BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma ICC (Rome Statute of International
Criminal Court) disahkan. Statuta Roma tersebut membentuk lembaga ICC guna
mengadili orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan terberat bagi
kemanusiaan: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran
HAM berat lainnya disamping kejahatan perang. Statuta Roma ICC mengajak
semua negara di dunia untuk menerapkan sistem keadilan internasional yang
baru dengan meratifikasinya agar individu-individu yang bertanggung-jawab
2
dapat diadili tanpa terhalangi faktor-faktor nonyuridis seperti faktor politis karena
yang bersangkutan adalah petinggi negara di mana pelanggaran HAM berat itu
terjadi.
Optimisme itu terbukti. Sejak berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2002, statuta
ini telah menunjukkan kemajuan yang besar dalam menegakkan supremasi
hukum. Saat baru setahun diberlakukan, ICC yang juga berkedudukan di Den
Haag ini segera melakukan investigasi dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat
yaitu Repulik Demokrasi Kongo, Sudan, dan Uganda di mana kejahatan terjadi
dalam skala sangat luas.
B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat Penulisan
Kertas kerja ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait
dengan permasalahan dalam makalah ini, bagi masyarakat pada umumnya, para
pemerhati hukum, para praktisi hukum dan mahasiswa, khususnya dalam rangka
mengkaji landasan yuridis penerapan hukum HAM internasional.
BAB II
1
Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, Jakarta, 2003
4
A. Batasan Masalah
Namun, setelah dua tahun berlalu, tetap saja tidak ada tanda tanda menuju
ratifikasi yang dijanjikan presiden. Para aktivis HAM baik dalam maupun luar
negeri pun geram. Muncul sinyalemen bahwa pemerintahan SBY sama saja
dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang terbukti tak berkomitmen
pada penegakan HAM. Hingga saat ini tercatat sudah ada 2500 organisasi
kemasyarakatan di Indonesia menagih janji ratifikasi yang pernah disampaikan
pemerintah di tahun 2004 silam. Suatu jumlah yang tak dapat dikatakan sedikit
untuk ukuran dukungan bagi sebuah naskah perjanjian internasional.
BAB III
5
ANALISIS MASALAH
Negara yang menerima jurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc dan atau wilayah
yang ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Sedangkan sepanjang mengenai
'pertanggungjawaban individu', ditentukan bahwa ICC mempunyai jurisdiksi
terhadap warga negara Negara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan.
Prinsip 'equally to all persons', 'irrelevance of official capacity' diterapkan
termasuk mereka yang berkedudukan sebagai kepala pemerintahan atau kepala
Negara. Apalagi imunitas atas dasar hukum internasional tidak menghalangi
jurisdiksi ICC.
Namun bukan berarti ICC bukan panacea bagi setiap persoalan. Sejauh ini
ICC paling tidak menghadapi tiga tantangan signifikan, yakni :
Terlepas dari besarnya tantangan yang dihadapi, harus diakui Statuta Roma
ICC telah memberi arti penting dalam hukum HAM melalui pelbagai hal seperti
beberapa hal sebagai berikut, yaitu :
Adapun karakteristik Statuta Roma ICC yang membuatnya lebih mawas HAM
dan lebih bersahabat dengan hukum nasional meliputi :
3
ICC hanya mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan terhadap:
• Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma ICC.
• Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma ICC.
• Negara yang belum meratifikasi statuta Roma ICC tetapi telah memutuskan untuk menerima yuridiksi
pengadilan atas kejahatan tersebut;
• Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan
Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut kepada ICC berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
8
Sebagai salah satu bangsa yang besar dan berpenduduk paling padat di
dunia, sikap Indonesia akan menjadi langkah penting menuju ratifikasi universal.
Terlebih lagi, hal itu akan menjadi preseden penting bagi negara-negara lain di
yang belum meratifikasi. Ratifikasi ini penting mengingat tujuan utamanya adalah
agar ICC dapat menerapkan jurisdiksi universal mengadili pelanggaran HAM
yang terjadi dimanapun di dunia. Terlebih melalui ratifikasi ini berarti Indonesia
akan mendapatkan dukungan dan kerjasama dari masyarakat internasional
untuk melakukan investigasi dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM
berat.
4
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam buku beliau Pengantar Hukum Internasional, yang menyatakan
bahwa persetujuan (consent) pada suatu perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan itu bersifat
sementara dan masih harus disahkan/penguatan demikian itu dinamakan ratifikasi
9
HAM nasional. Hukum nasional harus mampu memberi jaminan bagi kerjasama
penuh dengan ICC.
Harus diakui selama ini pemerintah Indonesia tidak seratus persen pasif
walaupun juga tidak seratus persen aktif dalam Statuta Roma ICC. Secara
khusus pemerintah telah mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi
Diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998 di mana Statuta Roma disahkan. Pada
saat itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma
dan pembentukan ICC. Dalam kesempatan tersebut, delegasi Indonesia juga
menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma ICC. Setahun kemudian,
Indonesia kembali menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6 Majelis
Umum PBB dalam pandangannya terhadap hal tersebut. Indonesia menyatakan
bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak Statuta Roma ICC” dan
bahwa “Mahkamah Pidana Internasional menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh
bangsa tanpa memandang perbedaan politik, eonomi, sosial dan budaya.”
5
Parlemen juga aktif mendukung ratifikasi pada tahun 2008. Pada bulan Agustus 2006, sejumlah wakil rakyat
Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang ICC dan berjanji
akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Namun, setelah dua
tahun berlalu, hingga makalah ini ditulis pada tahun 2010 ratifikasi belum juga dilakukan.
10
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
11
B. SARAN-SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bilder, Richard, Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta, ELSAM, 2005
12