Anda di halaman 1dari 8

Medical Review 2, by Hatmoko … 0

Medical Review 2
by Hatmoko
Read edition
Last update 2006
Palaran - Samarinda
Medical Review 2, by Hatmoko … 1

Synonims:
pulmonary heart disease, cardiopulmonary disease,

Menurut WHO ( 1963 ),


Definisi Cor Pulmonale adalah:
Keadaan patologis dengan ditemukannya hipertrofi ventrikel
kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur
paru.
Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada
jantung kiri dan penyakit jantung konginetal ( bawaan ).

Menurut Braunwahl ( 1980 ),


Cor Pulmonale adalah:
Keadaan patologis akibat hipertrofi / dilatasi ventrikel kanan yang
disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain:
penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan
fungsi paru karena kelainan thoraks.
Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan
kelaianan vebtrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan,
penyakit jantung iskemik dan infark miokard akut.

Penyebab
Sebagian besar insidens Cor Pulmonale karena Penyakit Paru
Obstruksi Menahun (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
sebagai akibat proses kronik dari Asma bronkial, Empisema
paru.

PATOGENESIS TERJADINYA PPOM:

• Rangsangan Kimia
• Predisposisi Bawaan
• Faktor Infeksi
• Faktor Lingkungan dan Iklim
• Faktor Sosial-Ekonomi
• Kelainan Thoraks
• Kelainan Kontrol Pernafasan
Medical Review 2, by Hatmoko … 2

Frekuensi
Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Cor Pulmonale
---------------------------------------------
Tuberkulosis
Harasawa 10,7 %
Moerdowo 47,3 %
Bronkiektasis
Adam 25,7 %
Padmawati 20,6 %
Bronkitis kronis
Fisher 40,0 %
Padmawati 64,7 %
Emfisema paru
Harasawa 82,1 %
Moerdowo 90,2 %
---------------------------------------------

INSIDENS DAN PREVALENSI


Insidens dan Prevalensi Rate tidak sama di tiap daerah.
Tabel di bawah menunjukkan beragamnya Insidens Rate dan
Prevalensi Rate di setiap daerah.

Tabel: Insidens Rate Cor Pulmonale


------------------------------------------------------------------------------------
Peneliti Daerah Insidens
------------------------------------------------------------------------------------
Padmawati (1959) India 16,6 %
Moerdowo (1971) Denpasar 5,0 %
Awaloei (1975) Manado 4,3 %
Alkatiri (1978) Ujungpandang 6,7 %
------------------------------------------------------------------------------------

Catatan:
Angka Kesakitan di atas nampaknya merupakan perbandingan
Cor Pulmonale dengan jumlah pasien di Rumah Sakit tempat
diadakannya penelitian (pen), denngan kata lain denominator
nya bukan jumlah penduduk, bahkan tidak ada keterangan yang
jelas variabel pembandingnya.
Adapun dari segi jenis kelamin, rata-rata menujukkan bahwa pria
lebih banyak dari wanita, kecuali di India ( 1,2:2 ) dan RS
Elisabeth Semarang ( 1:1 ).
Sedangkan dari golongan umur, rata-rata Cor Pulmonale diderita
pada usia di atas 50 tahun, dengan peak insidens antara umur
50-60 tahun.
Medical Review 2, by Hatmoko … 3

Patofisiologi
Terjadinya penyakit ini diawali dengan kelainan struktural di
paru, yakni kelainan di parenkim paru yang bersifat menahun
kemudian berlanjut pada kelainan jantung.
Perjalanan dari kelainan fungsi paru menuju kelainan fungsi
jantung, secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:
• Hipoventilasi alveoli
• Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
• Terjadinya shunt dalam paru
• Peningkatan tekanan arteri pulmonal
• Kelainan jantung kanan
• Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard

GEJALA KLINIS
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Cor Pulmonale dibagi
menjadi 5 fase, yakni:

Fase: 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal penyakit paru obstruktif menahun
(ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahunbiasanya didapatkan adanya
kebiasaan banyak merokok.
Fase: 2
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya
ventilasi paru. Gejalanya antara lain: batuk lama berdahak
(terutama bronkiektasis), sesak napas / mengi, sesak napas
ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara.
Sedangkan sianosis masih belum nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara
napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronchi basah dan
kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantung
lebih redup.
Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya
bronchovascular pattern, letak diafragma rendah dan mendatar,
posisi jantung vertikal.

Fase: 3
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Medical Review 2, by Hatmoko … 4

Fase: 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung
kadang somnolens. Pada keadaan yang berat dapat terjadi
koma dan kehilangan kesadaran.

Fase: 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri
pulmonal meningkat.
Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel
kanan masih dapat kompensasi.
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi
gagal jantung kanan.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis,
hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites.

Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan Radiologi
2. Pemeriksaan EKG

Penatalaksanaan
1. Konseling ( penyuluhan ).
2. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap
obstruksi kronis.
3. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung
kongestif.

Konseling
Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis
polusi udara dan berhenti merokok. Memperbaiki ventilasi
ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan dengan
bimbingan ahli fisioterapi.

Memperbaiki Fungsi Paru


Selain upaya latihan pernafasan di atas, diperlakukan pemberian
medikamentosa.
a. Bronkodilator
Aminofilin:
Menghilangkan spasme saluran pernafasan
Beta 2 adrenergik selektif ( Terbutalin atau Salbutamol ).
Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat
menambah aliran darah paru. Dosis obat diatas dapat dilihat
di buku Farmakoterapi.
Medical Review 2, by Hatmoko … 5

Catatan: menurut penulis, setiap pemberian bronkodilator


hendaknya mempertimbangkan efek sampingnya yaitu
berdebar, gemetar dan lemas. Harap diingat, walaupun
dikatakan “ selektif “ tetapi pada sebagian penderita bisa
mengalami gejala ikutan karena adanya kemiripan sifat otot
polos bronkus dan jantung. Penjelasan kepada penderita
mutlak diperlukan agar penderita tidak kaget ketika
mengalami efek samping obat dan dapat mengurangi
dosisnya sesuai anjuran. Hal ini seringkali luput dari
perhatian para dokter.

b. Mukolitik dan ekspektoran


Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah
ikatan rantai kimianya, sedangkan ekspektoran untuk
mengeluarkan dahak dari paru.

c. Antibiotika
Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan
parenkim paru disebabkan oleh mikro-organisme,
diantaranya: Hemophylus influenzae dan Pneumococcus.
Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri
Gram negatif seperti: Klebsiella. Idealnya, pemberian
antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur dahak. Sambil
menunggu hasil kultur, bisa diberikan antibiotika spektrum
luas dalam 2 hari pertama.
Hemophylus influenzae, peka terhadap ampisilin,
sefalospurin, kotrimoksazol.
Pneumococcus, peka terhadap golongan penisilin.
Staphylococcus, peka terhadap metisilin, kloksasilin,
flukoksasilin, dan eritromisin.
Klebsiella, peka terhadap gentamisin, streptomisin dan
polimiksin.
Selengkapnya dapat dilihat panduan singkat antibiotika, 2004
oleh penulis ( dalam bentuk help file ), atau antibiotic
guidelines.

Oksigenasi

Peningkatan PaCO2 ( tekanan karbondiosida arterial ) dan


asidosis pada penderita PPOM disebabkan tidak sempurnanya
pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia.
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui
masker venturi. Dapat pula diberikan oksigen secara intermitten
dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter permenit.
Medical Review 2, by Hatmoko … 6

Perhatian:

Jangan memberikan oksigen dengan kadar 100 %, karena dapat


menghilangkan rangsangan kemoreseptor perifer yang berakibat
terjadinya hipoventilasi sehingga penderita tak sadarkan diri.

Pengobatan
pada GAGAL JANTUNG KANAN
Diuretika
Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid
diharapkan dapat mengurangi kongesti edema dengan cara
mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah.
Sehingga pertukaran udara dalam paru dapat diperbaiki, dan
hipoksia maupun beban jantung kanan dapat dikurangi.

Perhatian:
Pemberian diuretik dapat menyebabkan hilangnya kalium dan
natrium sehingga beresiko timbulnya hipokalemik alkalosis
metabolik yang justru mengurangi rangsangan terhadap pusat
pernafasan. Selain itu Hipokalemik juga beresiko terjadinya
intoksikasi pada penderita yang mendapatkan digitalis, dan juga
dapat menimbulkan disritmia (gangguan irama jantung).
Karenanya, pada pemberian diuretik terutama furosemid,
penderita juga diberikan preparat kalium, seperti aspar-K.

Digitalis
Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu
diberikan kepada penderita dengan Gagal Jantung kanan berat.

Perhatian:
Pemberian digitalis penderita Cor Pulmonale harus hati-hati
karena mudah terjadi intoksikasi digitalis. Lebih-lebih pada usia
lanjut, toleransi terhadap digitalis menurun sehingga lebih
mudah terjadinya intoksikasi. Demikian pula kondisi hipoksemia
akan meningkatkan kepekaan terhadap digitalis yang berujung
pada terjadinya intoksikasi.
Medical Review 2, by Hatmoko … 7

Pengelolaan Hipoksemia menurut Sykes ( 1976 ):

1. Pemberian Antibiotika, diuretik, mukolitik dan obat


bronkodilator sebagai tindakan dasar penyakit paru obstruktif
menahun.
2. pada hipoksemia berat, perlu diberikan oksigenasi terkontrol
dan menjaga agar tidak terjadi CO2 narkosis.
3. Stimulan pernafasan ( seperti doksapram ) perlu diberikan
pada penderita yang mengalami CO2 narkosis.
4. bila semua usaha di atas gagal, maka dilakukan pernafasan
buatan dengan intubasi endotrakeal atau bila perlu
trakeotomi dan pemasangan ventilator mekanik.

Prognosis
Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek dikarenakan kerusakan
parenkim paru yang berlangsung lama dan irreversile.
Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi
penyakit sudah dalam fase lanjut.
Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidup
berkisar antara 18 bulan ( Flint) sampai 30, 8 bulan dengan
angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 % (Stuart Harris
dan Ude)

Kesimpulan:
Angka kematian Cor Pulmonale masih tinggi. Tindakan yang
dapat dilakukan adalah dengan menanggulangi PPOM yang
menjadi dasar etio-patogenesis Cor Pulmonale.

Upaya Pencegahan.
Penderita dianjurkan berhenti merokok dan menghindarkan diri
dari polusi udara, terutama di daerah tambang dan industri.
Tak kalah penting adalah memperbaiki lingkungan tempat
tinggal, dan bagi penderita tidak mampu sedapat mungkin
menghindari dan mengobati penyakit infeksi saluran nafas
secara dini.

Referensi:
1. Moerdowo,R.M, Prof. dr, Kor Pulmonal Kronik, FK-Unud, RS. Sanglah, Denpasar
Bali, 2004.
2. Pramonohadi Prabowo, Gagal Jantung, Lab/UPF Ilmu Penyakit Jantung RSUD
dr. Soetomo Surabaya, 1994
3. National Heart, Lung, and Bethesda, COPD, U.S.Department of Health, 2003.
4. Nidal A Yunis, MD , Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical
Center of Boston; Department of Medicine, Brown University, 2004.

Anda mungkin juga menyukai