03 Bab 2 Revisi
03 Bab 2 Revisi
KONDISI EXISTING
INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
Pembangunan ekonomi yang terus digulirkan oleh pemerintah baik di masa orde lama
sampai sampai saat ini bertujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Upaya pembangunan ekonomi yang dijalankan tersebut mulai mengalami
hambatan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia pada
pertengahan tahun 1997. Krisis ini diawali oleh depresiasi nilai rupiah yang cukup tajam
terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi ini juga berdampak pada tingginya tingkat
inflasi (paling tinggi pernah mencapai 77,6%) dan semakin meroketnya tingkat suku
bunga Bank Indonesia (SBI) yang mencapai 70% dalam satu bulannya.
7.5
7
6.5
6
5.5
Persentase (%)
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Berkaitan dengan peran yang diberikan oleh sub sektor transportasi di dalam
mendukung pembangunan perekonomian di Indonesia, data statistik menunjukkan
1,800,000.00 3.80
3.75
1,600,000.00
PDB 3.70
1,400,000.00
Persentase (%)
3.65
1,200,000.00
Rp Milyar
3.60
1,000,000.00
3.55
800,000.00
3.50
600,000.00
3.45
400,000.00
3.40
200,000.00 Transportasi 3.35
0.00
3.30
2000 2001 2002 2003 2004 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun Tahun
A. Nilai Kontribusi Sub sektor Transportasi dibandingkan B. Persentase nilai kontribusi sub sektor transporsi
dengan PDB terhadap PD\B
Secara makro kontribusi sub sektor transportasi terhadap nilai PDRB untuk masing-
masing daerah akan sangat bervariasi tergantung dari berbagai faktor penentu
perkembangan maupun kebijakan pemerintah dalam mengelola dana pembangunannya
dan kebijakan kredit yang dikucurkan untuk mendanai sub sektor ini. Perlu diketahui
bahwa antar sub sektor transportasi, secara teknis terdapat hubungan komplementer,
akan tetapi secara ekonomis bersifat subtitusi/kompetitif. Misalnya, angkutan ekspor
impor umumnya lewat laut dan udara untuk mendistribusikan barangnya, namun secara
teknis memerlukan angkutan darat untuk mengantarkan barang ekspor dan impor
tersebut dari dan ke pelabuhan bongkar muat.
Angkutan kereta api masih menjadi salah satu angkutan alternatif bagi masyarakat
menengah ke bawah karena menawarkan biaya yang relatif murah dibandingkan
dengan menggunakan angkutan jalan raya, khususnya untuk angkutan kereta api dalam
kota. Hal tersebut didukung dengan semakin tingginya harga bahan bakar minyak yang
berdampak besar terhadap sektor transportasi. Harga yang yang relatif terjangkau
tersebut sesuai dengan amanat UU No. 13 Tahun 1992 di mana perkeretaapian
diselenggarakan berdasarkan pada asas manfaat, adil dan merata, keseimbangan
kepentingan umum, keterpaduan dan percaya diri sendiri.
Peran pemerintah masih sangat dominan dalam pengembangan kereta api nasional,
baik dalam aspek pendanaan dan investasi, regulasi, serta pengembangannya. Dengan
keterbatasan pendanaan,SDM dan kelembagaan di bidang perkeretaapian, kondisi fisik
prasarana dan sarana kereta api saat ini masih banyak mengalami “backlog”
pemeliharaan yang berlangsung secara terus menerus, baik karena perencanaan,
pengoperasian, dan dukungan pendanaan yang masih terbatas. Di masa mendatang,
diperlukan redefinisi tentang sistem pelayanan publik, peran pemerintah sebagai
regulator, peran owner, dan operator di bidang perkeretaapian. Hal tersebut sangat
perlu dilakukan agar angkutan kereta api tetap survive dan menjadi angkutan alternatif
bagi masyarakat.
200000000 20000
Ribu Ton
150000000 15000
100000000 10000
50000000
5000
0
0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Tahun Tahun
Total Jaw a Total Sumatera Total K.A Total Jawa Total Sumatera Total K.A
Ilustrasi 2.3. Volume Angkutan Penumpang dan Barang yang Menggunakan Angkutan
Kereta Api di Pulau Jawa dan Sumatera
Di samping sebagai angkutan penumpang, kereta api digunakan juga sebagai angkutan
barang. Jumlah barang yang diangkut oleh angkutan kereta api pada tahun 1998
sebesar 5,58 juta ton barang untuk di Pulau Jawa. Apabila dibandingkan dengan tahun
1998, jumlah barang yang diangkut pada tahun 2002 mengalami penurunan, yaitu
hanya sebesar 4,84 juta ton barang. Demikian pula yang terjadi di Pulau Sumatera,
angkutan barang mengalami penurunan. Jumlah barang yang diangkut pada tahun 1998
dan 2002 masing-masing sebesar 12,64 juta ton dan 12,41 juta ton (Tabel 2.1 dan 2.2).
Tahun
Wilayah
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Daop 1 Jakarta 18.822.078 18.634.454 19.890.936 22.919.255 23.845.303 24.584.506 20.413.639 19.115.002
Daop Jabotabek 85.380.845 100.008.378 104.073.607 107.899.222 117.676.420 118.441.914 121.471.168 117.417.465
Daop 2 Bandung 11.006.536 10.695.069 11.153.941 12.569.944 14.427.000 15.044.122 13.084.753 11.396.103
Daop 3 Cirebon 1.350.529 1.292.464 1.126.283 1.124.146 1.311.632 1.426.023 1.368.672 1.304.382
Daop 4 Semarang 2.779.218 2.352.011 2.317.503 2.451.614 3.357.790 3.889.038 3.375.367 3.060.435
Daop 5 Purwekerto 3.345.116 3.032.897 2.911.403 3.158.865 3.347.205 3.295.928 3.124.355 2.756.108
Daop 6 Yogyakarta 3.068.104 2.877.416 2.997.897 3.365.026 4.101.625 4.298.328 4.197.237 3.693.857
Daop 7 Madiun 2.335.598 2.244.649 2.168.115 2.363.521 2.863.189 2.955.873 2.830.047 2.579.186
Daop 8 Surabaya 7.751.404 7.617.109 7.538.090 8.529.188 10.142.544 10.672.196 9.875.488 8.811.175
Daop 9 Jember 2.995.664 2.180.318 1.955.210 2.340.738 1.428.289 3.090.017 2.903.663 2.192.647
Total Jawa 138.835.092 150.934.765 156.132.985 166.721.519 182.500.997 187.697.945 182.644.389 172.326.360
Sumatera Selatan 1.087.685 1.023.877 958.854 1.017.297 1.387.708 1.463.401 1.496.563 1.343.151
Sumatera Utara 1.713.947 1.660.539 1.574.673 1.636.280 1.889.564 2.497.068 2.707.188 2.226.986
Total Sumatera 2.801.632 2.684.416 2.533.527 2.653.577 3.277.272 3.960.469 4.203.751 3.570.137
Total K.A 141.636.724 153.619.181 158.666.512 169.375.096 185.778.269 191.658.414 186.848.140 175.896.497
Sumber : PT. KAI dalam berbagai tahun (diolah) dikutip dari Bappenas (2003)
Tahun
Wilayah
1998 1999 2000 2001 2002
Daop 1 Jakarta 1001.5 1050.0 1205.5 1182.3 919.9
Daop 2 Bandung 483.8 512.9 426.2 368.5 401.6
Daop 3 Cirebon 22.6 20.9 31.2 5.0 0.0
Daop 4 Semarang 548.2 416.6 332.7 161.4 65.9
Daop 5 Purwekerto 1009.4 981.3 986.1 961.3 945.2
Daop 6 Yogyakarta 393.8 504.2 665.1 894.1 952.0
Daop 7 Madiun 5.7 10.5 6.4 3.3 3.2
Daop 8 Surabaya 1823.3 1630.9 1532.0 1328.8 1366.2
Daop 9 Jember 293.4 197 223.1 188.1 190.1
Total Jawa 5581.7 5324.3 5408.3 5092.8 4844.1
Sumatera Selatan 9571.1 10073.7 10030.2 10089.4 9379.0
Sumatera Barat 2476.6 3381.7 3638.0 3023.8 2466.1
Sumatera Utara 588.9 526.2 475.8 495.5 569.4
Total Sumatera 12636.6 13981.6 14144 13608.7 12414.5
Total K.A 18218.3 19305.9 19552.3 18701.5 17258.6
Sumber : PT. KAI dalam berbagai tahun (diolah) dikutip dari Bappenas (2003)
Prasarana Jalan Kereta Api dan Persinyalan. Teknologi sistem prasarana jalan
perkeretaapian telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Saat ini, teknologi rel
kereta api telah mampu dikembangkan untuk melayani kecepatan yang lebih tinggi dan
dapat menahan beban yang lebih berat. Di samping itu, sistem track di beberapa negara
telah dikembangkan dan didesain sesuai dengan teknologi sarananya. Namun,
perkembangan teknologi perkeretaapian di Indonesia masih belum banyak berkembang.
Hal ini terbukti dengan banyaknya rel yang sudah tua dan perlu segera di ganti.
Berdasarkan data yang dikeluarkan PT. KAI yang dikutip oleh Bappenas (2003)
sebanyak 45% rel kereta api di Indonesia dengan kategorikan rel tipe kecil dan sudah
tua (lebih dari 80 tahun). Di samping itu, prasarana pendukung rel seperti bantalan dan
balast umumnya sudah melebihi batas usia teknisnya, bahkan dibeberapa lintasan
masih terdapat bantalan yang menggunakan batalan kayu.
Kondisi Sarana Kereta Api. Berbagai jenis kereta yang dimiliki Indonesia antara lain
lokomotif, kereta penumpang dan barang, kereta rel listrik, dan kereta rel diesel.
Berdasarkan data pada Tabel 2.4 memperlihatkan bahwa jenis kereta yang berumur
lebih dari 20 tahun sebesar 56,62% sedangkan yang berumur kurang dari 20 tahun
sebesar 43,38%. Permasalahan umur yang cukup tua tersebut diperparah dengan
sistem perawatan sarana perkeretaapian yang sangat terbatas karena kurangnya
pendanaan, kurang memadainya teknik perawatan, tidak handalnya struktur organisasi,
dan kualitas manajemen.
Perkembangan jumlah kendaraan roda empat dan bermotor sangat ditunjang dengan
perkembangan infrastruktur jalan. Banyaknya infrastruktur jalan yang dibangun di suatu
wilayah akan berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah kendaraan. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah kendaraan di setiap pulau di Indonesia. Tabel 2.5 memperlihatkan
perkembangan jenis dan jumlah kendaraan di wilayah Indonesia. Pulau Jawa dan Bali
merupakan pulau yang memiliki jumlah kendaraan terbanyak dibandingkan dengan
20,0
18,0
16,0
14,0
12,0
Juta Unit
10,0
8,0
6,0
4,0
2,0
-
1998 1999 2000 2001 2002
Seiring dengan permintaan terhadap kendaraan yang cukup pesat, timbul pula
permasalahan di seputar lalu lintas yaitu masalah kemacetan, kelebihan muatan,
pengaturan jumlah armada angkutan jalan, dan berbagai jenis pelanggaran lalu lintas
lainnya. Masalah kemacetan biasanya terjadi di beberapa wilayah kota-kota besar dan
sedang khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Permasalahan kemacetan merupakan
resultante dari interaksi dan kombinasi dari banyak aspek hidup dan kehidupan suatu
18 0 0 0
16 0 0 0
14 0 0 0
12 0 0 0
10 0 0 0
8000
6000
4000
2000
0
Indo ne s ia
Ka lim a nt a n S um a t e ra P a pua
( s is a )
B a ra ng ( t o n) 8071 18 9 7 3 5 14 978
P e num pa ng ( t o n) 16 2 7 9 3641 2284 3707
Sampai dengan tahun 2001, jumlah lintasan penyeberangan yang telah ditetapkan oleh
Meteri Perhubungan sebanyak 172 lintasan dan sejumlah 130 lintasan penyeberangan
telah dioperasikan sedangkan sisanya belum dioperasikan karena bersifat sebagai
lintasan penyeberangan perintis yang belum tersedia prasarana, sarana maupun subsidi
pengoperasiannya. Untuk pengembangan sistem jaringan penyeberangan, masih perlu
diperhatikan adanya keterpaduan intermoda dan antarmoda yang dapat mewujudkan
pelayanan dari pintu ke pintu secara efisien.
Ilustrasi 2.6. Jumlah Armada Berdasarkan Ilustrasi 2.7. Jumlah Armada Berdasarkan
Kepemilikan Jenis Kapal
120 60,0%
180 90%
100 50,0% 160 80%
140 70%
80 40,0% 120 60%
100 50%
60 30,0%
80 40%
40 20,0% 60 30%
40 20%
20 10,0%
20 10%
0 0,0% 0 0%
PT. ASDP KSO ASDP-Sw asta Swasta RO-RO LCT CONV. PASS TA
Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2003 (diolah) Sumber: Ditjen Perhubungan Darat, 2003 (diolah)
Angkutan Laut. Angkutan laut sangat penting di dalam pelayaran nasional terutama
dalam mendistribusikan barang antar wilayah di Indonesia maupun ke luar wilayah
Indonesia atau mempermudah ekspor – impor barang dari dalam dan luar negeri.
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah angkutan barang dalam negeri dan barang
ekspor – impor yang dilakukan oleh armada nasional dan asing dapat dilihat pada
Ilustrasi 2.9 dan 2.10. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa armada nasional dalam
angkutan dalam negeri mempunyai peranan yang cukup penting, namun dalam
Ilustrasi 2.9. Pangsa Pasar Angkutan Laut Ilustrasi 2.10. Pangsa Pasar Angkutan
Dalam Negeri Oleh Armada Nasional dan Ekspor-Impor Oleh Armada Nasional dan
Asing (1996-2003) Asing (1996-2003)
200,000.0 450.000,0
180,000.0 400.000,0
160,000.0 350.000,0
140,000.0 300.000,0
Ton (000)
120,000.0 250.000,0
Ton (000)
100,000.0
200.000,0
80,000.0
150.000,0
60,000.0
100.000,0
40,000.0
50.000,0
20,000.0
-
- 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Armada Nasional TahunAsing
Armada
Armada Nasional Armada Asing
Tabel 2.7. Kegiatan Pelayaran dan Angkutan Laut Antar Pulau dan Negara
Menurut Wilayah di Indonesia
Bila ditinjau dari sisi bongkar muat antar pulau di Indonesia (Tabel 2.7), pulau-pulau
yang mempunyai tingkat bongkar muat yang besar adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa
Adapun dari sisi angkutan penumpang, setiap tahun terjadi kenaikan jumlah penumpang
yang memanfaatkan transportasi laut. Perusahaan pemerintah yang bertugas untuk
melayani pelayaran nasional untuk angkutan penumpang adalah PT. Pelayaranan
Nasional Indonesia (Pelni). Di samping perusahaan pemerintah yang bergerak dalam
pelayaran nasional, perusahaan swasta pun ikut berperan dalam meramaikan lalu lintas
pelayaran nasional Indonesia untuk angkutan penumpang. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Laut yang dikutip oleh Bappenas (2003)
memperlihatkan tingkat pertumbuhan penumpang yang cukup tinggi (lihat Tabel 2.8).
Sektor Pelabuhan. Pelabuhan laut mempunyai peran yang sangat penting di dalam
mendukung transprotasi laut, baik untuk perdagangan domestik maupun perdagangan
internasional. Sebagai sarana tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dang
penumpang, peran bagi sektor pelabuhan ini adalah sebagai tempat transit, tempat
bongkar dan muat barang dan sebagai moda angkutan penumpang, ataupun berperan
sebagai tempat transaksi perdagangan.
Begitu pentingnya pelabuhan laut ini di Indonesia yang berbasis negara kepulauan,
maka berdasarkan data BPS (2000), jumlah pelabuhan yang diusahakan (commercial)
adalah 91 buah (diantaranya 25 buah merupakan pelabuhan strategis) dan 191 buah
merupakan pelabuhan yang tidak diusahakan (non commercial) (Ilustrasi 2.11). Jumlah
pelabuhan yang commercial paling banyak terdapat di Propinsi Riau dan Kepulauan
Riau, yaitu sebanyak 10 buah dan Propinsi Jawa Timur sebanyak 7 buah. Sedangkan
yang non commercial terbanyak terdapat di Propinsi Riau dan Kepulauan Riau
sebanyak 22 buah, Maluku sebanyak 20 buah, dan Sulawesi Selatan sebanyak 17
buah. Akan tetapi, apabila merujuk pada Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 Tahun
2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional, maka jumlah pelabuhan yang ada di
Indonesia sebanyak 725 pelabuhan. Sejumlah pelabuhan tersebut terdiri dari 20
pelabuhan internasional, 245 pelabuhan nasional, 139 pelabuhan regional, dan 321
pelabuhan lokal.
60
50
40
30
20
10
0
Sumatera Jaw a dan Nusa Kalimantan Sulaw esi Indonesia
Pel. Commercial Bali Tenggara Timur
Lainnya
Pel. Non Commercial
Wilayah-w ilayah di Indone sia
Pel. Strategis
Kepelabuhan dibedakan menjadi pelabuhan umum, baik yang dikelola oleh BUMN
maupun unit pelasana teknis (UPT) dibawah kewenangan Departemen Perhubungan,
serta kepelabuhan khusus. Pelabuhan khusus banyak digunakan untuk keperluan
Bila dilihat dari sisi tingkat pemanfaatan kapasitas pelabuhan atau berth occupancy ratio
(BOR), untuk pelabuhan-pelabuhan yang dikelola UPT umumnya masih rendah, yaitu
mempunyai BOR rata-rata di bawah 30%. Dari 23 pelabuhan strategis, pada tahun 2002
terdapat 10 pelabuhan yang memiliki BOR (berth occupancy ratio) di atas 70 persen.
Hal ini berarti dibutuhkan tambahan fasilitas baru untuk menghindari ketidaklancaran
bongkar muat di pelabuhan.
Perkembangan Angkutan Udara. Angkutan udara dibedakan atas dua kategori, yaitu
angkutan udara internasional dan domestik. Berdasarkan data BPS (2002) terjadi
fluktuasi angkutan barang dan penumpang pada angkutan udara internasional (Tabel
2.11). Angkutan udara internasional ini sangat penting terutama dalam mendatangkan
devisa bagi Indonesia. Perkembangan angkutan udara melalui penerbangan
internasional dapat dilihat dari arus kedatangan penumpang terutama wisatawan
mancanegara (wisman) yang memberikan kontribusi yang cukup bagi pendapatan
nasional kita. Pada tiga tahun sebelum krisis ekonomi, wisman yang menggunakan
Adapun angkutan udara domestic juga mempunyai peran yang cukup besar pula bagi
pembangunan nasional. Penerbangan domestik seluruhnya dilayani oleh perusahaan
penerbangan nasional, baik BUMN ataupu swasta. Perusahaan penerbangan
pemerintah mempunyai pangas pasar yang cukup besar di mana dari tahun 1996 –
2000 terus mengalami peningkatan pangsa pasar, seperti terlihat pada Tabel 2.12.
Pangsa pasar pemerintah pada tahun 2000 mencapai 74% dari total angkutan udara
domestik yaitu sebesar 7.546.346 orang sedangkan sisanya dikelola oleh swasta.
Namunm secara keseluruhan total penerbangan domestic dilihat dari sisi penumpang
dan angkutan barang dapat dilihat pada Tabel 2.14. Berdasarkan produktivitas daya
tampung penumpang yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta masing-
masing hanya terisis sebesar 57,7% dan 68,4% tempat duduk saja pada tahun 1996
sedangkan pada tahun 2000 masing-masing kapasitas tampung sebesar 62,4% dan
67,3%. Artinya adalah tidak setiap tempat duduk yang disediakan oleh masing-masing
Penumpang Barang
Tahun
(orang) (Ton)
1998 7.863.838 147.718
1999 6.673.713 155.439
2000 8.654.181 161.200
2001 10.394.330 164.135
2002 12.686.932 136.207
Sumber: BPS, 2003
*) Data keberangkatan
Ilustrasi 2.12. Kontribusi pada PDB Nasional Subsektor Transportasi Tahun 2002
Jasa Angkutan,
Rel, 2%
20%
Transportasi
Udara, 6%
Transportasi
Jalan, 50% ASDP, 7%
Transportasi
Laut, 15%
Berdasarkan hasil survei jalan dan lalu lintas nasional tahun 2002 yang menggunakan
data dasar tahun 2001, diperkirakan besarnya biaya pengguna jalan (Road User
Panjang jalan total seluruh Indonesia terus meningkat terutama terjadi pada jalan
kabupaten. Penambahan panjang jalan kabupaten terus meningkat cukup tajam dari
tahun 1981 – 1994, dan setelah itu relatif stabil. Namun saat, krisis ekonomi melanda
Indonesia, pembangunan dan rehabilitasi jalan pun mengalami penurunan karena
pendanaan difokuskan untuk membantu masyarakat yang terpuruk akibat krisis
ekonomi. Oleh karena itu, secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun
terakhir terus mengalami penurunan. Beberapa sebab utama adalah kualitas konstruksi
jalan yang belum optimal, pembebanan berlebih (excessive over loading), bencana alam
seperti longsor, banjir, dan gempa bumi, serta menurunnya kemampuan pembiayaan
setelah masa krisis ekonomi yang menyebabkan berkurangnya secara drastis biaya
pemeliharaan jalan oleh pemerintah. Pada tahun 2004, dari total panjang jalan 348.148
Ilustrasi 2.13. Kondisi Jalan di Beberapa Pulau Besar di Indonesia Tahun 2002 (%)
100%
90% 25.1
30.7 33.4 27.0
80% 35.1
70%
60% 19.0 17.2
41.8 18.2 37.1
50%
40%
30%
50.3 49.5 46.7
20% 35.8
33.0
10%
0%
Sumatera Kalimantan Sulaw esi Indonesia Jaw a dan
Timur Lainnya Bali
Perkembangan kondisi baik dan sedang jalan kabupaten dan provinsi cenderung terus
mengalami penurunan, sementara perkembangan kondisi jalan nasional relatif lebih baik
dan terus mengalami peningkatan. Kondisi sedang merupakan prosentase terbesar dari
sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini disebabkan karena komposisi utama sistem
Bila kita lihat kondisi jalan per pulau di Indonesia, perbandingan antara kondisi jalan baik
dan buruk hampir sama (lihat Ilustrasi 2.13). Di wilayah Sumatera kondisi jalan mantap
(kondisi baik dan sedang) menunjukkan persentase yang besar dibandingkan dengan
kondisi jalan buruk. Begitu pula dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Rata-rata
kondisi jalan mantap untuk setiap wilayah di Indonesia antara 60% – 70 % dari total
panjang jalan. Berdasarkan hasil penelitian LPEM FEUI (2003), kerusakan jalan
nasional dan propinsi yang banyak dikeluhkan pengusaha terdapat di Lintas Timur
Sumatera. Jalur Lintas Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa merupakan jalur
strategis bagi distribusi barang. Kerusakan jalan menyebabkan waktu tempuh yang lebih
lama sehingga biaya transportasi semakin besar. Selain itu dibeberapa tempat seperti di
Kalimantan, rusaknya jalan juga menimbulkan berkurangnya keamanan pengiriman
barang karena pada saat laju kendaraan lambat merupakan sasaran yang empuk bagi
para perampokan. Diperkirakan ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak tersebut
diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai 200 triliun per tahun (Bappenas,
2003). Adapun hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Kimpraswil Tahun 2000
menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan sampai dengan kondisi
sebelum krisis dibutuhkan dana sebesar 6-7 triliun.
Ilustrasi 2.14. Sebaran Jalan, Luas Pulau, dan Populasi Penduduk Tahun 2000
70.0
60.0
50.0
40.0
(%)
30.0
20.0
10.0
0.0
Sumatera Jaw a Kalimantan Bali dan Nusa Sulaw esi Maluku dan
Tenggara Papua
% Luas Wilayah % Jalan % Populasi
Pembiayaan dari tahun ke tahun relatif sama, bahkan dari sisi kemampuan mengalami
penurunan. Walaupun secara nominal, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, peningkatan tersebut belum menunjukkan kemampuan
pemenuhan dana untuk pemeliharaan atau pembangunan prasarana jalan yang ada.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui konversi terhadap harga konstan tahun 1979/80, yaitu
kemampuan pembiayaan dengan adanya inflasi yang cukup beragam dari tahun ke
tahun. Kalaupun kemampuan tersebut mengalami kenaikan mulai tahun 2002, namun
masih di bawah rata-rata tahun-tahun sebelum krisis ekonomi seperti ditunjukkan
Ilustrasi 2.15. Karena kebutuhan dana pemeliharaan jalan tidak dapat terpenuhi, terjadi
backlog maintenance yang berdampak besar bagi kemantapan kondisi jaringan jalan
nasional.
6.0
5.0
4.0
Rp. Triliun
3.0
2.0
1.0
-
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98
1998/99
1999/00
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Pembiayaan Prasarana Jalan Harga Konstan Tahun 1979/80
Kinerja pelayanan prasarana jalan yang didasarkan atas kecepatan yang mampu
dicapai oleh kendaraan masih rendah. Menurunnya tingkat pelayanan prasarana jalan
ditandai dengan terjadinya berbagai kemacetan yang menyebabkan kurang
berfungsinya kota sebagai pusat pelayanan distribusi komoditi dan industri. Masih
banyak jalan arteri primer yang melewati daerah padat yang biasanya merupakan pusat
kemacetan, sementara ketersediaan jaringan jalan tol saat ini masih sangat terbatas,
sehingga belum mampu memberikan pelayanan yang optimal dalam pola distribusi.
Lintas yang cukup padat adalah lintas Pantura Jawa yang mempunyai kecepatan rata-
rata 55 km per jam. Berdasarkan hasil survey tahun 2003, V/C ratio di Jawa yang di atas
0,6 sudah mencapai 890 km terutama pantai utara Jawa (Banten, Jabar dan Jateng)
dan jalur tengah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Mempertimbangkan kondisi di atas,
rencana pembangunan jalan tol dan pembanguan fly-over diharapkan mampu
meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di wilayah perkotaan.
Sistem jaringan jalan yang merupakan lintas utama di masing-masing pulau di kawasan
timur Indonesia belum terhubungkan. Jalan lintas utama di tiap pulau antara lain
Kalimantan dan Sulawesi saat ini belum bisa menghubungkan secara langsung pusat-
pusat distribusi barang dan jasa di tiap pulau. Apabila hal ini terus berlanjut dan tidak
Sejak krisis ekonomi, perkembangan jalan tol baru sangat melambat, bahkan partisipasi
swasta dalam penyelenggaraan jalan tol terhenti. Hal ini disebabkan antara lain: belum
adanya perencanaan sistem jaringan jalan tol yang dapat mendorong terjadinya
kompetisi, belum adanya regulasi, tata cara dan aturan yang mengatur
penyelenggaraan jalan tol oleh pihak swasta, tidak ada prosedur pemilihan kompetitif
dan investor swasta yang dilibatkan dipilih melalui negosiasi yang tidak transparan,
pengadaan lahan, cost sharing, masa konsesi, dan dasar pembagian pendapatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah menerbitkan Undang-undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan yang mengatur penyelenggaraan prasarana jalan.
Pemerintah akan segera menerbitkan serangkaian peraturan pelaksanaan undang-
undang tersebut terutama yang mengatur partisipasi pihak swasta dalam
penyelenggaraan jalan tol.
Mekanisme pendanaan dan penanganan jalan nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan
desa belum jelas bahkan masih mengacu kepada batas-batas administrasi wilayah,
sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang belum membentuk suatu
jaringan transportasi intermoda yang terpadu. Di era desentralisasi, wewenang
perencanaan, pemeliharaan dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan di daerah
untuk jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa, termasuk
pembiayaannya, sepenuhnya ada di pemerintah daerah. Sementara itu, konsep
pengembangan prasarana jalan juga harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi
regional melalui pendekatan kewilayahan. Saat ini, konsep ini sedang dikembangkan di
Pulau Sumatera melalui pembentukan Transport Planning Group (TPG) di tiap-tiap
provinsi dan akan diterapkan kepada proses perencanaan bidang transportasi jalan
dengan tetap mendukung semangat desentralisasi. Agenda lain adalah upaya mencari
alternatif sumber pembiayaan jalan di luar Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD)
provinsi/kabupaten/kota, karena selama ini sumber pembiayaan tersebut tidak dapat
Perlu diketahui bahwa penyebaran air di muka bumi terbagi atas dua, yaitu air asin dan
air tawar (Mohammad Soerjani, dkk, 1987). Jumlah air asin meliputi 97,25% dan air
tawar meliputi 2,75% dari total air di bumi, yaitu 1.360.000.000 m3. Sedangkan air tawar
terbagi lagi menjadi air atmosfer (0,035%), air permukaan (1%), air tanah (23,97%) dan
salju/es (75%). Selanjutnya yang dimaksud dengan air adalah air tawar tidak termasuk
salju atau es. Jumlah dan pemakaian air bersumber dari air tanah, air permukaan dan
air atmosfer yang kesediaanya ditentukan oleh air atmosfer atau sering disebut juga
sebagai air hujan.
Pada dasarnya, jumlah air adalah relatif tetap. Perubahannya hanya pada bentuk dalam
mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Dilihat dari sisi
penggunaannya, air yang ketersediaannya terbatas digunakan untuk keperluan
domestik, pertanian, industri, perikanan, pembangkit listrik tenaga air, navigasi, dan
rekreasi. Namun dalam hal distribusinya, ketersediaan air secara geografis tidak merata
ditambah dengan distribusi kepadatan penduduk yang tidak merata pula. Hal ini jelas
membawa dampak pada timpangnya antara persediaan dan permintaan (supply dan
demand) akan air yang sukar untuk di atasi.
Pengendalian Banjir. Banjir merupakan kejadian alam ataupun kejadian akibat ulah
dari manusia. Banjir diakibatkan oleh tidak mampunya tanah atau sungai menampung
kapasitas air sebagai akibat adanya kerusakan lingkungan, misalnya terjadi
penggundulan hutan besar-besaran tanpa dibarengi dengan reboisasi ataupun karena
kejadian alam seperti akibat gunung meletus sehingga pohon-pohon banyak yang rusak
Air Baku. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa air merupakan sumber
kehidupan bagi manusia dan sangat dibutuhkan dalam berbagai aktivitas manusia.
Kebutuhan air untuk manusia adalah sebagai air minum, keperluan rumah tangga, dan
berbagai aktivitas manusia lainnya. Oleh karena itu, penyediaan air sangat mutlak
diperlukan. Sumber-sumber air yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
air berasal dari mata air, sumur-sumur rendah, sumur dalam, sungai, danau, dan
sumber-sumber lainnya. Sedangkan diperkotaan, sumber-sumber air diperoleh dari
sumur dalam dan suplai dari perusahaan air minum. Sumber air yang digunakan oleh
perusahaan air minum berasal dari air baku dari aliran sungai yang melewati kota atau
yang mengalir tidak jauh dari kota yang dijernihkan melalui instalasi penjernih air. Bisa
juga sumber air yang digunakan perusahaan tersebut berasal dari sumber air dari danau
di wilayah itu sendiri atau dari wilayah lainnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Peranan lainnya yang diberikan oleh air
adalah mampu menghasilkan tenaga listrik bagi kebutuhan manusia. Bendungan-
bendungan yang digunakan untuk kebutuhan air irigasi dan kebutuhan lainnya dapat
dimanfaatkan juga untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan listrik. Selain
itu, PLTA dapat juga dihasilkan dari aliran sungai secara langsung. Salah satu
bendungan yang terbesar yang telah dibangun di Indonesia adalah Bendungan Jatiluhur
yang berfungsi untuk air irigasi, air aku perkotaan dan industri, pengendalian banjir,
untuk budidaya ikan air tawar dikolam terapung, dan dapat dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik hingga mencapai 150 mega watt (Bappenas, 2003).
Sungai. Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya
memiliki kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari
bencana alam banjir,kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di
Jawa. Secara umum sungai-sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic)
mempunyai perbedaan slope dasar sungai yang besar antara daerah hulu (upstream),
tengah (middlestream) dan hilir (downstream) sehingga curah hujan yang tinggi dan
erosi di bagian hulu akan menyebabkan jumlah sedimen yang masuk ke sungai sangat
tinggi. Tingginya sedimen yang masuk akhirnya menimbulkan masalah pendangkalan
sungai terutama di daerah hilir yang relatif lebih landai dan rata,sehingga sering terjadi
banjir di dataran rendah.
Irigasi. Jaringan irigasi merupakan infrastruktur yang sangat berperan dalam sektor
pertanian. Selama dasawarsa terakhir (1993 – 2003), kontribusi sektor pertanian riil
terhadap PDB mencapai di atas 14%. Pada tahun 2003, kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB mencapai 15,83% dan terus menurun sejak tahun 1999 (LPEM FEUI,
2005). Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya produktivitas marjinal akibat
semakin sedikitnya luas areal lahan yang digunakan untuk lahan pertanian. Terjadinya
alih fungsi lahan merupakan penyebab dari menurunnya produktivitas pertanian.
Pertumbuhan produksi pertanian juga dipengaruhi oleh peningkatan perluasan fisik areal
irigasi, perbaikan sistem irigasi, serta rehabilitasi jaringan irigasi yang sudah ada.
Kebutuhan air irigasi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia. Laju
peningkatan kebutuhan air irigasi mencapai 10% per tahun pada tahun 1990 sampai
2000. Kebutuhan air untuk irigasi dan tambak mencapai 74,9 milyar kubik pada tahun
1990. Kebutuhan air tersebut semakin meningkat pada tahun 2000 menjadi 91,5 milyar
kubik dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya.
Ilustrasi 2.16. Areal Panen dan Produksi Ilustrasi 2.17. Areal Panen Padi
Padi Nasional menurut Pulau (ha)
7000000
12,200 52500
12,000 52000 6000000
51500
11,800 5000000
51000
11,600 50500
A real Pan en
11,200 49500
3000000
49000
11,000
48500
10,800 2000000
48000
10,600 47500 1000000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
0
Sumatera Jawa Bali + Nusa Kalimantan Sulawesi M aluku dan
Area Panen (000 ha) Tenggara Papua
Hasil Padi (000 ton) 1999 2000 2001
2002 2003
Ilustrasi 2.18. Distribusi Jaringan Irigasi Ilustrasi 2.19. Kondisi Sistem Jaringan Irigasi
per Pulau di Indonesia
60% 100%
51% 90%
50% 80%
70%
40% 60%
29% 50%
30% 40%
30%
20% 20%
13%
10%
10% 6%
0%
1% Sumatera Jawa Bali dan & Sulawesi M aluku & Total
0% Tenggara Papua
Sumatera Jawa Bali dan & Sulawesi M aluku &
Tenggara Papua
% Kondisi Irigasi Rusak Berat
% Kondisi Irigasi Rusak Ringan
% Kondisi Irigasi Baik
Air Tanah. Air tanah sering digunakan seluruh masyarakat Indonesia untuk berbagai
keperluan. Air tanah diperoleh dengan cara pembuatan sumur gali, sumur pantek, dan
lain sebagainya. Pemerintah sejak tahun 1970-an telah mengembangkan pemanfaatan
air tanah untuk keperluan irigasi dan air minum terutama di beberapa wilayah di Pulau
Jawa dan Pulau Bali yang merupakan wilayah berpenduduk padat serta sering
mengalami bencana kekeringan. Pemanfaatan air tanah terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk mendukung peningkatan produksi pertanian.
Beberapa tahun terakhir pengembangan air tanah juga dikembangkan antara lain di
wilayah Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat,dan Nusa Tenggara Timur.
Pengembangan air tanah dilakukan pada daerah-daerah yang kekurangan air dan tidak
terdapat air permukaan, daerah pertanian intensif dan berpenduduk padat,mempunyai
potensi air tanah yang dapat dikembangkan.
Rawa. Rawa merupakan salah satu potensi pengairan yang dimiliki Indonesia yang
dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian. Luas rawa di Indonesia diperkirakan sebesar
34 juta hektar yang terdiri dari 20 juta hektar rawa pasang surut (tidal) dan 14 juta hektar
rawa non-pasang surut (Bappenas, 2003). Sebagian besar rawa (96,98%) berada di
Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dari 20 juta hektar rawa pasang surut,
Air Baku. Air baku merupakan air yang sangat dibutuhkan dalam kebutuhan rumah
tangga dan berbagai aktivitas manusia lainnya. Sementara itu, meningkatnya kegiatan
industri dan berkembangnya permukiman sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan kesejahteraan penduduk, akan diikuti dengan peningkatan
kebutuhan air baku makin meningkat. Pemenuhan kebutuhan air baku baru mencapai
sekitar 16% dari total kebutuhan sebagai akibat dari keterbatasan prasarana air baku.
Dari sisi penyediaan air baku menghadapi masalah tidak meratanya potensi air tawar
per pulau. Pulau Jawa yang dihuni oleh sebagian besar penduduk hanya dapat
menyediakan air tawar sekitar 4,5% dari potensi air tawar nasional, sehingga masalah
distribusi baik antar wilayah maupun antar sektor harus benar-benar dapat ditata
sedemikian rupa sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kaitan tersebut di atas menjadi salah satu kunci permasalahan di mana masih terdapat
lebih dari 100 juta penduduk di Indonesia yang belum memperoleh kemudahan
mendapatkan air minum dan penyehatan lingkungan. Masyarakat yang paling rendah
untuk memperoleh akses terhadap air minum dan paling rentan terhadap penyakit yang
ditimbulkan dari air adalah masyarakat miskin, kaum wanita, dan anak-anak. Rendahnya
kemampuan masyarakat miskin dalam mengakses air minum dan penyehatan
lingkungan karena ketidakmampuan mereka dalam membiayai penyediaan sarana dan
prasarana air minum dan penyehatan lingkungan. Oleh karena itu, sebagian diantara
mereka memanfaatkan air sungai yang tidak memenuhi persyaratan untuk kebutuhan
hidup mereka dan akibatnya banyak di antara mereka yang terkena penyakit yang
berasal dari air seperti penyakit kulit, kolera, dan diare. Adapun kelompok wanita dan
anak-anak merupakan kelompok yang sering berhubungan dengan air, sehingga bila air
yang mereka gunakan tercemari maka mereka termasuk yang sangat rentan terhadap
penyakit.
Oleh karena itu, permasalahan air dan penyehatan lingkungan (sanitation) harus
menjadi perhatian, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Ketersediaan air minum
yang semakin terbatas dan langka (scarcity) menyebabkan sebagian masyarakat
Indonesia belum mampu menikmati atau mengakses pada sumber air minum yang
Berdasarkan Tabel 2.15 menunjukkan bahwa hampir 80% penduduk Indonesia telah
mampu mengakses pada sumber air bersih. Namun masyarakat Indonesia yang
memperoleh perbaikan sanitasi baru mencapai 63,5% penduduk saja pada tahun 2002.
Artinya sampai saat ini masalah sanitasi atau penyehatan lingkungan belum
mendapatkan perhatian dari masyarakat maupun dari pemerintah. Padahal penyehatan
lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perbaikan terhadap air
bersih.
Tabel 2.15. Akses Masyarakat terhadap Air dan Sanitasi
Air yang layak untuk diminum harus melalui proses pengolahan atau perebusan terlebih
dahulu. Sedangkan sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk
minum dan berbagai aktivitas berasal dari sumur, mata air, pompa, air ledeng, dan air
hujan (Tabel 2.16). Data dari BPS (2003) menunjukkan bahwa penggunaan air yang
memenuhi kriteria untuk layak minum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Persentase sumber air minum yang memenuhi kriteria sebesar 77,65% pada tahun
2003 dan meningkat sebesar 17,63% dari tahun 1990. Persentase terbesar sumber air
minum yang banyak dipergunakan oleh masyarakat baik yang memenuhi kriteria
Tabel 2.16. Persentase Jenis Sumber Air Minum Tahun 1990 – 2003
1990 14.11 9.66 28.72 5.97 1.56 60.02 24.91 7.91 5.77 1.08 39.67
1991 14.51 10.04 29.24 6.14 1.86 61.79 23.17 7.60 5.54 1.02 37.33
1992 14.68 10.55 31.06 6.71 2.10 65.10 21.19 7.23 5.57 0.92 34.91
1993 14.71 10.44 28.81 6.32 2.49 62.77 23.49 7.40 5.45 0.94 37.28
1994 16.15 10.63 29.83 5.95 2.66 65.22 21.64 7.19 5.05 0.80 34.68
1995 11.37 11.73 30.84 6.20 2.60 62.74 19.19 7.42 4.73 0.91 32.25
1996 17.59 12.20 31.76 7.12 2.68 71.35 17.64 5.86 4.46 0.68 28.64
1997 19.37 12.65 32.95 7.47 2.80 75.24 15.95 4.73 3.72 0.58 24.98
1998 19.09 13.29 33.53 7.19 2.57 75.67 0.76 14.35 4.94 3.75 0.54 24.34
1999 18.59 13.36 34.04 7.43 2.78 76.20 0.88 14.29 4.70 3.47 0.45 23.79
2000 19.24 13.37 34.56 7.84 2.76 77.77 0.75 13.39 4.22 3.63 0.61 22.60
2001 18.25 13.30 33.50 7.69 3.05 75.79 1.43 13.74 5.15 3.52 0.37 24.21
2002 18.30 14.43 34.00 7.77 2.79 77.29 1.43 12.89 4.65 3.34 0.39 22.70
2003 17.03 14.51 35.57 7.88 2.66 77.65 1.83 12.09 4.93 3.10 0.39 22.34
Sumber : Biro Pusat Statistik (1990 – 2003). Hasil interpolasi dari data series 1990-2003
Ada berbagai cara masyarakat dalam mengakses sumber air, yaitu dengan pipa atau
tanpa pipa. Berikut disampaikan data mengenai persentase masyarakat yang
mengakses air minum dengan menggunakan pipa, seperti terlihat pada Tabel 2.17.
Pada daerah perkotaan, salah satu alternatif untuk mengakses air minum adalah melalui
pipa ledeng yang disiapkan oleh PDAM. Pada tabel diperlihatkan bahwa rata-rata
sumber air minum yang diakses oleh masyarakat perkotaan melalui pipa sebesar
36,09% sedangkan didaerah perdesaan dapat dikatakan sangat sedikit sekali
masyarakat desa yang menggunakan pipa, yaitu hanya sebesar 6,27%. Artinya
pelayanan air bersih oleh PDAM belum mampu menjangkau masyarakat desa di
Tabel 2.17. Persentase Akses Air Minum Perpipaan, Non Perpipaan Terlindung dan
Tanpa Akses Tahun 1990 - 2003, Perkotaan dan Perdesaan
1991 * 37.49 48.53 15.00 5.67 46.81 47.10 14.51 47.28 37.33
1992 35.27 50.87 13.87 5.54 50.23 44.23 14.68 50.42 34.91
1993 34.32 49.44 16.25 5.43 47.35 47.23 14.71 48.06 37.28
1994 36.54 49.11 14.34 5.88 49.18 44.94 16.15 49.07 34.68
1995 36.51 50.83 12.66 5.69 51.66 42.65 16.37 46.37 32.25
1996 38.09 50.83 10.91 6.10 55.39 38.50 17.59 53.76 28.64
1997 39.87 50.93 9.20 6.98 58.76 34.27 19.37 55.87 24.98
1998 37.85 52.36 9.79 7.97 59.08 32.94 19.09 56.58 24.34
1999 36.44 53.37 10.19 7.02 60.37 32.61 18.59 57.61 23.79
2000 36.20 53.34 10.46 6.87 61.68 31.46 19.24 58.53 22.60
2001 33.59 54.09 12.30 6.51 60.18 33.30 18.25 57.54 24.21
2002 33.32 55.18 11.50 6.17 62.06 31.75 18.30 58.99 22.70
2003 32.04 56.27 11.70 6.41 63.70 30.88 17.03 60.62 22.34
Sumber : Biro Pusat Statistik, Ket : *) hasil interpolasi dari data series 1990-2003
Secara umum, rata-rata cakupan air minum yang dapat digunakan oleh masyarakat
Indonesia baru mencapai 55,2% penduduk saja (BPS, 2003). Beberapa propinsi yang
mempunyai cakupan penggunaan air minum di atas 40% penduduknya adalah DKI
Jakarta, Kalimantan Timur, dan Bali (Ilustrasi 2.20). Selebihnya masih dibawah angka
40% untuk cakupan air minumnya. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki cakupan
air minum lebih dari 90% penduduknya adalah Kota Surabaya, Jakarta Utara, Kota
Banjarmasin, Kota Pematang Siantar, Kota Solok, Kota Balikpapan, Kota Sibolga, Kota
Ujung Pandang, Kota Banda Aceh, dan Kota Jayapura (BPS, 2002). Sedangkan
Dapat diidentifikasi bahwa besarnya kebutuhan air minum perorang sekitar 25 liter/hari
untuk daerah pedesaan yang belum memiliki sambungan dengan sistem distribusi air
minum. Untuk kota dan pemukiman dengan sarana kran umum kebutuhan air minumnya
antara 10-50 liter/orang/hari, untuk masyarakat yang memiliki sambungan halaman
sebesar 15-90 liter/orang/hari, dan bagi masyarakat yang memiliki sambungan rumah
sebesar 30-300 liter/orang/hari (Departemen Kimpraswil, 2003).
80.0 100.0
70.0 90.0
INDONESIA
80.0
60.0 SUMATERA
70.0
50.0 60.0 JAWA BALI
40.0 50.0 NUSA TENGGARA
30.0 40.0 KALIMANTAN
30.0 SULAWESI
20.0
20.0
10.0 MALUKU DAN PAPUA
10.0
0.0 0.0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002*
Sanitasi Dasar. Secara umum, sanitasi dasar ditunjukkan dengan tingkat aksesibilitas
masyarakat (ditunjukkan dengan persentase rumah tangga) terhadap sarana jamban.
Aksesibilitas masyarakat Indonesia terhadap sarana jamban relative tinggi yaitu
mencapai 75% terutama di daerah perkotaan. Sedangkan aksesibiltas yang rendah
terhadap sarana jamban ini terlihat di Pulau Sulawesi dan Indonesia Timur Lainnya. Di
kawasan perkotaan hanya 11,5% rumah tangga yang tidak mempunyai akses terhadap
jamban sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 35,89%. Beberapa kasus yang
menyebabkan rendahnya kawasan perdesaan terhadap jamban, yaitu banyak yang
Perlimbahan dan Drainase. Pembahasan mengenai perlimbahan pada bagian ini lebih
banyak difokuskan pada limbah rumah tangga. Limbah rumah tangga adalah limbah
yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian, limbah bekas industri rumah tangga dan
kotoran manusia. Limbah merupakan buangan/bekas yang berbentuk cair, gas dan
padat. Dalam air limbah terdapat bahan kimia sukar untuk dihilangkan dan berbahaya.
Bahan kimia tersebut dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit
disentri, tipus, kolera dan sebagainya. Air limbah tersebut harus diolah terlebih dahulu
sebelum dibuang ke saluran pembuangan, seperti sungai atau saluran pembuangan
lainnya agar tidak mencemari dan tidak membahayakan kesehatan lingkungan.
Sistem pengolahan limbah cair manusia di perkotaan Indonesia berada pada tingkatan
paling rendah bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Hal ini menyebabkan
tercemarnya air permukaan dan air tanah yang semakin meluas. Akibatnya, Indonesia
berkali-kali mengalami wabah lokal seperti infeksi saluran pencernaan dan tingkat
kejangkitan penyakit tipus (typhoid) tertinggi di Asia. Secara konservatif, kerugian
ekonomis yang disebabkan oleh pembuangan limbah yang tidak layak diperkirakan
sebesar 4,7 milyar dollar Amerika setiap tahun (Bank Pembangunan Asia, 1999 yang
dikutip oleh Sean Foley, dkk, 2000). Ini setara dengan 2,4% dari PDB tahun 1997, dan
menurut perhitungan kasar sama dengan kerugian 12 dollar Amerika per rumah tangga
setiap bulannya.
on site
51% 48% off site
lain-lain
1%
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappenas (2000), rumah tangga perkotaan yang
mendapatkan fasilitas pelayanan air limbah sebesar 432.500 rumah tangga atau setara
dengan 2,16 juta jiwa. Sampai dengan tahun 2000 sekitar 26 % dari penduduk
Indonesia tidak memiliki sarana pembuangan air limbah yang sifatnya pribadi maupun
komunal. Kelompok masyarakat ini menggunakan saluran drainase, sungai, kebun
sebagai tempat pembuangan air limbah. Pengolahan air buangan di Indonesia di
dominasi oleh pengolahan setempat (on site) berupa cubluk dan tangki septik. Hanya
sebagian kecil penduduk Indonesia dilayani sistem pengolahan air limbah terpusat (off
site). Persentase pelayanan pengolahan terpusat dan setempat dapat dilihat pada
Ilustrasi 2.22.
Jumlah %
Wilayah
Jiwa Cakupan
Sumatera 8,218,197 23.39
Jawa Bali 21,294,350 60.62
Kalimantan 1,806,718 5.14
Sulawesi 2,228,856 6.34
Indonesia Timur Lainnya 1,582,065 4.50
INDONESIA 35,130,186 32.11
Sumber : Depkimpraswil, 2001
Berkaitan dengan hal tersebut, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 104
negara, tertinggal dari Singapura (peringkat ke-7), Malaysia (peringkat ke-31), dan
Thailand (peringkat ke-34) berdasarkan angka indeks daya saing Tahun 2004. Adapun
untuk indeks teknologi, Indonesia hanya menempati urutan ke-71 sedangkan untuk
indeks institusi publik dan kondisi makro ekonomi masing-masing menempati urutan ke-
68 dan ke-63. Rendahnya indeks teknologi tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur
telekomunikasi dan informatika masih sangat terbatas. Kondisi ini pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya daya saing nasional.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong tingkat penetrasi dan
mempercepat penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan informatika. Dalam 10 tahun
terakhir (1995-2004), peningkatan ketersediaan infrastruktur jelas terlihat. Dalam
periode tersebut, kapasitas terpakai atau line in service (LIS) telepon tetap mengalami
peningkatan sekitar 3 kali, yaitu dari 3,29 juta satuan sambungan (ss) menjadi 9,99 juta
ss, sedangkan jumlah pelanggan Sistem Telekomunikasi Bergerak (STB) atau mobile
communications meningkat lebih dari 140 kali menjadi 30 juta pelanggan. Adapun
jumlah pelanggan dan pengguna internet mengalami pertumbuhan masing-masing
sebesar 8 dan 22 kali menjadi 1 juta dan 11 juta orang.
Permasalahan utama yang ditimbulkan dari sisi supply adalah terbatasnya kapasitas,
jangkauan dan kualitas infrastruktur telekomunikasi sebagai infrastruktur utama bagi
pengembangan telekomunikasi dan informatika (ICT). Hal ini terjadi karena beberapa
hal sebagai berikut.
Kedua, masih adanya hambatan masuk bagi operator baru (barrier to entry). Sejalan
dengan berkembangnya peran informasi, kebutuhan infrastruktur telekomunikasi
semakin bertambah. Pada penyelenggaraan yang bersifat monopoli, pemenuhan
kebutuhan tersebut sangat sulit dilakukan terutama karena terbatasnya kemampuan
penyelenggara. Bertambahnya jumlah penyelenggara diyakini mampu mendorong
kemampuan penyediaan infrastruktur. Masih adanya hambatan bagi masuknya operator
baru menyebabkan belum optimalnya upaya mobilisasi sumber pembiayaan lain di luar
sumber pembiayaan yang ada (pemerintah dan operator eksisting).
Ketiga, belum terjadinya kompetisi yang setara (level playing field) dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Secara umum, kompetisi diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pembangunan, kinerja dan efisiensi penyelenggara. Pada
kenyataannya, kondisi yang diinginkan belum sepenuhnya terpenuhi karena belum
jelasnya acuan pelaksanaan kompetisi, kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan
kompetisi, dan masih lemahnya penegakkan peraturan.
Adapun permasalahan yang timbul dari sisi demand adalah terbatasnya kemampuan
masyarakat untuk mengakses dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang memiliki
real economic value. Permasalahan ini terkait dengan masih terbatasnya daya beli dan
tingkat pendidikan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pengguna internet sebagian besar
(lebih dari 90%) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat pendidikan sarjana/pasca
sarjana (sekitar 50%) dan SMA (40%). Keterbatasan pengembangan materi (content)
dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi menghambat proses akulturasi di
masyarakat.
Walaupun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam 20 tahun pertama, ketersediaan
infrastruktur telekomunikasi masih dirasakan kurang terutama dalam penyediaan
jaringan lokal ke pelanggan. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan partisipasi swasta
untuk mempercepat perluasan jaringan telekomunikasi. Dengan diberlakukannya UU
No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, peran serta swasta dan masyarakat lebih
ditingkatkan melalui bentuk usaha bersama dengan badan penyelenggara (PT Telkom
dan PT Indosat) melalui pola bagi hasil. Sejalan dengan hal tersebut, Perumtel
Selain itu, pengembangan jasa telekomunikasi lain seperti STB juga dilaksanakan. Bila
pada Repelita sebelumnya STB baru mempunyai pelanggan sebanyak 13 ribu orang,
maka pada Repelita V ini jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 88 ribu orang.
Sedangkan pengembangan jaringan transmisi SKKL serat optik Indonesia-Singapura
dan SKKL Asia Pasific Cable Network ditujukan untuk mendukung layanan
telekomunikasi ke luar negeri.
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
Sumatera Jawa +Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia INDONESIA
Timur
Lainnya
Dengan meningkatnya peran aktif swasta selama Repelita VI, pembangunan kapasitas
sentral mengalami pertumbuhan sebesar 173% dari Repelita sebelumnya menjadi 8,2
juta ss. Demikian pula dengan STB yang mengalami pertumbuhan hingga 10 kali
menjadi 2,2 juta pelanggan. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pertumbuhan
pembangunan telepon tetap terus menurun, bahkan dalam periode 1999-2003
pertumbuhannya di bawah 10% (single digit) dan baru kembali naik di tahun 2004. Di
lain pihak, pembangunan STB terus mengalami kenaikan dengan tingkat pertumbuhan
tahunan di atas 65% (Ilustrasi 2.24).
Ilustrasi 2.24. Perbandingan Laju Pertumbuhan Pembangunan Telepon Tetap dan STB
40 180
160
P e r tu m b u h a n T e le p o n T e ta p ( % )
35
140
P e r tu m b u h a n S T B ( % )
30
120
25
100
20
80
15
60
10 40
5 20
0 0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Telepon Tetap
STB
Tabel 2.20. Pembangunan Infrastruktur Telepon Tetap (LIS) Per Divisi Regional
(1996 – 2003)
Divisi
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Regional
I 598.651 701.479 770.857 835.167 897.323 1.007.468 1.115.875 1.239.409
II 1.635.545 1.903.581 2.079.452 2.208.436 2.412.221 2.632.521 2.824.556 3.036.372
III 400.939 504.984 567.358 621.134 639.913 645.479 672.597 733.462
IV 339.047 395.730 475.410 531.593 579.647 618.101 646.701 668.261
V 667.200 842.447 935.372 1.048.556 1.198.142 1.317.384 1.427.660 1.594.827
VI 172.824 218.638 254.315 279.958 302.948 320.338 342.336 425.979
VII 371.824 415.607 488.880 555.349 632.411 677.649 720.310 780.805
Total 4.186.030 4.982.466 5.571.644 6.080.193 6.662.605 7.218.940 7.750.035 8.479.115
Sumber: PT Telkom, berbagai tahun
Divre I (Sumatera), II (Jabodetabek), III (Jabar dan Banten), IV (Jateng), V (Jatim), VI (Kalimantan), dan VII (KTI lainnya).
Sejak tahun 2001, PT Telkom melakukan pembelian KSO secara bertahap. Pembelian tersebut meliputi divre VI (2001), I
(2002), III (2003), dan IV (2004). Dengan demikian, divre yang masih ditangani KSO di tahun 2004 adalah divre VII (KTI)
3,500,000 12
3,000,000 10
Line in Service (ss)
Teledensity (%)
2,500,000
8
2,000,000
6
1,500,000
4
1,000,000
500,000 2
- 0
LIS Divre I Divre Divre Divre Divre Divre Divre
Density II III IV V VI VII
1
Angka ini tidak termasuk program USO pemerintah, juga tidak termasuk pembangunan PT Ratelindo dan PT Batam
Bintan mengingat pelayanan kedua penyelenggara tersebut bersifat regional dengan jumlah pelanggan yang sangat
terbatas
Dengan meningkatnya pelanggan STB atau telepon seluler, maka peluang pasar ini
menjadi salah satu pendorong bagi para operator telepon seluler untuk
menginvestasikan dananya pada STB ini. Adapun beberapa informasi yang dapat
disampaikan mengenai perkembangan STB ini dapat dilihat pada tabel berikut. Pada
Tabel 2.22 menujukkan bahwa target PT. Telkomsel Indonesia menargetkan pelanggan
sampai dengan 20 – 22 juta pelanggan sedangkan PT. Indosat menargetkan pelanggan
sebanyak 15 juta pelanggan. Sedangkan market share terbanyak masih dipegang oleh
Telkomsel sebesar 53% sedangkan Indosat sebesar 31% dan yang lainnya di bawah
13%. Di sisi lain, peningkatan jumlah televisi swasta nasional semakin menyemarakkan
dunia pertelevisian di Indonesia. Sebanyak 10 TV swasta nasional sudah mengudara di
Indonesia ditambah dengan beberapa stasiun TV swasta lokal yang terdapat di masing-
masing wilayah di Indonesia.
Hingga tahun 2003, infrastruktur telekomunikasi baru mencapai 36% desa dari sekitar
43 ribu desa (Tabel 2.24). Untuk mempercepat penyediaan infrastruktur telekomunikasi
di daerah perdesaan, sejak tahun 2003 pemerintah memulai program Universal Service
Obligation (USO) yang menggunakan dana APBN (Tabel 2.25).
Tabel 2.24. Persentase Wilayah (Desa) Yang Sudah Memiliki Fasilitas Telekomunikasi
(2002)
Begitu pula dengan tingkat rasio elektrifikasi nasional, pada tahun 1997 telah mencapai
sekitar 50 persen. Perkembangan produksi dan daya terpasang dalam empat tahun
sebelum masa krisis juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi yaitu untuk
sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) masing-masing sebesar 43,1 persen dan 12,7
persen, sedangkan untuk sistem Luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) masing-masing
sebesar 46,7 persen dan 31,4 persen. Adapun untuk listrik perdesaan pada periode
yang sama telah meningkat dari 36.243 desa yang telah memperoleh aliran listrik
menjadi 45.941 desa. Pada umumnya pertambahan desa yang memperoleh aliran listrik
berada di kawasan timur Indonesia.
Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi mengakibatkan roda
pembangunan ketenagalistrikan menjadi sangat terpuruk. Dalam masa krisis tersebut
pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami penurunan sebesar 0,5 persen pada
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka PLN sebagai pemasok listrik bagi
masyarakat tidak pernah membangun infrastruktur ketenagalistrikan secara signifikan.
Akhirnya, pertumbuhan kapasitas terpasang listrik nasional hanya tumbuh sebesar
1,13% antara tahun 1999 – 2001 (LPEM FEUI, 2005). Sedangkan pemakaian listrik naik
sebesar 8,85% per tahun dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya
ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Akibat dari kekurangan pasokan
tersebut, maka terjadinya penurunan kualitas dari pasokan tersebut. Sampai akhir tahun
2002, frekuensi gangguan per pelanggan (system average interruption frequency
index/SAIFI) dan lama gangguan per pelanggan (system average interruption duration
index/SAIDI) menunjukkan 14,17 kali dan 14,35 jam. Padahal kedua parameter tersebut
pada Tahun 1997 masih menunjukkan angkat 12,81 kali dan 15,15 jam. Efeknya adalah
bila jumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa tidak ditambah maka akan terjadi
Laporan PT. PLN (Persero) menyebutkan bahwa penjualan listrik berturut-turut tahun
1999, 2000, 2001 dan 2002 masing-masing sebesar 9,3%, 11%, 6,8% dan 3,1%. Hal ini
memperlihatkan bahwa persentase pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik secara
nasional mengalami penurunan sejak tahun 1984, akan tetapi secara kuantitas jumlah
kebutuhan mengalami peningkatan. Selain itu, penjualan tenaga listrik, tidak serta
merta menurun mengikuti proses krisis ekonomi yang terjadi. Namun setelah krisis
ekonomi yang dimulai tahun 1997 kemudian baru diikuti oleh penurunan tingkat
pertumbuhan penjualan tenaga listrik secara signifikan pada tahun 2001 dan 2002.
Tabel 2.26 berikut ini menggambarkan data penjualan PT. PLN tahun 1997 sampai
dengan tahun 2002.
Kebutuhan listrik yang relatif masih tumbuh cukup tinggi sekalipun pada masa krisis
tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 tidak dapat diimbangi oleh pengembangan di
sisi penyediaan tenaga listrik. Proyek-proyek pembangkit tenaga listrik termasuk listrik
swasta dan jaringan transmisi yang sudah terencana pada saat sebelum krisis tidak
dapat dilaksanakan. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan, dalam pengertian terjadi cadangan listrik yang lebih rendah dari yang
dipersyaratkan sebagai sebuah sistem yang handal, terutama kemampuan antisipasi
menghadapi kemungkinan terjadinya gangguan dalam sistem. Hal ini telah terjadi
khususnya di luar Jamali seperti di wilayah Sumatera bagian selatan dan beberapa
wilayah di Kalimantan.
Stagnasi dalam peningkatan kapasitas penyediaan tenaga listrik secara nasional, baik
akibat penundaan proyek-proyek yang sedang berjalan maupun terhentinya proyek-
proyek pembangkit yang baru tersebut memiliki efek krisis yang akan mulai terasa pada
dua atau tiga tahun kemudian. Hal ini disebabkan pembangunan pembangkit yang
dilakukan dalam beberapa tahun sebelum krisis dengan asumsi bahwa target
penyelesaian pembangunannya rata-rata dalam 2 atau 3 tahun ternyata pada tahun
1997 sampai dengan tahun 2002 tidak dapat dituntaskan. Akibatnya terjadi kekosongan
dalam kesinambungan penyediaan tenaga listrik mulai tahun-tahun tersebut, sedangkan
pertumbuhan permintaan tenaga listrik dari tahun ke tahun terus meningkat. Sampai
dengan saat ini, masih terjadi krisis listrik di beberapa wilayah khususnya di sistem Luar
Jamali.
Untuk mengatasi krisis listrik tersebut pada sistem Luar Jamali dilakukan upaya
melanjutkan pembangunan pembangkit listrik guna memberikan tambahan kapasitas
daya yang meliputi : di Sumatera Utara yaitu PLTA Sipansihaporas (17 MW) dan di
Sumatera bagian selatan telah beroperasi PLTU Palembang Timur (150 MW), PLTU
Borang (2x40 MW), PLTA Batutegi (3x14MW). Selain itu terdapat beberapa proyek
yang committed akan mulai dilaksanakan yaitu PLTU Labuan Angin (2x115MW) di
Sumatera Utara, PLTP Lahendong (2x20 MW) di Sulawesi Utara, serta berbagai
pembangkit lainnya.
Untuk krisis listrik yang selama ini dikhawatirkan di sistem Jamali telah mampu diatasi
yaitu dengan beroperasinya pembangunan crash program PLTGU Muara Tawar (858
MW), sekalipun dengan pembangkit ini sistem Jamali belum mencapai tingkat reserved
margin yang seharusnya dimiliki (minimal 25%). Selain itu berbagai pembangunan
pembangkit listrik dan rehabilitasi serta repowering beberapa pembangkit listrik yang
Tahun Share
Produksi Listrik
1996 1997 1998 1999 2000 2001 (%)
PRODUKSI LISTRIK SENDIRI 65.589 74.800 74.965 80.497 84.190 88.355 86,92
- PLTA 8.112 5.149 9.649 9.370 9.110 10.651 10,48
- PLTD dan Sewa Disel 5.349 6.527 5.850 5.799 6.355 6.520 6,41
- PLTG 1.302 1.725 1.396 1.555 1.252 1.459 1,44
- PLTGU 23.132 27.321 34.941 27.045 26.397 27.366 26,92
- PLTP 2.340 2.605 2.617 2.728 2.649 2.982 2,93
- PLTU 25.354 31.473 30.512 33.999 38.429 39.376 38,74
TOTAL PRODUKSI LISTRIK 67.337 76.620 77.903 84.776 93.325 101.654 100.00
Pasokan listrik yang selama ini didistribusikan oleh PLN, tidak hanya berasal dari
produksi PLN itu sendiri namun juga PLN melakukan pembelian listrik swasta. Adapun
produksi listrik PLN dan berasal dari pembelian dari swasta dapat dilihat pada Tabel
2.20. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat produksi listrik yang dihasilkan oleh PLN
terus meningkat. Pasokan tenaga listrik yang terbesar yang diproduksi PLN berasal dari
PLTU dan PLTGU. Sedangkan pasokan listrik dari PLTA sangat dipengaruhi oleh
stabilitas curah hujan.
Berkaitan dengan penyediaan listrik oleh swasta melalui pola Independent Power
Producers (IPP), pemerintah telah berupaya melakukan renegoisasi dengan 27 buah
IPP dan telah diselesaikan sebanyak 26 buah IPP yang terdiri dari 14 buah long term
agreement (Drajat, Paiton 1, Paiton 2, Sengkang, Tanjung Jati B, Pare-Pare, Salak,
Amurang, Sibolga, Palembang Timur, Cikarang, Asahan, Sibayak dan Bedugul), 7 buah
PLN dalam memproduksi listrik membutuhkan sumber energi lain guna menjalankan
pembangkit tenaga listriknya. Hal yang perlu diperhatikan adalah komposisi konsumsi
sumber energi listrik. Ilustrasi 2.24 memperlihatkan konsumsi energi yang diperlukan
oleh PLN dalam memproduksi listrik. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa
persentase pemakaian BBM untuk pembangkit listrik relatif masih tinggi, yaitu sekitar
27,5% pada tahun 2002, padahal BBM merupakan sumber energi yang sangat mahal.
Sedangkan untuk energi pembangkit litrik yang berasal dari air yang relatif murah masih
mendapatkan porsi yang kecil, yaitu hanya sebesar 10% pada tahun 2002. Adapun
pemakaian energi batubara yang lebih murah dari BBM sudah mendapatkan porsi yang
cukup besar yakni sebesar 33,3%. Apabila dilihat dari perkembangan pemakaian listrik
dari tahun ke tahun menunjukkan hal yang kurang menggembirakan, dimana BBM yang
mahal mengalami kenaikan yang lebih murah mengalami penurunan. Kenaikan
penggunaan BBM diakibatkan menurunnya pasokan dari ladang gas yang mulai
terkuras sehingga harus disubtitusi oleh BBM. Kondisi tersebut akan lebih parah jika
pasokan dari PLTA juga menurun yang disebabkan kemarau panjang.
40
30
(% ) 20
10
0
1998 1999 2000 2001 2002
Sumber: Laporan Manajemen PLN tahun 2002 (tidak dipublikasikan) yang dikutip dari LPEM FEUI tahun 2005
Dalam perencanaan nasional sistem Madura dan Bali dianggap sebagai sistem
perencanaan yang tergabung dalam satu kesatuan dengan sistem Jawa, karena
kedekatannya dengan sistem yang besar di Jawa, karakter beban relatif besar dan
kemudahan cara pengelolaanya, sehingga kesatuan sistem ini pengelolaan ini dijadikan
Kondisi sistem pembangkitan pada sistem Jamali sampai tahun 2003 memiliki kapasitas
terpasang sebesar 18.658 MW, dengan daya mampu sekitar 15.177 MW dan beban
puncak sebesar 14.575 MW. Ini berarti hanya memiliki cadangan (reserved margin)
sekitar 4,1 % dan jauh dari kondisi ideal dengan reserved margin yang cukup handal
yaitu minimal 25 % dari beban puncak yang seharusnya dimiliki. Sedangkan kondisi
sistem penyalurannya saat ini memiliki 379 gardu induk dengan kapasitas 44.219 MVA
dengan jaringan transmisi yang ada sepanjang 18.203 km yang terdiri dari jaringan
transmisi 500 kV sepanjang 3.609 km; transmisi 150 kV sepanjang 11.190 km; dan
transmisi 70 kV sepanjang 3.404 km dengan masing-masing kapasitas gardu yang
dimiliki yaitu 15.500 MVA, 28.446 MVA dan 3.378 MVA.
SURALAYA SCPP N
BALARAJA M.TAWAR
KEMBANGAN CCPP & GTPP
CILEGON
CAWANG TANJUNG JATI B
BEKASI
GANDUL CIBATU JAVA SEA
DEPOK III
CIBINONG
GRESIK CCPP
CIRATA HEPP CIREBON
SAGULING HEPP
BABAT
UNGARAN
BDNG SELATAN PURWODADI
KRIAN
SURABAYA SELATAN
TASIKMALAYA
GRATI CCPP
PAITON SCPP
KLATEN
KEDIRI
NOTE
KAPAL
: EXISTING
: ON GOING PROJECT
: PLAN
: JAVA-BALI OHL
Pada masa sebelum krisis reserved margin yang dimiliki oleh sistem Jawa mendekati
30% pada tahun 1995 dan 1996, sejak adanya krisis tahun 1997 sampai tahun 2003 ini
reserved margin pulau Jawa masih dapat bertahan dalam kisaran 20-25%. Penurunan
pasokan tenaga listrik akibat stagnasi investasi pembangkit tenaga listrik karena krisis
kapasitas
Neraca Kelistrikan
terpasang
Jaw a-Madura-Bali (Jamali)
15000
MW
10000
Kapasitas
5000 terpasang yang
seharusnya
0 tersedia
1996 1997 1998 2000 2002 2004 Beban puncak
B.ACEH
BIREUEN
SIGLI LANGSA
T.CUT
PEUSANGAN IDIE
L.SEUMAWE
NOTE :
TAKENGON 1 HELVETIA
2 P.PASIR
3 P.GELI
4 GLUGUR
P.BRANDAN 5 MABAR
MEULABOH 6 LABUHA N
BELAWAN SCPP 7 LAMHOTMA
8 S. ROTA N
6 9 KIM
1
BLANGPIDIE 2 7 10 LISTRIK
TAPAKTUAN BINJAI 8 16
11 DENAI
5 9 12 T.K UNING
3 10
T.TINGGI 13 T.MORAWA
4 11
15
K.TANJUNG 14 NAMURAMBE
15 SUNGGAL
MALAYSIA
12 13
14
16 PARBAUNGA N
SIBAYAK Geo GALANG
RENUN HPP BRASTAGI KISARAN
P.SIANTAR
SIDIKALANG ASAHAN I
PORSEA R.PRAPAT
TELE
MALAYSIA PENINSULAR
KRAMASAN PLAJU
ONGOING/COMMITTED CURUP
MINE MOUTH B. ASAM S.TIGA
PLAN BENGKULU PRABUMULIH
MUSI HPP LAHAT
PAGAR ALAM
LUMUT BATURAJA
BALAI GeoPP
MANNA SEPUTIH
SURABAYA
KOTABUMI MENGGALA
BUKIT KEMUNING
BESAI HPP
Gambar 1-3a.
DEVELOPMENT PROGRAM Sumber : PT PLN, 2004 ULU BELU Geo PP
TEGINENENG
SRIBAWONO
BATUTEGI
SUMATRA
Sistem TransmisiSYSTEM
Sumatera T.PADANG NATAR
SUTAMI
TARAHAN
SCPP
T.KARANG
KALIANDA
TARAHAN
BARRU
44 km
TONASA 3.7 km
/PANGKEP TONASA 3,4
4.9 km
TONASA I 154 km
44.5 km 43 km 23 km
MANDAI
TELLO DAYA DAYA BARU PALOPO
12.5 km
TALLO LAMA PANAKUKANG 80 km
Perbandingan penjualan tenaga listrik di Luar Jamali hanya sekitar 20 persen dari
sistem Jamali. Akan tetapi sistem Luar Jamali mempunyai areal pelayanan yang jauh
lebih luas dari areal pelayanan sistem Jamali. Dengan telah beroperasinya PLTGU
Sengkang (135 MW) dan PLTD Pare-Pare (60 MW) maka daya mampu yang dimiliki
saat ini mencapai 5.768 MW dengan daya mampu sekitar 4.300 MW atau hanya sekitar
74,5 persen. Kondisi ini disebabkan dominasi pembangkit oleh PLTD yang sebesar
2.445 MW (42% dari seluruh pembangkit yang ada) dan sebesar 1.500 MW PLTD
dimaksud telah berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan kapasitas efektif dan beban
puncak maka enam wilayah pada sistem Luar Jamali masih mengalami krisis listrik,
dengan kekurangan lebih kurang sekitar 400 MW. Untuk menanggulangi keadaan ini,
maka PT. PLN telah mulai melakukan pembangunan untuk menambah kapasitas
pembangkit terutama melalui repowering pembangkit listrik yang ada dan pembangunan
pembangkit baru, terutama pembangkit listrik non BBM serta melakukan sewa
pembangkit dari pihak swasta atau dengan kerjasama dengan pihak pemda.
6000
MW
4000
Kapasitas
2000 terpasang yang
seharusnya
0 tersedia
1996 1997 1998 2000 2002 2004 Beban puncak
Berdasarkan rasio elektrifikasinya sampai dengan Oktober tahun 2003 mencapai 54,8
persen, yang berarti mengalami kenaikan dibandingkan tahun 1997 yang baru mencapai
48,2 persen. Pertumbuhannya pada masa krisis ekonomi sangat lambat, jika pada tahun
1997 mengalami peningkatan mencapai 2,5 persen, akan tetapi sejak tahun 1998
sampai dengan tahun 2000 rata-rata hanya mengalami peningkatan hanya 0,5 persen.
Namun sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 kembali mengalami peningkatan
yaitu sekitar 1,2 persen per tahun.
*) Perkiraan realisasi
Sumber : PT. PLN, Oktober 2004
Bila dilihat dari sisi permintaan terhadap listrik yang dilihat dari elektrifikasi, terjadi
peningkatan jumlah pemakai listrik khususnya rumah tangga. Rasio elektrifikasi adalah
rumah tangga pelanggan listrik dengan jumlah rumah tangga total. Rasio elektrifikasi ini
menjadi salah satu indikator tingkat kemakmuran rakyat. Sampai saat ini, rasio
elektrifikasi Indonesia baru mencapai 58% (LPEM FEUI, 2005). Artinya adalah sebanyak
42% dari rumah tangga Indonesia belum dapat menikmati aliran listrik. Hal ini dapat
Rumah
24866 24903376 26884 25833618 30563 26796675 33340 27885612 33993 28903000
Tangga
Bisnis 8667 847940 9330 982281 10576 1062955 11395 1172247 11845 1246000
Industri 27985 43088 31338 42575 34013 44337 35593 46014 36831 47000
Lainnya 3743 639085 3780 666138 4012 691418 4192 723855 4418 758000
Total 65261 26433489 71332 27524612 79164 28595385 84520 29827728 87087 30954000
Sumber : Laporan Manajemen PLN Tahun 2002 (tidak dipublikasikan)
Kondisi rasio elektrifikasi Indonesia ini sebenarnya masih jauh tertinggal dibandingkan
beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina yang pada
umumnya telah mencapai lebih dari 75 persen, bahkan Singapura, Malaysia dan
Thailand sudah mencapai lebih dari 90 persen. Rasio elektrifikasi Indonesia dalam kurun
waktu tahun 1994-2000 mengalami pertumbuhan sekitar 6,6 persen lebih per tahun.
Namun dengan adanya krisis ekonomi sejak tahun 1997 pertumbuhan rasio elektrifikasi
nasional dalam kurun waktu 2000 sampai akhir tahun 2003 hanya tumbuh rata-rata
sekitar 0,4 persen per tahun. Berdasarkan perbandingannya dengan Philipina dengan
karakteristik geografis dan demografis negara yang relatif serupa, perbandingan
densitas permintaan tenaga listrik Indonesia hanya sepertiganya, yaitu Indonesia 8,6 kW
per km2 sedangkan Philipina telah mencapai 26,8 kW per km2.
R a s io E le k trifik a s i B e b e ra p a
N e g a ra A s e a n
120
100
80
1994
%
60
2000
40
20
0
ar
Th sia
Ph n d
Ka sia
M oja
In nam
a
Vi na
ur
nm
la
i
ay
ne
b
ilip
ap
m
ai
et
ya
al
do
ng
M
Si
100
80
60
%
40
20
0
na
a
nd
a
ja
m
ar
si
si
ur
bo
na
pi
nm
la
ne
ay
ap
ili
ai
m
et
ya
al
Ph
do
ng
Th
Ka
Vi
M
M
In
Si
Konsumsi listrik Indonesia dalam lima tahun terakhir ini mengalami peningkatan sebesar
6,5% pertahun. Apabila dilihat menurut jenis sektor pengeluarannya, terlihat seluruh
sektor mengalami peningkatan yang bervariasi kecuali terjadi penurunan pada sektor
industri pada tahun 1998 yang disebabkan oleh krisis ekonomi. Namun secara umum
terjadi peningkatan konsumsi tenaga listrik per kapita dari 0,25 MWH pada tahun 1995
menjadi 0,38 MWH pada tahun 2000. Sedangkan dilihat dari konsumsi tenaga listrik per
pelanggan juga terjadi kenaikan dari 2,55 (1995) menjadi 2,77 (2000). Kejadian krisis
ekonomi berdampak pada seluruh sektor dan hal tersebut juga berdampak pada
penurunan konsumsi listrik pada tahun 1998. Namun, seiring dengan bangkitnya
kembali Indonesia dari keterpurukan dari krisis maka konsumsi listrik pun berangsur-
angsur meningkat kembali.
Adapun bila dilihat jumlah penjualan listrik berdasarkan wilayah di Indonesia, maka
penjualan listrik di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Konsentrasi pasokan listrik di Jawa dapat dimengerti karena sebagian besar penduduk
Indonesia berada di Pulau Jawa, industri dan bisnis banyak terdapat di Pulau Jawa.
Oleh karena itu kebutuhan akan pasokan listrik di Pulau Jawa lebih banyak
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya (Tabel 2.30).
Tahun
Wilayah
99-00 00-01 01-02 02-03
Sumatera 8.787 10.097 10.913 10.896
Jawa 60.353 66.916 70.900 70.518
Bali dan Nusa Tenggara 1.907 2.075 2.322 2.220
Kalimantan 2.395 2.800 2.927 2.916
Sulawesi 2.005 2.520 2.818 2.758
Indonesia Timur Lainnya 552 449 534 571
INDONESIA 75.999 84.857 90.414 89.879
Sumber: BPS, berbagai tahun
C. Listrik perdesaan
Pada sisi lain pembangunan listrik perdesaan merupakan hal yang sangat penting untuk
menunjang pembangunan sosial ekonomi khususnya wilayah-wilayah yang belum
berkembang. Saat ini upaya pengembangan listrik perdesaan masih mengalami
masalah utama yaitu selain keterbatasan dana pemerintah juga orientasi badan usaha
milik pemerintah sebagai penyedia tenaga listrik nasional sudah lebih banyak diarahkan
pada usaha-usaha yang komersial penuh.
Kondisi geografis dan demografis yang ada juga akan berpengaruh besar terhadap
kondisi dan permasalahan yang dihadapi. Lebih lanjut secara rinci beberapa
permasalahan yang ada dalam pengembangan listrik perdesaan yaitu :
• Penilaian keuntungan program atau proyek pengembangan listrik perdesaan lebih
dititikberatkan pada aspek finansial, sedangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan belum sepenuhnya diperhitungkan.
Program listrik perdesaan sampai saat ini masih dilaksanakan melalui program
intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilaksanakan dengan pengembangan
jaringan listrik untuk pelanggan listrik baru pada desa-desa lama yaitu desa-desa yang
telah ada jaringan listriknya tetapi belum menjangkau seluruh penduduk yang terdapat di
desa bersangkutan. Adapun ekstensifikasi dilaksanakan dengan membangun perluasan
jaringan listrik untuk pelanggan listrik pada desa-desa baru yaitu desa-desa yang belum
ada jaringan listrik sama sekali.
Selain itu walaupun di suatu daerah sudah layak dilistriki namun seringkali belum ada
jaminan mengenai pasokan tenaga listriknya, mengingat keterbatasan energi listrik yang
dihasilkan dari pembangkit listrik yang ada pada suatu sistem bersangkutan. Namun
pengembangan pembangkit listrik untuk menjamin pasokan listrik di daerah perdesaan
terutama di daerah yang belum terinterkoneksi dengan jaringan listrik (off-grid) belum
sepenuhnya menjadi perhatian. Terlebih apabila diihat dari belum termanfaatkannya
potensi energi lokal untuk pembangkit listrik.
PT. PLN sendiri memiliki perjalanan cukup panjang berkenaan dengan pinjaman bank
untuk investasi ketenagalistrikan di Indonesia. Sejak tahun 1970 PT. PLN telah banyak
menerima pinjaman luar negeri untuk investasi yang dipergunakan untuk pembangunan
pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi serta berbagai pembiayaan kajian-kajian
teknis. Investasi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk pembangunan sistem
ketenagalistrikan nasional bersumber dari APBN yang bersumber dari pendapatan
Mengenai Tarif Dasar Listrik (TDL), sebelum terjadi krisis ekonomi, tarif dasar listrik rata-
rata di Indonesia telah mencapai lebih 7 sen USD/ kWh yang membuat pendapatan
operasi PT. PLN mencukupi untuk mencapai tingkat Rate of Return sebesar 7 %. Tarif
terendah yang pernah dialami PT. PLN akibat devaluasi nilai rupiah pernah mencapai
2,6 sen/kWh terjadi pada tahun 1998 sehingga memperburuk kondisi keuangan PT.
PLN. Dampak dari krisis tersebut adalah tampak pula dari menurunnya kinerja finansial
PT. PLN sebagai penyedia utama tenaga listrik nasional yang mengakibatkan
kemampuan investasinya melemah. Sejak 1997 sampai tahun 2002 PT. PLN mengalami
financial losses lebih kurang Rp. 47 triliun atau sekitar USD 5,3 milyar.
600
500
400
300
200
100
0
1996 1997 1998 1999 2000
H PP H a r g a J u a l
Dengan kondisi tersebut, PT. PLN terus mengalami kerugian, sehingga terpaksa
dilakukan penyesuaian tarif listrik sejak tahun 2000 dan akan dilakukan hingga beberapa
tahun mendatang. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
PT. PLN melakukan investasi pengembangan fasilitas. Tetapi sekalipun kenaikan tarif
sudah dilakukan sampai tahun 2002 namun belum dapat memenuhi investasi yang
dibutuhkan sehingga masih akan tergantung dari pinjaman-pinjaman baru.
Penentuan tarif dasar listrik saat ini masih diatur oleh pemerintah dan bersifat rata
(uniform) padahal Indonesia memiliki banyak wilayah yang sangat bervariasi sebagai
contoh untuk Luar Jamali pada umumnya memanfaatkan diesel tersebar (scattered
diesel) dan memiliki demand yang relatif kecil dibandingkan Jamali yang memiliki
kepadatan penduduk dan demand listrik yang sangat besar. Tarif listrik di Indonesia
merupakan yang paling rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Tabel
2.32).
Pada sisi lain, tarif yang ada saat ini rata-rata sebesar Rp. 555,-/kWh atau ekivalen
dengan 6.10 sen USD/kWh masih belum mencerminkan nilai keekonomiannya dan pada
kenyataannya lebih dari 90% pelanggan listrik termasuk golongan R1, sehingga
membayar dibawah biaya pokok produksi. Sementara itu persentase total biaya valuta
asing terhadap biaya operasi terus meningkat setiap tahun sejak tahun 1996 hingga
tahun 2000, yaitu berturut-turut 8,8 persen; 9,7 persen; 39,3 persen; 63,9 persen dan
79,7 persen. Begitu pula pembelian listrik dari swasta yang meningkat menjadi 28
persen dari total biaya operasi PT. PLN.
Maluku
Papua
East Kalimantan
South Sulawesi
South Sumatera
Batam
Jawa-Madura-Bali
Indonesia
Cost Rp / kWh
15
% 10 Losses Distribusi
Losses Transmisi
5 Losses Total
0
1995 1997 1999 2001
Ilustrasi 2.40. Tingkat Losses PT. PLN sampai dengan Th. 2001
Begitu pula berkaitan dengan diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik,
sampai saat ini jumlah pembangkit tenaga listrik di Indonesia yang menggunakan bahan
bakar minyak masih cukup besar dan sebagian besar berlokasi di luar Jamali. Hal ini,
masih ditambah pula oleh adanya berbagai pembangkit listrik tenaga gas bumi yang
menggunakan bahan bakar minyak, karena sulitnya mendapat bahan bakar gas.
Berdasarkan kapasitas terpasang pembangkit listrik yang dioperasikan PLN terlihat
sebesar 36,28 persen pembangkit yang menggunakan BBM. Adapun dana yang
dikeluarkan PT. PLN untuk bahan bakar minyak ini mencapai lebih dari Rp 13 triliun. Di
sisi lain, saat ini cadangan minyak semakin menipis dan harganya pun semakin mahal.
Pulau Wilayah PLTA PLTD PLTG PLTGU PLTM PLTP PLTU Jumlah
Sumatera Babel - 66.5 - - - - - 66.5
Kitlur 394.9 223.6 234.8 - - - 485.0 1,338.4
Sumbagsel
Kitlur 131.0 94.9 166.5 806.6 7.5 - 260.0 1,466.5
Sumbagut
Lampung - 23.6 - - - - - 23.6
NAD - 120.5 - - 2.2 - - 122.7
Riau - 177.4 - - - - - 177.4
S2JB - 65.1 - - 1.8 - - 66.9
Sumbar - 41.9 - - 0.6 - - 42.6
Sumut - 0.4 - - - - - 0.4
Kalimantan Kalbar - 194.3 34.0 - - - - 228.3
Kalsengteng 30.0 259.3 21.0 - - - - 440.3
Kaltim - 200.6 - 60.7 0.2 - - 261.5
Sulawesi Sulsera 126.0 187.2 125.9 - 3.2 - 25.0 467.3
Suluttenggo 45.9 252.2 - - 9.3 20.0 - 327.5
Maluku Maluku - 141.8 - - - - - 141.8
NTT NTT - 105.3 - - 1.1 - - 106.4
NTB NTB - 162.7 - - 1.1 - - 163.8
Jumlah 727.8 2,445.1 582.2 867.3 30.4 20.0 900.0 5,572.7
Sumber : PT. PLN, 2004
Sampai akhir tahun 2002 gambaran pemanfaatan energi primer untuk pembangkit listrik
di Indonesia berdasarkan RUKN Tahun 2004 yang diterbitkan oleh DJLPE disajikan
pada Tabel 2.34. Pemanfaatan energi primer untuk pembangkit listrik secara umum
terlihat relatif masih kecil dibandingkan potensi energinya kecuali minyak bumi.
Sementara itu pemanfaatan potensi air untuk pembangkit skala besar dibandingkan
potensi yang ada sebenarnya masih relatif kecil yaitu hanya sebesar 5,55% (Tabel
2.35). Oleh karena itu masih terbuka luas peluang untuk mengembangkan pembangkit-
pembangkit listrik skala menengah dan kecil terutama yang sesuai dengan kondisi
wilayah Indonesia. Selain itu dimungkinkan pula diversifikasi energi melalui
pengembangan pembangkit listrik dengan memanfaatkan energi terbarukan sehingga
meningkatkan jaminan pasokan listrik terutama di daerah pada sistem Luar Jamali dan
daerah yang belum terinterkoneksi (off-grid). Pemanfaatan energi terbarukan untuk
pembangkit listrik saat ini relatif masih kecil dan persentase paling besar yang
termanfaatkan adalah potensi mini/mikro hidro (28,93%).
Persentase
Kapasitas
Jenis Energi Potensi Pemanfaatan
Terpasang
(%)
Hidro 75.67 GW 4200 MW 5,55
Geothermal 27 GW 802 MW 2,97
Mini/mikro hidro 712 MW 206 MW 28,93
Biomass 49.81 GW 302.4 MW 0,61
Surya 4.8
5 MW -
kWh/m2/hari
Angin 3 – 6 m/dt 0.5 MW -
Sumber : DJLPE dengan modifikasi, 2004
Dengan terbatasnya cadangan energi fosil yang ada saat ini, perlu dimulai pemanfaatan
energi alternatif secara bertahap dan berorientasi pasar menuju pola bauran energi
(energy mix) yang terpadu, optimal dan bijaksana. Upaya pemanfaatan energi alternatif
dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang semakin mahal
dan ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif dapat dipergunakan gas bumi,
batubara, dan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga nuklir, tenaga
surya, tenaga angin, fuel cell (sel bahan bakar) dan biomasa. Sejalan dengan
terkurasnya energi fosil, maka impor minyak mentah juga meningkat setiap tahunnya.
Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah mengalami kenaikan rata-rata 10,46
persen per tahun. Hingga saat ini Indonesia mengimpor minyak mentah untuk
kebutuhan dalam negeri dan optimalisasi kilang dari Arab Saudi (Arab Light Crude),
Iran, Australia dan Malaysia. Selain itu impor produk BBM juga masih tinggi. Dalam
perencanaan jangka menengah kebijakan yang perlu diambil meliputi masalah ekspor
dan impor minyak mentah serta produk minyak lainnya (Tabel 2.37).
Tabel 2.37. Ekspor Impor Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Juta US$)
Sebagai negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah, Indonesia memiliki potensi
sumber energi yang cukup banyak dan beragam namun produksi bagi pemanfaatannya
Potensi sumber energi dan produksi berdasarkan data tahun 2003 dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Minyak Bumi. Potensi minyak bumi sebesar 8,82 miliar barel (cadangan terbukti
4,73 miliar barel dan potensi 4,09 miliar barel) yang penyebarannya terkonsentrasi
di daerah Sumatera bagian tengah (Riau) dan Kalimantan Timur. Namun demikian
produksi minyak bumi diperkirakan akan menurun, hanya sekitar 500 juta barel per
tahun akibat dari makin tuanya sumur-sumur yang ada dan kuota untuk ekspor yang
diterapkan oleh OPEC.
2. Gas Alam. Potensi gas alam tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Papua
sebesar 178,13 triliun kaki kubik (trillion cubic feet = TCF) terdiri dari 91,17 TCF
cadangan terbukti dan 86,69 TCF cadangan potensi (probable reserve).
Dibandingkan dengan Negara Asean lainnya, Indonesia mempunyai cadangan gas
alam terbesar (Ilustrasi 2.25). Namun produksinya baru mencapai 3 TCF per tahun
yang sebagian besar untuk ekspor.
Pangsa
Struktur Industri Pelaku Produk/kapasitas/unit Keterangan
%
Produksi Hilir
Penyimpanan
LPG Pertamina 6 depot LPG 100
Perdagangan Pertamina 8 unit pemasaran (UPMS) Agen, stasiun
PGN 8 cabang, 1 cabang pembantu, 1 pengisian, pabrik
perusahaan transmisi tabung, sebagian
Pelaku lain: besar milik swasta,
Agen LPG 423 unit koperasi, dan
Pabrik Tabung LPG 5 yayasan
SPBG 28
SPBE 18
44
Sumber: Bappenas, 2005
Indonesia memiliki jaringan transmisi gas bumi sekitar 1.300 km dan jaringan
distribusi gas bumi sekitar 2.600 km. Jaringan transmisi tersebut dibangun oleh
BUMN (PT Pertamina dan PT PGN), sedangkan seluruh distribusi gas bumi
dibangun oleh PT PGN. Pembangunan seluruh jaringan transmisi dan distribusi gas
bumi tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan project finance, dan dilakukan
langsung oleh BUMN terkait. Hingga saat ini semua proyek pembangunan jaringan
gas bumi tersebut berjalan sehat, dalam artian dapat mengembalikan (dan
melunasi) semua beban pinjaman yang dilakukan dalam rangka pembangunan
proyek. Dibandingkan dengan kebutuhan penyaluran gas bumi di dalam negeri,
maka infrastruktur hilir gas bumi yang telah terbangun tersebut adalah sangat kecil.
Indonesia juga memiliki infrastruktur hilir untuk mengolah dan mentransport gas
bumi menjadi LNG dengan kapasitas yang terbesar di dunia (LNG Bontang dan
LNG Arun). Namun, seluruh infrastruktur tersebut digunakan hanya untuk melayani
ekspor. Adapun alur pipa gas dapat digambarkan pada Ilustrasi 2.42 dan Tabel
2.40.
Kuala
Trunklin
re Gas
Bint
Port
Lumpur ulu
e
& Export
Terminal
KALIMANTA Samar Sorong
U
Tun
ka
Pada
M
N inda
Balikpapan Beka
u
ng
A
pai
Jamb
T
SULAWESI
R
i
A
Ujung
Pandan
Ardjuna
g
Fields
Jaka Cireb Semar
on
MADU
Bangk
I N D O N E S I A
ang RA Pagerunga
rta JAV Surab alan n
Existing Gas Pipelines A aya BALI SUMBA FLORES
WA
LOMBO
Planned Gas Pipeline Indian Ocean K TIMOR
SUMBA Source : BP MIGAS
Gathering Line
1. Offshore-L. Seumawe 30 109 1,000 Aceh LNG Plant
Onshore- LNG Plant/
2. L. Seumawe/Arun 16 - 42 30 - 34 200 - 2,000 Aceh Industry
3. Badak-Bontang 42 57 2,000 Kalimantan LNG Plant
4. Field-Badak-Bontang 20 - 36 10 - 70 300 - 1,500 Kalimantan Gas processing
5. Offshore-W. Java 16 - 26 20 - 70 200 - 600 West Java Proc. Platform
6. Grissik Fields 16 - 26 13 - 50 200 - 600 S. Sumatra To Sales Line
Sales Line
Offshore - T. Priok/
7. Muara Karang 16 - 26 10 - 55 200 - 600 N. Java Power Plant
8. Cilamaya-Cilegon 24 220 500 W. Java Industries
Power Plant/
9. Pagerungan-Gresik 24 - 28 3 - 370 500 - 700 E. Java Industry
Power Plant/
10. Prabumulih-Palembang 20 - 28 15 - 50 300 - 500 S. Sumatra Industry
Duri Steam
11. Grissik-Duri 28 550 700 Sumatra Flood
Export/Power
12. Natuna-Singapore 16 – 28 10 - 470 200 - 700 S.China Sea Plant
13. Grissik-Sakernan 28 135 700 C. Sumatra Transmission
Sakernan-Batam- Riau Export/Power
14. Singapore 28 335 700 Sumatra Plant
Sumber: Bappenas, 2005
3. Tenaga Air. Potensi tenaga air dengan besaran kurang lebih 75 ribu MW namun
produksinya baru mencapai 4.200 MW karena berbagai kendala antara lain
beragamnya kapasitas, tingginya investasi yang cukup tinggi, serta persoalan
sosial dan dampak lingkungan.
4. Batubara. Potensi batubara sebesar 50 miliar ton, dengan daerah penghasil
terbesar adalah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dengan total potensi
masing-masing sebesar 12,9 miliar ton (sekitar 56,44 miliar SBM) dan 13,8 miliar
ton (sekitar 60,38 miliar SBM). Dari jumlah tersebut, tingkat produksi tidak melebihi
100 juta ton per tahun, namun sebagian besar masih diperlukan untuk komoditi
ekspor. Dengan potensi yang cukup besar tersebut dan dengan adanya dampak
kenaikan harga BBM, maka saat ini sedang dilakukan pengembangan bahan bakar
alternatif yang berasal dari batubara. Bahan bakar ini diharapkan dapat mengurangi
konsumsi BBM melalui pemanfaatan batubara ini. Oleh karena itu, perlu
pengembangan dan penelitian lebih lanjut agar batubara ini dapat dijadikan bahan
bakar yang ramah lingkungan dan dapat dikonsumsi oleh rumah tangga. Adapun
5. Energi Panas Bumi. Potensi energi panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia
merupakan potensi terbesar di dunia (Tabel 2.41) dan terdapat di sepanjang pulau
Sumatera, Jawa-Bali, NTT, NTB, kepulauan Banda, Halmahera, dan Pulau
Sulawesi. Namun tingkat produksi hanya mencapai 807 MW. Hal ini menunjukkan
energi panas bumi mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat sifatnya
yang dapat diperbarukan, kapasitas unitnya berkisar antara skala kecil dan
menengah, dan dapat memicu berkembangnya industri hilir.
Sumber
Provinsi Cadangan Total
Daya
Sumatera 7,983.0 5,837.0 13,820.0
Jawa 3,953.5 5,300.0 9,253.5
Bali Nusa Tenggara 602.0 885.0 1,487.0
Sulawesi 1,050.0 896.0 1,946.0
Maluku dan Irian 442.0 142.0 584.0
Kalimantan 50.0 - 50.0
Total 14,080.5 13,060.0 27,140.5
Sumber: Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2004
Adapun produksi bahan bakar minyak yang siap dikonsumsi atau dipergunakan di
Indonesia jumlahnya relatif stabil. Berdasarkan Ilustrasi 2.44 dan 2.45 diperlihatkan
bahwa solar menjadi produk BBM yang dapat dihasilkan yang selanjutnya diikuti oleh
Premium dan Minyak Tanah. Demikian pula dengan produksi BBM Khusus seperti
avigas, avtur, super TT, permix 94, dan bensin B2L. Bahan bakar avtur digunakan
sebagai bahan bakar pesawat terbang dan bahan bakar ini merupakan BBM khusus
dengan jumlah produksi yang lebih banyak dibandingkan yang lainnya.
Ilustrasi 2.44. Produksi Bahan Bakar Minyak Ilustrasi 2.45. Produksi Bahan Bakar Khusus
10000
100000
90000 9000
80000 8000
70000 7000
60000 6000
juta
juta barrel 50000 5000
barrel 4000
40000
30000 3000
20000 2000
10000 1000
0 0
Premium M. Solar M. M. Avigas Avtur Super Premix Bensin
Tanah Diesel Bakar TT 94 B2L
2001 2002 2001 2002
2002
2001
2000
1995
1994