Anda di halaman 1dari 3

Reporter : robbi irfani maqoma 0906520396

Tema artikel : invisible heroes, mereka yang terpinggirkan.

Narasumber : ibu Lidwina Inge Nurtjahyo (dosen Antropologi, program hukum


masyarakat dan pembangunan)

Penjelasan umum :

dalam hal ini kami mengangkat persoalan karyawan office boy dan
cleaning service yang sering ‘dilupakan’, padahal pekerjaan mereka berkaitan
dengan hal sekitar kita. Dan melihat mereka dari segi kepahlawanan mereka
dalam pemeliharaan lingkungan fakultas yang cenderung lebih terlihat sisi
rendahnya pekerjaan tersebut, bukan dampak bagi kita dalam pekerjaan yang
mereka geluti.

Yang pertama, mengenai karyawan office boy dan cleaning service di fh.. apakah
penting bagi kita untuk menyoroti masalah ini?

Artikel yang saya ingin angkat dari artikel ini adalah segi kepahlawanan mereka,
dalam pemeliharaan lingkungan kampus, yang kurang dilihat atau bahkan
cenderung terpinggirkan,bagaimanakah tanggapan mbak untuk hal ini? dan
untuk itu apakah mereka masih dapat disebut pahlawan untuk hal ini?

Pahlawan itu konteksnya beragam dan tergantung pada perspektif siapa yang
melihatnya. Jika dikaitkan dengan pekerjaan mereka menjaga kebersihan
kampus yang begitu luas, jelas mereka adalah pahlawan yang tersembunyi
karena tanpa mereka kehidupan kampus pasti juga akan terganggu. Bagi
keluarganya mereka adalah pahlawan. Menarik bahwa ada beberapa teman
pernah melakukan penelitian tentang para pekerja kebersihan ini. Beberapa dari
pekerja ini ternyata berjalan kaki pulang pergi dari daerah yang cukup jauh dari
UI Depok semata-mata untuk memperoleh upah kerja hari itu untuk
memperpanjang hidup. Mereka sedapat mungkin menghindari naik kendaraan
umum – kecuali kereta jika hujan – untuk memastikan pendapatan mereka hari
itu utuh dibawa pulang ke rumah. Beberapa ibu bahkan membawa bekal kopi
dan singkong dari rumah agar dapat menghemat uang makan siangnya. Itu hasil
penelitian teman2 dari FISIP dulu. Entah sekarang apakah makan siang
disediakan atau tidak.

Dan selanjutnya, mbak...

Bagaimana tanggapan mbak, mengenai outsourcing yang memang diterapkan


untuk mengambil tenaga kerja dengan prosedur yang lebih mudah dan biaya
yang lebih murah dibanding pekerjaan mereka memelihara lingkungan kampus?

Pekerjaan pemeliharaan kebersihan menurut pengamatan saya, di Indonesia


masih berada pada lingkup domestik dan informal. Artinya, pekerjaan ini masih
dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa ketrampilan khusus,
nilainya juga masih dianggap rendah – sama halnya dengan pekerjaan dalam
rumah tangga: memasak – mencuci-bersih2. Akibatnya nilai ekonomis dari
pekerjaan cleaning service baik di dalam gedung maupun di lingkungan outdoor
masih dianggap kurang berharga, alias upahnya rendah. Di negara lain, sebut
saja AS dan Singapura (Ipang boleh browsing internet untuk sekedar
membandingkan) dan juga Belanda, pekerjaan perawatan lingkungan dan
kebersihan dibayar per jam dengan nilai yang lumayan. Belanda misalnya, di
sebuah kota kecil seperti Leiden, per jam untuk tugas bersih-bersih orang
dibayar sekitar 2-4 euro. Di Groningen, sebagai perbandingan, pekerja
kebersihan dibayar antara 2-5 euro per jam tergantung luas wilayah yang harus
ia jaga kebersihannya.

Mengenai masalah outsourcing tenaga kebersihan ini, mekanisme tersebut


terpaksa digunakan karena bidang pekerjaan ini tidak termasuk dalam bidang
pekerjaan yang diatur dalam ruang lingkup tata kerja UI sendiri maupun
keseluruhan institusi pendidikan. Jadi pengaturannya dilakukan di luar lingkup UI,
Ui membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga yang menyediakan
tenaga untuk menjaga kebersihan baik lingkup indoor maupun outdoor.

Apakah sesuai jika mereka diberi gaji yang lebih memadai karena tugas mereka
dalam menjaga dan memelihara kebersihan?

Ya saya setuju. Penting adanya perundingan ulang antara UI dengan perusahaan


outsourcing. Akan tetapi, perusahaan outsourcing sendiri harus beritikad baik,
menurut hemat saya dalam mempekerjakan karyawannya.

Dan sering diantara kita menganggap rendah mereka dari latar belakang
maupun pekerjaan ‘bersih – bersih’ dan ‘pesuruh’ yang mereka kerjakan,
bagaimanakah seharusnya kita menyikapi hal ini?

Sikap mengenai ‘kategorisasi pekerjaan’ sebetulnya dilatarbelakangi nilai-nilai


yang kita peroleh dari sosialisasi dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Individu yang dibesarkan dengan sosialisasi nilai bahwa semua pekerjaan
hakekatnya berharga, tentu memiliki pandangan berbeda dengan individu yang
dibesarkan dengan orientasi pada pekerjaan2 ‘white collar’ misalnya. Akan tetapi
ada ide menarik menurut saya terkait dengan masalah mengubah pandangan
kita terhadap bidang pekerjaan, mungkin sanksi bagi mahasiswa bisa diberikan
bukan dalam bentuk skorsing di masa depan, tetapi dalam bentuk hukuman
kerja sosial membantu menjaga kebersihan kampus.

Kira kira solusi apa yang bisa mbak berikan untuk kesesuaian antara
kesejahteraan mereka dengan pekerjaan yang mereka geluti?

Masalahnya tidak sederhana. Ada tiga pihak yang terlibat: UI sebagai insitusi,
perusahaan outsourcing, dan petugas kebersihan itu sendiri. UI, jika peduli, bisa
saja melakukan negosiasi ulang misalnya untuk peningkatan kesejahteraan
orang-orang ini, tetapi sebetulnya kan yang berkepentingan perusahaan
outsourcingnya. Kalau perusahaannya diam saja, ya repot. Ibaratnya kita
sebagai tetangga menegur tetangga yang lalai dalam memperhatikan
kesejahteraan anak2nya tetapi tetangga tersebut diam saja. Agak sulit bagi kita
untuk turun tangan. Saya cenderung untuk minta sebetulnya kepada mahasiswa
ataupun dosen, untuk membantu dengan cara lain: menjaga kebersihan kampus
bersama sehingga para petugas ini tidak terlalu kerepotan dalam menjalankan
tugasnya.

-end-

Terimakasih banyak atas keluangan waktunya mbak menjawab pertanyaan ,


kami sangat mengharap tanggapan, kritik dan saran yang membangun untuk hal
ini, dan kami memohon maaf jika ada kesalahan baik yang tersirat maupun
tersurat.

Ttd,

Robbi irfani maqoma

Anda mungkin juga menyukai