komoditi unggulan untuk budidaya kedepan adalah kerapu, udang windu, nila
dan rumput laut. Komdoditi tersebut merupakan komdoditi yang banyak diminati oleh negara importir.
Berdasarkan data yang dihimpun dari sertifikat ekspor komoditi tersebut diolah dalam bentuk utuh
segar/beku, fllet beku, ikan hidup dan rumput laut kering (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis olahan dan negara importir komoditi kerapu, nila, udang dan rumput laut.
Jenis olahan
Negara tujuan
Volume (ton) tahun 2000
Kerapu hidup
Hongkong, Singapura, Jepang
454,66
Kerapu segar
Taiwan, RRC, Jepang, Singapura, Hongkong, Malaysia
4.374,54
Kerapu beku
USA, Hongkong, Australia, Inggris, Taiwan, Sinagpura
930,65
Fillet kerapu
Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong
165,01
Fillet nila
USA, Inggris, Singapura
70,69
Nila beku
USA, Kanada, Inggris, Bahrain, Jerman, Perancis
484,43
Udang
Eropa, USA, Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Belgia, kanada dsb
91.157,59
Rumput laut
Philipina, Jepang, USA Singapura, Hongkong
2.648,71
Sumber : Sertifat ekspor yang diterima BPPMHP.
Sampai saat ini, ekspor komoditi perikanan Indonesia, sebagian besar masih dalam bentuk utuh (bentuk
primer) baik keadaan beku, segar atau hidup. Sedangkan disisi lain, permintaan komoditi perikanan yang
mempunyai nilai tambah sangat besar terutama kepasaran Jepang, Amerika, Eropa dan China. Produk-
produk budidaya yang banyak dikembangkan menjadi produk bernilai tambah masih didominasi oleh
komoditas udang seperti bentuk peel devine boiled shrimp, breaded shrimp yang saat ini permintaannya
semakin meningkat dari beberapa negara pengimpor seperti USA, Eropa dan Kanada.
Dari ekspor ikan budidaya seperti ikan nila, sampai saat ini baru dikembangkan dalam bentuk fillet dengan
syarat bahan baku yang harus dipenuhi maksimal berukuran 600 gr up dalam keadaan hidup. Sedangkan
pada pemasaran dalam negeri ikan nila (< 600 gr) banyak dikembangkan produk-produk fish jelly product
dari ikan nila seperti dalam bentuk fish ball, breaded, fih roll dan lain sebagainya. Untuk ikan kerapu, selain
ekspor dalam keadaan hidup sudah dikembangkan dalam bentuk segar, beku dan fillet..
III. KESIMPULAN
1. Peluang pengembangan bisnis perikanan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya
permintaan ikan dipasaran internasional, baik disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan
pendapatan maupun pergeseran pola konsumsi,kebutuhan manusia akan makanan sehat (healthy food) serta
rasa ketidak amanan manusia untuk mengkonsumsi daging ternak
2. Pasar domestik cukup kuat, tercatat dari produksi 4,7 juta ton yang dipasarkan dalam negeri sebesar 4
juta ton dan ini masih belum cukup memenuhi kecukupan pangan penduduk akan ikan. Sedangkan dari
penangkapan ikan hampir mendakati titik jenuh. Dengan demikian peluang untuk mengembangkan
perikanan budidaya masih sangat besar guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dunia.
3. Perdagangan ekspor komoditi perikanan cenderung semakin kompetitif. Disamping itu, ekspor komoditi
perikanan juga dihadapkan pada berbagai hambatan tarif, food safety, issu lingkungan dan lain-lain.
Sedangkan hambatan lainnya berkaitan dengan persyaratan mutu dan sanitasi dan gencarnya kampanye anti
udang tambak oleh GAA (Global Aquaculture Alliance) dengan anggapan merusak hutan bakau dan
kelestarian lingkungan. Untuk itu produksi perikanan budidaya perlu menerapkan system jaminan
mutu/food safety (HACCP) yang diwajibkan oleh CAC/FAO/WHO (Codex Alimentarius Commission) dan
negara-negara importir. Disamping itu setiap pembuat tambak udang selalu mengikuti kaidah-kaidah
AMDAL.
4. Potensi hazard pada budidaya ikan/udang adalah pada tahap pembesaran (growing) seperti adanya
Salmonella yang disebabkan oleh suplai air, pakan dan pupuk. Hazard lain adalah adanya residu antibiotik
atau bahan kimia. Untuk itu perlu dilakukan pencegahannya dengan mengisolasi ikan yang tercemar
sampai residu tersebut hilang. Sedangkan saat panen hazard yang potensial adalah Salmonella dan adanya
benda asing (kaca, kayu dsb).
5. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu dan aspek “food safety”
maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi
olahan dari produk primer ke produk sekunder dan produk siap makan (ready to eat) Sedangkan untuk
rumput laut, dengan mempertimbangkan kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk akhir rumput
laut yang di import, maka perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut (caragenan, agar, alginat
dll)
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1994. Uji coba Depurasi, BPPMHP, Direktorat
Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1997. Monitoring Salmonella pada ikan-ikan
budidaya. BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1999. Monitoring Sanitasi Kekerangan.
BPPMHP, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal
Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat
Jenderal Perikanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000. Statistik Ekspor Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorat Jenderal
Perikanan. Jakarta.
Food and Drug Administration, 1998. Fish and Fisheries Products Hazards and Controls guide. Second
edition. US-FDA. Rockville.
Kusumastanto, T., 2001. Potensi dan Peluang Industri Kelautan Indonesia. Makalah Seminar Peluang
Usaha dan Teknologi Pendukung pada Sektor Kelautan Indonesia 11 Juli 2001. Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia. Jakarta.
Mahony, 1995. HACCP in Aquaculture: Papers Prepared for PAEC/DOF. Seminar on Quality Assurance
for Aquaculture Products. Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok.
Southeast Asian Fisheries Development Centre, 1997. Quality Management for Aquacultured Shrimp.
SEAFDEC, Changi, Singapore.
Suboko, B., 2001. Kebutuhan Teknologi Pengolahan dan Delivery Bagi Pelaku Usaha Industri Perikanan
Di Indonesia. Makalah Seminar Peluang

Anda mungkin juga menyukai