Anda di halaman 1dari 43

ANTIMIKROBA

1
TUBERKULOSTATIK
DAN
LEPROSTATIK

2
TUBERKULOSTATIK DAN
LEPROSTATIK …
• 1. Tuberkulostatik • Pengobatan Tuberkulosis
– Streptomisin
– Isoniazid • 2. Leprostatik
– Rifampisin • 2.1. Sulfon
– Etambutol • 2.2. Rifampisin
– Pirazinamid • 2.3. Klofazimin
– Asam paraamino • 2.4. Amitiozon
salisilat • 2.5. Obat-obat lain
– Sikloserin • 2.6. Kemoterapi lepra
– Kanamisin
– Kapreomisin
– Etionamid
3
TUBERKULOSTATIK DAN
LEPROSTATIK …
• Tuberkulosis dan lepra disebabkan oleh kuman tahan asam
yang sifatnya berbeda dg kuman lain. Resistensi dan efek
samping masih merupakan masalah utama dalam pengobatan
tuberkulosis. Paduan obat mana yg paling baik juga masih
diperdebatkan.
• Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan
persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi.
Faktor yang mempersulit pengobatan ialah:
1) kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria,
2) kurangnya daya bakterisid obat yang ada,
3) timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan
4) masalah efek samping obat.
• Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masaAlDS
yang berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian
tuberkulosis. 4
TUBERKULOSTATIK

• Obat tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok:


obat primer dan obat sekunder.
• Kelompok obat primer:
– isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan
pirazinamid,
– memperlihatkan efektivitas yg tinggi dg toksisitas yg dpt
diterima.
• Sebagian besar penderita dpt disembuhkan dg obat-obat ini.

• Kelompok obat sekunder:


– etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin,
kapreomisin, dan kanamisin.

5
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
• Streptomisin ialah antituberkulosis pertama yg secara klinik
dinilai efektif. Namun sbg obat tunggal, bukan obat yg ideal.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid thd
kuman tuberkulosis.
• Mikobakterium atipik fotokromatogen, skotokromatogen,
nonkromatogen dan spesies yg tumbuh cepat tdk peka thd
streptomisin.
• Adanya mikroorganisme yg hidup dlm abses atau kelenjar
limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa
bulan pengobatan, mendukung konsep bhw kerja streptomisin
in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman tuberkulosis.
6
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
RESISTENSI.
• Dalam populasi yg besar selalu terdpt kuman yg resisten thd
streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yg
terjadi secara kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in vitro
dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan bhw makin
lama terapi dg streptomisin berlangsung, makin meningkat
resistensinya. Pd beberapa penderita resistensi ini terjadi dlm
satu bulan. Setelah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak
sensitif lagi. Bila kavitas tdk menutup atau sputum tdk
menjadi steril dlm wkt 2-3 bulan, bakteri yg tertinggal telah
resisten dan pengobatan tdk efektif lagi. Penggunaan
streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat
terjadinya resistensi.
• Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat
juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua obat itu. 7
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
FARMAKOKINETIK.
• Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua
streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit
sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin
kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-
kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma,
terikat protein plasma. Streptomisin dieksresi melalui
filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis
streptomisin yang diberikan secara parenteral
diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam
pertama. Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam
waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang dewasa
normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang
pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi
pada penderita yang fungsi ginjalnya terganggu. 8
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
EFEK NONTERAPI.
• Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam minggu-
minggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksik
pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dlm dosis besar dan
jangka lama. Walaupun dmk beberapa penderita yg baru
mendpt dosis total 10-12 gram dpt mengalami gangguan tsb.
Dianjurkan utk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan
berkala pd mereka yg mendpt streptomisin. Seperti
aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nefrotoksik.
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya
pd kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat tdk
boleh diberikan pd kelompok usia tsb. Efek samping lain ialah
reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik, dan demam
obat. Belum ada data tentang efek teratogenik, tetapi pemberian
obat pada trimester pertama kehamilan tidak dianjurkan. Selain
itu dosis total tdk boleh melebihi 20 gram dlm 5 bulan terakhir
kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi. 9
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
• Isoniazid atau isonikotinil hidrazid, disingkat dg INH, hanya
satu derivatnya yg diketahui menghambat pembelahan kuman
tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi terlalu toksik utk manusia.
EFEK ANTIBAKTERI.
• Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan
tuberkulosid dengan KHM sekitar 0,025-0,05 /ml.
• Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum
dihambat sama sekali.
• Mikroorganisme yg sedang "istirahat" mulai lagi dg
pembelahan biasa bila kontaknya dg obat dihentikan. Di antara
mikobakteria atipik biasanya hanya M. kansasii yg peka thd
isoniazid, tetapi sensitivitasnya harus selalu diuji secara in vitro
karena kuman ini memerlukan kadar hambat yg lebih tinggi.
• Pada uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat
dibandingkan streptomisin.
• Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. 10
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
MEKANISME KERJA.
• Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada
beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada
lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis.
• Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat
biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur
penting dinding sel mikobakterium.
• Isoniazid kdr rendah mencegah perpanjangan rantai as. lemak
yg sangat panjang yg merupakan btk awal molekul as. mikolat.
• Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jml
lemak yg terekstraksi oleh metanol dr mikobakterium.
• Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dlm selnya, dan
ambilan ini merupakan proses aktif.

11
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
RESISTENSI.
• Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme
terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat
mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat.
• Pengobatan dg INH ini juga dapat menyebabkan timbulnya
strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi
resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah
pengobatan dimulai.
• Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda
pada kasus yang berlainan.

12
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
FARMAKOKINETIK.
• Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1 -2 jam setelah
pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi,
dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh
faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat
dalam plasma dan masa paruhnya.
• Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan
tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan
pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-
kira 20% kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah
mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih
tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang
terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yg
terinfeksi dlm jml yg lbh dr cukup sbg bakteriostatik.
• Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu
24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. 13
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
EPEK NONTERAPI.
• Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai
kelainan kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan
urtikaria. Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti
agranulositosis, trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang
berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat terjadi selama
pengobatan, tetapi menghilang bila pemberian obat dihentikan.
Gejala artritis seperti sakit sendi juga dapat terjadi.
• Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 6
mg/kg BB/hari. Bila penderita tidak diberi piridoksin
frekuensinya mendekati 2%.
• Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien
dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan atropi dapat juga
terjadi.

14
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
STATUS DALAM PENGOBATAN.
• Isoniazid masih tetap merupakan obat yg sangat penting utk
mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek nonterapi dpt dicegah
dg pemberian piridoksin dan pengawasan yg cermat pd
penderita. Utk tujuan terapi, obat ini hrs digunakan bersama
obat lain; untuk tujuan pencegahan dpt diberikan tunggal.
SEDIAAN DAN POSOLOGI.
• Isoniazid terdpt dlm btk tablet 50, 100, 300 dan 400 mg serta
sirup 10 mg/ml. Dlm tablet kadang-kadang ditambahkan
vitamin B6. Isoniazid biasanya diberikan dlm dosis tunggal per
oral tiap hr. Dosis umumnya 5 mg/kg BB, maks. 300 mg/hari.
Utk tuberkulosis berat dpt diberikan 10 mg/kg BB, maksimum
600 mg/hari, tetapi tdk ada bukti bhw dosis dmk besar ini lbh
efektif. Anak di bawah 4 th dosisnya 10 mg/kg BB/hari.
Isoniazid juga dpt diberikan secara intermiten 2 kali seminggu
dg dosis 15 mg/kg BB/hari. Piridoksin harus diberikan dg dosis
10 mg/hari. 15
TUBERKULOSTATIK
RIFAMPISIN
• Rifampisin adl derivat semisintetik rifamisin B yaitu salah satu
anggota ketompok antibiotik makrosiklik yg disbt rifamisin.
• Kelompok ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei.
• Obat ini merupakan ion zwitter, larut dlm pelarut organik dan
air yg pH nya asam.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-
positif dan gram-negatif. Thd kuman gram-negatif kerjanya lbh
lemah dp tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan kolistin.
• Dpt menghhambat pertumbuhan beberapa jenis virus.
• In vitro, rifampisin dalam kadar 0,005-0,2 g/ml dpt
menghambat pertumbuhan M. tuberkulosis.
• In vivo, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid thd M. tuberculosis, tetapi tdk bersifat aditif thd
etambutol. 16
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
Mekanisme kerja
• Rifampisin terutama aktif thd sel yg sedang
bertumbuh.
• Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA
polymerase dr mikobakteria dan mikroorganisme lain
dg menekan mula terbtknya (bukan pemanjangan)
rantai dlm sintesis RNA.
• Inti RNA Polymerase dr berbagai sel eukariotik tdk
mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tdk
dipengaruhi.
• Rifampisin dpt menghambat sintesis RNA
mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yg lbh
tinggi dp kdr utk penghambatan pd kuman.
17
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
FARMAKOKINETIK.
• Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kdr puncak dlm
plasma setelah 2-4 jam; dosis tunggal sebesar 600 mg
menghasilkan kdr sekitar 7 g/ml. Asam para-amino salisilat dpt
memperlambat absorpsi rifampisin, shg kadar terapi rifampisin
dlm plasma tdk tercapai. Bila rifampisin harus digunakan
bersama asam para amino salisilat, maka pemberian kedua
sediaan harus berjarak waktu 8-12 jam.
• Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi
melalui empedu dan kmd mengalami sirkulasi enterohepatik.
• Obat ini cepat mengalami deasetilasi, shg dlm waktu 6 jam
hampir semua obat yg berada dlm empedu berbtk deasetil
rifampisin, yg mempunyai aktivitas antibakteri penuh.
• Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, shg walaupun
bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pd
pemberian berulang.
• Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh. 18
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
INTERAKSI OBAT.
• Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi
rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup.
Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup
kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid,
dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila
diberikan bersama rifampisin.
• Mungkin dapat terjadi kehamilan pada pemberian bersama
kontrasepsi oral, Rifampisin mungkin juga menganggu
metabolisme vitamin D sehingga dapat menimbulkan kelainan
tulang berupa osteomalasia.

STATUS DALAM PENGOBATAN.


• Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk
pengobatan tuberkulosis dan sering digunakan bersama
isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. 19
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii
sensitif thd etambutol. Etambutol tidak efektif untuk
kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan
kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat
sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif
terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat
tuberkulostatik.
• Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid.
In vivo, sukar menciptakan resistensi thd etambutol
dan timbulnya pun lambat, tetapi resistensi ini timbul
bila etambutol digunakan tungggal.
20
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL …
FARMAKOKINETIK.
• Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dlm plasma dicapai dlm wkt 2-4
jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB
menghasilkan kdr dlm plasma sekitar 5 mg/ml pd 2-4 jam.
• Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam
eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit
dapat berperan sebagai depot etambutol yg kmd melepaskannya
sedikit demi sedikit ke dalam plasma.
• Dlm wkt 24 jam, 50% etambutol yg diberikan diekskresi dlm
btk asal melalui urin, 10% sbg metabolit, berupa derivat
aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal utk etambutol
kira-kira 8,6 ml/menit/kg menandakan bhw obat ini selain
mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli.
• Etambutol tdk dpt menembus sawar darah otak, tetapi pd
meningitis tuberkulosa dpt ditemukan kdr terapi dlm cairan
otak. 21
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL …
STATUS DALAM PENGOBATAN.
• Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis dan menggantikan tempat asam para amino
salisilat karena tidak menimbulkan efek samping yang
berbahaya serta dapat diterima dalam terapi.
• Manfaatnya yang utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah
mencegah timbulnya resistensi kuman thd antituberkulosis lain.

SEDIAAN DAN POSOLOGI.


• Di Indonesia etambutol tdp dlm btk tablet 250 mg dan 500 mg.
• Dosis biasanya 15 mg/kg BB, diberikan sekali sehari.
• Ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kg BB selama 60
hari pertama, kmd diturunkan menjadi 15 mg/kg BB.
• Pd penderita dg gangguan fungsi ginjal dosisnya perlu
disesuaikan karena etambutol terakumutasi dlm badan.
22
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID

• Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat


sintetiknya.
• Obat ini tidak larut dalam air.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam.
• In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit
dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/ml.

23
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID …

FARMAKOKINETIK.
• Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh
tubuh.
• Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/ml pada
dua jam setelah pemberian obat.
• Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam
pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi
asam hidropirazinoatyang merupakan metabolit utama.
• Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam.

24
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID …

STATUS DALAM PENGOBATAN.


• Pirazinamid beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat
sekunder yang digunakan bila ada resistensi atau kontraindikasi
terhadap obat primer.
• Sejak pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan
pengobatan jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah
menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada suasana asam dan
merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang
berada dalam set makrofag.
• Kini, bersama INH dan rifampisin, pirazinamid merupakan
obat yg penting utk diberikan pd awal pengobatan tuberkulosis.

25
TUBERKULOSTATIK
ASAM PARA AMINOSALISILAT
• Sebelum diternukan etambutol, para-amino salisilat (PAS) merupakan obat yang sering
dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• Obat ini bersifat bakteriostatik. In vitro sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif
thd PAS dg kadar 1 g/ml. Aktivitas antimikroba PAS sangat spesifik thd M.
tuberculosis saja.
MEKANISME KERJA.
• PAS mempunyai rumus molekul yang mirip dengan asam para aminobenzoat (PABA),
Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamid. Karena sulfonamid tidak efektif
terhadap M. tuberculosis dan PAS tidak efektif terhadap kuman yang sensitif terhadap
sulfonamid, maka ada kemungkinan bahwa enzim yang bertanggung jawab untuk
biosintesis folat pada berbagai macam mikroba bersifat spesifik.
RESISTENSI.
• Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibandingkan terhadap
streptomisin. Resistensi terhadap PAS juga terjadi pada penderita yang sedang dalam
pengobatan, walaupun terjadinya lebih lambat ketimbang streptomisin.
FARMAKOKINETIK.
• PAS mudah diserap melalui saluran cema. Obat ini mencapai kadar tinggi dalam
berbagai cairan tubuh kecuali dalam cairan otak. Masa paruh obat sekitar satu jam.
Delapan puluh person PAS diekskresi melalui ginjal, 50% di antaranya dalam bentuk
terasetilasi. Penderita dengan insufisiensi ginjal tidak dianjurkan menggunakan PAS
karena ekskresinya terganggu. 26
TUBERKULOSTATIK
SIKLOSERIN
• Sikloserin merpkan antibiotik yg dihasilkan oleh Streptomyces
orchidaceus, dan sekarang dapat dibuat secara sintetik.
KIMIA.
• Sikloserin berupa bubuk putih atau kekuningan, agak pahit, dan
higroskopis. Obat ini larut dalam air sampai 100 mg/ml pada
25°C, stabil dlm larutan alkalis, tetapi cepat dirusak dlm larutan
netral atau asam.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• In vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan M. tuberculosis
pada kadar 5-20 ug/ml melalui penghambatan sintesis dinding
sel. Jenis-jenis yang sudah resisten terhadap streptomisin, PAS,
INH, pirazinamid, dan viomisin mungkin masih sensitif thd
sikloserin.
• In vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin berbeda pada berbagai
spesies, tetapi efeknya paling nyata pada manusia.
27
TUBERKULOSTATIK
ASAM PARA AMINOSALISILAT …
FARMAKOKINETIK.
• Setelah pemberian oral absorpsinya baik: kadar puncak dalam
darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20
mg/kg BB diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 ng/ml
pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada orang
dewasa akan diperoleh kadar lebih dan 50 ug/ml.
• Distribus! dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh baik
sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi dengan baik. Karena
obat ini terkonsentrasi di urin, tidak diperlukan dosis besar
untuk mengobati tuberkulosis saluran kemih.
• Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian
obat dan 50% diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh
selama 12 jam pertama. Bila ada insufisiensi ginjal, terjadi
akumulasi obat dalam tubuh sehingga memperbesar
kemungkinan reaksi toksik.
28
TUBERKULOSTATIK
KANAMISIN
• Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat
bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba.
Efeknya pada M. tuberculosis hanyalah bersifat supresif.
FARMAKOKINETIK.
• Pada pemberian im obat ini diserap dengan cepat dan
sempurna. Kanamisin sukar masuk ke cairan otak, tetapi pada
peradangan kadarnya naik sampai 43% kadar dalam plasma.
Metabolismenya dapat diabalkan, ekskresinya melalui ginjal
kira- kira 90% dan dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasi
obat ini sekitar 2 jam.
STATUS DALAM PENGOBATAN.
• Obat ini pernah digunakan sebagai antituberkulosis sekunder,
tetapi karena ototoksisitasnya dan karena telah ada obat lain
yang lebih balk, kini telah ditinggalkan.

29
TUBERKULOSTATIK
KAPREOMISIN
• Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis polipeptida yang
dihasilkan juga oleh Streptomyces sp. Obat ini terutama
digunakan pada infeksi paru oleh M. tuberculosis yang resisten
terhadap antituberkulosis primer. Dibandingkan dengan
kanamisin, kapreomisin kurang toksik dan efek
bakteriostatiknya lebih besar. Efektivitasnya hampir sama
dengan streptomisin, dan karena tak ada resistensi silang
dengan streptomisin, obat ini dapat digunakan untuk kuman
yang telah resisten terhadap streptomisin.

STATUS DALAM PENGOBATAN.


• Kapreomisin hanya digunakan dalam kombinasi dengan
antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol dan
INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam terapi tuberkulosis
yang gagal diobati. Kapreomisin tidak tersedia di Indonesia.
30
TUBERKULOSTATIK
ETIONAMID
• Etionamid merupakan turunan tioisonikotinamid. Zat ini berwarna
kuning dan tidak larut dalam air.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
• In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M. tuberculosis
jenis human pada kadar 0,6-2,5 ng/ml. Basil yang sudah resisten
thd tuberkulostatik lain masih sensitif thd etionamid.
• FARMAKOKINETIK.
• Pada pemberian per oral etionamid mudah diabsorpsi. Kadar
puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12
jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke seluruh cairan dan
jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan terutama dalam
bentuk metabotitnya, hanya 1 % dalam bentuk aktif.
STATUS DALAM PENGOBATAN.
• Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang harus
dikombinasi dg antituberkulosis lain bila obat primer tdk efektif
lagi atau dikontraindikasikan. 31
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
• Tuberkulosis dapat menyerang beberapa organ tubuh, di
antaranya paru-paru, ginjal, tulang, dan usus. Pembahasan di
sini diarahkan terutama terhadap pengobatan tuberkulosis paru.
• Tujuan pengobatan tuberkulosis ialah memusnahkan basil
tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Idealnya
pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatif
baik pada uji hapusan dahak maupun biakan kuman, dan hasil
ini tetap negatif untuk selama-lamanya.
• pemilihan obat,
• resistensi,
• paduan terapi,
• paduan terapi tuberkulosis pada penderita defisiensi imun,
• efek samping,
• pengobatan pencegahan,
• terapi kortikosteroid pada tuberkulosis, dan
• penilaian hasil pengobatan. 32
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
• PEMILIHAN OBAT.
• Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu
• paling sedikit menggunakan dua obat, dan
• pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah
sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah
kambuh.
• Hanya basil yang sedang membelah yang dapat dibunuh oleh
antituberkulosis. Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob
obligat, karenanya frekuensi pembelahan dan aktivitas
metabolismenya bervariasi tergantung kadar oksigen di
tempat hidupnya. Selain itu, basil ini juga dipengaruhi oleh pH
hngkungan sekitarnya.

33
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
• Ada hipotesis yang menyatakan bahwa kuman tuberkulosis
yang berkembang dalam lesi dapat dibedakan atas 3 kelompok
berdasarkan tempat basil berada.
• Pertama, basil yang berada dalam kavitas (lesi rongga) dan
aktif membelah karena tekanan oksigen dalam kavitas ini tinggi
dan suasananya netral atau agak basa.
• Kedua, basil yang berada dalam lesi berkiju tertutup dan
membelah secara lambat atau intermiten (berselang) karena
tekanan oksigen di sini rendah dan suasananya netral.
• Kelompok ketiga adalah basil yang berada dalam sel makrofag
yang suasananya asam. Basil di sini relatif lambat membelah.
Kemudian ada bukti bahwa efektivitas antituberkulosis berbeda
tergantung dari kecepatan pembelahan populasi basil dan pH
lingkungannya. Inilah yang mendasari pengobatan tuberkulosis
dalam dua puluh tahun terakhir ini
34
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
• Pengobatan tuberkulosis paru-paru hampir selalu menggunakan
tiga obat INH, rifampisin, dan pirazinamid pada dua bulan
pertama selama tidak ada resistensi terhadap satu atau lebih
antituberkulosis primer ini.
• Isoniazid dan rifampisin adalah dua obat yang sangat kuat dan
bersifat bakterisid untuk basil ekstrasel, intrasel (dalam
makrofag), dan basil dalam jaringan yang berkiju. tetapi,
rifampisin dan pirazinamid lebih aktif pada basil dalam sel
(makrofag) dan dalam jaringan berkiju daripada isoniazid (lihat
tabel).

35
LEPROSTATIK
• Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan niernerlukan
perhatian yang serius. Dalam bab ini akan dibahas antilepra
golongan sulfon, rifampisin, klofazimin, amitiozon dan obat-
obat lain, serta masalah pengobalan lepra.
1. SULFON
• Golongan sulfon merupakan derivat 4.4' diamino difenil sulfon
(DDS, dapson) yang memiliki sifat farmakologi yang sama.
Banyak senyawa yang telah dikembangkan, tetapi secara klinis
hanya dapson dan sulfokson yang bermanfaat.
AKTIVITAS IN VITRO DAN IN VIVO.
• Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat
diukur mengingat basil ini belum dapat dibiakkan dalam media
buatan. Terhadap basil tuberkulosis obat ini bersifat
bakteriostatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil pd
kadar 10 mg/ml. Penelitian pada hewan coba menunjukkan bhw
sulfon bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar 0.02 mg/ml.
Resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung. 36
LEPROSTATIK
2. RIFAMPISIN
• Farmakologi obat ini telah ditinjau sebagai antitlJberkulosis.
Pada hewan coba, antibiotik ini cepat mengadakan sterilisasi
kaki mencit yang diinfeksi dengan M. leprae dan tampaknya
mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu
menembus sel dan saraf, dalam pengobatan yang berlangsung
lama masih saja diternukan kuman hidup.
• Beberapa pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak
timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalam waktu 34 tahun.
Atas dasar inilah penggunaan rifampisin pada penyakit lepra
hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di
beberapa negara sedang dicoba penggunaan rifampisin
bersama dapson untuk M. leprae yang sensitif terhadap
dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau
etionamid untuk M. leprae yang resisten terhadap dapson.

37
LEPROSTATIK
3. KLOFAZIMIN
• Klofazimin merupakan turunan fenazin yang efektif terhadap
basil lepra. Kedudukan obat ini sekarang ialah sebagai
pengganti dalam kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra
sudah resisten terhadap dapson.
• Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepromatosis, tetapi
juga memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah
timbulnya eritema nodosum.
• Pada pemberian oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam
jaringan tubuh. Keadaan ini memungkinkan pemberian obat
secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau
lebih. Efek bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50 hari
terapi. Dosis klofazimin untuk segala bentuk lepra ialah 100 mg
sehari.

38
LEPROSTATIK
4. AMITIOZON
• Obat turunan tiosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra
jenis tuberkuloid dibandingkan terhadap jenis lepromatosis.
Resistensi dapat terjadi selama pengobatan sehingga pada tahun
kedua pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun ketiga
penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon dianjurkan
penggunaannya bila dapson tidak dapat diterima penderita.
• Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mual,
dan muntah. Anemia karena depresi sumsum tulang terlihat
pada sebagian besar pasien. Leukopenia dan agranulositosis
dapat terjadi, tetapi yang berat keadaannya terdapat pada 0,5%
pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis
tinggi. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat.
Kejadian ikterus cukup tinggi dan gejala ini menandakan obat
bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya rreversibel.
• Amitiozon mudah diserap melalui saluran cerna dan
ekskresinya melalui urin. 39
LEPROSTATIK
6. PENGOBATAN LEPRA
• Pengobatan lepra juga mengalami perubahan mengikuti
suksesnya pengobatan tuberkulosis dengan paduan terapi
jangka pendek.
• Di masa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal,
kini banyak diusahakan pengobatan minimal dengan dua obat,
dan rifampisin juga merupakan komponen yang penting.
• Untuk mengerti pengobatan lepra, perlu dipahami bentuk klinik
penyakit tersebut.
• Dikenal dua macam pembagian penyakit lepra menurut bentuk
kliniknya.

40
LEPROSTATIK
• KLASIFIKASI.
• Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe
indeterminate, tuberkuloid, borderline, dan lepromatosa,
sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe
yaitu tipe indeterminate (tipe 1), tuberkuloid (tipe TT),
borderline tuberculoid (tipe BT), borderline atau midborderline
(tipe BB), borderline lepromatosa (tipe BL), dan lepromatosa
(tipe LL). Lepra tipe indeterminate merupakan bentuk
permulaan penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam
bentuk makula hipopigmentasi. Sekitar 75% lesi ini sembuh
spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate
atau berkembang menjadi bentuk-bentuk tuberkuloid,
borderline untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa.

41
LEPROSTATIK
PEMILIHAN OBAT.
• Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe
penyakit lepra. Obat ini digunakan baik pada terapi obat
tunggal maupun kombinasi.
• Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru
digunakan obat lain. Klofazimin yang beberapa tahun lalu
hanya digunakan untuk menggantikan DDS, kini digunakan
bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan rifampisin
merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik
pada lepra tipe pausibasiler maupun multibasiler.
• Selain itu pada reaksi lepra juga digunakan kortikosteroid untuk
efek anti inflamasinya, juga digunakan klorokuin untuk efek
anti inflamasinya.
• Talidomid digunakan untuk reaksi eritema nodosum leprosum,
untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat.
42
Selanjtnya …

43

Anda mungkin juga menyukai