Anda di halaman 1dari 95

Bab 2

KONDISI EXISTING
INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

Pembangunan ekonomi yang terus digulirkan oleh pemerintah baik di masa orde lama
sampai sampai saat ini bertujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Upaya pembangunan ekonomi yang dijalankan tersebut mulai mengalami
hambatan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia pada
pertengahan tahun 1997. Krisis ini diawali oleh depresiasi nilai rupiah yang cukup tajam
terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi ini juga berdampak pada tingginya tingkat
inflasi (paling tinggi pernah mencapai 77,6%) dan semakin meroketnya tingkat suku
bunga Bank Indonesia (SBI) yang mencapai 70% dalam satu bulannya.

Kondisi di atas merupakan pertanda buruk bagi perkembangan perekonomian di


Indonesia. Beberapa sub sektor perekonomian mengalami shock yang cukup berat
karena kondisi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Selain itu, fundamental
perekonomian kita yang lemah ikut mendukung bergugurannya sub sektor-sub sektor
perekonomian terutama sub sektor-sub sektor perekonomian yang menggunakan
komponen impornya lebih besar dibandingkan dengan komponen lokal. Banyaknya sub
sektor-sub sektor perekonomian yang gulung tikar menyebabkan banyaknya
pengangguran yang melanda bangsa ini. Krisis ini juga membawa dampak pada posisi
hutang negara kita yang semakin membengkak. Berdasarkan data dari Bank Indonesia
(2005) posisi hutang negara kita pada tahun 1996 mencapai US$ 110.171 juta
sedangkan pada tahun 2004 telah mencapai US$ 137.024 juta (pada posisi nilai kurs
yang berbeda untuk tahun 1996 dan 2004).

Hambatan keuangan tersebut berdampak pada stagnasi pembangunan infrastruktur di


Indonesia. Pengalaman internasional bila suatu negara mengalami krisis ekonomi, maka
yang pertama kali dikorbankan di dalam pembangunannya adalah pembangunan di sub
sektor infrastruktur (Bappenas, 2003). Berdasarkan saran dari International Monetary
Fund (IMF), kebijakan pembangunan difokuskan pada kebijakan moneter, melalui

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 1


restrukturisasi perbankan, dan pengentasan kemiskinan melalui jaring pengaman sosial
(JPS).

Sejalan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang terus mengalami perbaikan


(lihat ilustrasi 2.1), maka pembangunan infrastruktur mulai kembali mendapat perhatian
karena sub sektor ini sangat menunjang bagi pembangunan sub sektor-sub sektor
perekonomian lainnya. Infrastruktur yang dibangun seyogyanya tetap dalam kerangka
mendukung target pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang sehingga
upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan baik. Oleh karena
itu, upaya integrasi pembangunan infrastruktur dalam menunjang pembangunan
ekonomi harus menjadi kebijakan utama di dalam pembangunan dan pembiayaan
infrastruktur.

7.5
7
6.5
6
5.5
Persentase (%)

5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Ilustrasi 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%)

Prakarsa Strategi Perumusan dan Pembiayaan Infrastruktur merupakan salah satu


upaya untuk membangun infrastruktur yang terintegrasi. Pembangunan infrastruktur
didasarkan pada dua pemetaan, yaitu peta kondisi jenis infrastruktur dan berdasarkan
tipologi kewilayahan. Adapun jenis infrastruktur yang akan dibahas pada bab ini, sesuai
dengan Pepres No. 42 Tahun 2005, yaitu Infrastruktur Transportasi, Infrastruktur Jalan,
Infrastruktur Pengairan, Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi, Infrastruktur Telematika,
Infrastruktur Ketenagalistrikan, dan Infrastruktur Pengangkutan Minyak dan Gas Bumi.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 2


2.1. Infrastruktur Transportasi
Secara umum infrastrukutur transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam
mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai alat persatuan
dan kesatuan. Secara khusus, peranan dari infrastruktur transportasi ini sebagai fungsi
perangsang bagi timbul dan tumbuhnya sub sektor-sub sektor perekonomian lainnya.
Fungsi perangsang ini terbagi atas dua hal, yaitu fungsi aktif dan fungsi pasif. Fungsi
perangsang secara aktif maksudnya bahwa infrastruktur ini hadir sebelum adanya
kegiatan produksi yang lain ada (trade follows the ship). Biasanya infrastruktur
transportasi diperlukan di daerah-daerah terpencil di mana kegiatan ekonomi atau
perdagangan belum ada. Sedangkan fungsi perangsang secara pasif yaitu fungsi
penunjang atau melayani kegiatan ekonomi lainnya (ship follows the trade). Biasanya
infrastrukutur pada kondisi tersebut diperlukan di daerah-daerah yang sudah established
di mana hanya diperlukan tambahan kapasitas dari transportasi sebagai akibat dari
perkembangan ekonomi, pertambahan penduduk, kegiatan social politik, dan kegiatan-
kegiatan lainnya

Untuk mendukung perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi pelayanan


umum transportasi adalah melalui penyediaan jasa transportasi guna mendorong
pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan masyarakat luas dengan harga
terjangkau baik di perkotaan maupun perdesaan, mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman dan terpencil, serta untuk melancarkan
mobilitas distribusi barang dan jasa dan mendorong pertumbuhan sub sektor-sub sektor
ekonomi nasional. Oleh sebab itu pembangunan transportasi diarahkan untuk
meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, andal, berkualitas, aman dan
dengan harga terjangkau. Selain itu perlu dikembangkan pembangunan sistem
transportasi nasional (Sistranas) untuk mencapai keterpaduan secara intermoda dan
keterpaduan dengan sistem tata ruang nasional, pembangunan wilayah dan
berkelanjutan; serta terciptanya sistem distribusi nasional, regional dan internasional
yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk
meningkatkan jaringan transportasi antara desa-kota dan daerah produksi-pemasaran
serta memadai.

Berkaitan dengan peran yang diberikan oleh sub sektor transportasi di dalam
mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia, data statistik menunjukkan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 3


bahwa sub sektor ini memberikan kontribusi antara 3-4 persen terhadap dari tahun 2000
– 2004. Sumbangan yang diberikan oleh sub sektor transportasi 46,75 triliun rupiah
pada tahun 2000 kemudian meningkat menjadi 62,25 triliun rupiah pada tahun 2004
(lihat ilustrasi 2.2). Hal ini mengindikasikan bahwa sub sektor transportasi memberikan
sumbangan baik bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Manfaat lainnya yang
diberikan oleh sub sektor ini di dalam perekonomian adalah memberikan pelayanan bagi
distribusi barang dan jasa. Khusus untuk distribusi barang, sub sektor ini berperan
dalam distribusi input produksi dan hasil produksi (produk).

1,800,000.00 3.80
3.75
1,600,000.00
PDB 3.70
1,400,000.00

Persentase (%)
3.65
1,200,000.00
Rp Milyar

3.60
1,000,000.00
3.55
800,000.00
3.50
600,000.00
3.45
400,000.00
3.40
200,000.00 Transportasi 3.35
0.00
3.30
2000 2001 2002 2003 2004 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun Tahun

A. Nilai Kontribusi Sub sektor Transportasi dibandingkan B. Persentase nilai kontribusi sub sektor transporsi
dengan PDB terhadap PD\B

Ilustrasi 2.2. Kontribusi Sub sektor Transportasi Terhadap Perekonomian Nasional


Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
(Sumber: Bank Indonesia dalam berbagai tahun)

Secara makro kontribusi sub sektor transportasi terhadap nilai PDRB untuk masing-
masing daerah akan sangat bervariasi tergantung dari berbagai faktor penentu
perkembangan maupun kebijakan pemerintah dalam mengelola dana pembangunannya
dan kebijakan kredit yang dikucurkan untuk mendanai sub sektor ini. Perlu diketahui
bahwa antar sub sektor transportasi, secara teknis terdapat hubungan komplementer,
akan tetapi secara ekonomis bersifat subtitusi/kompetitif. Misalnya, angkutan ekspor
impor umumnya lewat laut dan udara untuk mendistribusikan barangnya, namun secara
teknis memerlukan angkutan darat untuk mengantarkan barang ekspor dan impor
tersebut dari dan ke pelabuhan bongkar muat.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 4


Sub sektor transportasi merupakan sub sektor yang cukup komplek. Beberapa kegiatan
yang termasuk dalam sub sektor transportasi adalah transportasi darat (angkutan kereta
api, lalu litas angkutan jalan, dan angkutan sungai danau serta penyeberangan),
transportasi laut, transportasi udara, dan jasa penunjang angkutan. Berbagai aktivitas di
atas memiliki karakteristik yang berbeda tetapi juga memiliki bobot dalam menunjang
pembangunan daerah tergantung dari struktur perekonomian dan distribusi penduduk
serta distribusi pendapatan. Oleh karena itu, untuk menggambarkan kondisi dari
masing-masing sub sektor transportasi tersebut akan diuraikan di bawah ini.

2.1.1. Transportasi Darat


2.1.1.1. Sub Sektor Perkeretaapian Nasional
Perkembangan perkeretaapian nasional sudah dimulai sejak tahun 1842 semasa
penjajahan Hindia Belanda, yaitu dengan dimulainya pembangunan jalan rel kereta api
pertama dari Semarang ke Kedu dan Yogyakarta/Surakarta (Bappenas, 2003). Namun
seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan perkeretaapian masih sangat terbatas
hanya di pulau Jawa dan Sumatera saja sedangkan di pulau-pulau lainnya belum ada
perkeretaapian. Bahkan tingkat pertumbuhan angkutan ini semakin menurun semenjak
tahun 2000, karena terjadinya kejenuhan dalam kapasitas dan sistem jaringan
pelayanan, sumberdaya yang terbatas, tingkat pelayanan yang masih rendah terhadap
penumpang, serta semakin tajamnya persaingan antarmoda transportasi. Persaingan
terjadi khususnya untuk pelayanan rute jarak jauh yang menghubungkan antar propinsi
di mana angkutan kereta api mendapat persaingan dari angkutan udara dan angkutan
jalan raya.

Angkutan kereta api masih menjadi salah satu angkutan alternatif bagi masyarakat
menengah ke bawah karena menawarkan biaya yang relatif murah dibandingkan
dengan menggunakan angkutan jalan raya, khususnya untuk angkutan kereta api dalam
kota. Hal tersebut didukung dengan semakin tingginya harga bahan bakar minyak yang
berdampak besar terhadap sektor transportasi. Harga yang yang relatif terjangkau
tersebut sesuai dengan amanat UU No. 13 Tahun 1992 di mana perkeretaapian
diselenggarakan berdasarkan pada asas manfaat, adil dan merata, keseimbangan
kepentingan umum, keterpaduan dan percaya diri sendiri.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 5


Secara umum kendala perkeretaapian sebagai suatu industri jasa angkutan yang
mandiri sulit dapat berkembang secara komersial ataupun menguntungkan.
Perkeretaapian harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya,
seperti: keterpaduan jaringan pelayanan transportasi antarmoda dengan “feeder
service”-nya, agar pelayanan secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis
properti dan fasilitas stasiun yang aman, nyaman dan mudah terjangkau; sistem
pelayanan terpadu antarmoda, kondisi struktur kelembagaan dan regulasi pemerintah
yang efisien dan kondusif; dukungan industri teknologi perkeretaapian yang murah dan
tepat guna; kualitas SDM, serta manajemen yang profesional dan berorientasi pada
kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada umumnya masih memiliki fungsi
untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari pemerintah (public service
obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh Pemerintah.

Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan kereta api nasional,
baik dalam aspek pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan
keterbatasan pendanaan,SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik
prasarana dan sarana kereta api saat ini masih banyak mengalami “backlog”
pemeliharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik karena perencanaan,
pengoperasian, dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang,
diperlukan redefinisi tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai
regulator, peran owner, dan operator di bidang perkeretaapian. Hal tersebut sangat
perlu dilakukan agar angkutan kereta api tetap survive dan menjadi angkutan alternatif
bagi masyarakat.

A. Angkutan Penumpang (orang) B. Angkutan Barang (ribu ton)


250000000 25000
Jum lah Penum pang (orang)

200000000 20000
Ribu Ton

150000000 15000

100000000 10000

50000000
5000

0
0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Tahun Tahun
Total Jaw a Total Sumatera Total K.A Total Jawa Total Sumatera Total K.A

Ilustrasi 2.3. Volume Angkutan Penumpang dan Barang yang Menggunakan Angkutan
Kereta Api di Pulau Jawa dan Sumatera

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 6


Volume Angkutan Penumpang dan Barang. Penggunaan sarana transportasi
angkutan kereta api tidak hanya digunakan untuk angkutan penumpang saja melainkan
digunakan juga sebagai angkutan barang. Konsentrasi terbesar dari angkutan kereta api
ini terjadi di pulau Jawa. Berdasarkan data yang diperoleh dari PT. Kereta Api Indonesia
(KAI), jumlah angkutan penumpang terus mengalami peningkatan baik di Pulau Jawa
maupun Sumatera. Berdasarkan Ilustrasi 2.3, pada tahun 1996 jumlah penumpang
kereta api di Pulau Jawa tercatat sejumlah 150,9 juta penumpang dan meningkat pada
tahun 2002 sebesar 172,3 juta penumpang (14,17%). Sedangkan di Pulau Sumatera,
perkembangan jumlah penumpang kereta api mencapai 32,99% dari tahun 1996 dan
2002. Hal ini dapat membuktikan bahwa kereta api masih menjadi alternatif angkutan
yang digemari oleh masyarkat.

Di samping sebagai angkutan penumpang, kereta api digunakan juga sebagai angkutan
barang. Jumlah barang yang diangkut oleh angkutan kereta api pada tahun 1998
sebesar 5,58 juta ton barang untuk di Pulau Jawa. Apabila dibandingkan dengan tahun
1998, jumlah barang yang diangkut pada tahun 2002 mengalami penurunan, yaitu
hanya sebesar 4,84 juta ton barang. Demikian pula yang terjadi di Pulau Sumatera,
angkutan barang mengalami penurunan. Jumlah barang yang diangkut pada tahun 1998
dan 2002 masing-masing sebesar 12,64 juta ton dan 12,41 juta ton (Tabel 2.1 dan 2.2).

Tabel 2.1. Jumlah Angkutan Penumpang Kereta Api di Indonesia

Tahun
Wilayah
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Daop 1 Jakarta 18.822.078 18.634.454 19.890.936 22.919.255 23.845.303 24.584.506 20.413.639 19.115.002
Daop Jabotabek 85.380.845 100.008.378 104.073.607 107.899.222 117.676.420 118.441.914 121.471.168 117.417.465
Daop 2 Bandung 11.006.536 10.695.069 11.153.941 12.569.944 14.427.000 15.044.122 13.084.753 11.396.103
Daop 3 Cirebon 1.350.529 1.292.464 1.126.283 1.124.146 1.311.632 1.426.023 1.368.672 1.304.382
Daop 4 Semarang 2.779.218 2.352.011 2.317.503 2.451.614 3.357.790 3.889.038 3.375.367 3.060.435
Daop 5 Purwekerto 3.345.116 3.032.897 2.911.403 3.158.865 3.347.205 3.295.928 3.124.355 2.756.108
Daop 6 Yogyakarta 3.068.104 2.877.416 2.997.897 3.365.026 4.101.625 4.298.328 4.197.237 3.693.857
Daop 7 Madiun 2.335.598 2.244.649 2.168.115 2.363.521 2.863.189 2.955.873 2.830.047 2.579.186
Daop 8 Surabaya 7.751.404 7.617.109 7.538.090 8.529.188 10.142.544 10.672.196 9.875.488 8.811.175
Daop 9 Jember 2.995.664 2.180.318 1.955.210 2.340.738 1.428.289 3.090.017 2.903.663 2.192.647
Total Jawa 138.835.092 150.934.765 156.132.985 166.721.519 182.500.997 187.697.945 182.644.389 172.326.360
Sumatera Selatan 1.087.685 1.023.877 958.854 1.017.297 1.387.708 1.463.401 1.496.563 1.343.151
Sumatera Utara 1.713.947 1.660.539 1.574.673 1.636.280 1.889.564 2.497.068 2.707.188 2.226.986
Total Sumatera 2.801.632 2.684.416 2.533.527 2.653.577 3.277.272 3.960.469 4.203.751 3.570.137
Total K.A 141.636.724 153.619.181 158.666.512 169.375.096 185.778.269 191.658.414 186.848.140 175.896.497
Sumber : PT. KAI dalam berbagai tahun (diolah) dikutip dari Bappenas (2003)

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 7


Tabel 2.2. Jumlah Angkutan Barang Kereta Api di Indonesia

Tahun
Wilayah
1998 1999 2000 2001 2002
Daop 1 Jakarta 1001.5 1050.0 1205.5 1182.3 919.9
Daop 2 Bandung 483.8 512.9 426.2 368.5 401.6
Daop 3 Cirebon 22.6 20.9 31.2 5.0 0.0
Daop 4 Semarang 548.2 416.6 332.7 161.4 65.9
Daop 5 Purwekerto 1009.4 981.3 986.1 961.3 945.2
Daop 6 Yogyakarta 393.8 504.2 665.1 894.1 952.0
Daop 7 Madiun 5.7 10.5 6.4 3.3 3.2
Daop 8 Surabaya 1823.3 1630.9 1532.0 1328.8 1366.2
Daop 9 Jember 293.4 197 223.1 188.1 190.1
Total Jawa 5581.7 5324.3 5408.3 5092.8 4844.1
Sumatera Selatan 9571.1 10073.7 10030.2 10089.4 9379.0
Sumatera Barat 2476.6 3381.7 3638.0 3023.8 2466.1
Sumatera Utara 588.9 526.2 475.8 495.5 569.4
Total Sumatera 12636.6 13981.6 14144 13608.7 12414.5
Total K.A 18218.3 19305.9 19552.3 18701.5 17258.6
Sumber : PT. KAI dalam berbagai tahun (diolah) dikutip dari Bappenas (2003)

Prasarana Jalan Kereta Api dan Persinyalan. Teknologi sistem prasarana jalan
perkeretaapian telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Saat ini, teknologi rel
kereta api telah mampu dikembangkan untuk melayani kecepatan yang lebih tinggi dan
dapat menahan beban yang lebih berat. Di samping itu, sistem track di beberapa negara
telah dikembangkan dan didesain sesuai dengan teknologi sarananya. Namun,
perkembangan teknologi perkeretaapian di Indonesia masih belum banyak berkembang.
Hal ini terbukti dengan banyaknya rel yang sudah tua dan perlu segera di ganti.
Berdasarkan data yang dikeluarkan PT. KAI yang dikutip oleh Bappenas (2003)
sebanyak 45% rel kereta api di Indonesia dengan kategorikan rel tipe kecil dan sudah
tua (lebih dari 80 tahun). Di samping itu, prasarana pendukung rel seperti bantalan dan
balast umumnya sudah melebihi batas usia teknisnya, bahkan dibeberapa lintasan
masih terdapat bantalan yang menggunakan batalan kayu.

Tabel 2.3. Tipe Rel dan Tahun Pemasangan

No Tipe Rel Tahun Pemasangan Panjang Rel Presentase (%)


(Km Spoor)
1. R.25 1912 dan 1922 950,77 19
2. R.33 1870 – 1995 1.319,34 26
3. R.41/42 1960 – 2001 2.560,80 51
4. R.50/54 1985 – 2001 211,13 4
Jumlah 5.042,05 100
Sumber : PT. KAI, berbagai tahun dikutip dari Bappenas (2003)

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 8


Sistem persinyalan kereta api di Indonesia sebagian masih menggunakan sistem sinyal
dan block mekanik. Sedangkan pada sebagian lintasan yang padat lalulintas
angkutannya sudng menggunakan sistem sinyal elektrik. Komposisi persinyalan di
Indonesia yang masih menggunakan sinyal mekanik hádala 17,8% di Jawa dan 10,7%
di Sumatera. Di camping itu, sistem telekomunikasi dan persinyalan masih banyak
menghadapi gangguan terutama gangguan cuaca dan pengrusakan serta pencurian.
Hal ini dapat berakibat pada terganggunya lalulintas kereta api atau bahkan dapat
menyebabkan kecelakaan.

Kondisi Sarana Kereta Api. Berbagai jenis kereta yang dimiliki Indonesia antara lain
lokomotif, kereta penumpang dan barang, kereta rel listrik, dan kereta rel diesel.
Berdasarkan data pada Tabel 2.4 memperlihatkan bahwa jenis kereta yang berumur
lebih dari 20 tahun sebesar 56,62% sedangkan yang berumur kurang dari 20 tahun
sebesar 43,38%. Permasalahan umur yang cukup tua tersebut diperparah dengan
sistem perawatan sarana perkeretaapian yang sangat terbatas karena kurangnya
pendanaan, kurang memadainya teknik perawatan, tidak handalnya struktur organisasi,
dan kualitas manajemen.

Tabel 2.4. Kondisi Umur Sarana Kereta Api di Indonesia

Umur Kereta (tahun) Jumlah


No Jenis Kereta
1-10 11-20 21-30 31-40 > 40 Kereta (unit)
1. Eksekutif 123 48 3 106 3 283
2. Bisnis 3 134 127 33 0 297
3. Ekonomi 134 55 15 246 5 455
4. Kereta Pembangkit 18 5 15 104 19 161
5. Kereta Makan 12 29 9 87 0 137
6. KRL 136 37 137 0 0 310
7. Lokomotif Kecil 0 0 0 160 0 160
8. Lokomotif Besar 67 179 101 109 0 456
Jumlah 493 487 407 845 27 2259
Sumber: PT. KAI Tahun 2002 dikutip dari Bappenas 2003

Berbagai kondisi di atas menyebabkan penurunan kinerja perkerataapian. Tingkat


pelayanan terhadap penumpang yang rendah, tidak tepatnya waktu keberangkatan dan
kedatangan, kenyamanan yang kurang diperhatikan, masih terdapatnya praktik
percaloan karcis yang belum diberantas, meningkatnya harga bahan bakar minyak,
prasarana perkeretaapian yang sudah berumur tua serta berbagai kekurangan lainnya
menyebabkan terjadinya penurunan penumpang kereta api.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II- 9


2.1.1.2. Lalu Lintas Angkutan Jalan
Sarana angkutan jalan raya merupakan armada yang berfungsi untuk mendistribusikan
barang dan jasa ataupun sebagai angkutan penumpang yang mengantarkan dari satu
wilayah ke wilayah lainnya. Besarnya permintaan pada alat transportasi angkutan jalan
akan diiringi dengan perkembangan industri otomotif di Indonesia. Akhir-akhir ini
perkembangan industri otomotif di Indonesia cukup berkembang dengan pesat seiring
dengan permintaan akan kendaraan roda empat dan bermotor yang cukup besar.
Berbagai jenis dan merk kendaraan yang ada di Indonesia cukup beragam bahkan
kendaraan yang cukup mahal pun sekarang ini dapat dijumpai setelah pemerintah
mengijinkan impor kendaraan mewah. Ini merupakan sinyal yang cukup baik bagi
perkembangan industri otomotif di Indonesia.

Tabel 2.5. Perkembangan Jumlah Kendaraan di Wilayah Indonesia

Mobil Penumpang (unit) Bis (unit) Truk (unit)


Wilayah Pertumb Pertumb Pertumb
2001 2002 2001 2002 2001 2002
(%) (%) (%)
Sumatera 440416 489337 11.11 137643 150366 9.24 404075 415131 2.74
Kalimantan 106364 114579 7.72 22294 24681 10.71 97021 105767 9.01
Sulawesi 113161 120740 6.70 52634 52310 -0.62 102356 110618 8.07
Indonesia Timur
58442 59875 2.45 23277 23512 1.01 49753 49322 -0.87
Lainnya
Jawa dan Bali 2526359 2618902 3.66 457803 463353 1.21 1135571 1184560 4.31
INDONESIA 3244742 3403433 4.89 693651 714222 2.97 1788776 1865398 4.28

Kendaraan Bermotor (unit) Jumlah Kendaraan (unit)


Wilayah
Pertumb Pertumb
2001 2002 2001 2002
(%) (%)
Sumatera 2966338 3068425 3.44 3948472 4123259 4.43
Kalimantan 1006896 1122945 11.53 1232575 1367972 10.98
Sulawesi 662572 687045 3.69 930723 970713 4.30
Indonesia Timur
364674 398606 9.30 496146 531315 7.09
Lainnya
Jawa dan Bali 10459367 11725119 12.10 14579100 15991934 9.69
INDONESIA 15459847 17002140 9.98 21187016 22985193 8.49
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2003

Perkembangan jumlah kendaraan roda empat dan bermotor sangat ditunjang dengan
perkembangan infrastruktur jalan. Banyaknya infrastruktur jalan yang dibangun di suatu
wilayah akan berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah kendaraan. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah kendaraan di setiap pulau di Indonesia. Tabel 2.5 memperlihatkan
perkembangan jenis dan jumlah kendaraan di wilayah Indonesia. Pulau Jawa dan Bali
merupakan pulau yang memiliki jumlah kendaraan terbanyak dibandingkan dengan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-10


pulau-pulau lainnya di Indonesia. Berdasarkan data tersebut jumlah kendaraan di pulau
Jawa dan Bali mencapai 22.985.193 unit kendaraan (69,57% dari total) pada tahun 2002
dengan tingkat pertumbuhan kendaraan sebesar 8,49%. Beberapa indikator yang
mendukung banyaknya jumlah kendaraan di Pulau Jawa dan Bali adalah besarnya
jumlah penduduk, dukungan geografis yang cocok untuk pengembangan transportasi
darat, pertumbuhan industri, dan banyaknya infrastruktur jalan yang telah terbangun.

Bila dilihat dari jenis kendaraan, perkembangan kendaraan bermotor mengalami


peningkatan yang cukup pesat. Tercatat bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor di
seluruh Indonesia mencapai 9,98% dan Pulau Jawa dan Bali memiliki kendaraan
bermotor yang cukup banyak dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya (lihat Ilustrasi
2.4). Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan semakin meningkat dengan
terjadinya peningkatan harga bahan bakar minyak karena kendaraan bermotor dapat
menghembat biaya transportasi, khususnya untuk transportasi dalam kota.

Ilustrasi 2.4. Perkembangan Jumlah Armada Lalu Lintas Angkutan Jalan


Tahun 1998-2002

20,0
18,0
16,0
14,0

12,0
Juta Unit

10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
-
1998 1999 2000 2001 2002

Mobil Penumpang Bis T ruk Sepeda Motor

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.

Seiring dengan permintaan terhadap kendaraan yang cukup pesat, timbul pula
permasalahan di seputar lalu lintas yaitu masalah kemacetan, kelebihan muatan,
pengaturan jumlah armada angkutan jalan, dan berbagai jenis pelanggaran lalu lintas
lainnya. Masalah kemacetan biasanya terjadi di beberapa wilayah kota-kota besar dan
sedang khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Permasalahan kemacetan merupakan
resultante dari interaksi dan kombinasi dari banyak aspek hidup dan kehidupan suatu

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-11


kota. Begitu pula jumlah pelanggaran yang berhasil didata. Semakin banyak jumlah
kendaraan yang di Indonesia, semakin tinggi pula tingkat pelanggaran (lihat Tabel 2.6).

Tabel 2.6. Jumlah Pelanggaran Lalu Lintas Tahun 1998-2002

1998 1999 2000 2001 2002 Kenaikan


Jenis Pelangaran
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1998-2002
Kelebihan Muatan 107.005 8,9 87.535 10,2 103.854 7,1 124.966 7,0 150.693 6,9 29,0
Batas Kecepatan 52.457 4,4 40.009 4,7 18.672 1,3 30.426 1,7 35.590 1,6 -47,4
Marka/Rambu 311.962 25,9 24.882 2,9 404.601 27,7 395.984 22,2 458.881 20,9 32,0
Surat-surat 350.196 29,1 376.143 44,0 455.905 31,2 724.412 40,7 889.268 40,5 60,6
Perlengkapan 241.321 20,1 190.906 22,3 270.654 18,5 377.710 21,2 417.158 19,0 42,2
Lain-lain 140.016 11,6 135.272 15,8 207.923 14,2 127.577 7,2 246.357 11,2 43,2
TOTAL 1.202.957 100,0 854.747 100,0 1.461.609 100,0 1.781.075 100,0 2.197.947 100,0 45,3
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.

2.1.1.3. Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan


Transportasi sungai, danau, dan penyebrangan (ASDP) berfungsi untuk
menghubungkan jaringan transportasi darat yang terputus oleh perairan. Jenis
transportasi ini sangat penting sekali keberadaannya mengingat kondisi geografis
Indonesia yang berpulau, bersungai dan berdanau menyebabkan Indonesia harus
memiliki jenis transportasi ini. Sistem transportasi ini meliputi sistem angkutan dalam
pulau (inland waterways) berupa angkutan sungai dan danau dan angkutan antarpulau
atau yang dikenal dengan angkutan penyeberangan.

Transportasi Sungai dan Danau. Transportasi sungai di Indonesia pada umumnya


digunakan untuk melayani distribusi barang dan penumpang baik di sepanjang aliran
sungai maupun penyeberangan sungai. Adapun sistem perairan sungai yang dapat
dilayani oleh jenis transportasi ini harus memenuhi persyaratan teknis kedalaman,
kelandaian dan kecepatan arus tertentu sehingga aman dan mudah dilayari.
Penyelenggaraan angkutan sungai kebanyakan dilakukan oleh masyarakat terutama
untuk menghubungkan daerah yang belum mempunyai prasarana jalan. Adapun
pemerintah berperan dalam pembangunan dermaga penyeberangan sungai yang
jumlahnya masih relatif sedikit.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappenas-Dephun (2000) menyebutkan bahwa


jumlah sungai di Indonesia mencapai 214 buah dengan total panjang 34.342 km
sedangkan panjang sungai yang dapat dilayari 23.255 km. Jumlah dermaga sungai yang
tersedia hanya sebanyak 160 unit dan jumlah danau yang ada di Indonesia sebanyak 27

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-12


buah dengan luas 3.737,50 km2. Sampai saat ini jumlah sungai dan danau relatif tidak
berubah jumlahnya.

Ilustrasi 2.5. Perkembangan Angkutan Sungai Pada Tahun 1998

18 0 0 0

16 0 0 0

14 0 0 0

12 0 0 0

10 0 0 0

8000

6000

4000

2000

0
Indo ne s ia
Ka lim a nt a n S um a t e ra P a pua
( s is a )

B a ra ng ( t o n) 8071 18 9 7 3 5 14 978
P e num pa ng ( t o n) 16 2 7 9 3641 2284 3707

Sumber: Bappenas-Dephub, TSSS, 2000

Adapun jumlah angkutan barang dan penumpang dengan menggunakan jenis


transportasi sungai dan danau ini dapat dilihat pada Ilustrasi 2.5. Kalimantan dan
Sumatera sebagai salah satu pulau terbesar mempunyai sungai-sungai yang dapat
dimanfaatkan menjadi jaringan transportasi. Berdasarkan karakteristik geografisnya,
pulau Kalimantan merupakan pulau di Indonesia yang banyak dilalui oleh sungai-sungai.
Oleh karena itu, berbagai aktivitas manusia dilakukan melalui sungai. Berdasarkan
ilustrasi di atas, berbagai aktivitas di sungai berupa angkutan barang dan penumpang di
pulau Kalimantan pada tahun 1998 menunjukkan angka 8.071 ton barang dan 16.279
orang yang diangkut. Angka ini melebihi wilayah lainnya di Indonesia, maka pantaslah
bahwa transportasi sungai sangat diperlukan sekali di Kalimantan. Seperti halnya
transportasi lainnya, permasalahan yang timbul saat ini adalah tingginya harga bahan
bakar minyak yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas angkutan sungai ini.

Transportasi Penyeberangan. Berdasarkan pada kebutuhan permintaan, lintas


penyeberangan dapat dibedakan menjadi (a) lintas permintaan tinggi, yaitu lintas yang
memerlukan pelayanan lebih dari enam trip perhari dan menggunakan kapal berukuran
300-500 Gross Ton (GRT), (b) lintas permintaan sedang, yaitu lintas dengan permintaan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-13


2–6 trip perhari dan menggunakan kapal berukuran 300-500 GRT, serta (c) lintas
permintaan rendah, yaitu lintas dengan pemintaan kurang dari 2 trip perhari dengan
menggunakan kapal 300-500 GRT.

Sampai dengan tahun 2001, jumlah lintasan penyeberangan yang telah ditetapkan oleh
Meteri Perhubungan sebanyak 172 lintasan dan sejumlah 130 lintasan penyeberangan
telah dioperasikan sedangkan sisanya belum dioperasikan karena bersifat sebagai
lintasan penyeberangan perintis yang belum tersedia prasarana, sarana maupun subsidi
pengoperasiannya. Untuk pengembangan sistem jaringan penyeberangan, masih perlu
diperhatikan adanya keterpaduan intermoda dan antarmoda yang dapat mewujudkan
pelayanan dari pintu ke pintu secara efisien.

Sarana Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan. Sarana angkutan sungai


dan danau pada umumnya menggunakan kapal bertipe kecil dan dimiliki oleh
masyarakat atau perorangan. Adapun jenis dan tipe kapal yang digunakan untuk
angkutan sungai dan danau berupa: bis air, tug boat, tongkang, long boat, kapal barang,
speed boat, kapal motor, kapal getek/klotok, perahu moton, dan truk air. Berdasarkan
data dari Bappenas (2003) jumlah sarana angkutan sungai pada tahun 2002 tercatat
sebanyak 21.117 unit yang tersebar di 14 wilayah di Indonesia. Propinsi Kalimantan
Tengah memiliki jumlah armada lebih banyak dibandingkan dengan propinsi lainnya,
yaitu sebesar 34,9% dan selanjutnya diikuti oleh Kalimantan Selatan sebesar 13,7% dan
Riau sebesar 11,5%.

Ilustrasi 2.6. Jumlah Armada Berdasarkan Ilustrasi 2.7. Jumlah Armada Berdasarkan
Kepemilikan Jenis Kapal
120 60,0%
180 90%
100 50,0% 160 80%
140 70%
80 40,0% 120 60%
100 50%
60 30,0%
80 40%
40 20,0% 60 30%
40 20%
20 10,0%
20 10%
0 0,0% 0 0%
PT. ASDP KSO ASDP-Sw asta Swasta RO-RO LCT CONV. PASS TA

Jumlah Persen Jumlah Persen

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2003 (diolah) Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2003 (diolah)

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-14


Pada transportasi penyeberangan, jenis armada yang digunakan terutama Roll on Roll
(Ro-Ro) 85%; Landing Craft Tank (LCT) 4,2%; kapal penumpang 6,8% (Ilustrasi 2.6
dan 2.7). Dibandingkan jumlah lintasan penyeberangan yang ada saat ini, serta
kebutuhan lintasan yang dilayani, maka jumlah sarana penyeberangan masih sangat
terbatas. Keterbatasan jumlah sarana penyeberangan tersebut terutama karena belum
berkembangnya peran serta swasta serta maupun pemerintah daerah dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan ASDP, terutama untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
transportasi perintis. Jumlah armada penyeberangan pada tahun 2000 sebanyak 205
unit di mana 45% diantaranya dimiliki oleh BUMN (PT ASDP), 53% dimiliki oleh swasta,
dan 2% Kerjasama Operasi (KSO) antara BUMN-Swasta.

Beberapa permasalahan yang terjadi dengan transportasi penyeberangan ini adalah


peremajaan armada kapal. Kendala yang dihadapi adalah ketidakmampuan para pemilik
kapal dalam menyediakan modal sendiri dan sistem kredit perbankan yang belum
menunjang untuk penyediaan pendanaan dalam peremajaan armada kapal. Akbibatnya,
sebagian besar kapal sudah beroperasi di atas dari 10 tahun, seperti terlihat pada
Ilustrasi 2.8.

Ilustrasi 2.8. Umur Kapal Berdasarkan Pemilik Kapal


Tahun 2004
0 12
>30 7
13
26 - 30 0 3
1 13
21 - 25 8
29
16 - 20 1 9
11 - 15 1 15
10
14
6 - 10 1 36
0-5 0 5
12

PT.ASDP (Persero) KSO ASDP SWASTA

Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, diolah.

Prasarana Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan. Jenis prasarana yang


digunakan untuk transportasi sungai, danau dan penyeberangan berupa pelabuhan
penyeberangan yang sering dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan
kegiatan pelabuhan serta tempat perpindahan intra dan antarmoda pada lintas
penyeberangan. Pada tahun 1998, jumlah dermaga penyeberangan yang sudah

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-15


dibangun oleh pemerintah sebanyak 111 unit sedangkan pada tahun 2003 jumlah
dermaga tersebut meningkat menjadi 168 unit. Sejumlah unit dermaga tersebut dikelola
oleh 5 lembaga, yaitu 126 unit dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen
Perhubungan Darat, 16 unit dimiliki oleh PT. ASDP, 19 unit milik Ditjen Perhubungan
Laut, 6 unit milik Pemerintah Daerah, dan 1 unit dikelola oleh swasta/KSO (dermaga
merak IV). Saat ini terdapat sebelas unit dermaga milik pemerintah yang sedang
direhabilitasi, yaitu Torobulu, Tampo, Bira, Permatata, Bau-bau, Wara, Luwuk, Salakan,
Pananaro, Bojo-E dan Kolaka.

2.1.2. Transportasi Laut


Transportasi laut mempunyai peranan sangat penting pada perekonomian Indonesia.
Hal ini terlihat pada tahun 2002 lebih dari 99 persen kegiatan ekspor-impor sebesar 296
juta ton dan 95% dari ekspor-impor tersebut senilai US $ 88,4 miliar diangkut dengan
menggunakan transportasi laut. Potensi pasar yang begitu besar bagi armada pelayaran
nasional di angkutan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan juga angkutan dalam negeri
sebanyak 143, 4 juta ton, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh armada pelayaran
nasional.

Begitu penting pelayaranan nasional bagi pembangunan Indonesia, maka pemerintah


mengeluarkan paket deregulasi dalam penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan
laut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1988. Berdasarkan
peraturan tersebut maka kapal-kapal tua harus dihapuskan dari pelayaran nasional,
adanya pembebasan trayek dan tarif tanpa harus meminta ijin pada pemerintah,
perijinan dan persyaratan pendirian usaha pelayaran dipermudah. Selain itu,
penggunaan kapal asing di dalam negeri harus dilaporkan kepada pemerintah yang
diwakili oleh Ditjen Perhubungan Laut.

Angkutan Laut. Angkutan laut sangat penting di dalam pelayaran nasional terutama
dalam mendistribusikan barang antar wilayah di Indonesia maupun ke luar wilayah
Indonesia atau mempermudah ekspor – impor barang dari dalam dan luar negeri.
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah angkutan barang dalam negeri dan barang
ekspor – impor yang dilakukan oleh armada nasional dan asing dapat dilihat pada
Ilustrasi 2.9 dan 2.10. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa armada nasional dalam
angkutan dalam negeri mempunyai peranan yang cukup penting, namun dalam

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-16


pengangkutan barang ekspor dan impor peranannya diambil alih oleh armada asing.
Potensi ini belum dapat dimanfaatkan oleh armada nasional karena keterbatasan
permodalan dan sarana angkutan laut untuk pelayaran internasional.

Ilustrasi 2.9. Pangsa Pasar Angkutan Laut Ilustrasi 2.10. Pangsa Pasar Angkutan
Dalam Negeri Oleh Armada Nasional dan Ekspor-Impor Oleh Armada Nasional dan
Asing (1996-2003) Asing (1996-2003)
200,000.0 450.000,0

180,000.0 400.000,0
160,000.0 350.000,0
140,000.0 300.000,0

Ton (000)
120,000.0 250.000,0
Ton (000)

100,000.0
200.000,0
80,000.0
150.000,0
60,000.0
100.000,0
40,000.0
50.000,0
20,000.0
-
- 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Armada Nasional TahunAsing
Armada
Armada Nasional Armada Asing

Sumber: Ditjen Hubla Dephub, 2004, diolah.

Tabel 2.7. Kegiatan Pelayaran dan Angkutan Laut Antar Pulau dan Negara
Menurut Wilayah di Indonesia

2000 2001 2002


Wilayah Bongkar Muat Bongkar Muat Bongkar Muat
(ton) (ton) (ton) (ton) (ton) (ton)
A. Antar Pulau
Sumatera 30518 51882 53905 34302 37293 55485
Kalimantan 32089 46650 48272 33751 33472 43541
Sulawesi 8161 6372 7657 9381 9780 8139
Indonesia Timur Lainnya 4781 2899 3818 6074 6271 4472
Jawa dan Bali 61963 19937 21646 72533 83440 26313
Total A 137512 127741 135297 156042 170255 137949
B. Antar Negara
Sumatera 8779 66542 61651 9221 9642 64489
Kalimantan 4136 58685 75580 4199 4549 83241
Sulawesi 1289 2828 3078 1145 1424 2698
Indonesia Timur Lainnya 100 2514 3022 468 609 1386
Jawa dan Bali 30736 10960 11505 36656 37553 11525
Total B 45041 141528 154835 51688 53777 163340
INDONESIA (A+B) 182553 269268 290133 207730 224032 301289
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2003

Bila ditinjau dari sisi bongkar muat antar pulau di Indonesia (Tabel 2.7), pulau-pulau
yang mempunyai tingkat bongkar muat yang besar adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-17


dan Bali. Begitu pula dengan bongkar muat antar negara di mana ketiga pulau tersebut
memiliki jumlah bongkar muat yang lebih besar dibandingkan dengan pulau-pulau
lainnya. Bila dilihat dari sisi barang yang dibongkar dan dimuat, khusus untuk pulau
Jawa dan Bali berupa barang-barang setengah jadi atau barang jadi sedangkan di
wilayah Sumatera dan Kalimantan cenderung pada barang-barang mentah dan
setengah jadi. Hal ini dapat dilihat bahwa industri yang dihasilkan oleh pulau Sumatera
dan Kalimantan adalah berupa komoditas hasil hutan, perkebunan, pertambangan,
minyak bumi dan gas.

Adapun dari sisi angkutan penumpang, setiap tahun terjadi kenaikan jumlah penumpang
yang memanfaatkan transportasi laut. Perusahaan pemerintah yang bertugas untuk
melayani pelayaran nasional untuk angkutan penumpang adalah PT. Pelayaranan
Nasional Indonesia (Pelni). Di samping perusahaan pemerintah yang bergerak dalam
pelayaran nasional, perusahaan swasta pun ikut berperan dalam meramaikan lalu lintas
pelayaran nasional Indonesia untuk angkutan penumpang. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Laut yang dikutip oleh Bappenas (2003)
memperlihatkan tingkat pertumbuhan penumpang yang cukup tinggi (lihat Tabel 2.8).

Tabel 2.8. Perkembangan Penumpang Dalam Negeri

Tahun Jumlah Penumpang (orang)


Pelni Swasta Total
1997 4.382.606 3.908.514 8.291.120
1998 6.619.417 4.368.694 10.988.111
1999 8.606.610 3.374.957 11.981.567
2000 8.831.837 3.680.744 12.512.581
2001 7.429.282 4.413.609 11.842.891
Pertumbuhan (%) 16,9 4,5 10,2

Sektor Pelabuhan. Pelabuhan laut mempunyai peran yang sangat penting di dalam
mendukung transprotasi laut, baik untuk perdagangan domestik maupun perdagangan
internasional. Sebagai sarana tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dang
penumpang, peran bagi sektor pelabuhan ini adalah sebagai tempat transit, tempat
bongkar dan muat barang dan sebagai moda angkutan penumpang, ataupun berperan
sebagai tempat transaksi perdagangan.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-18


Pada periode 1996-2001, rata-rata 99% dari volume ekspor atau 95% dari total nilai
ekspor diangkut dengan menggunakan moda angkutan laut (Bappenas, 2003). Dalam
PDB, peran transportasi laut mempunyai peran kedua terbesar setelah jalan dan di atas
kontribusi ASDP, udara, dan perkeretaapian. Kontribusi transportasi laut terhadap PDB
sub sektor transportasi sebesar 15% pada tahun 2002.

Begitu pentingnya pelabuhan laut ini di Indonesia yang berbasis negara kepulauan,
maka berdasarkan data BPS (2000), jumlah pelabuhan yang diusahakan (commercial)
adalah 91 buah (diantaranya 25 buah merupakan pelabuhan strategis) dan 191 buah
merupakan pelabuhan yang tidak diusahakan (non commercial) (Ilustrasi 2.11). Jumlah
pelabuhan yang commercial paling banyak terdapat di Propinsi Riau dan Kepulauan
Riau, yaitu sebanyak 10 buah dan Propinsi Jawa Timur sebanyak 7 buah. Sedangkan
yang non commercial terbanyak terdapat di Propinsi Riau dan Kepulauan Riau
sebanyak 22 buah, Maluku sebanyak 20 buah, dan Sulawesi Selatan sebanyak 17
buah. Akan tetapi, apabila merujuk pada Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 Tahun
2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional, maka jumlah pelabuhan yang ada di
Indonesia sebanyak 725 pelabuhan. Sejumlah pelabuhan tersebut terdiri dari 20
pelabuhan internasional, 245 pelabuhan nasional, 139 pelabuhan regional, dan 321
pelabuhan lokal.

Ilustrasi 2.11. Jumlah Pelabuhan Commercial, Non Commercial dan Strategis


Tahun 2000
70
Jumlah Pelabuhan (buah)

60

50

40

30

20

10

0
Sumatera Jaw a dan Nusa Kalimantan Sulaw esi Indonesia
Pel. Commercial Bali Tenggara Timur
Lainnya
Pel. Non Commercial
Wilayah-w ilayah di Indone sia
Pel. Strategis

Kepelabuhan dibedakan menjadi pelabuhan umum, baik yang dikelola oleh BUMN
maupun unit pelasana teknis (UPT) dibawah kewenangan Departemen Perhubungan,
serta kepelabuhan khusus. Pelabuhan khusus banyak digunakan untuk keperluan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-19


bongkar muat single commodity, yaitu minyak, gas, batu bara, dan semen. Saat ini
terdapat 112 pelabuhan yang dikelola oleh BUMN (PT. Pelindo I, II, III, dan IV),
sedangkan sisanya masih dikelola oleh UPT. Sejalan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah maka berdasarkan PP No. 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhan, maka pelabuhan-pelabuhan UPT diserahkan pengelolaannya kepada
pemerintah daerah yang bersangkutan.

Bila dilihat dari sisi tingkat pemanfaatan kapasitas pelabuhan atau berth occupancy ratio
(BOR), untuk pelabuhan-pelabuhan yang dikelola UPT umumnya masih rendah, yaitu
mempunyai BOR rata-rata di bawah 30%. Dari 23 pelabuhan strategis, pada tahun 2002
terdapat 10 pelabuhan yang memiliki BOR (berth occupancy ratio) di atas 70 persen.
Hal ini berarti dibutuhkan tambahan fasilitas baru untuk menghindari ketidaklancaran
bongkar muat di pelabuhan.

Tabel 2.9. BOR di 23 Pelabuhan Strategis (persen)

Nomor Pelabuhan 2000 2001 2002


1 Lhok Seumawe - Aceh 40,20 35,08 29,68
2 Belawan - Medan 61,13 61,05 60,52
3 Dumai - Riau 76,00 74,72 78,80
4 Pekanbaru - Riau 54,19 52,47 53,88
5 Tg. Pinang - Riau 85,95 84,27 91,83
6 Teluk Bayur - Sumbar 60,70 54,00 64,10
7 Palembang - Sumsel 66,51 73,35 68,48
8 Panjang - Lampung 68,69 69,32 61,55
9 Tg. Priok - Jakarta 60,00 66,75 65,90
10 Tg. Emas - Semarang 41,50 42,50 43,00
11 Tg. Perak - Surabaya 75,00 74,00 71,00
12 Pontianak - Kalbar 71,50 75,43 72,50
13 Banjarmasin - Kalsel 85,00 82,00 101,00
14 Balikpapan - Kaltim 83,17 83,36 84,10
15 Samarinda - Kaltim 64,80 6,49 64,68
16 Benoa - Bali 50,00 54,00 57,00
17 Tenau/Kupang - NTT 80,00 78,00 82,00
18 Bitung - Sulut 66,17 67,39 73,77
19 Makasar - Sulsel 68,25 66,28 53,41
20 Ambon - Maluku 82,10 42,15 39,55
21 Sorong - Papua 72,89 84,03 80,05
22 Biak - Papua 53,36 60,89 65,21
23 Jayapura - Papua 66,41 66,12 66,44
Sumber: Direktorat Pengerukan dan Pelabuhan, Ditjen Hubla (2004)

Adanya kontroversi tentang kewenangan atas pengelolaan pelabuhan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten dan kota
tentang siapa yang berhak mengelola pelabuhan. Walaupun UU Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 namun
kontroversi masih berlanjut. Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-20


tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom,
belum direvisi sehingga sulit mengharapkan dapat diselesaikannya perselisihan antara
pemerintah pusat dan asosiasi pemerintah kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan pihak
swasta kurang tertarik berinvestasi di pelabuhan.

2.1.3. Transportasi Udara


Transportasi udara yang memiliki keunggulan kecepatan dari moda transportasi yang
lain dapat menjadi sarana transportasi bagi wisatawan, pengusaha, dan masyarakat.
Transportasi udara di Indonesia perlu dikelola sesuai standar keselamatan penerbangan
internasional, dan interkoneksi dengan moda transportasi lainnya. Saat ini 67,5 persen
dari wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia menggunakan transportasi
udara. Oleh karena itu untuk menarik wisatawan mancanegara, selain promosi tempat
daerah tujuan wisata dan jaminan keamanan di daerah tersebut, diperlukan adanya
jaminan keselamatan penerbangan di wilayah udara Indonesia. Jaminan itu dapat
diwujudkan, baik oleh lembaga pemerintah pemegang otoritas pengelola transportasi
udara maupun operator bandara dan perusahaan penerbangan, dengan memenuhi
standar keselamatan penerbangan Internasional yang telah ditetapkan oleh ICAO
(International Civil Aviation Organization). Organisasi ini mensyaratkan infrastruktur
transportasi udara baik sarana maupun prasarana harus mempunyai persyaratan
dengan tingkat ketelitian dan ketepatan (precision) yang sangat tinggi untuk menjamin
keselamatan operasi penerbangan.

Implkasi dari pelaksanaan ketentuan internasional tersebut, maka pengelola bandara


harus memenuhi persyaratan pembangunan dan pengoperasian fasilitas bandara udara
serta pelayanan pemanduan navigasi penerbangan (Air Traffic Services) yang meliputi
Aeronautical Flight Information Service (AFIS), Aerodrome Control (ADC), Approach
Area (APP) dan Area Control Centre (ACC) menjadi persyaratan yang harus dimiliki oleh
pengelola bandara. Demikian juga dengan kelaikan terbang pesawat menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan penerbangan yang akan mengoperasikan
pesawat tersebut. Departemen Perhubungan menjadi institusi yang berwenang
menentukan kelaikan bandara dan pesawat yang penetapannya berdasarkan penelitian
atau pemeriksaan.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-21


Prasarana Transportasi Udara. Prasarana transportasi udara di Indonesia
dikategorikan menjadi enam kelas, yaitu bandara kelas I yang mampu didarati oleh
pesawat sejenis B-747, DC-10, dan MD-11; bandara kelas II yang mampu didarati
pesawat sejenis A-330; bandara kelas III yang mampu didarati B-737, F-100, dan DC-9;
bandara kelas IV yang mampu didarati pesawat sejenis F-50, F-28, N-250, dan BAE-
146; bandara kelas V yang mampu didarati pesawat sejenis F-27, CN-235, ATP, dan
HS-748; dan bandara kelas VI yang mampu didarati pesawat sejenis C-212 dan DHC-6.
Sampai dengan tahun 2002, Indonesia telah memiliki 187 badara umum seperti terlihat
pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10. Klasifikasi Bandara

No. Jenis Pesawat Km Kapasitas Jumlah Panjang Landasan


Jelajah Tempat Bandara yang Dibutuhkan
Duduk (meter)
1. B-777, B-747, DC-10, 14.630 516 7 3.352
MD-11
2. A-330, A-310 8.334 440 6 2.500
3. B-737, F-100, DC-9 5.278 149 15 2.286
4. F-50, F-28, N-250, 3.169 65 15 1.750
BAE-146, VC-843
5. F-27, CN-235, ATP, 2.741 60 24 1.664
HS-748
6 C-212, DHC-6 2.680 26 120 757
Sumber: Departemen Perhubungan Udara, 2002

Berdasarkan fungsinya, bandara umum dikategorikan lagi menjadi bandara pusat


penyebaran dan bukan pusat penyebaran dan dari 187 bandara umum masing-masing
terbagi menjadi 19 bandara pusat penyebaran dan 168 bukan pusat penyebaran.
Sedangkan bila didasarkan pada penggunaannya, maka bandara umum terbagi menjadi
bandara terbuka untuk melayani angkutan udara internasional sebanyak 23 bandara
dan bandara domestik yang berjumlah 164 bandara.

Perkembangan Angkutan Udara. Angkutan udara dibedakan atas dua kategori, yaitu
angkutan udara internasional dan domestik. Berdasarkan data BPS (2002) terjadi
fluktuasi angkutan barang dan penumpang pada angkutan udara internasional (Tabel
2.11). Angkutan udara internasional ini sangat penting terutama dalam mendatangkan
devisa bagi Indonesia. Perkembangan angkutan udara melalui penerbangan
internasional dapat dilihat dari arus kedatangan penumpang terutama wisatawan
mancanegara (wisman) yang memberikan kontribusi yang cukup bagi pendapatan
nasional kita. Pada tiga tahun sebelum krisis ekonomi, wisman yang menggunakan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-22


transportasi udara sebanyak 60%. Kondisi setelah tiga tahun krisis terjadi penurunan
walaupun masih di atas 50%. Pada tahun 2001 sebanyak 5,1 juta orang wisma datang
ke Indonesia, di mana 53% dari wisma tersebut menggunakan transportasi udara
(Bappenas 2003). Apabila dihitung secara proporsional, maka sumbangan devisa yang
diberikan oleh wisma tersebut sebesar US$ 5,3 milyar di mana US$ 2,3 milyar
disumbang oleh transportasi udara. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya transportasi
udara dalam mendatangkan wisma ke Indonesia yang pada akhirnya akan
meningkatkan perekonomian nasional.

Tabel 2.11. Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Cargo


untuk Penerbangan Luar Negeri Tahun 1998 – 2002

Kedatangan Keberangkatan Total


Tahun Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Cargo Pergerakan Penumpang Cargo
Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Ton) Pesawat (Orang) (Ton)
(Unit) (Unit) (Unit)
1990 23.201 2.101.246 71.813 22.996 2.308.851 112.490 46.197 4.410.097 184.303
1991 25.227 2.317.443 65.991 25.263 2.325.895 122.265 50.492 4.663.388 188.256
1992 31.896 2.692.814 79.681 32.420 2.743.794 152.949 64.316 5.436.608 232.630
1993 32.688 3.158.845 93.707 35.519 3.449.127 180.699 68.207 6.607.972 274.406
1994 37.739 3.823.830 121.724 38.995 3.941.304 206.819 76.734 7.765.134 328.543
1995 41.688 4.146.581 142.372 42.504 4.082.021 209.778 84.192 8.228.602 352.150
1996 44.633 4.512.500 103.469 44.802 4.513.812 228.911 89.435 9.026.312 332.400
1997 47.947 4.513.364 183.451 49.295 4.474.333 229.774 97.242 8.987.697 413.225
1998 37.205 3.778.509 119.570 37.829 3.833.025 226.268 75.034 7.611.534 345.838
1999 40.064 3.877.617 148.889 39.552 3.924.275 226.230 79.616 7.801.892 375.119
2000 40.571 4.243.327 173.791 40.052 4.728.389 215.240 80.623 8.971.716 389.031
2001 42.813 4.520.028 95.741 42.617 4.675.007 147.008 85.430 9.195.035 242.749
2002 36.705 4.725.068 96.957 36.787 4.745.681 145.917 73.492 9.470.749 242.874
Sumber: BPS, 2003

Adapun angkutan udara domestic juga mempunyai peran yang cukup besar pula bagi
pembangunan nasional. Penerbangan domestik seluruhnya dilayani oleh perusahaan
penerbangan nasional, baik BUMN ataupu swasta. Perusahaan penerbangan
pemerintah mempunyai pangas pasar yang cukup besar di mana dari tahun 1996 –
2000 terus mengalami peningkatan pangsa pasar, seperti terlihat pada Tabel 2.12.
Pangsa pasar pemerintah pada tahun 2000 mencapai 74% dari total angkutan udara
domestik yaitu sebesar 7.546.346 orang sedangkan sisanya dikelola oleh swasta.
Namunm secara keseluruhan total penerbangan domestic dilihat dari sisi penumpang
dan angkutan barang dapat dilihat pada Tabel 2.14. Berdasarkan produktivitas daya
tampung penumpang yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta masing-
masing hanya terisis sebesar 57,7% dan 68,4% tempat duduk saja pada tahun 1996
sedangkan pada tahun 2000 masing-masing kapasitas tampung sebesar 62,4% dan
67,3%. Artinya adalah tidak setiap tempat duduk yang disediakan oleh masing-masing

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-23


penerbangan pemerintah dan swasta dapat terisi penuh oleh penumpang. Begitu pula
dengan muatan barang yang disediakan oleh angkutan penerbangan domestik, baik
pemerintah ataupun swasta masing-masing hanya terisis sebesar 50,7% dan 56,5% dari
kapasitas muatan barang yang disediakan. Hal ini menunjukkan bahwa transportasi
udara hanya merupakan alternatif transportasi bagi beberapa penumpang khususnya
bagi penumpang yang memerlukan waktu cepat untuk sampai ke tempat tujuan
terutama antra propinsi.

Tabel 2.12. Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Negeri


Tahun 1998 – 2002*)

Penumpang Barang
Tahun
(orang) (Ton)
1998 7.863.838 147.718
1999 6.673.713 155.439
2000 8.654.181 161.200
2001 10.394.330 164.135
2002 12.686.932 136.207
Sumber: BPS, 2003
*) Data keberangkatan

Seiring dibebaskannya pembatasan tarif harga terhadap penerbangan nasional, maka


tingkat kompetisi dari masing-masing maskapai penerbangan mulai terjadi persaingan
yang cukup tajam terutama antara tahun 2002-pertengahan 2005. Perang hargapun
mulai terjadi diseluruh maskapai penerbangan nasional dengan menawarkan harga
murah dan pelayanan yang terbaik bagi penumpang. Alhasil, banyak penumpang
domestik memanfaatkan penerbangan nasional untuk berbagai keperluan. Akan tetapi,
seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang dikeluarkan oleh pemerintah,
maka para maskapai penerbangan pun mulai merevisi kebijakan harga mereka masing-
masing.

2.2. Infrastruktur Jalan


Jalan merupakan infrastruktur yang sangat dibutuhkan bagi transportasi darat. Fungsi
jalan adalah sebagai penghubung satu wilayah dengan wilayah lainnya. Jalan
merupakan infrastruktur yang paling berperan dalam perekonomian nasional. Besarnya
mobilitas ekonomi tahun 2002 yang melalui jaringan jalan nasional dan propinsi rata-
rata perhari dapat mencapai sekitar 201 juta kendaraan-kilometer (Bappenas, 2003).
Hal ini belum termasuk mobilitas ekonomi yang mempergunakan jaringan jalan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-24


kabupaten sepanjang 240 ribu kilometer serta jaringan jalan desa. Artinya adalah
infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian
nasional.

Adapun kontribusi transportasi jalan terhadap subsektor transportasi mencapai 50%


(Ilustrasi 2.12). Selain itu, berdasarkan hasil survei asal tujuan transportasi nasional
1996 memperlihatkan bahwa moda jalan hampir mendominasi di seluruh Propinsi yaitu
antara 60% - 90%, kecuali Maluku moda jalannya mendominasi sebesar 20%
(Bappenas, 2003). Sedangkan di Pulau Jawa dan Sumatera moda jalan mendominasi
sekitar 80%-90% dari seluruh perjalanan. Moda jalan merupakan pilihan utama untuk
perjalanan jarak pendek dan menengah dalam satu pulau atau kawasan.

Ilustrasi 2.12. Kontribusi pada PDB Nasional Subsektor Transportasi Tahun 2002

Jasa Angkutan,
Rel, 2%
20%
Transportasi
Udara, 6%

Transportasi
Jalan, 50% ASDP, 7%

Transportasi
Laut, 15%

Tabel 2.13. Road User Cost pada seluruh Jaringan Jalan


(Nasional, Provinsi, dan Non Status) per hari
Klasifikasi VOC T-Time Cost RUC
Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar
I Seluruh Jaringan Jalan
1. P. Sumatera 424,72 53,82 478,54
2. P. Jawa 641,09 80,84 721,93
3. P. Lainnya 312,16 33,67 345,82
4. Total Indonesia 1.377,96 168,33 1.546,28
II Khusus Lintas Per Pulau
1. P. Sumatera 204,33 29,32 233,65
2. P. Jawa 240,36 33,86 274,21
3. P. Lainnya 156,37 18,16 174,53
4. Total Indonesia 601,06 81,34 682,39
Sumber: Ditjen Prasarana Wilayah, Dep. PU, 2002. diolah

Berdasarkan hasil survei jalan dan lalu lintas nasional tahun 2002 yang menggunakan
data dasar tahun 2001, diperkirakan besarnya biaya pengguna jalan (Road User

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-25


Cost/RUC) di seluruh jaringan jalan nasional dan propinsi mencapai Rp 1,55 triliun per
hari yang terdiri dari Rp 1,38 triliun biaya operasi kendaraan (BOK) dan Rp 168 milyar
biaya waktu perjalanan (travel time value). Dari RUC tersebut yang ditanggung
pengguna jalan di Jawa sebesar Rp 720 milyar, Sumater sebesar Rp 480 milyar, dan
sisanya sebesar Rp 350 milyar ditanggung Kawasan Timur Indonesia. Hal ini berarti
pulau Jawa merupkan pulau yang mempunyai infrastruktur jalan yang terpanjang dan
terbanyak dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.

Pembangunan transportasi jalan merupakan bagian yang amat penting dalam


pembangunan nasional, sehingga prasarana jalan sebagai parasarana publik memiliki
nilai ekonomi, nilai sosial dan nilai strategis. Fungsi jaringan jalan sebagai salah satu
komponen prasarana transportasi sudah saatnya diletakkan pada posisi yang setara
dalam perencanaan transportasi secara global, terutama di era desentralisasi, sebagai
perekat keutuhan bangsa dan negara dalam segala aspek sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan keamanan. Tujuan pembangunan transportasi jalan adalah meningkatkan
pelayanan jasa transportasi secara efisien, handal, berkualitas, aman, harga terjangkau
dan mewujudkan sistem transportasi nasional secara intermoda dan terpadu dengan
pembangunan wilayah dan menjadi bagian dari suatu sistem distribusi yang mampu
memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk meningkatkan
jaringan desa-kota yang memadai. Hal penting untuk mencapai tujuan ini adalah
menghilangkan arogansi sektoral, sehingga mampu memberikan pelayanan yang
proporsional dan efektif.

Panjang jalan total seluruh Indonesia terus meningkat terutama terjadi pada jalan
kabupaten. Penambahan panjang jalan kabupaten terus meningkat cukup tajam dari
tahun 1981 – 1994, dan setelah itu relatif stabil. Namun saat, krisis ekonomi melanda
Indonesia, pembangunan dan rehabilitasi jalan pun mengalami penurunan karena
pendanaan difokuskan untuk membantu masyarakat yang terpuruk akibat krisis
ekonomi. Oleh karena itu, secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun
terakhir terus mengalami penurunan. Beberapa sebab utama adalah kualitas konstruksi
jalan yang belum optimal, pembebanan berlebih (excessive over loading), bencana alam
seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta menurunnya kemampuan pembiayaan
setelah masa krisis ekonomi yang menyebabkan berkurangnya secara drastis biaya
pemeliharaan jalan oleh pemerintah. Pada tahun 2004, dari total panjang jalan 348.148

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-26


km, kondisi jalan yang rusak mencapai 19 persen dari 34.629 km jalan nasional, 37
persen dari 46.499 km jalan provinsi, 56 persen dari 240.946 km jalan kabupaten, dan
4 persen dari 25.518 km jalan kota. Di samping itu terdapat jalan tol sepanjang 606 km
yang secara keseluruhan dalam kondisi baik. Kondisi sistem jaringan jalan pada tahun
2004 yang meliputi jalan nasional, provinsi, kabupaten, kota maupun jalan tol yang
dalam kondisi baik dan sedang (mantap) mencapai 54 persen dari seluruh jaringan jalan
yang ada.

Tabel 2.14. Kerusakan Jaringan Jalan Nasional (2002-2004)

Panjang Kondisi Jalan (Persen)


Jenis Jalan
(km) Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat

Jalan Nasional 34.629 37,4 44,0 7,7 10,9


Jalan Provinsi 46.499 27,5 35,3 14,4 22,7
Jalan Kabupaten 240.946 17,0 26,4 21,9 34,7
Jalan Kota 25.518 9,0 87,0 4,0 0,0
Jalan Tol 606 100,0 0,0 0,0 0,0

Total 348.148 20,0 33,7 18,2 28,1

Sumber: Ditjen Praswil (2004)


Catatan : Data Jalan Nasional & Provinsi berdasarkan hasil survey IRMS 2003, diramalkan ke 2004
Data Jalan Kab/Kota berdasarkan hasil survey IRMS 2003

Ilustrasi 2.13. Kondisi Jalan di Beberapa Pulau Besar di Indonesia Tahun 2002 (%)

100%
90% 25.1
30.7 33.4 27.0
80% 35.1
70%
60% 19.0 17.2
41.8 18.2 37.1
50%
40%
30%
50.3 49.5 46.7
20% 35.8
33.0
10%
0%
Sumatera Kalimantan Sulaw esi Indonesia Jaw a dan
Timur Lainnya Bali

Kondisi jalan baik Kondisi jalan sedang Kondisi jalan buruk

Perkembangan kondisi baik dan sedang jalan kabupaten dan provinsi cenderung terus
mengalami penurunan, sementara perkembangan kondisi jalan nasional relatif lebih baik
dan terus mengalami peningkatan. Kondisi sedang merupakan prosentase terbesar dari
sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini disebabkan karena komposisi utama sistem

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-27


jaringan jalan nasional yang terbesar adalah terdiri dari jalan kabupaten dan provinsi
yang saat ini berada pada kondisi sedang dan mengarah pada kondisi rusak ringan.

Bila kita lihat kondisi jalan per pulau di Indonesia, perbandingan antara kondisi jalan baik
dan buruk hampir sama (lihat Ilustrasi 2.13). Di wilayah Sumatera kondisi jalan mantap
(kondisi baik dan sedang) menunjukkan persentase yang besar dibandingkan dengan
kondisi jalan buruk. Begitu pula dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Rata-rata
kondisi jalan mantap untuk setiap wilayah di Indonesia antara 60% – 70 % dari total
panjang jalan. Berdasarkan hasil penelitian LPEM FEUI (2003), kerusakan jalan
nasional dan propinsi yang banyak dikeluhkan pengusaha terdapat di Lintas Timur
Sumatera. Jalur Lintas Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa merupakan jalur
strategis bagi distribusi barang. Kerusakan jalan menyebabkan waktu tempuh yang lebih
lama sehingga biaya transportasi semakin besar. Selain itu dibeberapa tempat seperti di
Kalimantan, rusaknya jalan juga menimbulkan berkurangnya keamanan pengiriman
barang karena pada saat laju kendaraan lambat merupakan sasaran yang empuk bagi
para perampokan. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak tersebut
diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai 200 triliun per tahun (Bappenas,
2003). Adapun hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Kimpraswil Tahun 2000
menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan sampai dengan kondisi
sebelum krisis dibutuhkan dana sebesar 6-7 triliun.

Ilustrasi 2.14. Sebaran Jalan, Luas Pulau, dan Populasi Penduduk Tahun 2000

70.0

60.0

50.0

40.0
(%)

30.0

20.0

10.0

0.0
Sumatera Jaw a Kalimantan Bali dan Nusa Sulaw esi Maluku dan
Tenggara Papua
% Luas Wilayah % Jalan % Populasi

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-28


Dampak penurunan kualitas jalan terhadap kegiatan ekonomi memang lebih terasa
pada untuk Pulau Jawa dan Sumatera karena pada kedua wilayah tersebut kepadatan
jalan dan lalu lintas jalan lebih dibandingkan dengan pulau lainnya. Konsentrasi
ketersediaan jalan raya berada di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7% dari seluruh
luas wilayah Indonesia tetapi memiliki 27% panjang jalan di seluruh wilayah Indonesia
(lihat Ilustrasi 2.14). Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di
Pulau Jawa sebesar 62% jumlah penduduk Indonesia. Konsentrasi terkecil di Papua
dengan luas wilayah 23,4% dari luas dataran di Indonesia hanya memiliki 6% panjang
jalan dari seluruh wilayah Indonesia.

Pembiayaan dari tahun ke tahun relatif sama, bahkan dari sisi kemampuan mengalami
penurunan. Walaupun secara nominal, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, peningkatan tersebut belum menunjukkan kemampuan
pemenuhan dana untuk pemeliharaan atau pembangunan prasarana jalan yang ada.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui konversi terhadap harga konstan tahun 1979/80, yaitu
kemampuan pembiayaan dengan adanya inflasi yang cukup beragam dari tahun ke
tahun. Kalaupun kemampuan tersebut mengalami kenaikan mulai tahun 2002, namun
masih di bawah rata-rata tahun-tahun sebelum krisis ekonomi seperti ditunjukkan
Ilustrasi 2.15. Karena kebutuhan dana pemeliharaan jalan tidak dapat terpenuhi, terjadi
backlog maintenance yang berdampak besar bagi kemantapan kondisi jaringan jalan
nasional.

Ilustrasi 2.15. Perkembangan Pembiayaan Jalan

6.0

5.0

4.0
Rp. Triliun

3.0

2.0

1.0

-
1979/80

1980/81

1981/82

1982/83

1983/84

1984/85

1985/86

1986/87

1987/88

1988/89

1989/90

1990/91

1991/92

1992/93

1993/94

1994/95

1995/96

1996/97

1997/98

1998/99

1999/00

2000

2001

2002

2003

2004

Tahun
Pembiayaan Prasarana Jalan Harga Konstan Tahun 1979/80

Sumber: Ditjen Praswil 2004

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-29


Tingkat kerusakan jalan akibat pembebanan muatan lebih (excessive over loading) dan
sistem penanganan yang belum memadai, berakibat pada hancurnya jalan sebelum
umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut akan membutuhkan biaya tambahan
untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk jalan
yang lain, sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu.
Selain itu, kerugian paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan
yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan
akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transportasi pada
proses distribusi barang semakin bertambah. Oleh karena itu pemerintah pusat
bersama-sama dengan pemerintah daerah harus melakukan upaya terpadu untuk
mengurangi, dan sedapatnya menghilangkan pembebanan muatan lebih dari kendaraan
berat, khususnya truk bergandar tunggal, dengan tekanan gandar jauh melampaui daya
dukung jalan. Apabila sebab-sebab yang mendasar tersebut belum diselesaikan secara
tuntas, maka pemeliharaan jalan dengan biaya APBN tidak akan dapat mengejar proses
kerusakan yang begitu cepat terjadi.

Kinerja pelayanan prasarana jalan yang didasarkan atas kecepatan yang mampu
dicapai oleh kendaraan masih rendah. Menurunnya tingkat pelayanan prasarana jalan
ditandai dengan terjadinya berbagai kemacetan yang menyebabkan kurang
berfungsinya kota sebagai pusat pelayanan distribusi komoditi dan industri. Masih
banyak jalan arteri primer yang melewati daerah padat yang biasanya merupakan pusat
kemacetan, sementara ketersediaan jaringan jalan tol saat ini masih sangat terbatas,
sehingga belum mampu memberikan pelayanan yang optimal dalam pola distribusi.
Lintas yang cukup padat adalah lintas Pantura Jawa yang mempunyai kecepatan rata-
rata 55 km per jam. Berdasarkan hasil survey tahun 2003, V/C ratio di Jawa yang di atas
0,6 sudah mencapai 890 km terutama pantai utara Jawa (Banten, Jabar dan Jateng)
dan jalur tengah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Mempertimbangkan kondisi di atas,
rencana pembangunan jalan tol dan pembanguan fly-over diharapkan mampu
meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di wilayah perkotaan.

Sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau di kawasan
timur Indonesia belum terhubungkan. Jalan lintas utama di tiap pulau antara lain
Kalimantan dan Sulawesi saat ini belum bisa menghubungkan secara langsung pusat-
pusat distribusi barang dan jasa di tiap pulau. Apabila hal ini terus berlanjut dan tidak

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-30


segera diatasi melalui pembangunan jalan baru atau peningkatan kapasitas,
diperkirakan dapat mengganggu kegiatan investasi di sektor ekonomi lainnya yang
memerlukan dukungan jasa prasarana, yang pada akhirnya dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi.

Sejak krisis ekonomi, perkembangan jalan tol baru sangat melambat, bahkan partisipasi
swasta dalam penyelenggaraan jalan tol terhenti. Hal ini disebabkan antara lain: belum
adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya
kompetisi, belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur
penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta, tidak ada prosedur pemilihan kompetitif
dan investor swasta yang dilibatkan dipilih melalui negosiasi yang tidak transparan,
pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasar pembagian pendapatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah menerbitkan Undang-undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan yang mengatur penyelenggaraan prasarana jalan.
Pemerintah akan segera menerbitkan serangkaian peraturan pelaksanaan undang-
undang tersebut terutama yang mengatur partisipasi pihak swasta dalam
penyelenggaraan jalan tol.

Mekanisme pendanaan dan penanganan jalan nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan
desa belum jelas bahkan masih mengacu kepada batas-batas administrasi wilayah,
sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang belum membentuk suatu
jaringan transportasi intermoda yang terpadu. Di era desentralisasi, wewenang
perencanaan, pemeliharaan dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan di daerah
untuk jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa, termasuk
pembiayaannya, sepenuhnya ada di pemerintah daerah. Sementara itu, konsep
pengembangan prasarana jalan juga harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi
regional melalui pendekatan kewilayahan. Saat ini, konsep ini sedang dikembangkan di
Pulau Sumatera melalui pembentukan Transport Planning Group (TPG) di tiap-tiap
provinsi dan akan diterapkan kepada proses perencanaan bidang transportasi jalan
dengan tetap mendukung semangat desentralisasi. Agenda lain adalah upaya mencari
alternatif sumber pembiayaan jalan di luar Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD)
provinsi/kabupaten/kota, karena selama ini sumber pembiayaan tersebut tidak dapat

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-31


membiayai sepenuhnya pemeliharaan, peningkatan dan pembangunan jalan dan
jembatan.

2.3. Infrastruktur Pengairan


Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang
berada didarat. Berdasarkan definisi tersebut, air yang kita pergunakan dan dikelola
berasal dari sumber-sumber air tersebut, seperti air tanah, air sungai, air laut, dan air
hujan. Sumber-sumber air yang disebutkan di atas mempunyai daya air yang berbeda-
beda. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kuantitas air disetiap wilayah.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya alam sifatnya tidak
merata di setiap wilayah dan kapasitasnya juga berbeda disetiap wilayah. Begitu pula
dengan sumber air tidak merata di setiap wilayah dan kapasitasnya juga berbeda-beda.
Kondisi tersebut menyebabkan di suatu daerah ada yang kelebihan sumber air
sedangkan di wilayah lain sangat kekurangan air.

Perlu diketahui bahwa penyebaran air di muka bumi terbagi atas dua, yaitu air asin dan
air tawar (Mohammad Soerjani, dkk, 1987). Jumlah air asin meliputi 97,25% dan air
tawar meliputi 2,75% dari total air di bumi, yaitu 1.360.000.000 m3. Sedangkan air tawar
terbagi lagi menjadi air atmosfer (0,035%), air permukaan (1%), air tanah (23,97%) dan
salju/es (75%). Selanjutnya yang dimaksud dengan air adalah air tawar tidak termasuk
salju atau es. Jumlah dan pemakaian air bersumber dari air tanah, air permukaan dan
air atmosfer yang kesediaanya ditentukan oleh air atmosfer atau sering disebut juga
sebagai air hujan.

Pada dasarnya, jumlah air adalah relatif tetap. Perubahannya hanya pada bentuk dalam
mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Dilihat dari sisi
penggunaannya, air yang ketersediaannya terbatas digunakan untuk keperluan
domestik, pertanian, industri, perikanan, pembangkit listrik tenaga air, navigasi, dan
rekreasi. Namun dalam hal distribusinya, ketersediaan air secara geografis tidak merata
ditambah dengan distribusi kepadatan penduduk yang tidak merata pula. Hal ini jelas
membawa dampak pada timpangnya antara persediaan dan permintaan (supply dan
demand) akan air yang sukar untuk di atasi.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-32


Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi sangat penting guna menunjang berbagai
aktivitas manusia. Pembangunan di bidang sumber daya air pada dasarnya adalah
upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk
mendapatkan air agar mampu berperikehidupan yang sehat, bersih, dan produktif.
Selain itu, pembangunan di bidang sumber daya air juga ditujukan untuk mengendalikan
daya rusak air agar tercipta kehidupan masyarakat yang aman.

Peranan Infrastruktur Pengairan


Pada umumnya pembangunan infrastruktur sumberdaya air tidak berdiri sendiri tetapi
terkait dengan pembangunan sektor-sektor lainnya karena infrastruktur merupakan
penunjang atau pendukung pembangunan sektor-sektor tersebut. Pembangunan
infrastruktur sumberdaya air banyak memberikan dukungan yang besar antara lain
untuk pembangunan pertanian, perkebunan, pengendalian banjir,penyediaan air baku
perkotaan dan industri, serta pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Pertanian. Pembangunan di bidang pertanian sangat membutuhkan dukungan dari


infrastruktur pengairan, khususnya irigasi yang menyediakan air bagi pemenuhan
kebutuhan air. Beberapa contoh dibidang pertanian, di mana tanaman padi yang dimulai
dari pembenihan sampai penanaman membutuhkan air yang cukup banyak, sub sektor
perikanan darat sangat membutuhkan air untuk membudidayakan ikan tawar, sub sektor
peternakan khususnya pemeliharaan sapi potong dan sapi perah dewasa membutuhkan
air per ekor per hari adalah 0,5 – 1 m3 atau 500 – 1000 liter (SNI : 01-6159-1999). Ini
menunjukkan bahwa air sangat penting bagi kehidupan pertanian. Khusus untuk
tanaman padi, disamping memerlukan peranan faktor-faktor produksi yang lainnya,
peranan air secara tunggal dalam subsistem produksi mencapai 16% dan peranannya
akan meningkat sampai 75% bila peranannya dikombinasikan dengan factor produksi
lainnya seperti benih dan pupuk (Bappenas, 2003).

Pengendalian Banjir. Banjir merupakan kejadian alam ataupun kejadian akibat ulah
dari manusia. Banjir diakibatkan oleh tidak mampunya tanah atau sungai menampung
kapasitas air sebagai akibat adanya kerusakan lingkungan, misalnya terjadi
penggundulan hutan besar-besaran tanpa dibarengi dengan reboisasi ataupun karena
kejadian alam seperti akibat gunung meletus sehingga pohon-pohon banyak yang rusak

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-33


sehingga tidak ada lagi yang menyangga air. Oleh karena itu, fungsi dari infrastruktur
pengairan diperlukan untuk pengendalian banjir. Pengendalian banjir ini tidak hanya
dikaitkan dengan satu wilayah saja melainkan berkaitan erat dengan wilayah lainnya
karena biasanya sungai ataupun kali-kali yang besar sering melintasi beberapa wilayah.

Air Baku. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa air merupakan sumber
kehidupan bagi manusia dan sangat dibutuhkan dalam berbagai aktivitas manusia.
Kebutuhan air untuk manusia adalah sebagai air minum, keperluan rumah tangga, dan
berbagai aktivitas manusia lainnya. Oleh karena itu, penyediaan air sangat mutlak
diperlukan. Sumber-sumber air yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
air berasal dari mata air, sumur-sumur rendah, sumur dalam, sungai, danau, dan
sumber-sumber lainnya. Sedangkan diperkotaan, sumber-sumber air diperoleh dari
sumur dalam dan suplai dari perusahaan air minum. Sumber air yang digunakan oleh
perusahaan air minum berasal dari air baku dari aliran sungai yang melewati kota atau
yang mengalir tidak jauh dari kota yang dijernihkan melalui instalasi penjernih air. Bisa
juga sumber air yang digunakan perusahaan tersebut berasal dari sumber air dari danau
di wilayah itu sendiri atau dari wilayah lainnya.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Peranan lainnya yang diberikan oleh air
adalah mampu menghasilkan tenaga listrik bagi kebutuhan manusia. Bendungan-
bendungan yang digunakan untuk kebutuhan air irigasi dan kebutuhan lainnya dapat
dimanfaatkan juga untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan listrik. Selain
itu, PLTA dapat juga dihasilkan dari aliran sungai secara langsung. Salah satu
bendungan yang terbesar yang telah dibangun di Indonesia adalah Bendungan Jatiluhur
yang berfungsi untuk air irigasi, air aku perkotaan dan industri, pengendalian banjir,
untuk budidaya ikan air tawar dikolam terapung, dan dapat dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik hingga mencapai 150 mega watt (Bappenas, 2003).

Kondisi Infrastruktur Pengairan


Kebijakan pembangunan infrastruktur pengairan telah dimulai sejak jaman penjajahan
pemerintahan Belanda, yaitu dengan dikeluarkannya Algemeene Water Reglement 1936
(AGW 1936). Kemudian pembangunan pengairan tersebut dilanjutkan pada jaman
pemerintahan orde baru melalui pembangunan berjangka lima tahun (Pelita). Sejak
Pelita I sampai V, infrastruktur pengairan dibangun untuk mendukung unggulan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-34


pembangunan per Pelita tersebut. Dalam jangka waktu 15 tahun terakhir sejak tahun
anggaran 1989/1990, pemerintah telah melakukan investasi sebesar Rp 35,36 triliun
yang sebagian besar (55,57%) berasal dari pinjaman luar negeri (Bappenas, 2003).
Sampai akhir tahun 2002, nilai asset infrastruktur pengairan yang telah dibangun telah
mencapai Rp 346,49 triliun, terdiri dari Rp 273,46 triliun untuk irigasi (78,92%), Rp 63,48
triliun untuk bendungan, bendungan karet, embung (18,32%), Rp 9,21 triliun untuk
pengendalian banjir dan pengamanan pantai (2,66%), dan Rp 0,34 triliun untuk air baku
(0,1%).

Sungai. Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya
memiliki kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari
bencana alam banjir,kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di
Jawa. Secara umum sungai-sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic)
mempunyai perbedaan slope dasar sungai yang besar antara daerah hulu (upstream),
tengah (middlestream) dan hilir (downstream) sehingga curah hujan yang tinggi dan
erosi di bagian hulu akan menyebabkan jumlah sedimen yang masuk ke sungai sangat
tinggi. Tingginya sedimen yang masuk akhirnya menimbulkan masalah pendangkalan
sungai terutama di daerah hilir yang relatif lebih landai dan rata,sehingga sering terjadi
banjir di dataran rendah.

Sungai-sungai dikelompokkan menjadi 90 Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang terdiri


dari 73 SWS propinsi dan 17 SWS pusat yang berlokasi dilintas propinsi. Kondisi
infrastruktur sungai semakin mengkhawatirkan dengan bertambahnya jumlah DAS kritis
dari 22 (Tahun 1984), 39 (Tahun 1992), 59 (Tahun1998), dan menjadi 62 (Tahun 1999).
DAS kritis juga berada di wilayah Papua, Bali, NTB, dan NTT yang pada tahun 1982
masih digolongkan pada DAS non-kritis. Dampak yang akan timbul akibat belum
optimalnya penanganan DAS antara lain adanya daerah rawan banjir seluas 1.844.300
hektar, penurunan pasokan air baik untuk kebutuhan irigasi maupun air baku pada
musim kemarau.

Bendungan. Bendungan merupakan infrastruktur pengairan yang memanfaatkan air


dari berbagai aliran sungai untuk ditampung dan dikendalikan untuk berbagai keperluan
pertanian, pengendalian banjir, dan keperluan lainnya. Bendungan-bendungan yang
telah dibangun hingga saat ini telah mencapai 235 buah (Bappenas, 2003). Berdasarkan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-35


klasifikasi menurut ketinggian dan volume tampungan, bendungan dibedakan menjadi:
(a) bendungan dengan ketinggian lebih dari atau sama dengan 15 meter dengan volume
lebih besar dari atau sama dengan 100.000 m3 (sebanyak 100 buah) dan (b)
bendungan dengan ketinggian kurang dari 15 meter dengan volume lebih besar dari
atau sama dengan 500.000 m3 (sebanyak 135 buah). Dari 235 bendungan tersebut
sekitar 17,02 persen (40 buah) di antaranya berkinerja rendah; 12,34 persen (29 buah)
sedang, dan yang masih baik hanya sekitar 21,28 persen (50 buah); dan sisanya
sebanyak 98 bendungan belum tercatat kondisinya. Daya dukung bendungan terhadap
penyediaan air irigasi pada saat ini baru mencapai 10% dari total kebutuhan air pada
lahan beririgasi. Dengan demikian, jaminan ketersediaan air irigasi bagi pertanian untuk
sepanjang tahun masih relatif kecil sehingga masih dibutuhkan bendungan baik berskala
besar maupun kecil. Disamping itu telah dikemukakan di atas, bendungan berfungsi
sebagai pembangkit listrik tenaga air.

Irigasi. Jaringan irigasi merupakan infrastruktur yang sangat berperan dalam sektor
pertanian. Selama dasawarsa terakhir (1993 – 2003), kontribusi sektor pertanian riil
terhadap PDB mencapai di atas 14%. Pada tahun 2003, kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB mencapai 15,83% dan terus menurun sejak tahun 1999 (LPEM FEUI,
2005). Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya produktivitas marjinal akibat
semakin sedikitnya luas areal lahan yang digunakan untuk lahan pertanian. Terjadinya
alih fungsi lahan merupakan penyebab dari menurunnya produktivitas pertanian.
Pertumbuhan produksi pertanian juga dipengaruhi oleh peningkatan perluasan fisik areal
irigasi, perbaikan sistem irigasi, serta rehabilitasi jaringan irigasi yang sudah ada.

Kebutuhan air irigasi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia. Laju
peningkatan kebutuhan air irigasi mencapai 10% per tahun pada tahun 1990 sampai
2000. Kebutuhan air untuk irigasi dan tambak mencapai 74,9 milyar kubik pada tahun
1990. Kebutuhan air tersebut semakin meningkat pada tahun 2000 menjadi 91,5 milyar
kubik dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya.

Hingga saat ini, pembangunan infrastruktur jaringan irigasi tergantung pada


perkembangan biaya investasi dan pergeseran alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau
Jawa dan luar Jawa. Secara nasional produksi padi mencapai 51.102 ribu ton padi yang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-36


dihasilkan dari luas lahan panen sebesar 11.570 ribu ha pada tahun 1996 (BPS, 2003).
Sedangkan pada 2002, produksi padi mencapai 51.490 ribu ton padi yang dihasilkan
dari luas lahan panen sebesar 11.521 ribu ha (lihat Ilustrasi 2.16). Bila dikaitkan per
pulau, maka areal panen padi di Jawa memberikan kontribusi sebesar 40% dari total
areal panen padi. Berdasarkan data BPS dari tahun 1999-2003, luas lahan padi di Jawa
mengalami penurunan sebesar 6,5% sedangkan di luar Jawa luas lahan padi masih
terus mengalami peningkatan.

Ilustrasi 2.16. Areal Panen dan Produksi Ilustrasi 2.17. Areal Panen Padi
Padi Nasional menurut Pulau (ha)
7000000
12,200 52500
12,000 52000 6000000
51500
11,800 5000000
51000
11,600 50500
A real Pan en

11,400 50000 4000000

11,200 49500
3000000
49000
11,000
48500
10,800 2000000
48000
10,600 47500 1000000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
0
Sumatera Jawa Bali + Nusa Kalimantan Sulawesi M aluku dan
Area Panen (000 ha) Tenggara Papua
Hasil Padi (000 ton) 1999 2000 2001
2002 2003

Sistem irigasi yang dikembangkan di Indonesia ditujukkan untuk mengairi persawahan,


walaupun tidak semua lahan sawah mampu dialiri air dari irigasi. Secara keseluruhan,
luas sawah beririgasi di Indonesia hingga saat ini terus meningkat. Di Pulau Jawa,
penambahan luas sawah irigasi hanya sebesar 0,21% pertahun sedangkan di luar Jawa
peningkatan luas lahannya sebesar 2,42% (LPEM FEUI, 2005). Sejumlah sawah irigasi
tersebut didukung oleh jaringan irigasi yang luasnya mencapai 6.771.016 ha.
Persentase dari distribusi jaringan irigasi tersebut meliputi Jawa seluas 51%, Sumatera
seluas 29%, dan Maluku dan Papua hanya sebesar 1% (lihat Ilustrasi 2.18). Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan sistem irigasi di Pulau Jawa telah mencapai tahap
yang lebih maju yang memungkinkan penerapan teknologi produksi dengan respon
yang lebih baik. Oleh karena itu, sistem pertanian di Pulau Jawa menggunakan sistem
intensifikasi sedangkan di luar Pulau Jawa masih menggunakan sistem ekstensifikasi.
Bila dilihat dari kondisi jaringan irigasi yang ada di Indonesia, total luas irigasi sebesar
6.771.016 ha, yang mengalami kerusakan sebesar 22,39% (lihat Ilustrasi 2.19). Kondisi

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-37


kerusakan terbesar terdapat di Pulau Sumatera, yaitu mencapai 31.5% atau 578.737 ha.
Namun secara nasional, irigasi yang mengalami rusak berat hanya mencapai 1,86% dari
total jaringan irigasi yang ada.

Ilustrasi 2.18. Distribusi Jaringan Irigasi Ilustrasi 2.19. Kondisi Sistem Jaringan Irigasi
per Pulau di Indonesia

60% 100%
51% 90%
50% 80%
70%
40% 60%
29% 50%
30% 40%
30%
20% 20%
13%
10%
10% 6%
0%
1% Sumatera Jawa Bali dan & Sulawesi M aluku & Total
0% Tenggara Papua
Sumatera Jawa Bali dan & Sulawesi M aluku &
Tenggara Papua
% Kondisi Irigasi Rusak Berat
% Kondisi Irigasi Rusak Ringan
% Kondisi Irigasi Baik

Sumber: Ditjen Pengairan Dep. PU, 1999 dan Bappenas, 2002

Air Tanah. Air tanah sering digunakan seluruh masyarakat Indonesia untuk berbagai
keperluan. Air tanah diperoleh dengan cara pembuatan sumur gali, sumur pantek, dan
lain sebagainya. Pemerintah sejak tahun 1970-an telah mengembangkan pemanfaatan
air tanah untuk keperluan irigasi dan air minum terutama di beberapa wilayah di Pulau
Jawa dan Pulau Bali yang merupakan wilayah berpenduduk padat serta sering
mengalami bencana kekeringan. Pemanfaatan air tanah terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk mendukung peningkatan produksi pertanian.
Beberapa tahun terakhir pengembangan air tanah juga dikembangkan antara lain di
wilayah Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat,dan Nusa Tenggara Timur.
Pengembangan air tanah dilakukan pada daerah-daerah yang kekurangan air dan tidak
terdapat air permukaan, daerah pertanian intensif dan berpenduduk padat,mempunyai
potensi air tanah yang dapat dikembangkan.

Rawa. Rawa merupakan salah satu potensi pengairan yang dimiliki Indonesia yang
dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian. Luas rawa di Indonesia diperkirakan sebesar
34 juta hektar yang terdiri dari 20 juta hektar rawa pasang surut (tidal) dan 14 juta hektar
rawa non-pasang surut (Bappenas, 2003). Sebagian besar rawa (96,98%) berada di
Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dari 20 juta hektar rawa pasang surut,

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-38


47,39% di antaranya berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Pada
tahun 1970-an dan 1980-an Pemerintah telah mengembangkan daerah rawa untuk
sektor pertanian seluas 1,314 juta hektar yang tersebar di 14 propinsi,terutama di
Sumatera Selatan (471,45 ribu hektar), Kalimatan Selatan (172,22 ribu hektar), dan Riau
(162,72 ribu hektar). Selain pengembangan rawa oleh pemerintah, masyarakat juga
telah mengembangkan daerah rawa seluas 2,4 juta hektar. Pengalaman buruk yang
pernah dilakukan di Indonesia adalah pemanfaatan lahan gambut yang disulap untuk
lahan pertanian dengan luas 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Namun, proyek
tersebut sampai saat ini mengalami hambatan karena bila lahan gambut diolah
tanahnya lebih dalam bukannya menghasilkan lahan yang subur melainkan dapat
merusak tanaman yang ditanam di atasnya. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan
pemanfaatan rawa atau lahan sejenis rawa harus dilakukan berdasarkan penelitian yang
mendalam.

Air Baku. Air baku merupakan air yang sangat dibutuhkan dalam kebutuhan rumah
tangga dan berbagai aktivitas manusia lainnya. Sementara itu, meningkatnya kegiatan
industri dan berkembangnya permukiman sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan kesejahteraan penduduk, akan diikuti dengan peningkatan
kebutuhan air baku makin meningkat. Pemenuhan kebutuhan air baku baru mencapai
sekitar 16% dari total kebutuhan sebagai akibat dari keterbatasan prasarana air baku.
Dari sisi penyediaan air baku menghadapi masalah tidak meratanya potensi air tawar
per pulau. Pulau Jawa yang dihuni oleh sebagian besar penduduk hanya dapat
menyediakan air tawar sekitar 4,5% dari potensi air tawar nasional, sehingga masalah
distribusi baik antar wilayah maupun antar sektor harus benar-benar dapat ditata
sedemikian rupa sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat.

2.4. Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi


Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk di dunia ini. Kebutuhan akan air
oleh manusia menyangkut dua hal, yaitu air untuk kehidupan kita sebagai makhluk
hayati dan air untuk kehidupan kita sebagai manusia yang berbudaya (Otto Soemarwoto
dalam Mahida, U.N, 1984). Kebutuhan air untuk memenuhi kehidupan hayati secara
langsung diperlukan dalam produksi bahan makanan kita, seperti untuk tanaman padi,
sayur-sayuran, holitkultura, kehidupan ikan, ternak dan sebagainya. Selain itu, air

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-39


diperlukan oleh industri baik untuk proses pendinginan mesin dan pengangkutan limbah.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya memerlukan air untuk keperluan mandi,
mencuci, memasak, dan sebagainya.

Sejalan dengan perkembangan aktivitas dan peningkatan jumlah penduduk, maka


kebutuhan air pun semakin bertambah. Hal yang serupa juga terjadi pada lingkungan di
mana terjadi degradasi lingkungan akibat tingkat pencemaran yang semakin tinggi
sebagai dampak dari tingginya aktivitas dan peningkatan jumlah penduduk. Sumber air
yang layak pakai dan minum menjadi sulit diperoleh karena banyaknya sumber daya air
yang telah tercemari, baik oleh limbah rumah tangga maupun industri. Sumber
pencemaran yang paling utama di negara kita adalah limbah rumah tangga, yaitu limbah
dari lebih 220 juta penduduk Indonesia. Pencemaran lainnya adalah pencemaran yang
berasal dari limbah industri. Dampak yang dapat dirasakan dengan adanya pencemaran
ini adalah timbulnya berbagai penyakit dari hasil pencemaran tersebut.

Kaitan tersebut di atas menjadi salah satu kunci permasalahan di mana masih terdapat
lebih dari 100 juta penduduk di Indonesia yang belum memperoleh kemudahan
mendapatkan air minum dan penyehatan lingkungan. Masyarakat yang paling rendah
untuk memperoleh akses terhadap air minum dan paling rentan terhadap penyakit yang
ditimbulkan dari air adalah masyarakat miskin, kaum wanita, dan anak-anak. Rendahnya
kemampuan masyarakat miskin dalam mengakses air minum dan penyehatan
lingkungan karena ketidakmampuan mereka dalam membiayai penyediaan sarana dan
prasarana air minum dan penyehatan lingkungan. Oleh karena itu, sebagian diantara
mereka memanfaatkan air sungai yang tidak memenuhi persyaratan untuk kebutuhan
hidup mereka dan akibatnya banyak di antara mereka yang terkena penyakit yang
berasal dari air seperti penyakit kulit, kolera, dan diare. Adapun kelompok wanita dan
anak-anak merupakan kelompok yang sering berhubungan dengan air, sehingga bila air
yang mereka gunakan tercemari maka mereka termasuk yang sangat rentan terhadap
penyakit.

Oleh karena itu, permasalahan air dan penyehatan lingkungan (sanitation) harus
menjadi perhatian, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Ketersediaan air minum
yang semakin terbatas dan langka (scarcity) menyebabkan sebagian masyarakat
Indonesia belum mampu menikmati atau mengakses pada sumber air minum yang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-40


sehat dan bersih. Di samping itu, kondisi di atas diperparah dengan belum terbangunnya
budaya untuk hidup sehat dari masyarakat dan sistem penyehatan lingkungan yang
baik, seperti limbah, persampahan, dan drainase. Hal ini dapat berdampak buruk
terhadap kesehatan masyarakat.

Berdasarkan Tabel 2.15 menunjukkan bahwa hampir 80% penduduk Indonesia telah
mampu mengakses pada sumber air bersih. Namun masyarakat Indonesia yang
memperoleh perbaikan sanitasi baru mencapai 63,5% penduduk saja pada tahun 2002.
Artinya sampai saat ini masalah sanitasi atau penyehatan lingkungan belum
mendapatkan perhatian dari masyarakat maupun dari pemerintah. Padahal penyehatan
lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perbaikan terhadap air
bersih.
Tabel 2.15. Akses Masyarakat terhadap Air dan Sanitasi

Persentase Akses Masyarakat Tahun


terhadap Air dan Sanitasi 1990 2000 2002
Jumlah masyarkat yang mendapat akses
47 55 63,5
terhadap perbaikan sanitasi (%)
Jumlah masyarakat yang mendapat
71 78 78
akses perbaikan tehadap air (%)
Sumber: UNDP, 2004 dan BPS, 2003

Kondisi Air Minum


Terminologi air minum sebagaimana yang dipakai oleh seluruh negara dalam kaitannya
dengan penyediaan air layak minum baru dipakai sejak UU No. 7/2004 tentang sumber
daya air diberlakukan. Terminologi yang masih banyak dipakai saat ini di Indonesia
adalah air bersih sehingga angka pencapaian di atas masih menggunakan air bersih
dan belum menggunakan kriteria air minum.

Air yang layak untuk diminum harus melalui proses pengolahan atau perebusan terlebih
dahulu. Sedangkan sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk
minum dan berbagai aktivitas berasal dari sumur, mata air, pompa, air ledeng, dan air
hujan (Tabel 2.16). Data dari BPS (2003) menunjukkan bahwa penggunaan air yang
memenuhi kriteria untuk layak minum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Persentase sumber air minum yang memenuhi kriteria sebesar 77,65% pada tahun
2003 dan meningkat sebesar 17,63% dari tahun 1990. Persentase terbesar sumber air
minum yang banyak dipergunakan oleh masyarakat baik yang memenuhi kriteria

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-41


maupun yang belum memenuhi kriteria, yaitu berasal sumur terlindungi rata-rata
sebesar 32,03% dan sumur tidak terlindungi rata-rata sebesar 17,71%. Hal ini
menunjukkan bahwa sumur masih menjadi pilihan masyarakat sebagi sumber air minum
baik diperkotaan maupun diperdesaan.

Tabel 2.16. Persentase Jenis Sumber Air Minum Tahun 1990 – 2003

Memenuhi kriteria Belum memenuhi kriteria


Tahun Sumur Mata air
Air Sumur Mata air Air Air Air
Pompa Total tak tak Lainnya Total
ledeng terlindung terlindung hujan kemasan sungai
terlindung terlindung

1990 14.11 9.66 28.72 5.97 1.56 60.02 24.91 7.91 5.77 1.08 39.67

1991 14.51 10.04 29.24 6.14 1.86 61.79 23.17 7.60 5.54 1.02 37.33

1992 14.68 10.55 31.06 6.71 2.10 65.10 21.19 7.23 5.57 0.92 34.91

1993 14.71 10.44 28.81 6.32 2.49 62.77 23.49 7.40 5.45 0.94 37.28

1994 16.15 10.63 29.83 5.95 2.66 65.22 21.64 7.19 5.05 0.80 34.68

1995 11.37 11.73 30.84 6.20 2.60 62.74 19.19 7.42 4.73 0.91 32.25

1996 17.59 12.20 31.76 7.12 2.68 71.35 17.64 5.86 4.46 0.68 28.64

1997 19.37 12.65 32.95 7.47 2.80 75.24 15.95 4.73 3.72 0.58 24.98

1998 19.09 13.29 33.53 7.19 2.57 75.67 0.76 14.35 4.94 3.75 0.54 24.34

1999 18.59 13.36 34.04 7.43 2.78 76.20 0.88 14.29 4.70 3.47 0.45 23.79

2000 19.24 13.37 34.56 7.84 2.76 77.77 0.75 13.39 4.22 3.63 0.61 22.60

2001 18.25 13.30 33.50 7.69 3.05 75.79 1.43 13.74 5.15 3.52 0.37 24.21

2002 18.30 14.43 34.00 7.77 2.79 77.29 1.43 12.89 4.65 3.34 0.39 22.70

2003 17.03 14.51 35.57 7.88 2.66 77.65 1.83 12.09 4.93 3.10 0.39 22.34
Sumber : Biro Pusat Statistik (1990 – 2003). Hasil interpolasi dari data series 1990-2003

Ada berbagai cara masyarakat dalam mengakses sumber air, yaitu dengan pipa atau
tanpa pipa. Berikut disampaikan data mengenai persentase masyarakat yang
mengakses air minum dengan menggunakan pipa, seperti terlihat pada Tabel 2.17.
Pada daerah perkotaan, salah satu alternatif untuk mengakses air minum adalah melalui
pipa ledeng yang disiapkan oleh PDAM. Pada tabel diperlihatkan bahwa rata-rata
sumber air minum yang diakses oleh masyarakat perkotaan melalui pipa sebesar
36,09% sedangkan didaerah perdesaan dapat dikatakan sangat sedikit sekali
masyarakat desa yang menggunakan pipa, yaitu hanya sebesar 6,27%. Artinya
pelayanan air bersih oleh PDAM belum mampu menjangkau masyarakat desa di

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-42


Indonesia dan kebanyakan dari masyarakat desa menggunakan akses non pipa
terlindungi dan tanpa akses. Contoh akses non pipa terlindungi yang banyak digunakan
oleh masyarakat desa dalam mengalirkan air dari sumber mata air ialah dengan
menggunakan bambu atau slang plastik. Sedangkan yang tanpa akses, biasanya
masyarakat desa mengambil air minum dari sumur atau langsung dari mata air dengan
menggunakan ember.

Tabel 2.17. Persentase Akses Air Minum Perpipaan, Non Perpipaan Terlindung dan
Tanpa Akses Tahun 1990 - 2003, Perkotaan dan Perdesaan

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

Tahun Akses Akses Akses


Tanpa Tanpa Tanpa
Non pipa akses Non pipa akses Non pipa akses
Pipa Pipa Pipa
terlindungi terlindungi terlindungi
1990 * 37.75 47.94 15.92 5.57 45.69 48.69 14.11 45.91 39.67

1991 * 37.49 48.53 15.00 5.67 46.81 47.10 14.51 47.28 37.33

1992 35.27 50.87 13.87 5.54 50.23 44.23 14.68 50.42 34.91

1993 34.32 49.44 16.25 5.43 47.35 47.23 14.71 48.06 37.28

1994 36.54 49.11 14.34 5.88 49.18 44.94 16.15 49.07 34.68

1995 36.51 50.83 12.66 5.69 51.66 42.65 16.37 46.37 32.25

1996 38.09 50.83 10.91 6.10 55.39 38.50 17.59 53.76 28.64

1997 39.87 50.93 9.20 6.98 58.76 34.27 19.37 55.87 24.98

1998 37.85 52.36 9.79 7.97 59.08 32.94 19.09 56.58 24.34

1999 36.44 53.37 10.19 7.02 60.37 32.61 18.59 57.61 23.79

2000 36.20 53.34 10.46 6.87 61.68 31.46 19.24 58.53 22.60

2001 33.59 54.09 12.30 6.51 60.18 33.30 18.25 57.54 24.21

2002 33.32 55.18 11.50 6.17 62.06 31.75 18.30 58.99 22.70

2003 32.04 56.27 11.70 6.41 63.70 30.88 17.03 60.62 22.34
Sumber : Biro Pusat Statistik, Ket : *) hasil interpolasi dari data series 1990-2003

Secara umum, rata-rata cakupan air minum yang dapat digunakan oleh masyarakat
Indonesia baru mencapai 55,2% penduduk saja (BPS, 2003). Beberapa propinsi yang
mempunyai cakupan penggunaan air minum di atas 40% penduduknya adalah DKI
Jakarta, Kalimantan Timur, dan Bali (Ilustrasi 2.20). Selebihnya masih dibawah angka
40% untuk cakupan air minumnya. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki cakupan
air minum lebih dari 90% penduduknya adalah Kota Surabaya, Jakarta Utara, Kota
Banjarmasin, Kota Pematang Siantar, Kota Solok, Kota Balikpapan, Kota Sibolga, Kota
Ujung Pandang, Kota Banda Aceh, dan Kota Jayapura (BPS, 2002). Sedangkan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-43


kabupaten/kota yang cakupan air minumnya di bawah 10% adalah Kabupaten Malinau,
Kabupaten Pontianak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten
Jabung Timur. Namun, beberapa kabupaten/kota yang cakupan air minumnya di bawah
50% terdapat 147 kabupaten/kota dari 341 kabupaten/kota (43,11%).

Ilustrasi 2.20. Cakupan Air Minum Per Propinsi

Dapat diidentifikasi bahwa besarnya kebutuhan air minum perorang sekitar 25 liter/hari
untuk daerah pedesaan yang belum memiliki sambungan dengan sistem distribusi air
minum. Untuk kota dan pemukiman dengan sarana kran umum kebutuhan air minumnya
antara 10-50 liter/orang/hari, untuk masyarakat yang memiliki sambungan halaman
sebesar 15-90 liter/orang/hari, dan bagi masyarakat yang memiliki sambungan rumah
sebesar 30-300 liter/orang/hari (Departemen Kimpraswil, 2003).

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-44


Kondisi Sanitasi
Penyehatan lingkungan dalam pengertian disini adalah sanitasi dasar, pengelolaan
perlimbahan, persampahan, dan drainase. Penyehatan lingkungan ini sering menjadi
masalah di Indonesia, terutama kejadian yang sering terjadi adalah masalah banjir. Hal
tersebut dikarenakan budaya disiplin masyarakat terhadap penyehatan lingkungan
belum terbangun dan sistem penyehatan lingkungan yang belum mendapat perhatian
yang besar dari pemerintah ataupun masyarakat. Berdasarkan data dari BPS dalam
berbagai tahun menunjukkan bahwa aksesibiltas rumah tangga Indonesia terhadap
fasilitas sanitasi yang layak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Ilustrasi
2.21). Hal ini dapat membuktikan bahwa kesadaran rumah tangga Indonesia terhadap
sanitasi yang layak telah semakin meningkat. Salah satu faktor penyebab timbulnya
tingkat kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi yang layak adalah meningkatnya tingkat
pendidikan masyarakat Indonesia.

Ilustrasi 2.21. Persentase Rumah Tangga yang Mempunyai Akses Terhadap


Fasilitas Sanitasi yang Layak

80.0 100.0
70.0 90.0
INDONESIA
80.0
60.0 SUMATERA
70.0
50.0 60.0 JAWA BALI
40.0 50.0 NUSA TENGGARA
30.0 40.0 KALIMANTAN
30.0 SULAWESI
20.0
20.0
10.0 MALUKU DAN PAPUA
10.0
0.0 0.0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002*

Sumber: BPS, dalam berbagai tahun

Sanitasi Dasar. Secara umum, sanitasi dasar ditunjukkan dengan tingkat aksesibilitas
masyarakat (ditunjukkan dengan persentase rumah tangga) terhadap sarana jamban.
Aksesibilitas masyarakat Indonesia terhadap sarana jamban relative tinggi yaitu
mencapai 75% terutama di daerah perkotaan. Sedangkan aksesibiltas yang rendah
terhadap sarana jamban ini terlihat di Pulau Sulawesi dan Indonesia Timur Lainnya. Di
kawasan perkotaan hanya 11,5% rumah tangga yang tidak mempunyai akses terhadap
jamban sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 35,89%. Beberapa kasus yang
menyebabkan rendahnya kawasan perdesaan terhadap jamban, yaitu banyak yang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-45


menggunakan sungai, kali, atau irigasi diperdesaan untuk kegiatan mandi, cuci, dan
kakus.

Perlimbahan dan Drainase. Pembahasan mengenai perlimbahan pada bagian ini lebih
banyak difokuskan pada limbah rumah tangga. Limbah rumah tangga adalah limbah
yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian, limbah bekas industri rumah tangga dan
kotoran manusia. Limbah merupakan buangan/bekas yang berbentuk cair, gas dan
padat. Dalam air limbah terdapat bahan kimia sukar untuk dihilangkan dan berbahaya.
Bahan kimia tersebut dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit
disentri, tipus, kolera dan sebagainya. Air limbah tersebut harus diolah terlebih dahulu
sebelum dibuang ke saluran pembuangan, seperti sungai atau saluran pembuangan
lainnya agar tidak mencemari dan tidak membahayakan kesehatan lingkungan.

Sistem pengolahan limbah cair manusia di perkotaan Indonesia berada pada tingkatan
paling rendah bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Hal ini menyebabkan
tercemarnya air permukaan dan air tanah yang semakin meluas. Akibatnya, Indonesia
berkali-kali mengalami wabah lokal seperti infeksi saluran pencernaan dan tingkat
kejangkitan penyakit tipus (typhoid) tertinggi di Asia. Secara konservatif, kerugian
ekonomis yang disebabkan oleh pembuangan limbah yang tidak layak diperkirakan
sebesar 4,7 milyar dollar Amerika setiap tahun (Bank Pembangunan Asia, 1999 yang
dikutip oleh Sean Foley, dkk, 2000). Ini setara dengan 2,4% dari PDB tahun 1997, dan
menurut perhitungan kasar sama dengan kerugian 12 dollar Amerika per rumah tangga
setiap bulannya.

Penyebab rendahnya cakupan pelayanan adalah akibat kebijakan pemerintah


menyerahkan tanggung jawab penyehatan lingkungan pemukiman (sanitasi) ke tingkat
rumah tangga (Bank Dunia 1993 yang dikutip oleh Sean Foley, dkk, 2000). Kebijakan ini
dipengaruhi pengalaman di masa lalu dimana sistem pengolahan limbah cair manusia
terpusat dengan skala besar (sewerage) berkinerja buruk. Selanjutnya, kebijakan ini pun
menghambat kemampuan lembaga pemerintah setempat dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengoperasian sistem saluran pengolahan limbah yang efektif. Sejak
awal tahun 80-an, proporsi populasi perkotaan yang dilayani sistem pengolahan limbah
terpadu (sewerage) mengalami stagnasi. Namun di tahun 1995, terjadi peningkatan dari
rumah tangga di daerah perkotaan yang memiliki berbagai bentuk sarana pengolahan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-46


limbah setempat pribadi (on-site sanitation). Air limbah dari sarana tersebut, baik yang
diolah secara sempurna atau pun tidak sama sekali umumnya dialirkan ke saluran
terbuka atau langsung ke sungai.

Ilustrasi 2.22. Persentase Pengelolaan Air Limbah Terpusat dan Setempat

on site
51% 48% off site
lain-lain

1%

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappenas (2000), rumah tangga perkotaan yang
mendapatkan fasilitas pelayanan air limbah sebesar 432.500 rumah tangga atau setara
dengan 2,16 juta jiwa. Sampai dengan tahun 2000 sekitar 26 % dari penduduk
Indonesia tidak memiliki sarana pembuangan air limbah yang sifatnya pribadi maupun
komunal. Kelompok masyarakat ini menggunakan saluran drainase, sungai, kebun
sebagai tempat pembuangan air limbah. Pengolahan air buangan di Indonesia di
dominasi oleh pengolahan setempat (on site) berupa cubluk dan tangki septik. Hanya
sebagian kecil penduduk Indonesia dilayani sistem pengolahan air limbah terpusat (off
site). Persentase pelayanan pengolahan terpusat dan setempat dapat dilihat pada
Ilustrasi 2.22.

Persampahan. Masalah persampahan terutama sampah domestik telah menjadi


permasalah umum yang harus ditangani. Besarnya timbunan sampah yang tidak dapat
ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung maupun
tidak langsung bagi penduduk kota. Dampak langsung dari penanganan sampah yang
kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit
serta gangguan pernafasan, sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya adalah
bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalang
timbunan sampah yang dibuang ke sungai.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-47


Di daerah perdesaan, penanganan masalah sampah biasanya dilakukan dengan cara
dibakar atau dengan cara dikubur dalam tanah atau dibuang ke sungai. Sedangkan di
daerah perkotaan, penanganan masalah sampah bisa dengan jalan dibakar di bak
sampah, dibuang ke sungai, atau disimpan di bak sampah yang kemudian dikumpulkan
di tempat pembuangan sampah (TPA). Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen
TPTP Departemen Kimpraswil (2001), cakupan pelayanan sampah telah mencapai
35,13 juta jiwa atau sebesar 32,11% dari total penduduk Indonesia (lihat Tabel 2. 18).

Tabel 2.18. Cakupan Pelayanan Persampahan


per Pulau di Indonesia Tahun 2001

Jumlah %
Wilayah
Jiwa Cakupan
Sumatera 8,218,197 23.39
Jawa Bali 21,294,350 60.62
Kalimantan 1,806,718 5.14
Sulawesi 2,228,856 6.34
Indonesia Timur Lainnya 1,582,065 4.50
INDONESIA 35,130,186 32.11
Sumber : Depkimpraswil, 2001

2.5. Infrastruktur Telematika


Perkembangan teknologi yang semakin meningkat memungkinkan manusia mampu
berkomunikasi langsung dengan melewati batas ruang dan waktu. Selama satu dekade
terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam perekonomian dunia, yaitu beralihnya
masyarakat industri menjadi masyarakat informasi yang didorong oleh kemajuan
teknologi serta ditandai dengan semakin meningkatnya peran informasi dan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan manusia.

Di era kompetisi yang mengedepankan kemampuan bersaing di dalam berbagai


aktivitas khususnya aktivitas ekonomi, di mana setiap kegiatan harus mampu melakukan
efisiensi, efektivitas, peningkatan kualitas dan kuantitas, atau optimalisasi, maka
teknologi informasi merupakan perangkat yang tepat guna menunjang dan
meningkatkan nilai ekonomi. Kemampuannya untuk mendapatkan, memanfaatkan, dan
mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk memicu pertumbuhan ekonomi
sekaligus mewujudkan daya saing bangsa.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-48


Keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur informasi dengan tingkat daya saing suatu
bangsa dapat dilihat dari indeks daya saing (Global Competitiveness Index).
Perhitungan indeks ini berdasarkan pada tiga komponen utama, yaitu indeks teknologi,
indeks publik, dan ekonomi makro. Ada beberapa komponen dalam menghitung indeks
teknologi, yaitu sub indeks inovasi, transfer teknologi, dan teknologi informasi dan
komunikasi (Information and Communication Technology = ICT). Untuk negara yang
non-core innovator termasuk Indonesia, sub-indeks ICT mempunyai kontribusi sebesar
17% terhadap indeks daya saing, sedangkan untuk negara yang core innovator besaran
kontribusi ICT meningkat sebesar 25%.

Berkaitan dengan hal tersebut, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 104
negara, tertinggal dari Singapura (peringkat ke-7), Malaysia (peringkat ke-31), dan
Thailand (peringkat ke-34) berdasarkan angka indeks daya saing Tahun 2004. Adapun
untuk indeks teknologi, Indonesia hanya menempati urutan ke-71 sedangkan untuk
indeks institusi publik dan kondisi makro ekonomi masing-masing menempati urutan ke-
68 dan ke-63. Rendahnya indeks teknologi tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur
telekomunikasi dan informatika masih sangat terbatas. Kondisi ini pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya daya saing nasional.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong tingkat penetrasi dan
mempercepat penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan informatika. Dalam 10 tahun
terakhir (1995-2004), peningkatan ketersediaan infrastruktur jelas terlihat. Dalam
periode tersebut, kapasitas terpakai atau line in service (LIS) telepon tetap mengalami
peningkatan sekitar 3 kali, yaitu dari 3,29 juta satuan sambungan (ss) menjadi 9,99 juta
ss, sedangkan jumlah pelanggan Sistem Telekomunikasi Bergerak (STB) atau mobile
communications meningkat lebih dari 140 kali menjadi 30 juta pelanggan. Adapun
jumlah pelanggan dan pengguna internet mengalami pertumbuhan masing-masing
sebesar 8 dan 22 kali menjadi 1 juta dan 11 juta orang.

Walaupun pembangunan infrastruktur tersebut telah banyak mengalami kemajuan, pada


kenyataannya hasil tersebut masih belum memadai. Bila dibandingkan dengan rata-rata
negara Asia yang pada tahun 2003 sudah mencapai 13,64%, 15,03% dan 6,74%

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-49


masing-masing untuk pelanggan telekomunikasi tetap, STB dan internet, ketersediaan
infrastruktur Indonesia jelas jauh tertinggal (Tabel 2.19).

Tabel 2.19. Perbandingan Teledensitas Infrastruktur Telekomunikasi dan Informatika


Indonesia dengan Negara ASEAN (2003)

Pengguna Host Personal


Negara Telepon Tetap STB
Internet (per 10.000) Computer
Brunei 25,27 40,06 10,23 176,90 7,67
Cambodia 0,26 2,76 0,22 0,58 0,2
Indonesia 3,65 5,52 3,77 2,88 1,19
Laos 1,12 1,00 0,27 1,65 0,33
Malaysia 18,16 44,20 34,53 42,90 14,68
Myanmar 0,72 0,13 0,05 - 0,51
Philipina 4,17 19,13 4,40 3,45 2,77
Singapura 46,29 79,56 50,43 1.155,31 62,20
Thailand 10,55 26,04 9,64 16,58 3,98
Vietnam 5,41 3,37 4,30 0,04 0,98
Rata-rata Asia 13,64 15,03 6,74 50,34 4,45
Sumber: International Telecommunications Union (ITU), 2004

Sangat terbatasnya ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dan informatika di


Indonesia mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan digital (digital divide) antara
Indonesia dengan negara lain. Hal ini menjadi masalah karena ekonomi informasi
menciptakan saling ketergantungan yang sistematis antarnegara untuk memudahkan
jalannya arus informasi termasuk barang dan jasa. Negara yang tidak mempunyai akses
yang memadai tentu akan menjadi terisolasi dan tertinggal.

Secara umum, tingkat kesiapan dan kemampuan masyarakat Indonesia dalam


mengakses dan memanfaatkan informasi dapat dievaluasi dari dua sisi. Sisi pertama
adalah supply yang terkait dengan kemampuan pembangunan penyedia infrastruktur
(operator). Rendahnya kemampuan pembangunan operator secara langsung
menyebabkan terbatasnya ketersediaan infrastruktur. Sisi lainnya adalah demand yang
terkait dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat pengguna untuk menyerap
layanan yang disediakan operator. Kedua sisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Permasalahan utama yang ditimbulkan dari sisi supply adalah terbatasnya kapasitas,
jangkauan dan kualitas infrastruktur telekomunikasi sebagai infrastruktur utama bagi
pengembangan telekomunikasi dan informatika (ICT). Hal ini terjadi karena beberapa
hal sebagai berikut.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-50


Pertama, terbatasnya kemampuan pembiayaan operator. Keterbatasan kemampuan ini
sangat dirasakan terutama pada sektor-sektor yang memanfaatkan teknologi tinggi
seperti telekomunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat
cepat membawa dampak pada meningkatnya kebutuhan akan investasi baru dalam
waktu yang lebih singkat sehingga investasi jangka panjang menjadi tidak menarik lagi.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu sendiri membutuhkan
perencanaan dan implementasi yang cukup panjang dengan waktu pengembalian modal
yang lama.

Kedua, masih adanya hambatan masuk bagi operator baru (barrier to entry). Sejalan
dengan berkembangnya peran informasi, kebutuhan infrastruktur telekomunikasi
semakin bertambah. Pada penyelenggaraan yang bersifat monopoli, pemenuhan
kebutuhan tersebut sangat sulit dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan
penyelenggara. Bertambahnya jumlah penyelenggara diyakini mampu mendorong
kemampuan penyediaan infrastruktur. Masih adanya hambatan bagi masuknya operator
baru menyebabkan belum optimalnya upaya mobilisasi sumber pembiayaan lain di luar
sumber pembiayaan yang ada (pemerintah dan operator eksisting).

Ketiga, belum terjadinya kompetisi yang setara (level playing field) dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Secara umum, kompetisi diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pembangunan, kinerja dan efisiensi penyelenggara. Pada
kenyataannya, kondisi yang diinginkan belum sepenuhnya terpenuhi karena belum
jelasnya acuan pelaksanaan kompetisi, kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan
kompetisi, dan masih lemahnya penegakkan peraturan.

Keempat, terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Perubahan teknologi


informasi dan komunikasi yang sangat cepat menuntut kemampuan yang tinggi dari
penyelenggara telekomunikasi untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi. Di lain
pihak, pemerintah juga dituntut untuk membuat kebijakan dan peraturan yang dapat
mengantisipasi perubahan teknologi tersebut. Sebagai contoh, tingginya tingkat
penggunaan spektrum frekuensi radio sebagai media, seperti fixed wireless applications,
STB Generasi Ketiga, dan internet nirkabel (WiFi dan WiMax), menuntut pemerintah
untuk mengelola spektrum frekuensi radio secara lebih efisien.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-51


Kelima, kurang optimalnya pemanfaatan infrastruktur. Sesuai dengan regulasi yang
berlaku saat ini, dalam penyelenggaraan telekomunikasi hanya dapat dimanfaatkan
infrastruktur telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara telekomunikasi. Padahal,
di samping infrastruktur konvensional terdapat potensi infrastruktur lain yang dapat
digunakan untuk mendorong tingkat penetrasi layanan telekomunikasi dan internet,
seperti jaringan listrik dengan teknologi powerline communications (PLC) dan backbone
serat optik yang dimiliki oleh perusahaan listrik dan gas negara. Tidak dimanfaatkannya
secara optimal infrastruktur alternatif ini secara langsung mengurangi kemungkinan
perluasan akses. Selain itu, kurangnya pemanfaatan bersama suatu infrastruktur oleh
beberapa penyelenggara (resource sharing) seperti pemakaian bersama menara
pemancar/penerima layanan seluler dan pemakaian backbone secara bersama
menimbulkan duplikasi investasi.

Adapun permasalahan yang timbul dari sisi demand adalah terbatasnya kemampuan
masyarakat untuk mengakses dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang memiliki
real economic value. Permasalahan ini terkait dengan masih terbatasnya daya beli dan
tingkat pendidikan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pengguna internet sebagian besar
(lebih dari 90%) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat pendidikan sarjana/pasca
sarjana (sekitar 50%) dan SMA (40%). Keterbatasan pengembangan materi (content)
dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi menghambat proses akulturasi di
masyarakat.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut di atas, perlu segera dilakukan


perbaikan dan perubahan mendasar dalam penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan
informatika untuk meningkatkan kemampuan nasional dalam berkompetisi di era
globalisasi.

Periodisasi Perkembangan Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi dan


Informatika
Periode 1970 – 2003. Pembangunan telekomunikasi selama Pembangunan Jangka
Panjang I (Repelita I – Repelita V) mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Kapasitas sentral telepon di akhir pelaksanaan Repelita I (1969/70–1973/74) yang baru
mencapai sekitar 172 ribu ss dan pembangunan berbagai jaringan transmisi gelombang
mikro yang baru menghubungkan kota-kota besar di Jawa-Bali, Denpasar-Makassar,

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-52


dan Jakarta-Palembang-Padang dirasa masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, pada Repelita II (1974/75–1978/79) pembangunan telekomunikasi
diarahkan tidak saja pada otomatisasi sambungan telepon tetapi juga perluasan layanan
hingga ke kabupaten. Pada Repelita II dilakukan pembangunan sekitar 252 ribu
sambungan baru hingga kapasitas sentral menjadi 476 ribu. Pengembangan jaringan
transmisi melalui satelit Palapa juga dilakukan terutama untuk mendukung kebutuhan
lalu lintas lokal dan antarkota. Selain itu, juga mulai dirintis berbagai kerja sama
internasional dengan negara ASEAN lain dalam pemanfaatan satelit Palapa tersebut.
Perusahaan Negara Telekomunikasi yang merupakan penjelmaan dari Dinas Pos,
Telegrap dan Telepon yang dibentuk pada tahun 1907, kemudian diubah menjadi
Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) pada tahun 1974.

Pembangunan telekomunikasi pada Repelita III (1979/80–1983/84) di antaranya meliputi


penambahan kapasitas sentral menjadi 679 ribu ss dan pengembangan berbagai
jaringan transmisi untuk mendukung kebutuhan layanan lokal dan internasional.
Pengembangan jaringan itu terdiri dari perluasan jaringan dan penambahan kapasitas
gelombang mikro, penggantian satelit Palapa generasi pertama, dan pembangunan
sistem komunikasi kabel laut (SKKL) Medan-Penang dan Medan-Singapura.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pembangunan pada Repelita IV (1984/85–1988/89)


tetap diarahkan pada perluasan dan penambahan kapasitas jaringan. Pada akhir
Repelita IV kapasitas sentral mencapai 995 ribu ss atau meningkat sekitar 46% dari
periode sebelumnya. Dengan berdirinya PT Indosat pada tahun 1980, penyediaan jasa
telekomunikasi internasional semakin berkembang. Selain pengembangan SKKL,
jaringan sambungan langsung internasional (SLI) juga mulai dirintis di 8 kota besar
Indonesia yang menjangkau lebih dari 130 negara dunia.

Walaupun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam 20 tahun pertama, ketersediaan
infrastruktur telekomunikasi masih dirasakan kurang terutama dalam penyediaan
jaringan lokal ke pelanggan. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan partisipasi swasta
untuk mempercepat perluasan jaringan telekomunikasi. Dengan diberlakukannya UU
No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, peran serta swasta dan masyarakat lebih
ditingkatkan melalui bentuk usaha bersama dengan badan penyelenggara (PT Telkom
dan PT Indosat) melalui pola bagi hasil. Sejalan dengan hal tersebut, Perumtel

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-53


kemudian diubah menjadi Perusahaan Perseroan Telekomunikasi. Pemerintah juga
memperkenalkan jasa-jasa baru seperti warung telekomunikasi (wartel) dan telepon
umum guna meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa telekomunikasi.
Dengan demikian, kapasitas sentral di akhir Repelita V (1989/90–1993/94) telah
mencapai 3 juta ss, meningkat lebih dari 200% dari Repelita sebelumnya.

Selain itu, pengembangan jasa telekomunikasi lain seperti STB juga dilaksanakan. Bila
pada Repelita sebelumnya STB baru mempunyai pelanggan sebanyak 13 ribu orang,
maka pada Repelita V ini jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 88 ribu orang.
Sedangkan pengembangan jaringan transmisi SKKL serat optik Indonesia-Singapura
dan SKKL Asia Pasific Cable Network ditujukan untuk mendukung layanan
telekomunikasi ke luar negeri.

Pada awal Repelita VI (1994/95–1998/99), pembangunan telekomunikasi diarahkan


untuk menjadi wahana yang dapat diandalkan guna terselenggaranya arus berita,
informasi dan data, baik nasional maupun internasional secara lancar, jelas dan cepat
dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi. Di samping itu, pembangunan kapasitas
dan jangkauan layanan juga diperluas dengan menggunakan teknologi maju. Hingga
akhir tahun 1995, kapasitas sentral telepon telah mencapi 4,8 juta ss. Untuk
meningkatkan partisipasi swasta dalam pembangunan telekomunikasi dan menciptakan
transfer of knowledge dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi, pemerintah
mengadakan kerja sama operasi (KSO) yang merupakan bentuk kerja sama dengan
konsorsium perusahaan asing dan nasional. Hingga akhir tahun 1997, mitra KSO
membangun sentral telepon sebanyak 1 juta ss sehingga total kapasitas menjadi 7,4
juta ss. Dilatarbelakangi krisis ekonomi, program investasi mitra menjadi terhambat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, PT Telkom dan mitra sepakat untuk melakukan
amandemen perjanjian KSO pada tahun 1998 sebagai solusi sementara yang berlaku
hingga akhir tahun 1999. Kesepakatan tersebut antara lain memuat pengurangan target
pembangunan dari 2 juta ss menjadi 1,2 juta ss. Hingga akhir masa konstruksi KSO (1
Januari 1996 hingga 31 Maret 1999), total pembangunan baru yang dilakukan mitra
KSO adalah 1,2 juta ss, sesuai target.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-54


Ilustrasi 2.23. Jumlah Kepala Keluarga sebagai
Pelanggan Telepon di Indonesia
6000000

5000000

4000000

3000000

2000000

1000000

0
Sumatera Jawa +Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia INDONESIA
Timur
Lainnya

Sumber: BPS, 2003

Dengan meningkatnya peran aktif swasta selama Repelita VI, pembangunan kapasitas
sentral mengalami pertumbuhan sebesar 173% dari Repelita sebelumnya menjadi 8,2
juta ss. Demikian pula dengan STB yang mengalami pertumbuhan hingga 10 kali
menjadi 2,2 juta pelanggan. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pertumbuhan
pembangunan telepon tetap terus menurun, bahkan dalam periode 1999-2003
pertumbuhannya di bawah 10% (single digit) dan baru kembali naik di tahun 2004. Di
lain pihak, pembangunan STB terus mengalami kenaikan dengan tingkat pertumbuhan
tahunan di atas 65% (Ilustrasi 2.24).

Ilustrasi 2.24. Perbandingan Laju Pertumbuhan Pembangunan Telepon Tetap dan STB

40 180
160
P e r tu m b u h a n T e le p o n T e ta p ( % )

35
140
P e r tu m b u h a n S T B ( % )

30
120
25
100
20
80
15
60
10 40
5 20
0 0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Telepon Tetap
STB

Sumber: PT Telkom, PT Indosat dan PT Excelcomindo, berbagai tahun, diolah

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-55


Rendahnya pertumbuhan pembangunan infrastruktur telepon tetap terutama
dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur STB antara lain disebabkan oleh
besarnya investasi yang diperlukan, lamanya pembangunan yang dilakukan, dan bentuk
penyelenggaraan yang belum berdasarkan kompetisi. Hal ini mengakibatkan timbulnya
pergeseran fokus bisnis operator dari telepon tetap ke STB yang lebih quick yielding.

Selain rendahnya pertumbuhan kapasitas telepon tetap, tidak meratanya distribusi


pembangunan infrastruktur juga merupakan suatu permasalahan. Melalui sistem KSO
yang diberlakukan sejak tahun 1996, pembangunan infrastruktur telepon tetap
diharapkan dapat lebih merata karena setiap mitra KSO hanya bertanggung jawab atas
pembangunan di divisi regional (divre) tertentu saja. Namun demikian, disparitas
pembangunan tetap terjadi (Tabel 2.20).

Tabel 2.20. Pembangunan Infrastruktur Telepon Tetap (LIS) Per Divisi Regional
(1996 – 2003)

Divisi
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Regional
I 598.651 701.479 770.857 835.167 897.323 1.007.468 1.115.875 1.239.409
II 1.635.545 1.903.581 2.079.452 2.208.436 2.412.221 2.632.521 2.824.556 3.036.372
III 400.939 504.984 567.358 621.134 639.913 645.479 672.597 733.462
IV 339.047 395.730 475.410 531.593 579.647 618.101 646.701 668.261
V 667.200 842.447 935.372 1.048.556 1.198.142 1.317.384 1.427.660 1.594.827
VI 172.824 218.638 254.315 279.958 302.948 320.338 342.336 425.979
VII 371.824 415.607 488.880 555.349 632.411 677.649 720.310 780.805
Total 4.186.030 4.982.466 5.571.644 6.080.193 6.662.605 7.218.940 7.750.035 8.479.115
Sumber: PT Telkom, berbagai tahun
Divre I (Sumatera), II (Jabodetabek), III (Jabar dan Banten), IV (Jateng), V (Jatim), VI (Kalimantan), dan VII (KTI lainnya).
Sejak tahun 2001, PT Telkom melakukan pembelian KSO secara bertahap. Pembelian tersebut meliputi divre VI (2001), I
(2002), III (2003), dan IV (2004). Dengan demikian, divre yang masih ditangani KSO di tahun 2004 adalah divre VII (KTI)

Berbeda halnya dengan pembangunan telekomunikasi yang telah berlangsung lama,


pembangunan informatika, khususnya internet, secara luas baru dimulai pada tahun
1994. Pada awal pengembangan internet, interkoneksi antar Penyelenggara Jasa
Internet (PJI) masih mahal dan sulit dilakukan. Sejak diselenggarakannya Indonesia
Internet Exchange sebagai backbone sistem interkoneksi nasional antar-PJI,
pengembangan internet dapat dilakukan dengan lebih mudah dan murah. Dalam 6
tahun perkembangan teknologi informasi, jumlah pelanggan dan pengguna internet
meningkat secara signifikan (Tabel 2.21).

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-56


Tabel 2.21. Perkembangan Jumlah Pelanggan dan Pengguna Internet

Tahun Jumlah Pelanggan Jumlah Pengguna


1998 134.000 512.000
1999 256.000 1.000.000
2000 400.000 1.900.000
2001 581.000 4.200.000
2002 667.002 4.500.000
2003 865.706 8.080.534
2004 1.087.428 11.226.143
Sumber: APJII, berbagai tahun

Kondisi Eksiting Tahun 2004. Kondisi Infrastruktur Telekomunikasi dan Informatika


hingga akhir tahun 2004, LIS telepon tetap mencapai 9.988.7181 ss atau teledensitas
sebesar 4,1%. Infrastruktur tersebut sebagian besar (85%) terdistribusi di wilayah barat
Indonesia Jawa, Bali dan Sumatera (Ilustrasi 2.25), terutama di kota Jakarta, Surabaya,
Semarang, Bandung, Medan, dan Denpasar. Pada tahun yang sama, terdapat sekitar
30 juta pelanggan STB dengan tingkat penetrasi sekitar 12%; 1,1 juta pelanggan
internet; dan 11,2 juta pengguna internet.

Ilustrasi 2.25. Distribusi Infrastruktur Telekomunikasi Tetap Per Divisi Regional


(Tahun 2004)

3,500,000 12
3,000,000 10
Line in Service (ss)

Teledensity (%)

2,500,000
8
2,000,000
6
1,500,000
4
1,000,000
500,000 2
- 0
LIS Divre I Divre Divre Divre Divre Divre Divre
Density II III IV V VI VII

Sumber: PT Telkom, 2004

1
Angka ini tidak termasuk program USO pemerintah, juga tidak termasuk pembangunan PT Ratelindo dan PT Batam
Bintan mengingat pelayanan kedua penyelenggara tersebut bersifat regional dengan jumlah pelanggan yang sangat
terbatas

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-57


Tabel 2.22. Peluang Pasar Seluler Jaringan Telekomunikasi Seluler (STB)

Operator Telepon Seluler


No Uraian Operator
Telkomsel Indosat XL
lainnya
1. Belanja (Rp Triliun) 5,6 5–6 2–3 2
2. Target Pelanggan akhir
2005
3. Market Share (%) 53 31 12 1
4. BTS (unit) 2250 3000 2000 1000
5. Radio Link (unit) 1125 1500 1000 500
6. Indoor (unit) 150 120 294 -
7. Tower/PS (unit) 2250 3000 1300 1000
Sumber: Tikno Sutisna dan Gatot Mardianto (PT. INTI), 2005

Dengan meningkatnya pelanggan STB atau telepon seluler, maka peluang pasar ini
menjadi salah satu pendorong bagi para operator telepon seluler untuk
menginvestasikan dananya pada STB ini. Adapun beberapa informasi yang dapat
disampaikan mengenai perkembangan STB ini dapat dilihat pada tabel berikut. Pada
Tabel 2.22 menujukkan bahwa target PT. Telkomsel Indonesia menargetkan pelanggan
sampai dengan 20 – 22 juta pelanggan sedangkan PT. Indosat menargetkan pelanggan
sebanyak 15 juta pelanggan. Sedangkan market share terbanyak masih dipegang oleh
Telkomsel sebesar 53% sedangkan Indosat sebesar 31% dan yang lainnya di bawah
13%. Di sisi lain, peningkatan jumlah televisi swasta nasional semakin menyemarakkan
dunia pertelevisian di Indonesia. Sebanyak 10 TV swasta nasional sudah mengudara di
Indonesia ditambah dengan beberapa stasiun TV swasta lokal yang terdapat di masing-
masing wilayah di Indonesia.

Tabel 2.23. Investasi PT Telkom dan PT Indosat

Capital Expenditure (juta Rp)


Tahun APBN
PT Telkom PT Indosat
2000 2.103.300 298.100 29.107,20
2001 1.874.200 9.472.200 42.991,71
2002 2.078.300 6.444.300 232.407,70
2003 4.106.100 4.319.500 42.617,48
2004 5.019.800 5.114.560 39.146,90
Sumber: Bappenas, Ditjen Postel, PT Telkom, PT Indosat, berbagai tahun

Sejak pertengahan tahun 1980, investasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi


disediakan oleh penyelenggara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
lebih difokuskan kepada perkuatan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan
regulasi, serta peningkatan kemampuan pemerintah (baik di pusat maupun daerah)

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-58


dalam mengelola spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya terbatas melalui
peningkatan efisiensi pengalokasian dan pengawasan pemanfaatannya (Tabel 2.23).

Hingga tahun 2003, infrastruktur telekomunikasi baru mencapai 36% desa dari sekitar
43 ribu desa (Tabel 2.24). Untuk mempercepat penyediaan infrastruktur telekomunikasi
di daerah perdesaan, sejak tahun 2003 pemerintah memulai program Universal Service
Obligation (USO) yang menggunakan dana APBN (Tabel 2.25).

Tabel 2.24. Persentase Wilayah (Desa) Yang Sudah Memiliki Fasilitas Telekomunikasi
(2002)

Jumlah Desa Yang Memiliki


Wilayah Operasi Jumlah Desa Persentase (%)
Fasilitas Telekomunikasi
Divre I 21.508 5.926 28
Divre II 2.445 2.445 100
Divre III 5.075 2.790 55
Divre IV 8.968 4.052 45
Divre V 8.413 4.851 58
Divre VI 6.059 1.099 18
Divre VII 14.310 2.593 18
Total 66.778 23.756 36
Sumber: PT Telkom, diolah

Tabel 2.25. Perkembangan Pelaksaaan Program USO

Program USO 2003 2004 2005* 2006*


Target Pembangunan:
Jumlah Desa (buah) 3.013 2.341 2.070 2.185
Kapasitas (ss) 3.016 3.620 27.892 30.615
Alokasi Dana (Rp juta) 45.000 43.500 300.000 322.000
Sumber: Ditjen Postel Departemen Komunikasi dan Informatika
* merupakan perkiraan

Untuk mempercepat pelaksanaan program USO, pemerintah telah menyelesaikan


penyusunan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2005 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan
Informatika pada tahun 2005 untuk memberikan landasan hukum bagi penggunaan
dana kontribusi dari penyelenggara telekomunikasi sebesar 0,75% dari pendapatan
penyelenggara sebagai sumber pembiayaan program USO telekomunikasi. Melalui
penerbitan PP tersebut, di tahun 2005 diperkirakan akan terkumpul dana yang dapat
digunakan untuk membangun 27.892 ss telepon di 2.070 desa. Dengan diselesaikannya
penyempurnaan peraturan tersebut, pembangunan sarana dan prasarana
telekomunikasi di daerah USO tidak lagi menggunakan APBN. Selanjutnya, pemerintah

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-59


akan memfasilitasi pelaksanaan program USO telekomunikasi melalui pengaturan
pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan dana kontribusi tersebut.

Berbeda dengan telekomunikasi, pembangunan infrastruktur dan aplikasi informatika


sebagian besar dilakukan oleh swasta. Pemanfaatan APBN difokuskan untuk
penyediaan fasilitas komunikasi dan sistem informasi manajemen di/antara instansi
pemerintah baik di pusat maupun daerah, ataupun antara pusat dan daerah. Dengan
sistem perencanaan anggaran yang lebih menggunakan pendekatan sektoral (per
departemen) dan didukung oleh karakteristik teknologi informasi dan komunikasi itu
sendiri yang lebih berperan sebagai pendukung, identifikasi investasi kumulatif yang
dilakukan oleh pemerintah (nasional) sulit dilakukan.

2.6. Infrastruktur Ketenagalistrikan


Tenaga listrik adalah salah satu bentuk energi yang siap dipergunakan langsung oleh
konsumen (energi final) sebagai sarana produksi atau sarana kehidupan sehari-hari
yang memegang peranan penting dalam upaya mendukung pembangunan nasional
secara luas baik ekonomi, sosial maupun budaya. Pembangunan ketenagalistrikan
dihadapkan pada berbagai tantangan antara lain kondisi geografis yang luas dan terdiri
dari banyak kepulauan serta kondisi demografi dengan densitas yang sangat variatif
antar berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem ketenagalistrikan
yang optimal dan efisien. Begitu pula dengan potensi energi primer untuk pembangkit
listrik, sekalipun memiliki potensi yang cukup besar namun umumnya berada di daerah
pedalaman yang jauh dari pusat beban sehingga untuk pengembangannya memerlukan
biaya yang besar terutama untuk pembangunan infrastruktur pendukungnya. Tantangan
lainnya sangat penting untuk ditangani adalah kapasitas sumberdaya manusia sebagai
pelaku utama di dalam pengembangan dan penerapan iptek serta budaya usaha bidang
ketenagalistrikan itu sendiri yang masih sangat lemah.

Penyediaan listrik di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada Perusahaan Listrik


Negara (PLN). PLN diharapkan mampu menyediakan pasokan listrik yang dibutuhkan
masyarakat. Sebelum krisis ekonomi, sektor ketenagalistrikan mengalami pertumbuhan
yang cukup pesat. Namun, seiring dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia,
maka perkembangan ketenagalistrikan mulai menghadapi hambatan terutama dalam hal
biaya produksi. Lonjakan biaya terjadi karena sebagian komponen pembangunan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-60


infrastruktur ketenagalistrikan berasal dari komponen impor yang harus dibayar dengan
mata uang asing. Hal ini berdampak pada meningkatnya harga jual listrik kepada
masyarakat karena pemerintah tidak mampu mensubsidi biaya produksi listrik dalam
jumlah besar.

Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia


meningkat dengan cepat. Pertumbuhan konsumsi listrik pada tahun 1984 sampai
dengan 1989 mencapai sekitar 16,1%, tahun 1989 sampai dengan 1994 sekitar 11,7%
dan tahun 1995 sampai dengan 2000 sekitar 9,7% per tahun. Dalam kurun waktu 1969-
1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat tajam dari 542 MW
menjadi 13.569 MW atau meningkat lebih dari 24 kali lipat. Peningkatan kapasitas
pembangkit yang sangat tinggi ini terutama setelah diberlakukannya UU No. 15 Tahun
1985 tentang Ketenagalistrikan. Hal ini tampak pada kurun waktu tahun 1984 hingga
tahun 1993 terjadi peningkatan kapasitas daya listrik nasional yang meningkat hampir
9.000 MW. Pada era tersebut, khususnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996,
investasi dalam pembangunan fasilitas ketenagalistrikan meliputi pembangunan
pembangkit dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepajang 6.350
km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik
lainnya. Berbagai kegiatan pembangunan fasilitas ketenagalistrikan tersebut mampu
mengimbangi perkembangan kebutuhan tenaga listrik secara nasional.

Begitu pula dengan tingkat rasio elektrifikasi nasional, pada tahun 1997 telah mencapai
sekitar 50 persen. Perkembangan produksi dan daya terpasang dalam empat tahun
sebelum masa krisis juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi yaitu untuk
sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) masing-masing sebesar 43,1 persen dan 12,7
persen, sedangkan untuk sistem Luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) masing-masing
sebesar 46,7 persen dan 31,4 persen. Adapun untuk listrik perdesaan pada periode
yang sama telah meningkat dari 36.243 desa yang telah memperoleh aliran listrik
menjadi 45.941 desa. Pada umumnya pertambahan desa yang memperoleh aliran listrik
berada di kawasan timur Indonesia.

Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi mengakibatkan roda
pembangunan ketenagalistrikan menjadi sangat terpuruk. Dalam masa krisis tersebut
pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami penurunan sebesar 0,5 persen pada

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-61


tahun 1998, sekalipun meningkat lagi sejak tahun 1999 sampai saat ini yaitu rata-rata
10,5 persen untuk Jamali dan 8,5 persen untuk Luar Jamali yang berarti lebih rendah
dibandingkan masa sebelum krisis terjadi.

Tingkat elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan kebutuhan tenaga listrik


rata-rata di Indonesia dalam tiga dasawarsa sebelum krisis ekonomi adalah mendekati
nilai 2, sedangkan pada tahun-tahun setelah krisis mengalami penurunan sampai
mencapai nilai 1,4. Tingkat elastisitas 1,4 merupakan tingkat elastisitas yang belum
dapat dikatakan sebagai tingkat elastisitas dalam kondisi normal, karena angka tersebut
masih didasarkan atas pertumbuhan permintaan tenaga listrik yang dipengaruhi oleh
berbagai tekanan iklim maupun kondisi akibat masa transisi perubahan dalam struktur
sosial, ekonomi, dan politik menuju proses stabilitasi sejak krisis ekonomi terjadi tahun
1997.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi memerlukan dukungan pasokan


energi yang handal termasuk tenaga listrik. Dengan kata lain bidang ketenagalistrikan
memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong pemulihan ekonomi
nasional. Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan
investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat modal,
teknologi dan resiko investasi yang cukup tinggi serta memerlukan persiapan dan
proses konstruksi yang lama.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka PLN sebagai pemasok listrik bagi
masyarakat tidak pernah membangun infrastruktur ketenagalistrikan secara signifikan.
Akhirnya, pertumbuhan kapasitas terpasang listrik nasional hanya tumbuh sebesar
1,13% antara tahun 1999 – 2001 (LPEM FEUI, 2005). Sedangkan pemakaian listrik naik
sebesar 8,85% per tahun dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya
ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Akibat dari kekurangan pasokan
tersebut, maka terjadinya penurunan kualitas dari pasokan tersebut. Sampai akhir tahun
2002, frekuensi gangguan per pelanggan (system average interruption frequency
index/SAIFI) dan lama gangguan per pelanggan (system average interruption duration
index/SAIDI) menunjukkan 14,17 kali dan 14,35 jam. Padahal kedua parameter tersebut
pada Tahun 1997 masih menunjukkan angkat 12,81 kali dan 15,15 jam. Efeknya adalah
bila jumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa tidak ditambah maka akan terjadi

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-62


pemadaman listrik secara bergiliran dan sekaligus akan merugikan perekonomian
nasional.

Laporan PT. PLN (Persero) menyebutkan bahwa penjualan listrik berturut-turut tahun
1999, 2000, 2001 dan 2002 masing-masing sebesar 9,3%, 11%, 6,8% dan 3,1%. Hal ini
memperlihatkan bahwa persentase pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik secara
nasional mengalami penurunan sejak tahun 1984, akan tetapi secara kuantitas jumlah
kebutuhan mengalami peningkatan. Selain itu, penjualan tenaga listrik, tidak serta
merta menurun mengikuti proses krisis ekonomi yang terjadi. Namun setelah krisis
ekonomi yang dimulai tahun 1997 kemudian baru diikuti oleh penurunan tingkat
pertumbuhan penjualan tenaga listrik secara signifikan pada tahun 2001 dan 2002.
Tabel 2.26 berikut ini menggambarkan data penjualan PT. PLN tahun 1997 sampai
dengan tahun 2002.

Tabel 2.26. Data Penjualan PT. PLN Tahun 1997 – 2002

Diskripsi Satuan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Rata-rata


(%)
Indonesia Twh 64,3 65,3 71,3 79,1 84,5 87,1
Pertumbuhan % 13,0 1,5 9,3 11,0 6,8 3,1 6,3
Jamali Twh 52,5 52,3 57,4 63,9 67,9 70,0
Pertumbuhan % 12,0 -0,5 9,9 11,2 6,4 3,0 7,7
Luar Jamali Twh 11,8 13,0 13,9 15,2 16,6 17,1
Pertumbuhan % 26,6 10,3 6,9 9,9 8,6 3,4 7,7
Sumber : PT PLN, 2003

Kebutuhan listrik yang relatif masih tumbuh cukup tinggi sekalipun pada masa krisis
tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 tidak dapat diimbangi oleh pengembangan di
sisi penyediaan tenaga listrik. Proyek-proyek pembangkit tenaga listrik termasuk listrik
swasta dan jaringan transmisi yang sudah terencana pada saat sebelum krisis tidak
dapat dilaksanakan. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan, dalam pengertian terjadi cadangan listrik yang lebih rendah dari yang
dipersyaratkan sebagai sebuah sistem yang handal, terutama kemampuan antisipasi
menghadapi kemungkinan terjadinya gangguan dalam sistem. Hal ini telah terjadi
khususnya di luar Jamali seperti di wilayah Sumatera bagian selatan dan beberapa
wilayah di Kalimantan.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-63


Pada kurun waktu tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 relatif tidak ada
pembangunan proyek pembangkit listrik yang baru dalam rangka penambahan
kapasitas daya tenaga listrik baik pada sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) maupun
sistem Luar Jamali. Kondisi ini diperparah oleh penundaan penyelesaian proyek-proyek
pembangkit yang pada tahun 1997 tengah berjalan. Kondisi ini mengakibatkan sejak
tahun 1997 khususnya tahun 2001 sampai 2004 relatif tidak ada penambahan daya
yang masuk ke sistem.

Stagnasi dalam peningkatan kapasitas penyediaan tenaga listrik secara nasional, baik
akibat penundaan proyek-proyek yang sedang berjalan maupun terhentinya proyek-
proyek pembangkit yang baru tersebut memiliki efek krisis yang akan mulai terasa pada
dua atau tiga tahun kemudian. Hal ini disebabkan pembangunan pembangkit yang
dilakukan dalam beberapa tahun sebelum krisis dengan asumsi bahwa target
penyelesaian pembangunannya rata-rata dalam 2 atau 3 tahun ternyata pada tahun
1997 sampai dengan tahun 2002 tidak dapat dituntaskan. Akibatnya terjadi kekosongan
dalam kesinambungan penyediaan tenaga listrik mulai tahun-tahun tersebut, sedangkan
pertumbuhan permintaan tenaga listrik dari tahun ke tahun terus meningkat. Sampai
dengan saat ini, masih terjadi krisis listrik di beberapa wilayah khususnya di sistem Luar
Jamali.

Untuk mengatasi krisis listrik tersebut pada sistem Luar Jamali dilakukan upaya
melanjutkan pembangunan pembangkit listrik guna memberikan tambahan kapasitas
daya yang meliputi : di Sumatera Utara yaitu PLTA Sipansihaporas (17 MW) dan di
Sumatera bagian selatan telah beroperasi PLTU Palembang Timur (150 MW), PLTU
Borang (2x40 MW), PLTA Batutegi (3x14MW). Selain itu terdapat beberapa proyek
yang committed akan mulai dilaksanakan yaitu PLTU Labuan Angin (2x115MW) di
Sumatera Utara, PLTP Lahendong (2x20 MW) di Sulawesi Utara, serta berbagai
pembangkit lainnya.

Untuk krisis listrik yang selama ini dikhawatirkan di sistem Jamali telah mampu diatasi
yaitu dengan beroperasinya pembangunan crash program PLTGU Muara Tawar (858
MW), sekalipun dengan pembangkit ini sistem Jamali belum mencapai tingkat reserved
margin yang seharusnya dimiliki (minimal 25%). Selain itu berbagai pembangunan
pembangkit listrik dan rehabilitasi serta repowering beberapa pembangkit listrik yang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-64


ada dan akan segera mulai dilaksanakan, diharapkan dapat membantu terjaminnya
pasokan tenaga listrik hingga tahun 2009. Rehabilitasi dan repowering tersebut meliputi
rencana penambahan kapasitas yang sudah committed yaitu PLTGU Muara Tawar (210
MW), PLTGU Muara Karang (720 MW), PLTGU Tanjung Priok (720 MW), PLTGU
Semarang (80 MW), PLTGU Cilegon (620 MW), serta terdapat proyek listrik swasta
(Independent Power Producers/IPP’s) yang diperkirakan dalam waktu dekat akan masuk
ke sistem terutama PLTU Tanjung Jati B (1.320MW). adapun jumlah produksi listrik
yang dihasilkan oleh PLN dapat dilihat pada Tabel 2.27.

Tabel 2.27. Total Produksi Listrik PLN (GWh)

Tahun Share
Produksi Listrik
1996 1997 1998 1999 2000 2001 (%)
PRODUKSI LISTRIK SENDIRI 65.589 74.800 74.965 80.497 84.190 88.355 86,92
- PLTA 8.112 5.149 9.649 9.370 9.110 10.651 10,48
- PLTD dan Sewa Disel 5.349 6.527 5.850 5.799 6.355 6.520 6,41
- PLTG 1.302 1.725 1.396 1.555 1.252 1.459 1,44
- PLTGU 23.132 27.321 34.941 27.045 26.397 27.366 26,92
- PLTP 2.340 2.605 2.617 2.728 2.649 2.982 2,93
- PLTU 25.354 31.473 30.512 33.999 38.429 39.376 38,74

PEMBELIAN LISTRIK DARI


1.748 1.820 2.939 4.279 9.135 13.299 13,08
SWASTA

TOTAL PRODUKSI LISTRIK 67.337 76.620 77.903 84.776 93.325 101.654 100.00

Sumber: PLN, www.pln.co.id

Pasokan listrik yang selama ini didistribusikan oleh PLN, tidak hanya berasal dari
produksi PLN itu sendiri namun juga PLN melakukan pembelian listrik swasta. Adapun
produksi listrik PLN dan berasal dari pembelian dari swasta dapat dilihat pada Tabel
2.20. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat produksi listrik yang dihasilkan oleh PLN
terus meningkat. Pasokan tenaga listrik yang terbesar yang diproduksi PLN berasal dari
PLTU dan PLTGU. Sedangkan pasokan listrik dari PLTA sangat dipengaruhi oleh
stabilitas curah hujan.

Berkaitan dengan penyediaan listrik oleh swasta melalui pola Independent Power
Producers (IPP), pemerintah telah berupaya melakukan renegoisasi dengan 27 buah
IPP dan telah diselesaikan sebanyak 26 buah IPP yang terdiri dari 14 buah long term
agreement (Drajat, Paiton 1, Paiton 2, Sengkang, Tanjung Jati B, Pare-Pare, Salak,
Amurang, Sibolga, Palembang Timur, Cikarang, Asahan, Sibayak dan Bedugul), 7 buah

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-65


closed out (Tanjung Jati A, Tanjung Jati C, Cilacap, Serang, Pasuruan, Cilegon dan
Kamojang) dan 5 buah acquisition (Wayang Windu, Cibuni, Sarulla, Dieng dan Patuha).
Sisanya 1 buah IPP melalui jalur hukum yaitu Karaha Bodas. Dengan telah selesainya
negosiasi tersebut diharapkan pihak swasta bersangkutan dapat segera memulai
pembangunan pembangkit-pembangkit dimaksud guna membantu peningkatan
kapasitas daya listrik yang ada.

PLN dalam memproduksi listrik membutuhkan sumber energi lain guna menjalankan
pembangkit tenaga listriknya. Hal yang perlu diperhatikan adalah komposisi konsumsi
sumber energi listrik. Ilustrasi 2.24 memperlihatkan konsumsi energi yang diperlukan
oleh PLN dalam memproduksi listrik. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
persentase pemakaian BBM untuk pembangkit listrik relatif masih tinggi, yaitu sekitar
27,5% pada tahun 2002, padahal BBM merupakan sumber energi yang sangat mahal.
Sedangkan untuk energi pembangkit litrik yang berasal dari air yang relatif murah masih
mendapatkan porsi yang kecil, yaitu hanya sebesar 10% pada tahun 2002. Adapun
pemakaian energi batubara yang lebih murah dari BBM sudah mendapatkan porsi yang
cukup besar yakni sebesar 33,3%. Apabila dilihat dari perkembangan pemakaian listrik
dari tahun ke tahun menunjukkan hal yang kurang menggembirakan, dimana BBM yang
mahal mengalami kenaikan yang lebih murah mengalami penurunan. Kenaikan
penggunaan BBM diakibatkan menurunnya pasokan dari ladang gas yang mulai
terkuras sehingga harus disubtitusi oleh BBM. Kondisi tersebut akan lebih parah jika
pasokan dari PLTA juga menurun yang disebabkan kemarau panjang.

Ilustrasi 2.26. Persentase Konsumsi Sumber Energi

40

30

(% ) 20

10

0
1998 1999 2000 2001 2002

BBM 18.8 18.4 21 21.9 27.5


Air 13 11.7 10.9 12.2 10
Batubara 30.2 31.7 34.5 33.5 33.3
Panas Bumi 3.5 3.4 3.2 3.4 3.6
Gas Alam 34.6 34.8 30.4 29 25.6

Sumber: Laporan Manajemen PLN tahun 2002 (tidak dipublikasikan) yang dikutip dari LPEM FEUI tahun 2005

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-66


Sebagai pemasok tunggal energi listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia, PLN berhasil
meningkatkan jumlah daya tersambung dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan
manajemen PLN tahun 2002 (tidak dipublikasikan) yang dikutip oleh LPEM FEUI tahun
2005 menunjukkan peningkatan jumlah daya tersambung dari 34.595,8 mVA pada tahun
1998 menjadi 43.666,3 mVA pada tahun 2002. Berdasarkan kelompok pemakai tarif,
maka rumah tangga menduduki persentase terbesar dari jumlah daya yang telah
tersambung yang selanjutnya diikuti oleh industri, usaha/bisnis, dan lainnya.

Sistem Kelistrikan Nasional


Sistem Kelistrikan Nasional dapat dikelompokkan kedalam dua sistem besar yaitu
Sistem Kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Sistem Jamali) dan Sistem Kelistrikan Luar Jawa-
Madura-Bali (Sistem Luar Jamali) dimana kondisi masing-masing sistem sangat
berbeda. Berdasarkan kapasitas terpasang pembangkit, produksi maupun konsumsi
tenaga listrik sistem ini mencakup sekitar delapan puluh persen dari Sistem Kelistrikan
Nasional.

A. Sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali)


Sistem Jawa merupakan sistem yang sudah terintegrasi secara luas dan penuh. Sistem
ini merupakan sistem yang hampir sepenuhnya menjangkau daerah-daerah yang ada
kecuali daerah-daerah yang masih terisolasi atau daerah perdesaan yang terpencil.
Sistem ini juga telah dilengkapi oleh jaringan transmisi yang bersifat loop artinya
memiliki jalur transmisi alternatif yang memadai. Sistem ini di Indonesia baru dapat
dilakukan di pulau Jawa dengan sistem transmisi 500 kV yang membentang sepanjang
pantai utara Jawa mulai dari Suralaya di Banten sampai ke Paiton di Probolinggo-Jawa
Timur. Jaringan transmisi ini juga tersambung ke transmisi 500 kV yang membentang di
sepanjang selatan pulau Jawa yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian
pembangunannya. Sistem ini dilengkapi pula oleh cabang jaringan transmisi
pendukungnya yaitu jaringan 275 kV, 150 kV, 25-30 kV, serta jaringan distribusinya
yang cukup luas. Saat ini sistem seperti ini hanya dimiliki oleh pulau Jawa.

Dalam perencanaan nasional sistem Madura dan Bali dianggap sebagai sistem
perencanaan yang tergabung dalam satu kesatuan dengan sistem Jawa, karena
kedekatannya dengan sistem yang besar di Jawa, karakter beban relatif besar dan
kemudahan cara pengelolaanya, sehingga kesatuan sistem ini pengelolaan ini dijadikan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-67


satu menjadi sistem Jawa-Madura-Bali atau dikenal dengan sistem Jamali, sekalipun
Bali dan Madura masih belum terintegrasi sepenuhnya dengan Jawa.

Kondisi sistem pembangkitan pada sistem Jamali sampai tahun 2003 memiliki kapasitas
terpasang sebesar 18.658 MW, dengan daya mampu sekitar 15.177 MW dan beban
puncak sebesar 14.575 MW. Ini berarti hanya memiliki cadangan (reserved margin)
sekitar 4,1 % dan jauh dari kondisi ideal dengan reserved margin yang cukup handal
yaitu minimal 25 % dari beban puncak yang seharusnya dimiliki. Sedangkan kondisi
sistem penyalurannya saat ini memiliki 379 gardu induk dengan kapasitas 44.219 MVA
dengan jaringan transmisi yang ada sepanjang 18.203 km yang terdiri dari jaringan
transmisi 500 kV sepanjang 3.609 km; transmisi 150 kV sepanjang 11.190 km; dan
transmisi 70 kV sepanjang 3.404 km dengan masing-masing kapasitas gardu yang
dimiliki yaitu 15.500 MVA, 28.446 MVA dan 3.378 MVA.

SURALAYA SCPP N
BALARAJA M.TAWAR
KEMBANGAN CCPP & GTPP
CILEGON
CAWANG TANJUNG JATI B
BEKASI
GANDUL CIBATU JAVA SEA
DEPOK III
CIBINONG
GRESIK CCPP
CIRATA HEPP CIREBON

SAGULING HEPP
BABAT
UNGARAN
BDNG SELATAN PURWODADI
KRIAN
SURABAYA SELATAN
TASIKMALAYA

GRATI CCPP
PAITON SCPP
KLATEN
KEDIRI

HINDIA OCEAN BANYUWANGI GILIMANUK

NOTE
KAPAL
: EXISTING

: ON GOING PROJECT
: PLAN
: JAVA-BALI OHL

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.27. Sistem Transmisi Jamali 2009

Pada masa sebelum krisis reserved margin yang dimiliki oleh sistem Jawa mendekati
30% pada tahun 1995 dan 1996, sejak adanya krisis tahun 1997 sampai tahun 2003 ini
reserved margin pulau Jawa masih dapat bertahan dalam kisaran 20-25%. Penurunan
pasokan tenaga listrik akibat stagnasi investasi pembangkit tenaga listrik karena krisis

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-68


ekonomi dapat menjadikan kondisi semakin kritis jika tidak segera ditanggulangi.
Dengan telah beroperasinya PLTP Dieng (60 MW) dan PLTG Cikarang Listrindo (150
MW) cukup membantu mengatasi kondisi kritis tersebut, terlebih lagi bila pembangunan
PLTU Muara Tawar Crash Program sebesar 600 MW tahun 2004 dapat segera
beroperasi. Namun hal tersebut belum dapat mengatasi kondisi kritis dalam jangka
panjang, karena permintaan terus tumbuh antara 6-8 persen per tahun. Diperkirakan
pada tahun 2006 dan 2007 merupakan kondisi yang paling kritis, karena proyek-proyek
skala besar yang sudah committed akan dibangun untuk menunjang keandalan sistem
Jamali diperkirakan baru dapat diselesaikan paling cepat pada akhir tahun 2007.

kapasitas
Neraca Kelistrikan
terpasang
Jaw a-Madura-Bali (Jamali)

20000 Daya mampu

15000
MW

10000
Kapasitas
5000 terpasang yang
seharusnya
0 tersedia
1996 1997 1998 2000 2002 2004 Beban puncak

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.28. Neraca Kelistrikan Sistem Jamali

B. Sistem kelistrikan Luar Jamali


Berdasarkan tingkat integrasinya, sistem kelistrikan Luar Jamali terdiri dari berbagai
tingkat integrasi sistem yaitu : sistem yang telah terintegrasi luas namun masih bersifat
terbatas yaitu sistem di Sumatera bagian utara, sistem Sumatera bagian selatan, sistem
Kalimantan Barat, sistem Kalimantan Timur dan Selatan, sistem Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan sistem Lombok. Sistem-sistem ini sudah memiliki jaringan
penyaluran yang terintegrasi dan cukup luas serta menjangkau sebagian wilayah-
wilayah terpencil, walaupun sistem transmisi yang dimiliki masih banyak yang harus
dibangun dan masih belum bersifat loop. Sedangkan untuk beberapa wilayah lainnya
khususnya wilayah Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
pada umumnya memiliki sistem-sistem yang relatif kecil yang terpisah-pisah serta
beberapa sistem yang masih terisolasi.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-69


MALINDO2, 26/08/99

B.ACEH
BIREUEN
SIGLI LANGSA
T.CUT
PEUSANGAN IDIE
L.SEUMAWE
NOTE :
TAKENGON 1 HELVETIA
2 P.PASIR
3 P.GELI
4 GLUGUR
P.BRANDAN 5 MABAR
MEULABOH 6 LABUHA N
BELAWAN SCPP 7 LAMHOTMA
8 S. ROTA N
6 9 KIM
1
BLANGPIDIE 2 7 10 LISTRIK
TAPAKTUAN BINJAI 8 16
11 DENAI
5 9 12 T.K UNING
3 10
T.TINGGI 13 T.MORAWA
4 11
15
K.TANJUNG 14 NAMURAMBE
15 SUNGGAL

MALAYSIA
12 13
14
16 PARBAUNGA N
SIBAYAK Geo GALANG
RENUN HPP BRASTAGI KISARAN
P.SIANTAR
SIDIKALANG ASAHAN I

PORSEA R.PRAPAT
TELE

TARUTUNG SARULA Geoth BAGAN SIAPI-API

SIPANSIPAHORAS. HPP BAGAN BATU


SIBOLGA SCPP B
SIBOLGA SCPP A DUMAI
P.SIDEMPUAN DURI

MALAYSIA PENINSULAR

TELUK LEMBU BATAM


PAKANBARU TG.PINANG
BANGKINANG
KOTOPANJANG HPP
PAYAKUMBUH
P. LUAR B. SANGKAR CIRENTI
MANINJAU HPP T.KUANTAN
1
RENGAT
PARIAMAN TEMBILAHAN
2 OMBILIN SCPP
L.ALUNG K.JAO
PIP 3 SALAK
S.HARU SOLOK
INDARUNG
NOTE : AUR DURI
1 PADANG PANJANG
TLBAYUR
2 SINGKA RAK HPP
3 PAUH LIMO M.BUNGO P. SELINCAH
NOTE :
PAINAN 1 B.SIGUNTA NG
2 T.RATU
3 S.PUTIH
S.PENUH 4 BOOM BARU
5 S.JUARO
BANGKO 6 S.KEDUKAN
7 BUNGA RAN
MERANGIN HPP
BETUNG BORANG BARU
T.KELAPA
3
NOTE : BORANG
2 5
4
EXISTING TES I L.LINGGAU
1
7
6

KRAMASAN PLAJU
ONGOING/COMMITTED CURUP
MINE MOUTH B. ASAM S.TIGA
PLAN BENGKULU PRABUMULIH
MUSI HPP LAHAT
PAGAR ALAM
LUMUT BATURAJA
BALAI GeoPP
MANNA SEPUTIH
SURABAYA

KOTABUMI MENGGALA
BUKIT KEMUNING

BESAI HPP

Gambar 1-3a.
DEVELOPMENT PROGRAM Sumber : PT PLN, 2004 ULU BELU Geo PP
TEGINENENG
SRIBAWONO

BATUTEGI

SUMATRA
Sistem TransmisiSYSTEM
Sumatera T.PADANG NATAR
SUTAMI
TARAHAN
SCPP
T.KARANG
KALIANDA
TARAHAN

Ilustrasi 2.29. Sistem Transmisi di Sumatera

Gambar 1-3b. Sistem


Sumber : PT PLN, 2004
Transmisi Kalimantan Barat

Ilustrasi 2.30. Sistem Transmisi di Kalimantan Barat

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-70


Gambar 1-3c. Sistem Transmisi
Kalimantan Timur, Tengah dan Sumber : PT PLN, 2004
Selatan

Ilustrasi 2.31. Sistem Transmisi di Kalimantan Timur, Selatan, dan Tengah

BARRU
44 km
TONASA 3.7 km
/PANGKEP TONASA 3,4
4.9 km
TONASA I 154 km
44.5 km 43 km 23 km
MANDAI
TELLO DAYA DAYA BARU PALOPO
12.5 km
TALLO LAMA PANAKUKANG 80 km

BONTOALA BAKARU I HPP


32 km MAJENE MAKALE
35 km
S.MINASA 56 km
TJ. BUNGA POLMAS 38 km 132 km
TAKALAR TUPPU
49 km
PINRANG KENDARI
JENEPONTO 19 km SIDRAP
63 km 24 km
SENGKANG CCPP
PARE PARE 54 km
TO BULUKUMBA
154 km
44 km 35 km
BARRU SOPPENG
44 km
44 km WATAMPONE
3.7 km
TONASA 3,4
TONASA/PANGKEP 14.9 km
TONASA I
EXISTING 43 km
ONGOING/COMMITTED 44.5 km 23 km DAYABARU
MANDAI
PLAN TELLO 12.5 km
DAYA 170 km
KE-III 32 km
35 km S.MINASA
TAKALAR 49 km
63 km
BULUKUMBA
JENEPONTO

Gambar 1-3d. Sistem


Sumber : PT PLN, 2004
Transmisi Sulawesi Selatan

Ilustrasi 2.32. Sistem Transmisi di Sulawesi Selatan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-71


Gambar 1-3e. Sistem Sumber : PT PLN, 2004
Transmisi Sulawesi Utara

Ilustrasi 2.33. Sistem Transmisi di Sulawesi Utara

Perbandingan penjualan tenaga listrik di Luar Jamali hanya sekitar 20 persen dari
sistem Jamali. Akan tetapi sistem Luar Jamali mempunyai areal pelayanan yang jauh
lebih luas dari areal pelayanan sistem Jamali. Dengan telah beroperasinya PLTGU
Sengkang (135 MW) dan PLTD Pare-Pare (60 MW) maka daya mampu yang dimiliki
saat ini mencapai 5.768 MW dengan daya mampu sekitar 4.300 MW atau hanya sekitar
74,5 persen. Kondisi ini disebabkan dominasi pembangkit oleh PLTD yang sebesar
2.445 MW (42% dari seluruh pembangkit yang ada) dan sebesar 1.500 MW PLTD
dimaksud telah berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan kapasitas efektif dan beban
puncak maka enam wilayah pada sistem Luar Jamali masih mengalami krisis listrik,
dengan kekurangan lebih kurang sekitar 400 MW. Untuk menanggulangi keadaan ini,
maka PT. PLN telah mulai melakukan pembangunan untuk menambah kapasitas
pembangkit terutama melalui repowering pembangkit listrik yang ada dan pembangunan
pembangkit baru, terutama pembangkit listrik non BBM serta melakukan sewa
pembangkit dari pihak swasta atau dengan kerjasama dengan pihak pemda.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-72


Neraca Kelistrikan kapasitas
Luar Jamali terpasang

8000 Daya mampu

6000
MW
4000
Kapasitas
2000 terpasang yang
seharusnya
0 tersedia
1996 1997 1998 2000 2002 2004 Beban puncak

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.34. Neraca Kelistrikan Sistem Luar Jamali

Berdasarkan rasio elektrifikasinya sampai dengan Oktober tahun 2003 mencapai 54,8
persen, yang berarti mengalami kenaikan dibandingkan tahun 1997 yang baru mencapai
48,2 persen. Pertumbuhannya pada masa krisis ekonomi sangat lambat, jika pada tahun
1997 mengalami peningkatan mencapai 2,5 persen, akan tetapi sejak tahun 1998
sampai dengan tahun 2000 rata-rata hanya mengalami peningkatan hanya 0,5 persen.
Namun sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 kembali mengalami peningkatan
yaitu sekitar 1,2 persen per tahun.

Tabel 2.28. Perkembangan Rasio Elektrifikasi


(%)
Diskripsi 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003*

Indonesia 48,2 50,4 50,8 51,5 52,02 53,9 54,8

Jawa-Madura–Bali (Jamali) 52,6 55,0 55,4 55,9 57,1 58,3 59,5

Luar Jamali 40,6 42,5 43,3 43,7 44,7 45,8 47,0

*) Perkiraan realisasi
Sumber : PT. PLN, Oktober 2004

Bila dilihat dari sisi permintaan terhadap listrik yang dilihat dari elektrifikasi, terjadi
peningkatan jumlah pemakai listrik khususnya rumah tangga. Rasio elektrifikasi adalah
rumah tangga pelanggan listrik dengan jumlah rumah tangga total. Rasio elektrifikasi ini
menjadi salah satu indikator tingkat kemakmuran rakyat. Sampai saat ini, rasio
elektrifikasi Indonesia baru mencapai 58% (LPEM FEUI, 2005). Artinya adalah sebanyak
42% dari rumah tangga Indonesia belum dapat menikmati aliran listrik. Hal ini dapat

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-73


dimengerti karena investasi yang harus ditanamkan untuk pembangunan sambungan
baru sangat besar.

Tabel 2.29. Jumlah Penjualan dan Pelanggan Listrik PLN

Kelomp.T 1998 1999 2000 2001 2002


arif
Penjualan Jml Penjualan Jml Penjualan Jml Penjualan Jml Penjualan Jml
(GWh) Pelang (GWh) Pelang (GWh) Pelang (GWh) Pelang (GWh) Pelang

Rumah
24866 24903376 26884 25833618 30563 26796675 33340 27885612 33993 28903000
Tangga
Bisnis 8667 847940 9330 982281 10576 1062955 11395 1172247 11845 1246000
Industri 27985 43088 31338 42575 34013 44337 35593 46014 36831 47000
Lainnya 3743 639085 3780 666138 4012 691418 4192 723855 4418 758000
Total 65261 26433489 71332 27524612 79164 28595385 84520 29827728 87087 30954000
Sumber : Laporan Manajemen PLN Tahun 2002 (tidak dipublikasikan)

Kondisi rasio elektrifikasi Indonesia ini sebenarnya masih jauh tertinggal dibandingkan
beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina yang pada
umumnya telah mencapai lebih dari 75 persen, bahkan Singapura, Malaysia dan
Thailand sudah mencapai lebih dari 90 persen. Rasio elektrifikasi Indonesia dalam kurun
waktu tahun 1994-2000 mengalami pertumbuhan sekitar 6,6 persen lebih per tahun.
Namun dengan adanya krisis ekonomi sejak tahun 1997 pertumbuhan rasio elektrifikasi
nasional dalam kurun waktu 2000 sampai akhir tahun 2003 hanya tumbuh rata-rata
sekitar 0,4 persen per tahun. Berdasarkan perbandingannya dengan Philipina dengan
karakteristik geografis dan demografis negara yang relatif serupa, perbandingan
densitas permintaan tenaga listrik Indonesia hanya sepertiganya, yaitu Indonesia 8,6 kW
per km2 sedangkan Philipina telah mencapai 26,8 kW per km2.

R a s io E le k trifik a s i B e b e ra p a
N e g a ra A s e a n

120
100
80
1994
%

60
2000
40
20
0
ar
Th sia

Ph n d

Ka sia

M oja
In nam
a

Vi na
ur

nm
la

i
ay

ne

b
ilip
ap

m
ai

et

ya
al

do
ng

M
Si

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.35. Rasio Elektrifikasi Beberapa Negara ASEAN

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-74


Pertumbuhan RE per tahun Negara-Negara Asean
(1994-2000)

100
80
60
%

40
20
0
na

a
nd
a

ja
m

ar
si

si
ur

bo
na
pi

nm
la

ne
ay
ap

ili
ai

m
et

ya
al

Ph

do
ng

Th

Ka
Vi
M

M
In
Si

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.36. Pertumbuhan Rasio Elektrifikasi (RE) Negara-Negara ASEAN


(1994-2000)

Konsumsi listrik Indonesia dalam lima tahun terakhir ini mengalami peningkatan sebesar
6,5% pertahun. Apabila dilihat menurut jenis sektor pengeluarannya, terlihat seluruh
sektor mengalami peningkatan yang bervariasi kecuali terjadi penurunan pada sektor
industri pada tahun 1998 yang disebabkan oleh krisis ekonomi. Namun secara umum
terjadi peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita dari 0,25 MWH pada tahun 1995
menjadi 0,38 MWH pada tahun 2000. Sedangkan dilihat dari konsumsi tenaga listrik per
pelanggan juga terjadi kenaikan dari 2,55 (1995) menjadi 2,77 (2000). Kejadian krisis
ekonomi berdampak pada seluruh sektor dan hal tersebut juga berdampak pada
penurunan konsumsi listrik pada tahun 1998. Namun, seiring dengan bangkitnya
kembali Indonesia dari keterpurukan dari krisis maka konsumsi listrik pun berangsur-
angsur meningkat kembali.

Adapun bila dilihat jumlah penjualan listrik berdasarkan wilayah di Indonesia, maka
penjualan listrik di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Konsentrasi pasokan listrik di Jawa dapat dimengerti karena sebagian besar penduduk
Indonesia berada di Pulau Jawa, industri dan bisnis banyak terdapat di Pulau Jawa.
Oleh karena itu kebutuhan akan pasokan listrik di Pulau Jawa lebih banyak
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya (Tabel 2.30).

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-75


Tabel 2.30. Penjualan Tenaga Listrik Menurut Wilayah (GWh)

Tahun
Wilayah
99-00 00-01 01-02 02-03
Sumatera 8.787 10.097 10.913 10.896
Jawa 60.353 66.916 70.900 70.518
Bali dan Nusa Tenggara 1.907 2.075 2.322 2.220
Kalimantan 2.395 2.800 2.927 2.916
Sulawesi 2.005 2.520 2.818 2.758
Indonesia Timur Lainnya 552 449 534 571
INDONESIA 75.999 84.857 90.414 89.879
Sumber: BPS, berbagai tahun

C. Listrik perdesaan
Pada sisi lain pembangunan listrik perdesaan merupakan hal yang sangat penting untuk
menunjang pembangunan sosial ekonomi khususnya wilayah-wilayah yang belum
berkembang. Saat ini upaya pengembangan listrik perdesaan masih mengalami
masalah utama yaitu selain keterbatasan dana pemerintah juga orientasi badan usaha
milik pemerintah sebagai penyedia tenaga listrik nasional sudah lebih banyak diarahkan
pada usaha-usaha yang komersial penuh.

Kedua kondisi ini mengakibatkan pengembangan listrik perdesaan menjadi tertinggal


dibandingkan pengembangan listrik komersial. Untuk listrik perdesaan sampai bulan
Maret 2003, jumlah desa terlistriki berturut-turut untuk Jawa sebesar 23.412 desa dari
jumlah total 25.116 desa (93,2%) sedangkan untuk Luar Jawa sebesar 28.594 desa dari
jumlah total 41.098 desa (69,6%). Secara keseluruhan total desa terlistriki sekitar 78%,
jadi masih terdapat 22% atau sebesar 14.208 desa yang belum terlistriki. Dengan
demikian terlihat rasio elektrifikasi desa terlistriki di luar Jawa masih rendah
dibandingkan di Jawa.

Kondisi geografis dan demografis yang ada juga akan berpengaruh besar terhadap
kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Lebih lanjut secara rinci beberapa
permasalahan yang ada dalam pengembangan listrik perdesaan yaitu :
• Penilaian keuntungan program atau proyek pengembangan listrik perdesaan lebih
dititikberatkan pada aspek finansial, sedangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan belum sepenuhnya diperhitungkan.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-76


• Belum ada lembaga keuangan perbankan dan non perbankan yang dapat menjadi
lembaga intermediasi yang sesuai dengan karakteristik wilayah perdesaan.
• Program-program pembangunan perdesaan yang belum terintegrasi sepenuhnya
dan bersifat sektoral semata, sehingga pengembangan infrastruktur listrik dapat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan perdesaan.

Program listrik perdesaan sampai saat ini masih dilaksanakan melalui program
intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilaksanakan dengan pengembangan
jaringan listrik untuk pelanggan listrik baru pada desa-desa lama yaitu desa-desa yang
telah ada jaringan listriknya tetapi belum menjangkau seluruh penduduk yang terdapat di
desa bersangkutan. Adapun ekstensifikasi dilaksanakan dengan membangun perluasan
jaringan listrik untuk pelanggan listrik pada desa-desa baru yaitu desa-desa yang belum
ada jaringan listrik sama sekali.

Anggaran pembangunan listrik perdesaan diberikan pada departemen sektoral yaitu


Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) sedangkan pelaksanaan
fisiknya dilakukan oleh PT. PLN (Persero). Pembangunan listrik perdesaan dilaksanakan
berdasarkan nilai S rasio yang ada yaitu perbandingan antara pendapatan di suatu
wilayah desa dengan biaya investasi pengembangan listriknya. Hal ini dirasakan sangat
memberatkan untuk wilayah perdesaan pada umumnya, mengingat kapasitas finansial
daerah umumnya relatif rendah.

Selain itu walaupun di suatu daerah sudah layak dilistriki namun seringkali belum ada
jaminan mengenai pasokan tenaga listriknya, mengingat keterbatasan energi listrik yang
dihasilkan dari pembangkit listrik yang ada pada suatu sistem bersangkutan. Namun
pengembangan pembangkit listrik untuk menjamin pasokan listrik di daerah perdesaan
terutama di daerah yang belum terinterkoneksi dengan jaringan listrik (off-grid) belum
sepenuhnya menjadi perhatian. Terlebih apabila diihat dari belum termanfaatkannya
potensi energi lokal untuk pembangkit listrik.

Kondisi dan Kinerja PT. PLN, Tarif dan Diversifikasi Energi


Sampai saat ini institusi yang diberi tugas dalam menyediakan tenaga listrik adalah PT.
PLN. Namun PT. PLN sebagai badan usaha milik negara yang diberi tugas untuk
menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik selain dituntut untuk melaksanakan misi

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-77


komersial, masih dibebankan pula untuk melaksanakan tanggung jawab sosial
pemerintah di bidang listrik perdesaan.

Tabel 2.31. Realisasi Investasi Pembangunan Ketenagalistrikan Tahun 1968-1994


(Rp. juta)
Tahun Valuta Asing APBN Anggaran PLN Total (Rp)
(US$) (Rp murni)
1969/1970 1039 3987 5026
1970/1971 2511 7098 9610
1971/1972 11127 8756 19884
1972/1973 6571 13870 20442
1973/1974 9498 15563 25062
1974/1975 39470 44879 84350
1975/1976 78953 45934 124888
1976/1977 113966 57904 171871
1977/1978 110050 64609 174660
1978/1979 90953 65197 156151
1979/1980 208477 72739 281216
1980/1981 323838 111429 435268
1981/1982 313218 151582 464801
1982/1983 580650 182873 183424 946948
1983/1984 540093 149778 74368 764240
1984/1985 636141 182094 181030 999265
1985/1986 877992 199319 76293 1153604
1986/1987 767992 96297 316525 1180547
1987/1988 1270454 187377 577068 2034899
1988/1989 1157831 638812 127046 1923690
1989/1990 685037 405747 465189 1555973
1990/1991 671635 522541 607950 1802128
1991/1992 1785766 618169 786463 3190399
1992/1993 2934717 725803 1616745 5277265
1993/1994 2540951 818439 2089778 5449169
Sumber : Laporan Keuangan PT. PLN, 2002

PT. PLN sendiri memiliki perjalanan cukup panjang berkenaan dengan pinjaman bank
untuk investasi ketenagalistrikan di Indonesia. Sejak tahun 1970 PT. PLN telah banyak
menerima pinjaman luar negeri untuk investasi yang dipergunakan untuk pembangunan
pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi serta berbagai pembiayaan kajian-kajian
teknis. Investasi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk pembangunan sistem
ketenagalistrikan nasional bersumber dari APBN yang bersumber dari pendapatan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-78


dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Selain itu sejak tahun 1981 investasi ini juga
didukung oleh sumber pembiayaan dari Perum Listrik Negara pada waktu itu sebagai
badan usaha tunggal pemerintah yang mengelola sistem ketenagalistrikan nasional.

Mengenai Tarif Dasar Listrik (TDL), sebelum terjadi krisis ekonomi, tarif dasar listrik rata-
rata di Indonesia telah mencapai lebih 7 sen USD/ kWh yang membuat pendapatan
operasi PT. PLN mencukupi untuk mencapai tingkat Rate of Return sebesar 7 %. Tarif
terendah yang pernah dialami PT. PLN akibat devaluasi nilai rupiah pernah mencapai
2,6 sen/kWh terjadi pada tahun 1998 sehingga memperburuk kondisi keuangan PT.
PLN. Dampak dari krisis tersebut adalah tampak pula dari menurunnya kinerja finansial
PT. PLN sebagai penyedia utama tenaga listrik nasional yang mengakibatkan
kemampuan investasinya melemah. Sejak 1997 sampai tahun 2002 PT. PLN mengalami
financial losses lebih kurang Rp. 47 triliun atau sekitar USD 5,3 milyar.

600

500

400

300

200

100

0
1996 1997 1998 1999 2000
H PP H a r g a  J u a l

Sumber : DESDM, 2004


Ilustrasi 2.37. Perbandingan HPP dan Harga Jual

Kondisi demikian mengakibatkan menurunnya kinerja finansial PT. PLN sebagai


penyedia utama sumber tenaga listrik nasional. Nilai valuta asing yang semakin
meningkat tajam mengakibatkan kewajiban PT. PLN melonjak luar biasa secara tiba-
tiba, karena pada umumnya kewajiban PLN adalah dalam bentuk valuta asing.
Persentase total biaya valuta asing terhadap biaya operasi terus meningkat setiap tahun
sejak tahun 1996 hingga tahun 2000, yaitu berturut-turut 8,8 persen, 9,7 persen, 39,3

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-79


persen, 63,9 persen dan 79,7 persen. Sedangkan biaya pembelian gas alam dan panas
bumi untuk sumber daya listrik dibandingkan biaya operasinya dari 20 persen naik
menjadi 40 persen. Begitu pula pembelian listrik dari swasta yang meningkat menjadi 28
persen dari total biaya operasi PT. PLN, sekalipun kemudian kontrak-kontrak ini
dievaluasi ulang. Di sisi lain pendapatan PT. PLN sepenuhnya dalam rupiah, sehingga
harga pokok penjualan (HPP) menjadi semakin jauh di atas harga jual rata-rata. HPP
pada tahun 1996 – 2000 masing-masing adalah Rp 149, Rp 182, Rp 355, Rp 376, dan
Rp 588 per kWh, sedangkan harga jual rata-rata per tahun Rp 165, Rp 169, Rp 211, Rp
220, dan Rp 280 per kWh.

Dengan kondisi tersebut, PT. PLN terus mengalami kerugian, sehingga terpaksa
dilakukan penyesuaian tarif listrik sejak tahun 2000 dan akan dilakukan hingga beberapa
tahun mendatang. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
PT. PLN melakukan investasi pengembangan fasilitas. Tetapi sekalipun kenaikan tarif
sudah dilakukan sampai tahun 2002 namun belum dapat memenuhi investasi yang
dibutuhkan sehingga masih akan tergantung dari pinjaman-pinjaman baru.

Tabel 3.32. Indikator Keuangan PT. PLN

No Indikator 31 Des. 31 Des. 31 Des. 31 Des. 2001 31 Des. 2002


1998 1999 2000
1 Tarif rata-rata 211 220 279 333 443
2 Revenue 15.966 15.997 22.557 35.360 44.635
3 Biaya Operasi 16.809 21.503 27.216 31.939 51.359
4 Pendapatan (843) (5.506) (4.659) 3.421 (6.724)
Operasi
5 Net Income (9.546) (11.368) (24.611) 180 1.537
6 Aset total 74.460 73.219 78.003 79.907 199.237*)
8 % Rate of Return (1,8) (10,7) (8,9) 6,2 (4,0)

Sumber : PLN, 2003

Penentuan tarif dasar listrik saat ini masih diatur oleh pemerintah dan bersifat rata
(uniform) padahal Indonesia memiliki banyak wilayah yang sangat bervariasi sebagai
contoh untuk Luar Jamali pada umumnya memanfaatkan diesel tersebar (scattered
diesel) dan memiliki demand yang relatif kecil dibandingkan Jamali yang memiliki
kepadatan penduduk dan demand listrik yang sangat besar. Tarif listrik di Indonesia
merupakan yang paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Tabel
2.32).

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-80


Tabel 2.38. Struktur Tarif di Beberapa Negara ASEAN
Th. 2002 (sen USD/kWh)

Negara Rumah Komersial Industri


Brunei 2,91 – 14,61 2,98 -11,69 2,91 -11,69
Kamboja 8,77 – 16,29 15,03-16,29 12,03 –
Indonesia 5,81 6,64 – 8,09 5,29 – 7,75
Lao PDR 2,71 2,98 – 3,72 2,50
Malaysia 5,53 – 8,9 2,63 – 10,52 2,63 – 10,52
Myanmar 8,42 8,42 8,42
Philipina 3,10 – 10,55 3,62 – 9,71 3,30 – 10,68
Singapore 9,35 4,48 – 7,27 4,23 – 6,78
Thailand 3,36 – 7,35 2,89 – 7,35 2,89 – 7,01
Vietnam 2,89 – 8,09 4,20 – 13,83 2,80 – 13,83

Asumsi USD 1 = Rp. 9.100,-


Sumber : Energy Outlook, 2004

Pada sisi lain, tarif yang ada saat ini rata-rata sebesar Rp. 555,-/kWh atau ekivalen
dengan 6.10 sen USD/kWh masih belum mencerminkan nilai keekonomiannya dan pada
kenyataannya lebih dari 90% pelanggan listrik termasuk golongan R1, sehingga
membayar dibawah biaya pokok produksi. Sementara itu persentase total biaya valuta
asing terhadap biaya operasi terus meningkat setiap tahun sejak tahun 1996 hingga
tahun 2000, yaitu berturut-turut 8,8 persen; 9,7 persen; 39,3 persen; 63,9 persen dan
79,7 persen. Begitu pula pembelian listrik dari swasta yang meningkat menjadi 28
persen dari total biaya operasi PT. PLN.

East Nusa Tenggara

Maluku

Papua

East Kalimantan

South Sulawesi

South Sumatera

Batam

Jawa-Madura-Bali

Indonesia

Revenue 500 600 800 1000 1500 2000

Cost Rp / kWh

Sumber : PT PLN, 2004

Ilustrasi 2.39. Perbandingan Biaya dan Keuntungan

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-81


Selain itu, kinerja sarana dan prasarana ketenagalistrikan saat ini makin memprihatinkan
terutama disebabkan pemeliharaan yang tidak memadai selama beberapa tahun
terakhir karena alasan keterbatasan dana akibat krisis sehingga banyak pembangkit
yang dipaksa beroperasi secara terus menerus tanpa dilakukan pemeliharaan yang
memadai. Hal ini mengakibatkan penurunan efisiensi mesin dan berakibat pada
borosnya pemakaian bahan bakar sehingga meningkatkan biaya operasi. Rendahnya
efisiensi ini terjadi pula pada sistem penyaluran akibat adanya bottleneck dan losses
yang berakibat menurunnya keandalan sistem untuk memasok tenaga listrik. Sebagai
gambaran tingkat losses sistem kelistrikan PLN pada tahun 2001 yaitu 11,7 persen di
sisi distribusi dan 2,4 persen di sisi transmisi baik yang bersifat teknis maupun non
teknis. Sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 juga masih diatas 11 persen.

Tingkat losses PT. PLN

15

% 10 Losses Distribusi
Losses Transmisi
5 Losses Total

0
1995 1997 1999 2001

Sumber : PT PLN, 2003

Ilustrasi 2.40. Tingkat Losses PT. PLN sampai dengan Th. 2001

Begitu pula berkaitan dengan diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik,
sampai saat ini jumlah pembangkit tenaga listrik di Indonesia yang menggunakan bahan
bakar minyak masih cukup besar dan sebagian besar berlokasi di luar Jamali. Hal ini,
masih ditambah pula oleh adanya berbagai pembangkit listrik tenaga gas bumi yang
menggunakan bahan bakar minyak, karena sulitnya mendapat bahan bakar gas.
Berdasarkan kapasitas terpasang pembangkit listrik yang dioperasikan PLN terlihat
sebesar 36,28 persen pembangkit yang menggunakan BBM. Adapun dana yang
dikeluarkan PT. PLN untuk bahan bakar minyak ini mencapai lebih dari Rp 13 triliun. Di
sisi lain, saat ini cadangan minyak semakin menipis dan harganya pun semakin mahal.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-82


Persentase energi terbesar lainnya yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik adalah
batubara dan tenaga air. Namun batubara dalam pengembangannya akan menghadapi
masalah pencemaran lingkungan. Sedangkan tenaga air untuk pembangkit skala besar
(PLTA) dalam pengembangannya perlu memperhatikan beberapa faktor yang seringkali
menghambat pelaksanaan pembangunan PLTA seperti masalah lingkungan,
permukiman (resettlement) dan kehutanan (penggundulan hutan pada daerah hulu
sungai). Masalah lingkungan tersebut terkait dengan pola pemanfaatan sumberdaya air
dan keterkaitan dengan kegiatan pembangunan yang berada pada suatu sistem daerah
aliran sungai (DAS) dimana suatu PLTA dibangun. Untuk itu perlu adanya kebijakan
indeksasi dan diversifikasi melalui kajian pemanfaatan per jenis energi untuk
pembangkit listrik yang terfokus pada pemanfaatan jenis energi yang langsung dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik seperti tenaga air dan energi terbarukan
(mikrohidro, surya, angin dan biomasa).

Tabel 2.33. Ringkasan Kapasitas Terpasang Pembangkit Regional

Pulau Wilayah PLTA PLTD PLTG PLTGU PLTM PLTP PLTU Jumlah
Sumatera Babel - 66.5 - - - - - 66.5
Kitlur 394.9 223.6 234.8 - - - 485.0 1,338.4
Sumbagsel
Kitlur 131.0 94.9 166.5 806.6 7.5 - 260.0 1,466.5
Sumbagut
Lampung - 23.6 - - - - - 23.6
NAD - 120.5 - - 2.2 - - 122.7
Riau - 177.4 - - - - - 177.4
S2JB - 65.1 - - 1.8 - - 66.9
Sumbar - 41.9 - - 0.6 - - 42.6
Sumut - 0.4 - - - - - 0.4
Kalimantan Kalbar - 194.3 34.0 - - - - 228.3
Kalsengteng 30.0 259.3 21.0 - - - - 440.3
Kaltim - 200.6 - 60.7 0.2 - - 261.5
Sulawesi Sulsera 126.0 187.2 125.9 - 3.2 - 25.0 467.3
Suluttenggo 45.9 252.2 - - 9.3 20.0 - 327.5
Maluku Maluku - 141.8 - - - - - 141.8
NTT NTT - 105.3 - - 1.1 - - 106.4
NTB NTB - 162.7 - - 1.1 - - 163.8
Jumlah 727.8 2,445.1 582.2 867.3 30.4 20.0 900.0 5,572.7
Sumber : PT. PLN, 2004

Kebutuhan energi primer untuk pembangkit listrik


Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) Tahun 2004 yang
diterbitkan oleh Dep. Energi dan Sumberdaya Mineral pada tanggal 15 April 2004 dapat
diketahui potensi sumberdaya energi primer untuk pembangkit listrik skala besar yang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-83


ada di tiap propinsi. Gambaran umum potensi sumberdaya energi primer untuk
pembangkit listrik dapat diketahui pada Tabel 2.34.

Tabel 2.34. Potensi Sumberdaya Energi Primer untuk Pembangkit Listrik

Sumber Potensi Cadangan Produksi


No. Potensi Keterangan
Energi Dunia Terbukti (Tahun)
Minyak 321 milliar Habis dalam 10 tahun,
1. 1,2% 5 milliar 500 juta barel
Bumi barel ekspor
2. Gas Bumi 507 TSCF 3,3% 90 TSCF 3 TCF Habis dalam 30, ekspor
50 milliar Habis dalam 50 tahun,
3. Batubara 3% 5 milliar ton 100 juta ton
ton ekspor
Tenaga 75 ribu Sulit untuk pengembangan
4. 0,02% 75 ribu MW 4200 MW
Air MW skala besar, domestik
Untuk domestik 30 tahun,
Panas 27 ribu cadangan mungkin 728
5. 40% 2.305 MW 807 MW
Bumi MW MW dan cadangan terduga
10.027 MW
Sumber : DJGSDM, 2003

Berdasarkan data di atas terlihat sebenarnya persentase potensi sumberdaya energi


yang ada di Indonesia dibandingkan potensi yang ada di dunia relatif kecil dan hanya
satu potensi dengan persentase besar yaitu potensi panas bumi (40% dari potensi
dunia). Potensi panas bumi Indonesia pada tahun 2003 sebesar 27.140 MW namun
baru dimanfaatkan sebesar 807 MW (3%). Selain itu beragamnya potensi yang ada
sangat cocok untuk dimanfaatkan baik untuk sumber energi primer pembangkit tenaga
listrik maupun untuk dimanfaatkan langsung dalam industri pertanian dan pariwisata.

Pemerintah telah pula mengupayakan peningkatan pemanfaatan energi panas bumi


melalui penerbitan beberapa peraturan perundangan yaitu : UU No. 27 tahun 2003
tentang panas bumi yang akan memberikan kepastian hukum dalam pengembangan
panas bumi, kebijakan energi nasional dan roadmap pengembangan energi panas bumi
2004-2020. Namun masih diperlukan upaya lanjut agar regulasi tentang panas bumi ini
dapat bersinergi dengan regulasi lainnya seperti undang-undang ketenagalistrikan,
kehutanan, perpajakan, pemerintahan daerah dan keungan daerah, sehingga kebijakan
yang ada dapat terimplementasikan dengan baik.

Sampai akhir tahun 2002 gambaran pemanfaatan energi primer untuk pembangkit listrik
di Indonesia berdasarkan RUKN Tahun 2004 yang diterbitkan oleh DJLPE disajikan
pada Tabel 2.34. Pemanfaatan energi primer untuk pembangkit listrik secara umum
terlihat relatif masih kecil dibandingkan potensi energinya kecuali minyak bumi.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-84


Ketergantungan kepada minyak bumi ini disebabkan untuk jenis energi primer lainnya
masih menghadapi berbagai kendala yaitu terbatasnya jaringan pipa gas bumi, lokasi
potensi tenaga air dan panas bumi yang jauh dari pusat beban serta pengembangan
panas bumi yang belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang kondusif.

Tabel 2.35. Pemanfaatan Energi Primer Untuk Pembangkit Listrik

No. Jenis Energi Pemanfaatan Keterangan


1. Batubara 14 juta ton • Untuk pembangkit pemikul beban dasar dengan
biaya paling murah
• Potensi sangat besar 50 milliar ton
• Kendala utama pemanfaatan batubara adalah
masalah lingkungan
2. Gas Alam 192.000 mmscf • Produksi gas alam 8,42 BSCFD, 58% untuk
ekspor dalam bentuk LNG, LPG dan pipe line
sedangkan sisanya sebesar 42% baru 6,6%
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik
• Pembangkit listrik berbahan bakar gas
selayaknya dioperasikan sebagai pemikul beban
menengah, namun saat ini digunakan sebagai
pemikul beban dasar karena kontrak
pembeliannya menggunakan klausul Take Or
Pay
3. Minyak Bumi 7 juta kilo liter • Pemerintah berupaya untuk menurunkan peran
BBM sebagai sumber energi bagi pembangkit
kecuali untuk pusat-pusat beban di remote
areas
4. Tenaga Air 3.133,24 MW • Membutuhkan waktu yang lama untuk
membangun pembangkit dengan memanfaatkan
energi air dan banyak menghadapi masalah
lingkungan
5. Panas Bumi 807 MW • Baru dimanfaatkan sebesar 2% dari potensi
yang ada
Sumber : RUKN 2004 dengan modifikasi , DJLPE

Sementara itu pemanfaatan potensi air untuk pembangkit skala besar dibandingkan
potensi yang ada sebenarnya masih relatif kecil yaitu hanya sebesar 5,55% (Tabel
2.35). Oleh karena itu masih terbuka luas peluang untuk mengembangkan pembangkit-
pembangkit listrik skala menengah dan kecil terutama yang sesuai dengan kondisi
wilayah Indonesia. Selain itu dimungkinkan pula diversifikasi energi melalui
pengembangan pembangkit listrik dengan memanfaatkan energi terbarukan sehingga
meningkatkan jaminan pasokan listrik terutama di daerah pada sistem Luar Jamali dan
daerah yang belum terinterkoneksi (off-grid). Pemanfaatan energi terbarukan untuk
pembangkit listrik saat ini relatif masih kecil dan persentase paling besar yang
termanfaatkan adalah potensi mini/mikro hidro (28,93%).

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-85


Tabel 2.36. Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Baru Terbarukan (EBT)

Persentase
Kapasitas
Jenis Energi Potensi Pemanfaatan
Terpasang
(%)
Hidro 75.67 GW 4200 MW 5,55
Geothermal 27 GW 802 MW 2,97
Mini/mikro hidro 712 MW 206 MW 28,93
Biomass 49.81 GW 302.4 MW 0,61
Surya 4.8
5 MW -
kWh/m2/hari
Angin 3 – 6 m/dt 0.5 MW -
Sumber : DJLPE dengan modifikasi, 2004

2.7. Infrastruktur Pengangkutan Minyak dan Gas Bumi


Sebagaimana kita ketahui bahwa energi minyak bumi dan gas diperoleh dari dalam
perut bumi dan untuk mendapatkannya diperlukan proses yang rumit sampai minyak
dan gas bumi tersebut dapat dijadikan barang konsumsi. Akhir-akhir ini, terjadinya
lonjakan harga minyak mentah dunia yang semakin melambung tinggi (telah mencapai
level di atas US$ 50 perbarel) dan tidak diperkirakan sebelumnya, berdampak langsung
pada perekonomian di Indonesia. Kenaikan harga minyak di dalam negeri pun sudah
tidak dapat dielakkan lagi. Saat diumumkannya kenaikan harga minyak oleh pemerintah
tanggal 1 Oktober 2005, maka harga BBM, seperti minyak tanah, premium, solar, dan
bahan bakar lainnya naik rata-rata di atas 80%. Kondisi pahit ini harus diambil
mengingat pemerintah harus mensubsidi bahan bakar minyak dan gas lebih besar jika
tidak diambil kebijakan penaikan harga BBM tersebut. Di sisi lain, kenaikan harga BBM
menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak di beberapa wilayah di
Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis energi.

Berdasarkan kondisi di atas, pelajaran yang harus diambil Indonesia adalah


mengevaluasi kembali kebijakan minyak dan gas bumi di Indonesia, mencari potensi
ladang-ladang minyak baru guna, dan mencari energi alternatif untuk mengantisipasi
habisnya energi minyak dan gas bumi. Penyediaan energi saat ini merupakan isu
nasional yang membutuhkan penanganan yang tepat. Potensi energi Indonesia yang
besar, beragam namun terbatas harus direncanakan, diintegrasikan dan
dikonsolidasikan secara optimal dan dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat banyak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-86


Undang Dasar 1945. Walaupun kebijakan energi nasional sudah ada, namun kebijakan
tersebut perlu dilandaskan pada perencanaan energi nasional yang komprehensif. Krisis
ekonomi mengakibatkan berbagai perubahan mendasar pada perekonomian, pada pola
supply-demand energi, dan biaya operasi penyediaan energi. Dengan terjadinya krisis
ekonomi terjadi ketimpangan biaya produksi yang dipengaruhi oleh nilai tukar valuta
asing dengan pendapatan sektor energi. Disisi lain, penyesuaian harga energi tidak
dapat dihindari dan sudah merupakan komitmen pemerintah dalam rangka mengurangi
subsidi harga energi.

Dengan terbatasnya cadangan energi fosil yang ada saat ini, perlu dimulai pemanfaatan
energi alternatif secara bertahap dan berorientasi pasar menuju pola bauran energi
(energy mix) yang terpadu, optimal dan bijaksana. Upaya pemanfaatan energi alternatif
dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang semakin mahal
dan ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif dapat dipergunakan gas bumi,
batubara, dan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga nuklir, tenaga
surya, tenaga angin, fuel cell (sel bahan bakar) dan biomasa. Sejalan dengan
terkurasnya energi fosil, maka impor minyak mentah juga meningkat setiap tahunnya.
Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rata 10,46
persen per tahun. Hingga saat ini Indonesia mengimpor minyak mentah untuk
kebutuhan dalam negeri dan optimalisasi kilang dari Arab Saudi (Arab Light Crude),
Iran, Australia dan Malaysia. Selain itu impor produk BBM juga masih tinggi. Dalam
perencanaan jangka menengah kebijakan yang perlu diambil meliputi masalah ekspor
dan impor minyak mentah serta produk minyak lainnya (Tabel 2.37).

Tabel 2.37. Ekspor Impor Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Juta US$)

Komoditi 1999 2000 2001 2002 2003


ekspor impor ekspor impor ekspor impor ekspor impor ekspor impor
Minyak
4517,3 - 6090,1 - 5714,7 - 3237,6 - 5621,0 -
Mentah
Hasil
918,1 - 1651,6 - 1189,4 - 1307,4 - 1547,6 -
Minyak
Gas 4356,8 - 6624,9 - 5732,2 - 5577,7 - 6474,0 -
Total
9792,2 3681,1 14366,6 6019,5 12636,3 5471,8 12112,7 6525,8 13642,6 7531,9
Migas
Sumber : Laporan Perekonomian BPS, 2004
Keterangan: - = tidak ada data

Sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah, Indonesia memiliki potensi
sumber energi yang cukup banyak dan beragam namun produksi bagi pemanfaatannya

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-87


kurang seimbang. Berdasarkan data yang diperoleh, potensi sumber energi Indonesia
cukup besar. Bila potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, maka nilai tambah
pendapatan bagi Indonesia pun ditingkatkan dari migas ini. Secara rinci nilai potensi
sumber energi dan pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 2.38.

Tabel 2.38. Potensi Sumberdaya Energi Primer


No Sumber Potensi Potensi Cadangan Produksi (Tahun) Keterangan
Energi Dunia Terbukti
Minyak 321 milliar Habis dalam 10 tahun
1. 1,2 % 5 milliar 500 juta barel
Bumi barel ekspor
Habis dalam 30 tahun
2. Gas Bumi 507 TSCF 3,3 % 90 TSCF 3 TCF
untuk ekspor
Habis dalam 50 tahun
3. Batubara 50 milliar ton 3% 5 milliar ton 100 juta ton
untuk ekspor
Tenaga Sulit untuk pengembangan
4. 75 ribu MW 0,02 % 75 ribu MW 4200 MW
Air skala besar, domestik
Sebagai energi terbarukan,
Panas dapat dikonsumsikan
5. 27 ribu MW 40 % 2.305 MW 807 MW
Bumi dalam jangka waktu yang
cukup lama.
Sumber : DJGSDM, 2003

Potensi sumber energi dan produksi berdasarkan data tahun 2003 dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Minyak Bumi. Potensi minyak bumi sebesar 8,82 miliar barel (cadangan terbukti
4,73 miliar barel dan potensi 4,09 miliar barel) yang penyebarannya terkonsentrasi
di daerah Sumatera bagian tengah (Riau) dan Kalimantan Timur. Namun demikian
produksi minyak bumi diperkirakan akan menurun, hanya sekitar 500 juta barel per
tahun akibat dari makin tuanya sumur-sumur yang ada dan kuota untuk ekspor yang
diterapkan oleh OPEC.
2. Gas Alam. Potensi gas alam tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Papua
sebesar 178,13 triliun kaki kubik (trillion cubic feet = TCF) terdiri dari 91,17 TCF
cadangan terbukti dan 86,69 TCF cadangan potensi (probable reserve).
Dibandingkan dengan Negara Asean lainnya, Indonesia mempunyai cadangan gas
alam terbesar (Ilustrasi 2.25). Namun produksinya baru mencapai 3 TCF per tahun
yang sebagian besar untuk ekspor.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-88


Ilustrasi 2.41. Cadangan Gas Asean (TCF)
Pilipina 5
Brunei 12
Vietnam 25
Thailand 32
Malay sia 99
Indonesia 170

0 50 100 150 200

Tabel 2.39. Struktur, Infrastruktur, Pelaku dan Kapasitas Industri (Hilir)


Gas Bumi Indonesia

Pangsa
Struktur Industri Pelaku Produk/kapasitas/unit Keterangan
%
Produksi Hilir

Kilang Gas: Rencana:


LNG Pertamina 30,1 juta ton/tahun 100 - LNG Tangguh
LPG Pertamina 105 juta ton/tahun 100 oleh BP dan
LNG Matindok
oleh Pertamina
- LPG di Cilacap
Transmisi dan - Rencana
Distribusi pembangunan
Pertamina 480 km jaringan pipa
Pipa PGN 800 km (transmisi) + 2547 km gas: Trans
(distribusi) Jawa, Sumatra
BP Pipa Pagerungan-Jatim - Jawa Barat,
PT Igas - Kaltim - Jawa.

Penyimpanan
LPG Pertamina 6 depot LPG 100
Perdagangan Pertamina 8 unit pemasaran (UPMS) Agen, stasiun
PGN 8 cabang, 1 cabang pembantu, 1 pengisian, pabrik
perusahaan transmisi tabung, sebagian
Pelaku lain: besar milik swasta,
Agen LPG 423 unit koperasi, dan
Pabrik Tabung LPG 5 yayasan
SPBG 28
SPBE 18
44
Sumber: Bappenas, 2005

Berdasarkan potensi sumber gas yang dimiliki, diharapkan permintaan domestic


akan gas dapat terpenuhi. Di samping itu, kita masih mempunyai kesempatan yang
cukup besar sebagai pengekspor gas alam ke mancanegara. Oleh karena itu, pada
Tabel 2.39 ditampilkan secara rinci struktur industri gas dan pelaku dari komoditas
gas ini. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa pelaku hilir atau produsen dari gas
bumi didominasi oleh badan usaha milik negara, yaitu pertamina. Pangsa pasar
yang dikuasai sebesar 100%. Begitu pula dengan transmisi gas, dominasinya masih

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-89


dikuasai oleh perusahaan pemerintah. Hal tersebut berkaitan dengan nilai investasi
yang cukup besar yang harus ditanamkan dibidang transmisi ini terutama dalam hal
pembebasan tanah dan lain sebagainya. Namun dibidang perdagangan, pelakunya
tidak hanya pertamina dan PGN melainkan ada pelaku lainnya yang memanfaatkan
bisnis gas ini, seperti agen-agen gas, pabrik tabung gas dan sebagainya.

Indonesia memiliki jaringan transmisi gas bumi sekitar 1.300 km dan jaringan
distribusi gas bumi sekitar 2.600 km. Jaringan transmisi tersebut dibangun oleh
BUMN (PT Pertamina dan PT PGN), sedangkan seluruh distribusi gas bumi
dibangun oleh PT PGN. Pembangunan seluruh jaringan transmisi dan distribusi gas
bumi tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan project finance, dan dilakukan
langsung oleh BUMN terkait. Hingga saat ini semua proyek pembangunan jaringan
gas bumi tersebut berjalan sehat, dalam artian dapat mengembalikan (dan
melunasi) semua beban pinjaman yang dilakukan dalam rangka pembangunan
proyek. Dibandingkan dengan kebutuhan penyaluran gas bumi di dalam negeri,
maka infrastruktur hilir gas bumi yang telah terbangun tersebut adalah sangat kecil.
Indonesia juga memiliki infrastruktur hilir untuk mengolah dan mentransport gas
bumi menjadi LNG dengan kapasitas yang terbesar di dunia (LNG Bontang dan
LNG Arun). Namun, seluruh infrastruktur tersebut digunakan hanya untuk melayani
ekspor. Adapun alur pipa gas dapat digambarkan pada Ilustrasi 2.42 dan Tabel
2.40.

THAILAN LAOS Manila


D TRANSMISSION PIPELINE & FLOW
Bangko 1. Grissik – Duri : Ø 28” x 530 Km,
kBan CAMBODI
Philipines
Mabtapud
A 500 MMSCFD
Phnom VIETNAM
South
Penh 2. West Natuna – P. Sakra : Ø 28”
Ho Chi China x 656 Km, 325 MMSCFD
Minh
Eraw City
Sea 3. Hangtuah (Mogpu) – Duyong : Ø
Khan
on
Song
an 28” x 96 Km, 250 MMSCFD
khla Bangkot
4. Grissik – P. Sakra : Ø 28” x 490
Law
it Jerneh Km, 350 MMSCFD
Kota
Banda Pena
Gunto
Alp BRUNE Kinibalu 5. Pagerungan – Grissik : Ø 28” x
ng
Aceh ng West Natun
ha I 380 Km, 450 MMSCFD
Lhokseum WEST Kerte Duyon Natu a Bandara Seri
awe h gMogp
MALAYS
IA u na Begawan
Singapo

Kuala
Trunklin
re Gas

Bint
Port
Lumpur ulu
e

Meda Klang EAST


Port
n
Dickson MALAYSIA Pacific Ocean
Dum Manado
ai SINGAPORE Kuch
Ternate HALMAHE
ing
Duri Bata Binta Bontang LNG
m n RA
Plant
Atta
S

& Export
Terminal
KALIMANTA Samar Sorong
U

Tun
ka
Pada
M

N inda
Balikpapan Beka
u
ng
A

pai
Jamb
T

SULAWESI
R

i
A

Griss Palemb Banjar


ik ang masin IRIAN JAYA
BURU SERAM

Ujung
Pandan
Ardjuna
g
Fields
Jaka Cireb Semar
on
MADU
Bangk
I N D O N E S I A
ang RA Pagerunga
rta JAV Surab alan n
Existing Gas Pipelines A aya BALI SUMBA FLORES
WA
LOMBO
Planned Gas Pipeline Indian Ocean K TIMOR
SUMBA Source : BP MIGAS

Ilustrasi 2.42. Alur Transmisi Gas Alam Indonesia

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-90


Tabel 2.40. Transmisi dari Pipa Gas Alam Indonesia

Diameter Length Capacity


No. Pipe Name Location Remark
(inch) (km) (MMSCFD)

Gathering Line
1. Offshore-L. Seumawe 30 109 1,000 Aceh LNG Plant
Onshore- LNG Plant/
2. L. Seumawe/Arun 16 - 42 30 - 34 200 - 2,000 Aceh Industry
3. Badak-Bontang 42 57 2,000 Kalimantan LNG Plant
4. Field-Badak-Bontang 20 - 36 10 - 70 300 - 1,500 Kalimantan Gas processing
5. Offshore-W. Java 16 - 26 20 - 70 200 - 600 West Java Proc. Platform
6. Grissik Fields 16 - 26 13 - 50 200 - 600 S. Sumatra To Sales Line

Sales Line
Offshore - T. Priok/
7. Muara Karang 16 - 26 10 - 55 200 - 600 N. Java Power Plant
8. Cilamaya-Cilegon 24 220 500 W. Java Industries
Power Plant/
9. Pagerungan-Gresik 24 - 28 3 - 370 500 - 700 E. Java Industry
Power Plant/
10. Prabumulih-Palembang 20 - 28 15 - 50 300 - 500 S. Sumatra Industry
Duri Steam
11. Grissik-Duri 28 550 700 Sumatra Flood
Export/Power
12. Natuna-Singapore 16 – 28 10 - 470 200 - 700 S.China Sea Plant
13. Grissik-Sakernan 28 135 700 C. Sumatra Transmission
Sakernan-Batam- Riau Export/Power
14. Singapore 28 335 700 Sumatra Plant
Sumber: Bappenas, 2005

3. Tenaga Air. Potensi tenaga air dengan besaran kurang lebih 75 ribu MW namun
produksinya baru mencapai 4.200 MW karena berbagai kendala antara lain
beragamnya kapasitas, tingginya investasi yang cukup tinggi, serta persoalan
sosial dan dampak lingkungan.
4. Batubara. Potensi batubara sebesar 50 miliar ton, dengan daerah penghasil
terbesar adalah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dengan total potensi
masing-masing sebesar 12,9 miliar ton (sekitar 56,44 miliar SBM) dan 13,8 miliar
ton (sekitar 60,38 miliar SBM). Dari jumlah tersebut, tingkat produksi tidak melebihi
100 juta ton per tahun, namun sebagian besar masih diperlukan untuk komoditi
ekspor. Dengan potensi yang cukup besar tersebut dan dengan adanya dampak
kenaikan harga BBM, maka saat ini sedang dilakukan pengembangan bahan bakar
alternatif yang berasal dari batubara. Bahan bakar ini diharapkan dapat mengurangi
konsumsi BBM melalui pemanfaatan batubara ini. Oleh karena itu, perlu
pengembangan dan penelitian lebih lanjut agar batubara ini dapat dijadikan bahan
bakar yang ramah lingkungan dan dapat dikonsumsi oleh rumah tangga. Adapun

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-91


mengenai jalur, cadangan, dan kapasitas dari batubara dapat dilihat pada ilustrasi
berikut.

Ilustrasi 2.43. Cadangan, Kapasitas, dan Terminal Batubara di Indonesia

5. Energi Panas Bumi. Potensi energi panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia
merupakan potensi terbesar di dunia (Tabel 2.41) dan terdapat di sepanjang pulau
Sumatera, Jawa-Bali, NTT, NTB, kepulauan Banda, Halmahera, dan Pulau
Sulawesi. Namun tingkat produksi hanya mencapai 807 MW. Hal ini menunjukkan
energi panas bumi mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat sifatnya
yang dapat diperbarukan, kapasitas unitnya berkisar antara skala kecil dan
menengah, dan dapat memicu berkembangnya industri hilir.

Tabel 2.41. Potensi Panas Bumi Indonesia (MW)

Sumber
Provinsi Cadangan Total
Daya
Sumatera 7,983.0 5,837.0 13,820.0
Jawa 3,953.5 5,300.0 9,253.5
Bali Nusa Tenggara 602.0 885.0 1,487.0
Sulawesi 1,050.0 896.0 1,946.0
Maluku dan Irian 442.0 142.0 584.0
Kalimantan 50.0 - 50.0
Total 14,080.5 13,060.0 27,140.5
Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2004

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-92


6. Energi Terbarukan. Energi tererbarukan yang meliputi tenaga matahari, angin,
biomasa, biogas, tanah gambut, nuklir dan energi masa depan mempunyai potensi
yang cukup besar untuk dikembangkan. Angka rata-rata radiasi harian sinar
matahari bervariasi dari 4,10 sampai 5,75 kWh per meter persegi; energi angin
dengan kecepatan rata-rata yang bervariasi dari 2,39 meter per detik sampai 5,57
meter per detik pada ketinggian 24 meter di atas tanah; energi biomasa setara
dengan 50 GW yang terdiri dari solid bio mass, gas mass, dan liquid biomass
berasal dari sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan; energi biogas yang
berasal dari limbah sektor peternakan dengan besaran sekitar 684,8 MW; tanah
gambut yang diperkirakan sebesar 97,93 triliun MJ (1 MJ atau 1 juta Joule (J) setara
dengan 0,28 kWh atau 975 BTU) tersebar di Riau (39,1 triliun MJ), Kalimantan
Barat (16,2 triliun MJ) dan Kalimantan Tengah (12,2 triliun MJ). Daerah-daerah lain
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, dan Sulawesi masing-masing mempunyai potensi kurang dari 7 triliun MJ;
energi nuklir berpotensi untuk dikembangkan dengan ditemukannya cadangan
Uranium di daerah Kalimantan dengan kandungan deposit mineral radioaktif
terutama Thorium dan Uranium yang cukup signifikan. Namun demikian dalam
pemanfaatannya, seperti untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) di Indonesia, harus mendapat perhatian khusus terutama yang berkaitan
dengan keselamatan reaktor nuklir, kesiapan sumber daya manusia, pengelolaan
limbah radioaktif, lingkungan, pendanaan dan sosialisasi bagi introduksi energi
nuklir. Sedangkan potensi bahan bakar masa depan, termasuk teknologi hibrida dan
pengembangan Sel Bahan Bakar (SBB) saat ini sedang dikembangkan dan masih
dalam tahap pengkajian pada skala proyek percontohan karena masih belum
mencapai tahap komersial.

Adapun produksi bahan bakar minyak yang siap dikonsumsi atau dipergunakan di
Indonesia jumlahnya relatif stabil. Berdasarkan Ilustrasi 2.44 dan 2.45 diperlihatkan
bahwa solar menjadi produk BBM yang dapat dihasilkan yang selanjutnya diikuti oleh
Premium dan Minyak Tanah. Demikian pula dengan produksi BBM Khusus seperti
avigas, avtur, super TT, permix 94, dan bensin B2L. Bahan bakar avtur digunakan
sebagai bahan bakar pesawat terbang dan bahan bakar ini merupakan BBM khusus
dengan jumlah produksi yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-93


Jika kita lihat tingkat konsumsi energi di Indonesia, terjadi peningkatan jumlah konsumsi
energi di negara kita. Konsumsi energi secara nasional meningkat secara konsisten dari
375,1 juta SBM pada tahun 1991 menjadi 644,7 juta SBM di tahun 2000. Komposisi
pemakaian energi primer pada tahun ini adalah : 60,6% minyak bumi, 24,7% gas bumi,
8,9% batubara, 5,1% energi air, dan sisanya 0,7% energi panas bumi. Pemakaian
energi final masih didominasi oleh BBM dan produk minyak lainnya yang mencapai
sekitar 83,8% dari total konsumsi. Sedangkan pemakaian energi sektoral selama kurun
waktu 1991-2000 diperkirakan lebih dari 400 juta SBM. Dalam kurun waktu 10 tahun
tersebut sektor industri dan transportasi merupakan pemakai terbesar energi nasional
dengan konsumsi rata-rata 37,86% dan 37,59% dari konsumsi nasional. Sementara
sektor rumah tangga hanya menggunakan sekitar 24,55%. Di samping itu, terjadi
peningkatan konsumsi energi oleh industri dari 92,3 juta SBM menjadi 155,3 juta SBM.
Sementara itu, sektor transportasi juga mengimbanginya dengan peningkatan konsumsi
dari 90,9 juta SBM menjadi 160,9 juta SBM.

Ilustrasi 2.44. Produksi Bahan Bakar Minyak Ilustrasi 2.45. Produksi Bahan Bakar Khusus

10000
100000
90000 9000
80000 8000
70000 7000
60000 6000
juta
juta barrel 50000 5000
barrel 4000
40000
30000 3000
20000 2000
10000 1000
0 0
Premium M. Solar M. M. Avigas Avtur Super Premix Bensin
Tanah Diesel Bakar TT 94 B2L
2001 2002 2001 2002

Sumber: Pertamina, 2003

Berdasarkan Ilustrasi 2.46 memperlihatkan bahwa pemakaian BBM lebih tinggi


dibandingkan dengan gas. Artinya BBM masih menjadi barang primadona bagi sumber
energi masyarakat. Pembangunan energi di Indonesia dihadapkan pada masalah pokok
berupa kesenjangan antara potensi sumber energi (energi primer) dan konsumsi
berbagai jenis energi. Sebagai contoh, rasio antara tingkat produksi dan potensi
cadangan minyak bumi sangat besar, sedangkan rasio energi panas bumi

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-94


pemanfaatannya lebih lama karena sifatnya sebagai energi terbarukan. Tingginya
pemanfaatan energi final perjenis energi masih belum proporsional

Ilustrasi 2.46. Distribusi Konsumsi Energi Final 2000-2003


. (Juta SBM)
2003

2002

2001

2000

1995

1994

0 100 200 300 400


BBM Gas Batubara Listrik LPG

Sumber: Departemen ESDM, 2004.

Perumusan Strategi Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur SkalaBesar II-95

Anda mungkin juga menyukai