Anda di halaman 1dari 35

SEJARAH GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT (GPIB)

1948 -1990
oleh: Pdt. H. Ongirwalu, M.Th.

GPIB yang bertumbuh dan berkembang

Keputusan Sidang Sinode Am ke tiga GPI (1948) mengenai pembentukan


gereja yang keempat di wilayah GPI yang tidak terjangkau oleh GMIM, GPM
dan GMIT, diproses dalam jangka waktu yang singkat, yaitu 3 bulan lamanya,
dan pada tanggal 31 Oktober 1948 terwujudlah GPIB. Jumlah warga sekitar
10% dari jumlah anggota GPI tahun 1937 (720.000 warga GPI), sekalipun Pdt.
B.A.Supit dalam kotbah ibadah peresmian GPIB tanggal 31 Oktober 1948
menyebutkan bahwa warga GPIB berjumlah 200.000 orang Tahun 1970
diperkirakan oleh Persidangan Sinode X, warga GPIB 250.000 orang, tetapi
tahun 1990 berdasarkan hasil sensus yang dilaporkan ke Persidangan Sinode
XV, warga Jemaat tercatat 196.921 orang.

GPIB pada saat berdirinya segera diperhadapkan dengan berbagai masalah:

1. GPIB terbentuk dalam rangka GPI


Rapat besar GPI 1933 menetapkan berdirinya 3 (tiga) Gereja Bagian
Mandiri di lingkungan GPI yaitu di Minahasa (1934), Maluku (1935) dan Timor
(1947). Sedangkan sisa wilayah GPI di luar 3 Gereja tersebut diputuskan untuk
dilayani GPIB pada Sidang Sinode Am GPI di Bogor 30 Mei - 10 Juni 1948.
Organisasi dan pelayanan GPIB dipikirkan dan dilaksanakan dalam rangka GPI.
Konsep Tata Gereja Presbiterial Sinodal hasil Tim GPI yang diketuai Prof. Dr.
A. J. Rasker diterapkan menjadi Tata Gereja GPIB. Hal ini disebabkan GPI
dengan Gereja-gereja bagiannya memasuki babak baru. GPI muncul dengan
struktur yang baru dan 3 (tiga) Gereja bagian lainnya telah memiliki Tata Gereja
masing-masing. Dalam masa yang lama GPI berkepentingan untuk mengasuh
GPIB, baik kepemimpinan, harta milik maupun kegiatan-kegiatan oikoumenis
regional dan internasional.

2. Jemaat-jemaat yang dialihkan oleh GPI kepada GPIB terlantar


Jemaat-jemaat ini terbatas di kota-kota dengan pola parokial. Anggota-
anggotanya sangat menderita akibat Perang Dunia II dan revolusi bangsa
Indonesia. Di dalam Sidang Sinode Am ke tiga GPI (1948) telah dilaporkan,
bahwa selain tidak banyak tenaga yang tersedia karena pendeta-pendeta Belanda
1
ditawan selama perang, juga anggota-anggota Jemaat dicurigai bukan saja
sebagai kaki tangan Belanda, tetapi juga musuh Islam. Beberapa Jemaat kota
besar, karena pelayanan di dalam dua bahasa (Indonesia dan Belanda),
menghadapi persoalan dan ancaman perpecahan. Tugas dan panggilan Jemaat
dipahami sebagai tugas pemeliharaan iman warga dan belum menjawab
pergumulan sekitarnya.

3. Para pejabat yang dialihkan dari GPI ke GPIB belum dipersiapkan untuk
memimpin
Para pejabat yang dialihkan dari GPI ini belum siap untuk memimpin
GPIB. Mereka umumnya adalah tamatan STOVIL di Ambon, Tomohon dan
SoE. Latar belakang pendidikan dan kedaerahan yang berbeda telah membawa
masalah tersendiri dalam membangun kebersamaan di GPIB. Wilayah GPIB
berbeda dengan Maluku, Minahasa atau Timor. Di daerah-daerah itu GPI telah
membentuk STOVIL dan kemudian menempatkan Pendeta-pendeta Ketua yang
berperanan untuk membina wawasan bergereja, kolegialitas pejabat dan
organisasi, kepemimpinan serta administrasi gereja masing-masing. GPIB tidak
mengalami persiapan seperti itu. Tidak mengherankan bila kepemimpinan GPIB
pada 10 tahun pertama dijabat oleh tenaga-tenaga dari GMIM dan GPM (Pdt.
W. J. Rumambi dan Pdt. C. Ch. Kainama). Mereka adalah tamatan STT Jakarta
angkatan pertama dengan wawasan oikumenis berperanan memimpin GPI dan
GPIB.

4. Jemaat-jemaat GPIB tidak menyatu dengan lingkungan


Jemaat-jemaat GPI yang diserahkan kepada GPIB adalah jemaat-jemaat
yang asing dengan lingkungannya. Jemaat-jemaat ini tidak berakar di daerah
tersebut dan pelayanannya terbatas pada para pendatang orang-orang Belanda
dan orang-orang Minahasa, Ambon dan Timor yang berpindah-pindah karena
pekerjaan mereka sebagai pegawai dan tentara. Akibatnya pada tahun 1950-an,
beberapa gedung gereja tidak terpakai untuk pelayanan GPIB karena tidak ada
anggotanya. Gedung-gedung itu kemudian dialihkan kepada gereja-gereja
setempat (seperti di Sukabumi dan Cirebon atau Bukittinggi). Ada juga yang
karena tidak terawat dipakai oleh pemerintah atau masyarakat setempat.
Tantangan muncul pula ketika Gereja-gereja daerah dan suku dilembagakan
oleh badan-badan Zending yang melayani daerah itu.

5. Kesulitan di bidang keuangan dan pengelolaan harta milik

2
GPIB pada mulanya mengalami kesulitan mendasar dalam bidang
keuangan. GPIB harus menjelaskan kepada anggota-anggota Jemaatnya bahwa
para pendeta tidak lagi dibiayai oleh pemerintah.
GPIB harus menetapkan iuran anggota Jemaat, suatu hal yang sebelumnya tidak
pernah dilakukan. Juga harus membina Jemaat agar memberi bagi pelayanan
gereja. Begitu pula harus mengelola badan-badan diakonia yang diwariskan oleh
yayasan-yayasan yang dialihkan karena pengelolanya telah kembali ke Negeri
Belanda. Di satu pihak badan-badan diakonia itu secara resmi menjadi milik
GPIB tetapi telah dikelola secara pribadi oleh warga Jemaat GPIB atau oleh
yayasan-yayasan baru yang anggota-anggotanya adalah warga Jemaat GPIB.

Kelima masalah ini menjadi pergumulan utama GPIB pada masa 22 tahun
pertama. Itulah sebabnya dalam menetapkan periodisasi sejarah GPIB, perlu
ditempatkan masa 22 tahun pertama (1948 -1970) sebagai konsolidasi.
Sedangkan periode kedua (1970-1982) disebut: masa pembangunan yang
didukung oleh konsep Jemaat Missioner, dan periode ketiga (1982-1990) adalah
kemandirian GPIB dalam arti bahwa GPIB bukan hanya mandiri dalam daya
dan dana tetapi juga merumuskan visi dan misinya mengenai hakekat hidup dan
pelayanannya sebagai gereja. Masa antara tahun 1990 - kini, belum dapat
digarap sebagai peristiwa sejarah, karena masa ini penuh dengan gejolak yang
membutuhkan penelitian khusus.

Masa Konsolidasi (1948 - 1970)

1. Penataan Pelayanan
Persoalan pertama yang segera dihadapi GPIB setelah pelembagaannya,
ialah pelayanan dua bahasa di sebagian besar Jemaat-Jemaat bekas GPI, khusus
di kota-kota besar. Pelayanan berbahasa Belanda di satu Jemaat diatur oleh satu
Majelis Jemaat tersendiri dan pelayanan berbahasa Indonesia yang diatur juga
oleh Majelis Jemaat yang berbeda. Sehingga di dalam satu Jemaat terdapat dua
Majelis Jemaat yang melayani dengan dua bahasa dan juga dengan dua kas
Jemaat. Pelayanan dua bahasa ini sebenarnya sudah ada sejak zaman VOC tahun
1621 di Jakarta dengan satu Majelis Gereja dan tetap dilanjutkan pada zaman
Hindia Belanda. Ternyata pelayanan dua bahasa ini telah menimbulkan
pengkotakan di dalam persekutuan Warga Jemaat.

Bukan hanya Majelis Jemaat dan Kas Jemaat terbagi dua, tetapi juga
warga Jemaat. Warga Jemaat berbahasa Belanda berorientasi ke Eropa,
3
sedangkan mereka yang berbahasa Indonesia lebih nasionalis. Pelayanan
Pemuda juga terpecah dua, yaitu dalam PJC (Protestantse Jeugd Club) yang
kemudiaun menjadi AMP (Angkatan Muda Protestan) untuk semua anggota
yang berbahasa Belanda, sedangkan di Jemaat-jemaat yang berbahasa Indonesia
tumbuh organisasi pemuda GPIB yang mewakili Jemaatnya dengan bermacam
nama, Pelayanan Sekolah Minggu juga demikian, terbagi atas yang berbahasa
Indonesia dan yang berbahasa Belanda.

Dualisme ini diperuncing lagi oleh keadaan politik saat itu yang kemudian
memuncak pada persoalan terputusnya hubungan Belanda dan Indonesia karena
masalah Irian Barat (berubah menjadi Irian Jaya dan sekarang: Papua) tahun
1958.

Di dalam Sidang Sinode III tanggal 13-17 April 1953 di Jakarta, dualisme
ini telah diperdebatkan dan Klasis Jawa Barat membawa usul untuk segera
memecahkan persoalan ini. Yaitu agar segera disusun satu Peraturan Jemaat
mengenai bentuk Jemaat-jemaat GPIB dan satu Majelis Jemaat saja yang
mengatur pelayanan tersebut, serta memelihara keesaan Jemaat setempat. Maka
disusunlah satu konsep peraturan yang ditetapkan di dalam Sidang Sinode IV
yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 1-7 Mei 1955. Namun peraturan ini tidak
pernah diterapkan di seluruh Jemaat GPIB. Sidang Sinode V tahun 1958 di
Jakarta mengambil keputusan yang sama sekali lain karena situasi politik waktu
itu, yaitu menghapuskan pelayanan berbahasa Belanda di semua Jemaat GPIB.
Rumusan yang dipergunakan oleh Sidang Sinode V itu ialah "GPIB hanya
mengenal satu Jemaat, satu Majelis Jemaat dan satu Kas Jemaat." Rumusan ini
tegas tetapi juga bersifat politis dan di dalam pelaksanaannya seluruh kegiatan
pelayanan yang berbahasa Belanda bagi orang-orang Indonesia dihapuskan di
dalam seluruh jajaran GPIB. Sedangkan bagi orang-orang asing akan diusahakan
pelayanan tersendiri dengan pengaturan yang baru.

Ketetapan Sidang Sinode V tersebut sempat mengundang ketidakpuasan


dan bahkan konflik setempat, di beberapa Jemaat, misalnya Bandung dan
Jakarta. Dan kemudian masalah ini baru terselesaikan seluruhnya dengan Surat
Keputusan Majelis Sinode pada tanggal 27 September tahun 1960 No.199 yang
isinya, menghentikan seluruh kegiatan berbahasa Belanda bagi orang-orang
Indonesia. Ketegangan tersebut berakhir dan telah mendorong GPIB untuk
menata dirinya dengan memperhatikan kebutuhan Warga Jemaat dan
masyarakat di mana GPIB berada.
4
2. Bidang Pelayanan Khusus
Sejak awal di Jemaat-jemaat GPIB telah berdiri organisasi-organisasi
yang melayani anak-anak, pemuda dan wanita. Organisasi-organisasi ini
melayani di jemaat tetapi tidak diatur di bawah koordinasi Majelis Jemaat
setempat. Munculnya organisasi-organisasi ini terutama diilhami oleh semangat
oikumenis melalui kegiatan-kegiatan Sekolah Minggu (Sunday School) abad ke-
18, Asosiasi Pemuda-pemudi Kristen Sedunia (YMCA, YWCA) dan Federasi
Mahasiswa Kristen Sedunia (WCSF) di Eropa pada abad ke-19.
Kehadiran mereka membawa pengaruh besar bagi Jemaat, dan turut
mengembangkan pelayanan Jemaat GPIB secara keseluruhan. Namun bidang-
bidang pelayanan ini tidak tertata di dalam pelayanan dan organisasi GPIB.
Bahkan di berbagai Jemaat, hubungannya dengan Majelis Jemaat setempat tidak
terjalin dengan baik.
Tata Gereja 1948 juga tidak mengatur fungsi organisasi-organisasi ini
dalam pelayanan GPIB sehingga tidak ada pegangan bagi Jemaat-jemaat untuk
mengintegrasikannya di dalam pelayanan Jemaat. Sebaliknya bidang-bidang ini
mempunyai sejarah tersendiri dan berdasarkan imamat am warga Gereja,
melaksanakan pelayanan tanpa perlu terikat dengan struktur yang ada. Bidang-
bidang ini tidak hanya melayani dalam arti sempit di dalam peribadahan Jemaat
tetapi juga menjadi wadah pendidikan kader pelayanan diakonia dan partisipasi
Gereja di tengah masyarakat serta memberikan sumbangan yang cukup besar
bagi usaha-usaha oikumenis.

Menyadari peranan yang cukup penting dari bidang-bidang ini maka sejak
awal, Majelis Sinode sudah menjadikannya sebagai mitra kerja dalam
pelayanan. Langkah pertama adalah mengadakan Konferensi Organisasi Pemuda
Kristen Protestan yang dilaksanakan tanggal 13-15 Juli 1950 di Surabaya.
Konferensi yang dihadiri oleh berbagai Organisasi Pemuda di Jemaat-jemaat,
diakhiri dengan terbentuknya Gerakan Pemuda GPIB tanggal 15 Juli 1950, yang
dipimpin oleh Dewan Pemuda dan bekerja sama dengan Majelis Sinode untuk
membina kegiatan pemuda GPIB, dalam Gereja maupun masyarakat. Organisasi
pemuda ini dijadikan sebagai wadah pembinaan kader dari sejak awal berdirinya
sampai tahun 1966 dipimpin pendeta-pendeta seperti J. W. Porajouw, D. R.
Maitimoe, J. J. Matulessy dan P. H. Rompas.
Dewan Pemuda dipercayakan untuk mengkoordinir pelayanan Sekolah
Minggu di Jemaat-jemaat. Ketika Pdt. D. R. Maitimoe menjadi Ketua Dewan
Pemuda tahun 1957, Gerakan Pemuda mempersiapkan satu Konperensi Guru-
5
guru Sekolah Minggu, yang diadakan awal bulan September 1959 di Sukabumi.
Konferensi ini melahirkan organisasi Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja
(SM/KR) tanggal 6 September 1959, yang dipimpin oleh Dewan SM/KR dengan
Ketua dirangkap oleh Pdt. D. R. Maitimoe, yang banyak menaruh minat
terhadap pembinaan Sekolah Minggu.

Usaha untuk mempersatukan organisasi-organisasi ibu-ibu di jemaat-


jemaat, dilakukan melalui Konsultasi Kaum Ibu GPIB 21-22 April 1960 di
Gadog dan terbentuklah Dewan Sementara yang dipimpin oleh Ny. The Bek
Siang-Pelenkahu (Ketua) dan Ny. Nendissa-Sahetapi (Sekretaris). Koordinasi
terhadap pelayanan ibu-ibu menjadi pendorong terbentuk Persatuan Wanita
melalui Konperensi Organisasi Ibu-ibu yang diselenggarakan bulan Pebruari
1965 di Sukabumi. Lahirlah Persatuan Wanita GPIB tangga1 18 Februari 1965
yang dipimpin oleh Dewan Wanita yang diketuai oleh Pdt. Ny. Margaretha Lie-
Angkuw.
Sekalipun telah terbentuk badan-badan ini di dalam jajaran GPIB tetapi
koordinasi terhadap badan-badan ini belum terintegrasi. Tahun 1960
fungsionaris Majelis Sinode ditempatkan sebagai Konsulen dalam setiap badan
tersebut di tingkat nasional. Kemudian tahun 1962 wakil-wakil dari badan-badan
ini menjadi konsulen di Majelis Sinode dan Majelis Jemaat tanpa jabatan
gerejawi. Lalu dalam Sidang Sinode ke-9 tahun 1966 di Jakarta, badan-badan ini
diintegrasikan sepenuhnya di dalam pelayanan GPIB dengan nama Bidang
Pelayanan Chusus (BPC).
Kongres BPC (tahun 1970 nama BPC diganti dengan BPK= Bidang
Pelayanan Khusus) menjadi seksi di dalam Persidangan Sinode dan kemudian
wakil-wakil BPK di Majelis Jemaat dan Majelis Sinode diberikan jabatan
sebagai Diaken.
BPK menjadi badan pembantu di dalam organisasi GPIB dan diberikan
fungsi khusus untuk melaksanakan pembinaan terhadap kategori anak-anak,
pemuda dan wanita.

3. Mobilisasi Warga Gereja


Salah satu tantangan yang dihadapi GPIB ialah bagaimana mengubah
tradisi yang telah tertanam sebagai gereja pejabat atau gereja pendeta. Pada
masa-masa awal, Gereja ini sulit menggerakkan warganya untuk ikut serta di
dalam pelayanan. Karena itu pada masa konsolidasi ini program mendesak yang
harus dilaksanakan GPIB adalah membuka wawasan berpikir warga Jemaat dan
pejabat-pejabatnya.
6
Pada Sidang Sinode VI di Gadog 1960, Pdt. D. R. Maitinoe, mendorong
peserta dengan ceramahnya yang berjudul "Hukum Gereja" yang merupakan
perangsang bagi GPIB untuk datang pada tugas pembaharuan Jemaat secara
baru.

Pembahasannya ini sekaligus menyangkut dua hal, yaitia "pemahaman


ekklesiologis GPIB dan kehadiran yang Missioner". Melalui pembahasannya ini
ia hendak menekankan bahwa Gereja itu ada karena panggilanNya dan sebab itu
Gereja harus hidup sedemikian rupa sehingga Injil diberitakan dan
diterjemahkan dalam berbagai bentuk untuk membaharui masyarakat, baik
secara struktural (parokial) maupun secara fungsional. Warga masyarakat adalah
sesama dengan siapa Gereja membangun masa depan bersama. Maka Sidang
Sinode Gadog 1960 memproklamirkan bahwa GPIB adalah Gereja yang
Missioner dan seluruh wilayah pelayanan GPIB adalah sasaran pekabaran Injil.
Gema dari Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia II - 1954 di Evanston
tentang Penginjilan mewarnai GPIB. Gong telah dibunyikan dan pernyataan
Konsep Jemaat Missioner inilah yang menjadi kunci penting dalam upaya
konsolidasi pelayanan dan organisasi GPIB serta memberikan arah baru bagi
Tata Gereja GPIB. Tata Gereja segera dirombak secara keseluruhan tanpa
meninggalkan sistem presbiterial-sinodal. Tata Gereja yang baru ini dibahas di
dalam Sidang Sinode VII di Surabaya tahun 1962 dan bersama lampiran
peraturan-peraturannya ditetapkan di dalam Sidang Sinode VIII di Bandung
1964.

Dalam rangka pelaksanaan ide Jemaat Missioner itu, Pdt. D.R. Maitimoe
pada Sidang Sinode VIII tersebut memberikan ceramah yang berjudul
"Mendapatkan pola-pola baru guna mencapai struktur Jemaat Missioner".
Pokok-pokok pemikiran ini (disini ada pengaruh Sidang Raya DGD III, 1961 di
New Delhi) mendorong terjadinya arah baru dalam membarui struktur
pelayanan GPIB.

Pemahaman tentang Jemaat Missioner itu dilaksanakan melalui


pembinaan Jemaat dan para pejabat, dan berbagai proyek pekabaran Injil di
desa-desa, daerah industri, konsentrasi buruh, mahasiswa dan ABRI.

Daerah-daerah pekabaran Injil baru dibuka di Banten Selatan, Subang,


Comal, Kerinci, Lampung, Riau, Bangka, Kalimantan Barat, Timur dan Selatan
serta Banyuwangi. Untuk maksud itulah GPIB mengadakan kerja sama dengan
7
badan-badan pelayanan seperti OMF tahun 1963, YPPII Batu Malang tahun
1964 dan ZNHK tahun 1968.

Masa antara tahun 1960-1970 adalah masa ketika seluruh Jemaat dan
jajaran GPIB 'demam' Jemaat Missioner, yang membawa dampak yang cukup
besar terutama dalam rangka mengarahkan warga Jemaat untuk melayani
masyarakat dan lingkungan sekitarnya sebagai sasaran berita Injil. Pengaruh itu
dapat dilihat di dalam pertumbuhan Jemaat-Jemaat. Pertumbuhan jumlah itu
disebabkan pemekaran Jemaat-jemaat kota dan hasil pekabaran Injil. Di Jakarta
misalnya, dari 3 Jemaat di tahun 1948 dimekarkan menjadi 24 Jemaat di tahun
1970, di Surabaya dari 1 Jemaat menjadi 7 Jemaat dan di Makassar dari 1
Jemaat menjadi 4 Jemaat. Jemaat-jemaat baru hasil pekabaran Injil seperti
Subang, Tanjung Karang, Sungai Penuh, Kerinci, Katapang, Tarempa dan Jambi
berdiri sebelum tahun 1970.

Untuk menunjang usaha mobilisasi warga Jemaat ini, maka Lembaga


Pembinaan Jemaat (LPJ) didirikan. Badan ini bekerja dengan cara menyebarkan
bahan-bahan pembinaan yang dipersiapkan bagi semua jajaran pelayanan GPIB,
menyelenggarakan latihan, baik secara terpusat maupun di wilayah-wilayah.

Sekalipun mobilisasi warga Jemaat ini berhasil - dalam arti GPIB


memahami secara baru missinya dibanding tahun 1948, tetapi juga
menimbulkan berbagai gejolak. Antara lain ada Jemaat-jemaat baru yang
terbentuk karena perpecahan (terutama di kota-kota). Munculnya Jemaat-jemaat
GMIM misalnya di Makassar tahun 1960 dan di Jakarta tahun 1970
membuktikan bahwa warga Jemaat kurang memahami atau sengaja menggugat
sejarah dan kesepakatan GPI. Juga warga Jemaat mulai mempersoalkan teologi
GPIB di tengah pengaruh aliran-aliran baru (= Injili, Kharismatik dsb.) dan
dikritik kekurang-siapan para pendeta GPIB untuk menjawab kebutuhan warga
Jemaat. Kekurang-siapan para pendeta inilah yang kelak menjadi sebab
dilaksanakan pembinaan secara khusus terhadap pendeta-pendeta dan penginjil
GPIB yang dimulai tahun 1976.

Gejolak-gejolak ini dapat diatasi karena kepemimpinan GPIB sejak


pertengahan 1960-an lebih berorientasi kepada pelayanan Jemaat dibanding
dengan sebelumnya yang lebih berorientasi kepada (hirarki) jabatan.

4. Keuangan
8
Pada tanggal 1 Pebruari 1950 Pemerintah RI meneruskan bantuan/modal
dari Pemerintah Belanda kepada GPI sesuai keputusan Ratu Belanda tahun
1935, sebesar 31 juta gulden. Dari GPI, GPIB menerima uang sejumlah 10 juta
rupiah dalam bentuk obligasi. Itulah modal kerja GPIB. Persoalannya sekarang
ialah bagaimana memanfaatkan uang tersebut dan bagaimana menjelaskan
kepada warga Jemaat bahwa dengan bantuan itu pemerintah telah mengakhiri
tanggungjawabnya kepada gereja, khususnya dalam hal memberikan gaji kepada
para pendeta GPIB.

Ternyata pada masa-masa awal, GPIB mengalami kesulitan keuangan


sehingga modal kerja yang diberikan oleh pemerintah itu habis terpakai untuk
membayar gaji-gaji pendeta dan pegawai. Sementara itu Majelis Sinode tetap
mengusahakan agar Jemaat-jemaat ikut serta memikul biaya-biaya pelayanan.
Tahun 1960 diadakan konsultasi para Bendahara Jemaat dan kemudian
dihasilkan keputusan bahwa setiap Jemaat menyetor 50 % dari seluruh
pemasukan masing-masing ke Majelis Sinode, dengan perincian 20% untuk
iuran, 5% untuk dana pensiun, 5% untuk dana pendidikan, 10% untuk dana
pekabaran Injil dan 10 % untuk dana pembangunan. Kesepakatan ini kemudian
dikukuhkan di dalam Peraturan Perbendaharaan yang ditetapkan oleh Sidang
Sinode VIII di Bandung tahun 1964. Di dalam pelaksanaannya hanya 35% dari
Jemaat-jemaat yang sanggup memenuhinya dan berdasarkan kenyataan ini
Sidang Sinode IX tahun 1966 di Jakarta menetapkan jumlah 50% itu menjadi
30%. Kebijakan mengenai setoran berdasarkan prosentasi penghasilan Jemaat
ini ditempuh karena pembinaan di bidang keuangan belum berjalan dengan baik
di samping belum adanya data mengenai jumlah warga sidi Jemaat. Jemaat-
jemaat baru memang bertumbuh dari 53 Jemaat di tahun 1948 menjadi 124 di
tahun 1970, tetapi tidak semua dapat diharapkan untuk menyetor kewajibannya.
Menurut data Departemen Financial, Ekonomi dan Pembangunan, hanya 83
Jemaat di tahun 1970 dikategorikan sebagai Jemaat yang mampu dan dari
jumlah itu hanya 30% yang menyetor kewajibannya.

Berdasarkan perkiraan yang dilakukan Majelis Sinode menjelang Sidang


Sinode X tahun 1970, maka warga GPIB diperkirakan berjumlah 250.000 orang,
di antaranya 100.000 warga sidi Jemaat. Dan dalam rangka memasuki masa
pembangunan maka dianggap saatnya warga sidi Jemaal bertanggung-jawab
terhadap pelayanan dan pembiayaan gereja. Untuk itu ditetapkan bahwa setiap
warga sidi Jemaat menyetor iuran setiap bulan sebesar 15 rupiah ke kas Jemaat
untuk diteruskan kepada Majelis Sinode.
9
Sementara itu sejak Sidang Sinode IX tahun 1966 di Jakarta, gaji-gaji
pendeta telah dibayar oleh Jemaat masing-masing; kecuali Jemaat-jemaat
pekabaran Injil.

Sekalipun kesadaran memberi dari warga Jemaat yang diukur dari setoran
iuran Jemaat ke Majelis Sinode barulah sekitar 30-35%, namun secara
keseluruhan perkembangan keuangan GPIB menanjak cepat pada tahun 1960-an
dibandingkan dengan keadaan tahun 1950-an, sehingga GPIB memasuki tahun
1970-an dengan kemandirian dana terutama di Jemaat-jemaat. Walau keuangan
Majelis Sinode sering mengalami defisit tetapi secara keseluruhan GPIB tidak
bergantung kepada pihak lain di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman
ketergantungan masa GPI dan masa-masa awal GPIB menjadi cambuk untuk
menyadarkan warga Jemaat agar berdiri sendiri di bidang keuangan.

5. Kepemimpinan
Ketika berdirinya GPIB, boleh dikatakan, tidak tersedia tenaga yang
mampu memimpin gereja ini secara sinodal. Memang ada pendeta-pendeta
tamatan STOVIL Ambon, Tomohon dan SoE, tetapi mereka terutama
mengambil alih pelayanan di Jemaat-jemaat setelah para pendeta Belanda
ditawan selama Perang Dunia II atau meninggalkan Indonesia setelah perang itu.
Sesudah Perang Dunia II pendeta-pendeta GPI asal Belanda kembali memimpin
GPI dan GPIB yang baru didirikan itu. GMIM, GPM dan GMIT telah dipimpin
olch pendeta-pendeta Indonesia. Agaknya penyerahan kepemimpinan GPI dan
GPIB kepada orang-orang Indonesia belum dipersiapkan. Ada orang-orang
Indonesa seperti Pdt. J. J. Ayal dan Pdt. B. Supit yang memimpin Kerkbestuur
GPI pada masa pendudukan Jepang, atau Pdt. Nic Sahulata yang memimpin
Jemaat GPI di Jakarta sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi kepada mereka
belum diberikan peranan di dalam jabatan utama sesuai hirarki jabatan GPI.

Pada masa 10 tahun pertama GPIB, mereka yang berperanan memimpin


Gereja ini sesudah orang Belanda seperti Pdt. J. A. de Klerk, ialah tamatan STT
Jakarta yang mempunyai tingkat pendidikan akademis perguruan tinggi. Mereka
ini umumnya mendapat tugas belajar dari GMIM dan GPM dan muncul melalui
GPI. Misalnya Pdt. W.J. Rumambi, Sekretaris Umum GPI, yang kemudian
menjadi Ketua Majelis Sinode GPIB yang ke-2, Pdt. C. Kainama, Bendahara
GPI, yang memimpin GPIB selaku Ketua Majelis Sinode tahun 1953 sampai
tahun 1964, Pdt. P. H. Rompas, Sekretaris Umum GPI, yang menjabat Sekretaris
10
dan beberapa kali menjadi Wakil Ketua Majelis Sinode GPIB, Pdt. R. M.
Luntungan, Ketua Umum GPI, yang juga mengambil bagian di dalam
kepemimpinan Jemaat GPIB di Jakarta. Kepemimpinan mereka ini menonjol di
dalam masa konsolidasi sepuluh tahun pertama, namun masih diwarnai oleh
hirarki jabatan warisan GPI. Hirarki seperti ini pernah diperjuangkan untuk
dihilangkan dengan cara memberikan gelar Dominee (Ds) untuk semua pendeta
GPIB pada akhir tahun 1950-an. Tetapi usaha ini tidak mampu meniadakan
Batas-Batas psikologis di antara para pendeta itu sendiri.

Pada tahun 1950-an GPIB agak sulit mengeluarkan diri dari keterikatan
hirarki jabatan itu. Kepemimpinan GPIB tahun 1960-an banyak diwarnai oleh
peran Pdt. D. R. Maitimoe, Pdt. P. H. Rompas dan Pdt. A. J. Sahetapy Engel,
yang mengantar GPIB memasuki masa pembangunannya.

Hampir sepuluh tahun sejak ditetapkan Tata Gereja baru 1962/1964


kepemimpinan yang semula berorientasi pada hirarki jabatan (dan pendidikan)
warisan GPI, berubah menjadi kepemimpinan bersama yang berorientasi pada
pelayanan Jemaat.

Boleh dikatakan bahwa Pdt. D. R. Maitimoe yang menjabat Ketua Majelis


Sinode tahun 1964-1974 dengan ciri khas kepemimpinan gembala telah
mengantar GP1B memasuki saat-saat penting yaitu masa pembangunan. Pada
masa itu GPIB melaksanakan program pembinaan warga gereja dalam rangka
pembangunan Jemaat Missioner. Terjadi perubahan-perubahan penting di mana
GPIB menjadi gereja yang tidak hanya melayani diri sendiri tetapi mendorong
pekabaran Injil oleh Jemaat-jemaat. Suasana ini memungkinkan sehingga
kepemimpinan GPIB bertumbuh dari Jemaat-jemaat pada tahun 1970-an.
Kepemimpinan pada masa ini diwakili oleh Pdt. B. Simauw yang mengandalkan
pembinaan dan memberdayakan warga Jemaat dalam memasuki masa
pembangunan. Sekalipun demikian ada juga tantangan yang dihadapi di dalam
pembentukan kepemimpinan GPIB. Kesulitan utama ialah GPIB tidak
mempunyai lembaga pendidikan teologi yang sejak awal membantu membentuk
wawasan teologis GPIB, dan hanya mengandalkan STT INTIM Makassar dan
STT Jakarta sebagai lembaga-lembaga oikumenis yang membina calon-calon
pelayan di GPIB.

Kesulitan kedua adalah pemanfaatan tenaga penginjil dan mahasiswa-


mahasiswa I3 / YPPII Batu Malang tahun 1964 telah menimbulkan sikap pro
11
dan kontra yang pada gilirannya menyebabkan pergolakan di berbagai Jemaat
GPIB sehingga tahun 1981 GPIB memutuskan hubungan secara sepihak dengan
YPPII.

Dan akhirnya kesulitan ketiga ialah pembinaan terhadap pendeta-pendeta


di masa konsolidasi ini tidak ditangani secara terencana sedangkan di lain pihak
mobilisasi warga berjalan terus sehingga pendeta-pendeta kurang mampu
mengatasi masalah-masalah di dalam Jemaat. Akibatnya banyak konflik terjadi
antara Majelis Jemaat dengan pendeta-pendeta dan Majelis Sinode disibukkan
dengan perselisihan-perselisihan antara pendeta dan Jemaat. Hal mana menjadi
salah satu sebab mengapa pembinaan terhadap para pendeta GPIB dilaksanakan
secara terencana pada tahun 1970-an, di samping pembinaan pada masa vikariat
ditingkatkan.

6. Organisasi
Sejak tahun 1948 GPIB telah memberlakukan Tata Gereja presbiterial
sinodal. Namun, banyak sekali persoalan yang muncul dari Jemaat-jemaat yang
tidak dapat dijawab oleh Tata Gereja ini. Persoalan-persoalan itu antara lain
mengenai pengaturan Jemaat-jemaat yang berada di dalam dualisme pelayanan,
kegiatan-kegiatan bidang pelayanan: Sekolah Minggu, Pemuda dan Wanita yang
terlepas dari kepemimpinan Majelis Jemaat, keuangan yang tidak dibantu lagi
oleh pemerintah, harta milik yang dipakai oleh GPIB dan GPI, kepemimpinan
yang kurang bertumbuh dari Jemaat dan organisasi yang masih meneruskan
model GPI. Semua masalah ini sebenarnya bersumber pada pertanyaan:
Bagaimana wujud GPIB yang sebenarnya dan bagaimana hubungan GPIB dan
GPI? Pertanyaan seperti ini telah dilontarkan di dalam Sidang Sinode III tahun
1953 dan IV tahun 1955 bahkan lebih hangat lagi pada Sidang Sinode VI tahun
1960. Tata Gereja 1948 tidak memberikan uraian tentang bagaimana wujud
Jemaat-jemaat itu dan bagaimana pengelolaannya. Belum ada peraturan tentang
Jemaat sebagai penjabaran dari Tata Gereja 1948. Sebab itu sangat terasa
kebutuhan mendesak untuk menyusun Tata Gereja yang baru.

Sidang Sinode VII tahun 1962 di Surabaya, membahas Tata Gereja baru
dengan mencantumkan secara jelas mengenai wujud GPIB yang berhubungan
dengan panggilan dan bukan dalam rangka GPI. Tata Gereja 1962 ini dilengkapi
pula dengan peraturan tentang Jemaat, yang disahkan di dalam Sidang Sinode
VIII 1964 di Bandung. Peraturan Jemaat yang terdiri dari 44 pasal itu
memberikan pedoman yang cukup rinci dan jelas mengenai bentuk Jemaat, apa
12
saja yang dilakukan dan bagaimana mengelolanya. Karena penatua dan diaken
berperanan penting mendampingi pendeta-pendeta di dalam memimpin dan
melayani, maka disusun pula Tata Cara pemilihan penatua dan diaken sebagai
lampiran Peraturan Jemaat tersebut.

Tata Gereja 1962/1964, sama seperti Tata Gereja 1948 menganut sistem
presbiterial-sinodal, yaitu antara lain mengelola pelayanan melalui
permusyawaratan bersama yang dilembagakan lewat Sidang Jemaat, Majelis
Jemaat, Sidang Klasis, Sidang Sinode dan Majelis Sinode.

Dengan rumusan ini GPIB hendak menerapkan sistem Presbiterial Sinodal


yang berakar dan bertumbuh dari Jemaat-jemaat ke Klasis dan Sinode.
Memperhatikan kebutuhan pelayanan maka Sidang Sinode VIII tahun 1964
membahas pola-pola baru dalam struktur GPIB untuk menunjang pembangunan
Jemaat Missioner.

Tetapi sistem presbiterial sinodal mulai ditinggalkan, antara lain dengan


penghapusan Klasis untuk memperlancar hubungan timbal balik Majelis Sinode
dengan Majelis Jemaat dalam melaksanakan misi Gereja.

Selanjutnya dengan penghapusan Klasis, dirasakan bahwa kebersamaan


Jemaat-jemaat di satu wilayah tidak terbina untuk mendukung mobilisasi warga
Jemaat. Karena itu sebagai ganti Klasis ditetapkan bahwa Jemaat-jemaat yang
berdekatan dapat membentuk Konven sebagai wadah pertemuan yang
menggiatkan kebersamaan di dalam satu wilayah pelayanan. Supaya semua
kegiatan warga Jemaat itu berlangsung tertib dan berhasil guna, maka peran
mereka disalurkan melalui badan-badan pembantu GPIB yaitu Bidang
Pelayanan Khusus: Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja, Gerakan Pemuda dan
Persatuan Wanita. Dalam rangka itulah badan-badan pembantu itu
diintegrasikan di bawah kepemimpinan Majelis Jemaat pada aras Jemaat dan
Majelis Sinode di aras Sinodal. Keputusan integrasi ini dilakukan oleh Sidang
Sinode IX tahun 1966 di Jakarta. Caranya ialah setiap badan pembantu tersebut
mengutus wakilnya untuk menjadi anggota Majelis Jemaat pada aras Jemaat dan
menjadi anggota Majelis Sinode pada aras Sinodal dalam jabatan Diaken.

Dengan demikian konsolidasi organisasi GPIB dalam jangka waktu yang


relatif singkat, memberikan jalan bagi Majelis Sinode untuk lebih berperan
utama dalam mengatur jemaat-jemaat.
13
Masa Pembangunan (1970-1982)

Masa konsolidasi - terutama antara tahun 1960-1970 - telah


mempersiapkan kondisi agar pembangunan GPIB dilangsungkan seirama
dengan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Kondisi itu meliputi:
Wawasan bergereja dengan konsep Jemaat Missioner; upaya mobilisasi warga
untuk pekabaran Injil; kemandirian di bidang dana; dan Tata Gereja yang
menonjolkan peranan penting dari Majelis Sinode sebagai pimpinan dan penentu
kebijakan GPIB.

Dengan kondisi ini GPIB melaksanakan pembangunannya yang meliputi:

1. Pendidikan dan Pembinaan


Mobilisasi warga yang diupayakan pada masa konsolidasi antara tahun
1960-1970 menciptakan kesenjangan antara kaum awam dan para pejabat. Cara
berpikir warga Jemaat makin terbuka dan cepat berkembang bila dibanding
dengan para pejabat, khususnya para pendeta. Sering Jemaat menyerap Cara dan
metode baru dari aliran-aliran Kristen yang baru seperti gerakan kharismatik,
persekutuan-persekutuan doa dan yayasan-yayasan pekabaran Injil yang bebas,
untuk menjawab masalah-masalah di dalam masyarakat dan sering pula
mempraktikkannya di dalam hidup berjemaat. Kenyataan ini memberikan tanda
kepada GPIB bahwa warganya makin berkembang dan kebutuhan mereka untuk
berpartisipasi di dalam pelayanan Gereja makin meningkat. Namun kelihatannya
tanpa arah.

Karena itulah di dalam masa pembangunan GPIB ini pendidikan dan


pembinaan mendapat perhatian yang diprioritaskan.

a. Pendidikan
Mengingat peranan Lembaga-lembaga Pendidikan makin penting di
dalam pembangunan bangsa, maka sejak tahun 1971 GPIB mengadakan
koordinasi terhadap semua lembaga pendidikan yang dimiliki Jemaat. Untuk itu
Badan Koordinasi Pendidikan (BAKORDIK) GPIB didirikan tahun 1971 atas
rekomendasi Persidangan Sinode X tahun 1970 di Bandungan, Ambarawa.

14
Badan ini selain berfungsi untuk mengkoordinir sekolah-sekolah di
Jemaat-Jemaat GPIB juga membantu mengembangkan mutu pendidikan
sekolah-sekolah tersebut serta mengusahakan pengakuan dari pemerintah.

Sekolah-sekolah GPIB ini pada umumnya terdapat di daerah-daerah


Pekabaran Injil misalnya di Riau, Lampung, Kalimantan Barat dan Timur dan di
beberapa Jemaat di kota-kota besar seperti Jakarta. Untuk meningkatkan
pelayanannya maka BAKORDIK GPIB membentuk Yayasan Pendidikan Petra
tahun 1974, kemudian diganti lagi dengan Yayasan Pendidikan Kristen
(YAPENDIK) GPIB tahun 1981 yang berfungsi membina dan melayani
sekolah-sekolah GPIB sampai sekarang. Upaya-upaya di bidang pendidikan ini
tidak mencapai hasil yang memuaskan di banding rencana-rencana yang
ditetapkan. Pada tahun 1970 ketika upaya ini dimulai, hanya sekitar 10% dari
124 Jemaat GPIB yang mempunyai sekolah dan bervariasi dari Kelompok
Bermain sampai Sekolah Lanjutan Atas. Pertumbuhannya lamban bahkan dalam
Persidangan Sinode XV tahun 1990 dilaporkan bahwa di antara 200 Jemaat
GPIB, hanya 30 Jemaat yang mempunyai sekolah. Hal ini membuktikan bahwa
pembangunan di bidang pendidikan tidak mencapai sasaran yang diharapkan.
Kesulitan utama yang dihadapi ialah pembangunan sekolah-sekolah INPRES
(Pemerintah) di seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu Jemaat-jemaat tidak
mampu bersaing untuk mendirikan sekolah-sekolah. Di lain pihak pengelolaan
yang kurang profesional membuat sekolah-sekolah tersebut merana dan
akhirnya berfungsi melayani warga Jemaat saja. Sekalipun demikian, upaya ini
dirasakan ada manfaatnya terutama bagi daerah-daerah pedalaman yang baru
dijangkau pelayanan, misalnya Kalimantan Barat, Timur dan Riau.

b. Pembinaan
Akibat mobilisasi warga yang dikampanyekan pada sepuluh tahun terakhir
masa konsolidasi, maka telah terjadi kesenjangan antara kaum awam dan para
pejabat. Hal ini menyebabkan pembinaan yang dilakukan Lembaga Pembinaan
Jemaat GPIB beralih dari warga Jemaat ke para pejabat.

Pembinaan terhadap warga Jemaat dipercayakan kepada Bidang


Pelayanan Khusus (BPK), yang berfungsi membina warga Jemaat sesuai
kategori masing-masing. Dalam rangka itu BPK diperluas dan diubah menjadi
Bidang Pelayanan Kategorial. Selain Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja (yang
sejak tahun 1966 diganti menjadi Kebaktian Anak/Kebaktian Remaja), Gerakan
Pemuda, Persatuan Wanita, sejak tahun 1974 di Jemaat-jemaat mulai terbentuk
15
Persekutuan Kaum Bapak (kemudian ditetapkan dalam Tata Gereja 1982).
Dengan demikian barisan BPK diperluas untuk melaksanakan pembinaan bagi
warga Jemaat sesuai kategori usia masing-masing. Selanjutnya Lembaga
Pembinaan Jemaat (LPJ) GPIB mengarahkan perhatiannya kepada para Penatua,
Diaken, Pendeta dan Penginjil. Kurikulumnya diarahkan untuk membina
wawasan bergereja dan melatih untuk mampu mengenal dan menganalisis
lingkungan dan menyusun program pembangunan Jemaat. Sekitar tahun 1970-
1974, kegiatan ini cukup menggairahkan dan diikuti oleh berbagai Jemaat,
terutama di kota-kola besar dimulai dari Jakarta. Beberapa di antara peserta
kursus LPJ ini sempat ditahbiskan sebagai pendeta GPIB. Pada ujian gerejawi
tahun 1976, tercatat 8 orang yang ditahbiskan sebagai Pendeta. Tetapi akhirnya
program yang dimotori oleh Pdt. D. R. Maitimoe, Pdt. Sam Manuputty dan
tenaga bantuan dari Overseas Missionary Fellowship (OMF), M. Dainton, M.A.
ini hanya berlangsung kurang lebih 7 tahun. Kesulitan yang dihadapi ialah tidak
tersedianya tenaga-tenaga pembina yang cukup terampil untuk bekerja sama
sebagai staf penulis bahan-bahan, tenaga-tenaga pengajar dan koordinator di
wilayah-wilayah.

Untuk mengatasi kesulitan itu Majelis Sinode menjalin kerjasama dengan


STT INTIM Makassar dan STT Jakarta untuk menyelenggarakan program
semacam ini bagi pejabat-pejabat Gereja (sejenis Pendidikan Teologi Ekstensi)
dan GPIB bersedia mensponsori dana untuk program ini. Usaha ini tidak sempat
disambut oleh kedua lembaga pendidikan teologi tersebut karena
Pdt.D.R.Maitimoe telah dialihkan ke DGI (sekarang PGI) tahun 1972. Gagasan-
gagasan LPJ ini kemudian diterapkan oleh Pdt. D. R. Maitimoe ketika menjabat
Direktur Institut Oikumene Indonesia DGI dan dilanjutkan di STT Jakarta yang
terkenal dengan program Pendidikan Teologi Jemaat. LPJ GPIB kemudian
hanya menyelesaikan sisa program yang telah disusun sebelumnya dan bergerak
membina pendeta-pendeta GPIB. Direktur LPJ dijabat oleh Pdt. B. Simauw.
Maka lahirlah apa yang dikenal dengan Kursus Dasar Pendeta dan Penginjil
GPIB (KDPP), dengan Kepala Proyek dijabat oleh Pdt. H. Ongirwalu. KDPP ini
dilaksanakan dalam kerjasama dengan Pusat Pembinaan Anggota Gereja
(PPAG) PGIW Jatimbalom (Jawa Timur, Bali dan Lombok) di Malang dan
Lembaga Pendidikan Kader (LPK) GKJ dan GKI Jateng di Yogyakarta serta
Bina Warga GKI Jabar di Cipayung.

Selama tahun 1976 dan 1977 dilaksanakan 4 angkatan, 2 dilaksanakan di


Malang, l di Yogyakarta dan 1 di Cipayung, dengan peserta setiap angkatan 20-
16
25 orang. Materi KDPP ini terutama menekankan pada peningkatan kemampuan
dan keterampilan peserta untuk menganalisa, mengambil keputusan di tengah
berbagai masalah serta merencanakan program untuk mengatasi masalah-
masalah itu bersama Majelis Jemaat dan Warga Jemaat. Upaya KDPP ini sempat
terhenti karena sesudah Sidang Sinode XII, tahun 1978 LPJ tidak difungsikan
lagi. Kegiatan ini dilanjutkan kembali oleh Majelis Sinode pada tahun 1988
dalam kerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
Yogyakarta. Peserta KDPP sangat bervariasi latar belakang pendidikannya. Dari
data tahun 1976 tercatat 126 pendeta GPIB terdiri dari 27 orang dari Sekolah
Teologi (menengah), 31 orang Sarjana Muda, 12 orang dari STOVIL, 21 orang
Sarjana, 22 orang tamatan III Batu, 5 orang Master dan 8 orang Ujian Gerejawi.
Jumlah ini belum termasuk para penginjil yang diangkat secara lokal dan
dikukuhkan oleh Majelis Sinode. Dari 126 pendeta tersebut baru sekitar 75%
yang mengikuti 3 angkatan KDPP tahun 1976 dan 1977. Jumlah pendeta GPIB
kemudian meningkat pada tahun 1979 menjadi 154 orang, di antaranya 18 orang
wanita. Jabatan pendeta wanita sejak awal berdirinya GPIB telah diterima dan
difungsikan untuk pelayanan umum. Baru pada tahun 1970-an para pendeta
Wanita ditugaskan untuk memimpin Jemaat.

2. PMKI dan PMDA


Pada tahun 1960-an GPIB memperkenalkan istilah apostolat untuk
pekabaran Injil atau misi. Tata Gereja tahun 1972 mempergunakan istilah
diakonia dalam arti yang seluas-luasnya, suatu upaya yang juga mencakup
pekabaran Injil atau misi. Perkembangan penggunaan istilah-istilah ini
menunjukkan bahwa GPIB berusaha menggumuli tugas panggilannya di tengah
masyarakat. Masyarakat cenderung mencurigai gereja dengan segala
kegiatannya yang dianggap Kristenisasi, sehingga GPIB berusaha merumuskan
tugas-tugasnya dengan memperhatikan keadaan itu.
Dalam rangka melaksanakan pelayanan di tengah masyarakat maka GPIB
menerima dan memberlakukan dua pola kehadirannya: Pola pertama diadopsi
dari upaya DGI yaitu Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri (PMKI) dan yang
kedua adalah Pelayanan Masyarakat Desa Agraris (PMDA).

a. Pelayanan Masyarakat Kota dan Industri (PMKI)


Bentuk pelayanan ini semula disponsori oleh DGI dalam rangka
pemanusiaan terhadap masyarakat modern yang ditandai dengan kehidupan kota
yang penuh persaingan, dan industri yang membuat manusia hidup secara
mekanis. Pelayanan seperti ini tidak menjadikan usaha menjaring jiwa sebagai
17
tujuan pokoknya. Usaha memperbanyak anggota Gereja menjadi tujuan
sekunder di dalam PMKI. Tujuan utamanya adalah membentuk kelompok-
kelompok penggerak di dalam masyarakat untuk menyebarkan ide dan program
serta kegiatan dalam rangka memahami lingkungannya dan memperjuangkan
nilai-nilai kebenaran, keadilan dan cinta kasih di tengah lingkungan itu.
Pelayanan seperti ini dilakukan di kantor-kantor Pemerintah, kawasan
Industri, perumahan karyawan/buruh, Asrama Mahasiswa dan kampus
Perguruan Tinggi, Pelabuhan, daerah Pariwisata dan sebagainya. Sejak tahun
1970 GPIB mencanangkan untuk melaksanakan pelayanan seperti ini langsung
didukung oleh Jemaat-jemaat. Banyak pendeta muda yang telah dilatih selama
studi, berminat terhadap pola ini dan mereka didukung oleh para motivator yang
dilatih oleh DGI di Cikembar, Sukabumi.
Sekalipun model pelayanan ini telah diperkenalkan bahkan ditunjang oleh
berbagai Jemaat GPIB di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bandung,
Yogyakarta, Makassar, Pematang Siantar dan Medan, tetapi sangat sulit diukur
keberhasilannya sesuai tujuan utama program PMKI. Metode yang dipakai di
dalam pelayanan, yaitu tatap muka, temu wicara secara rutin untuk
mendiskusikan problema-problema yang dihadapi oleh peserta dan mendorong
mereka untuk menentukan sikap terhadap masalah-masalah itu serta aksi
penyelesaiannya, merupakan hal yang baru baik bagi Jemaat-jemaat maupun
para peserta kelompok aksi program ini.
Pada tahun 1980-an boleh dikatakan model pelayanan ini kurang
dikembangkan lagi dan hanya terbatas kepada warga Gereja yang berada di
pusat-pusat kegiatan PMKI, dengan harapan mereka akan mewujudkan ide-ide
Gereja di dalam perjumpaan mereka dengan sesama di tempat mereka bekerja
dan belajar. Pelayanan seperti ini akhirnya bersifat perawatan rohani bagi warga
Gereja di tempat pekerjaan atau kampus mahasiswa. Berbarengan dengan ini
persekutuan-persekutan doa yang tumbuh menjamur di kota-kota besar muncul
dengan pola pelayanan yang cenderung membangun rohani secara individual -
dan itulah yang agaknya disukai warga Gereja di kota-kota - dan kurang
menekankan tanggungjawab bermasyarakat sehingga pamor PMKI akhirnya
makin memudar dan hilang dilanda gelombang gerakan kerohanian baru ini.

b. Pelayanan Masyarakat Desa Agraris (PMDA)

18
Persidangan Sinode X tahun 1970 melihat bahwa pekabaran Injil yang
dilaksanakan pada masa 1960-an perlu diberikan bentuk dan isi yang baru.
Karena GPIB menghadapi masyarakat pedesaan yang perlu dikembangkan
secara terpadu, muncullah istilah PMDA ini. Idenya muncul dari lapangan,
pertama-tama dari Kalimantan Timur dan dipelopori oleh Pdt. C. Wairata.
Pelayanan terhadap suku terasing menuntut gereja untuk memikirkan suatu pola
pendekatan yang baru. Tambahan pula kebijakan pemerintah agar suku-suku
terasing itu dimukimkan di sepanjang perbatasan Kalimantan dan Malaysia
Timur, sekaligus mengamankan tapal batas kedua negara. Ditentukanlah Long
Nawang menjadi terminal untuk membangun wilayah sekitarnya, dengan upaya
pembangunan desa yang layak sesuai ketentuan pemerintah, pendidikan non
formal dan formal, jaringan komunikasi, pertanian secara tetap, Puskesmas, dan
kegiatan lainnya untuk menerobos isolasi.
Ide-ide ini kemudian berkembang di tempat lain seperti Kalimantan Barat
di bidang pendidikan, wilayah Lampung selain membangun kehidupan bersama
transmigrasi juga mengusahakan penyaluran hasil-hasil produksi, dan wilayah
Riau dengan suku lautnya.
Kebutuhan dan upaya dari jemaat-jemaat diolah oleh Majelis Sinode
GPIB masa bakti 1970-1974 dan 1974-1978. Lahirlah istilah ’adopsi’ , yaitu
Jemaat-jemaat kota diarahkan untuk mengadopsi Jemaat-jemaat di desa-desa.
Jemaat-jemaat kota bersama mitra kerja di desa berkumpul secara rutin untuk
merencanakan pembangunan desa itu, mengusahakan dana bersama, membiayai
tenaga yang dibutuhkan serta secara berkala mengevaluasi perkembangan desa
tersebut. Tenaga-tenaga yang ditetapkan untuk proyek desa diperlengkapi
dengan kemampuan sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Sejak itu dikenal
Penginjil Lokal yang diangkat oleh jemaat-jemaat yang diadopsi dengan fungsi
antara lain sebagai Guru, petugas kesehatan, penyuluh pertanian dan motivator.
Untuk memenuhi tenaga penginjil wilayah Kalimantan Timur, sejak tahun 1970
didirikan Sekolah Tenaga Pengerja Gereja (STPG) di Samarinda. STPG ini
khusus mendidik para penatua, diaken dan pemuda-pemuda untuk melayani
berbagai proyek PMDA di wilayah Kalimantan Timur. Pendidikan yang sama
kemudian dibuka di Pontianak untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di
Kalimantan Barat. STPG seperti ini kini tidak difungsikan lagi.
Proyek-proyek adopsi ini misalnya dalam tahun 1975 dilaksanakan oleh:
Jemaat Paulus DKI bersama Ebenhaezer Surabaya terhadap Long Nawang di
Apou Kayan Kalimantan Timur; Jemaat Bandung beserta Penabur DKI,

19
Immanuel DKI dan Effatha DKI terhadap Lampung; Jemaat Petra DKI beserta
Pniel DKI dan Koinonia DKI terhadap Kalimantan Barat. Proyek-proyek adopsi
seperti ini telah diperluas di antara jemaat-jemaat dan berkembang sebagai suatu
tradisi dalam pelayanan GPIB.

3. Pembangunan Material
Konsolidasi di bidang keuangan tidak sepenuhnya berhasil, tetapi Jemaat
telah dibimbing untuk menyadari bahwa kemandirian di bidang keuangan
merupakan hal yang penting untuk memasuki masa pembangunan GPIB.
Langkah awal yang dilaksanakan di masa pembangunan ini adalah perubahan
sistem Iuran Jemaat. Warga Jemaat memikul beban keuangan dengan partisipasi
setiap warga sidi minimal Rp.15.- setiap bulan. Sistem ini dianggap kurang
tepat. karena tidak didukung oleh data-data yang akurat, khususnya jumlah
warga Jemaat GPIB. Lagi pula realisasi penyetoran iuran tersebut tidak sesuai
dengan yang direncanakan, yaitu sekitar 30-35% dan seluruh Jemaat yang
memenuhinya.
Karena itu tahun 1978 ditetapkan sistem baru dengan kategorisasi Jemaat-
jemaat dalam tiga kelompok, yaitu yang mampu, yang sedang dan yang minus.
Sistem ini yang berlaku sampai sekarang. Secara sinodal, pembangunan material
ini diarahkan juga kepada pemanfaatan harta milik GPIB. Terutama yang tidak
bergerak, berupa lokasi tanah dan bangunan atas nama bekas Jemaat-jemaat GPI
atau Yayasan/Badan-badan Kristen masa pemerintahan Belanda. Terdiri dari
Gedung-gedung Gereja yang sedang dipergunakan dengan lokasi tanah yang
menyekitarinya, misalnya Gereja Sion, Immanuel, Tugu, Pniel DKI Jakarta;
lokasi-lokasi yang tidak dimanfaatkan GPIB sehingga ditempati masyarakat atau
pemerintah, misalnya Taman Hiburan Rakyat Yogyakarta, Tanah Pejambon
Jakarta, Tanah Tugu Jakarta, Tanah ex Protestantsche Weeshuis Jalan Pemuda
Semarang, Tanah Megamendung dan Tanah Lawang.
Dalam rangka pemanfaatan harta milik ini Majelis Sinode mengurus
semua dokumen yang berhubungan dengan status tanah dan bangunan tersebut
dan melalui keputusan pemerintah, harta milik itu dikonversikan atas nama
GPIB. Keputusan Pemerintah Nomor SK. 22/DDA/1969, tangga1 14 Maret
1969 yang disempurnakan lagi tahun 1975 dan 1978 dan didukung oleh Surat
Keputusan Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama tanggal 28
Oktober 1974 dan 6 Pebruari 1988, yang menegaskan bahwa harta milik bekas

20
Jemaat-Jemaat GPI itu dialihkan menjadi atas nama GPIB. Di antara lokasi-
lokasi itu, ada yang dipindah lokasi, artinya dijual dan dari hasilnya dibeli lokasi
baru untuk kepentingan pelayanan, tetapi ada pula yang disewakan misalnya
untuk jangka waktu 25 tahun, antara lain sebagian tanah perumahan orang tua
Jemaat Pniel di Jakarta dan Panti Werda Dorkas di Semarang, yang menjadi
lokasi pertokoan.
Selanjutnya di dalam masa pembangunan GPIB ini, telah direncanakan
sembilan proyek sebagai upaya memasyarakatkan partisipasi GPIB di dalam
pembangunan bangsa mulai dari pembangunan perkantoran untuk disewakan
(leasing), pertokoan, terminal container/ gudang, hotel, industri kecil,
peternakan sampai kepada Christian Centre dan Pusat Pendidikan. 16 Proyek-
proyek yang telah dicanangkan ini tidak berjalan dengan lancar dan sering
menimbulkan persoalan karena kesulitan dana, tetapi juga karena proses
pengelolaan secara bisnis belum dikembangkan sesuai tuntutan misi Gereja.
Bahkan belakangan menimbulkan persoalan yang mengancam keutuhan GPIB.
Sekalipun demikian, pembangunan GPIB ini telah mendorong Jemaat
menggali potensi GPIB sendiri sebagai Gereja yang mandiri. Hasilnya antara
lain terciptanya sistem pengelolaan keuangan dan anggaran Jemaat dan Sinode,
proyek-proyek di desa-desa yang ditangani secara terpadu, pembangunan
kesejahteraan pendeta dan pegawai serta penginjil atau pendayagunaan Yayasan
Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua dan Perumahan. Selain itu mendorong
calon Jemaat baru untuk lebih mempersiapkan dengan kemampuan berswadaya
dalam bidang dana dan daya sebelum dilembagakan.

4. Pengembangan Pranata GPIB


Pelaksanaan pembangunan GPIB ditunjang oleh penataan diri yaitu
organisasi dan perangkat pelayanan.

a. Tata Gereja
Sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan Jemaat Missioner GPIB,
maka ditetapkanlah Tata Gereja baru dalam Sidang Sinode Istimewa di Jakarta,
tahun 1972. Tata Gereja 1972 ini diusahakan untuk tetap mencerminkan sistem
presbiterial sinodal, dan dilengkapi dengan empat ordinansi, yaitu tentang
Persidangan Sinode, Majelis Sinode, Bidang Pelayanan Khusus/ Kategorial

21
(BPK) dan Jemaat. Tata Gereja tersebut kemudian disempurnakan pada tahun
1974 dalam Persidangan Sinode XI di Surabaya dan tahun 1978 dalam
Persidangan Sinode XII di Jakarta dan dilengkapi pula dengan tiga peraturan
baru (sebagai tambahan terhadap ordinansi-ordinansi yang telah ada) yaitu,
masing-masing tentang Personal dan Penggajian, Perbendaharaan, dan Badan
Pemeriksa Perbendaharaan Gereja. Tata Gereja ini menempatkan Majelis Jemaat
dan Majelis Sinode dalam dataran yang sama, dan bertanggungjawab memimpin
organisasi GPIB" dengan lebih mengedepankan fungsi-fungsi manajerial.

b. Garis-garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan GPIB (GBKUPG)


Mulai tahun 1974 telah dirasakan perlunya satu program pembangunan
menyeluruh yang ditetapkan Persidangan Sinode untuk kemudian dijabarkan di
semua jajaran pelayanan GPIB. Karena itu Persidangan Sinode XII tahun 1978
menetapkan Garis-garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan Gereja (GBKUPG)
jangka panjang 4 tahun dan jangka pendek 1 tahun. Kemudian Persidangan
Sinode XIII tahun 1982 menyempurnakannya menjadi Garis-garis Besar
Kebijakan Umum Panggilan Gereja (GBKUPG) jangka panjang 25 tahun dan
jangka pendek 4 tahun dan 1 tahun.
Dalam rangka itu Musyawarah Pelayanan (MUPEL) ditingkatkan
peranannya sebagai badan pembantu Majelis Sinode dan penghubung antara
Jemaat-jemaat setempat. Pada tahun 1978, wilayah pelayanan GPIB dibagi atas
empat belas Mupel yang setiap tahun berkumpul bersama Majelis Sinode untuk
menguraikan program tahunan dan anggaran Majelis Sinode. GBKUPG ini
disusun sedemikian rupa sehingga setiap komponen yang melayani di GPIB
dapat menjabarkan program masing-masing di dalam koordinasi Mupel masing-
masing. Disini terjadi upaya keseragaman semua program dalam pelayanan
GPIB dan Jemaat kurang berperan untuk mengembangkan pelayanannya sesuai
kebutuhan setempat.

c. Tata Ibadah
Sejak tahun 1970 Tata Ibadah ditinjau dan diperbarui, terutama supaya
warga Jemaat lebih banyak berperanan dalam artian tidak hanya mendengar
Firman tetapi juga menjawab dan mewujudkan ibadah dalam hidup sehari-hari.
Melalui satu kelompok kerja dimana Prof. Dr. J.L. Ch. Abineno sangat
berperanan, tahun 1978 dibakukan Tata Ibadah GPIB dengan rumpun-rumpun
22
yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk setiap Ibadah Jemaat. Kemudian
tahun 1982 ditetapkan Tata Ibadah kedua yang lebih memperhatikan tradisi
Gereja mula-mula dan lebih bersifat oikumenis di mana Pdt. H. A. van Dop dan
Pdt. B. Simauw lebih banyak berperanan. Sementara itu sejak tahun 1974 GPIB
menetapkan untuk memperbarui lagu-lagu Gereja. Hal itu tidak hanya
disebabkan kebutuhan Jemaat untuk mengembangkan musik gerejawi secara
lebih bervariasi tetapi juga karena Jemaat-jemaat dilanda oleh arus kerohanian
baru dengan nyanyian-nyanyian yang dirasakan tidak cocok dengan ciri khas
GPIB. Lahirlah Tim Musik Gerejawi yang memulai kegiatannya dengan
disponsori Jemaat Paulus Jakarta, di mana Pdt. H. A. van Dop memberikan
peranan yang sangat penting. Hasil karya Tim ini diuji-coba melalui Pesta
Paduan Suara GPIB, Jambore Vokal Group Gerakan Pemuda GPIB dan Paduan
Suara Anak-anak di Jemaat-jemaat GPIB. Terbitan pertama diberikan judul
"Pujilah Tuhan" dan beredar secara luas dalam bentuk stensilan di kalangan
GPIB. Pekerjaan ini kemudian dialihkan kepada Yamuger dengan terbitan kedua
berjudul "Sekarang Bri Syukur". Lalu yang terakhir berjudul "Kidung Jemaat"
yang secara resmi dijadikan sebagai nyanyian yang dipergunakan dalam jajaran
Gereja-gereja di Indonesia, termasuk GPIB.

5. Partisipasi Oikumenis
Bila di dalam masa konsolidasi, kehadiran GPIB dalam kegiatan
oikumenis hampir selalu dikaitkan dengan GPI, nyatanya pada masa
pembangunan GPIB ini telah terjadi perkembangan baru. Sidang Sinode IX di
Jakarta tahun 1966 pernah menghimbau agar keesaan GPI tetap dipertahankan
dan agar GPI mewakili gereja-gereja bagiannya di dalam forum-forum
oikumenis. Sikap ini ternyata tidak dapat diperkembangkan secara konsekuen.
GPIB sendiri oleh kebutuhan mengembangkan dirinya dan peranannya, pada
tahun 1964 telah menjadi anggota EACC/CCA dan tahun 1969 menjadi anggota
WARC , serta berusaha menjadi anggota WCC sesuai keputusan Sidang Sinode
XII tahun 1978. Secara resmi GPIB mengajukan permohonan untuk menjadi
anggota WCC tahun 1986, dan baru diterima tahun 1991.
Terhadap GPI, selanjutnya GPIB berpendirian lain. Sidang Sinode X
tahun 1970 menegaskan sikap GPIB bahwa pengaturan di dalam GPI tidak
boleh menghalangi tetapi harus menguntungkan otonomi atau kedaulatan
Gereja-gereja yang berada di dalam lingkungan GPI. GPI hanya dipertahankan
keberadaannya dalam rangka tujuan DGI yaitu perwujudan Gereja Kristen yang

23
esa di Indonesia. Karena itu, GPIB mendesak untuk mengadakan Sidang Gereja
Am GPI yang diperluas dengan Gereja-gereja lain yang seazas (seperti GKJW,
GKP, GKI dsb.) untuk mereorganisir GPI dalam rangka mewujudkan Konsep
Sinode Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan DGI sebelum Sidang Raya tahun
1971 di Pematang Siantar. Usul GPIB ini baru terwujud melalui Sidang Gereja
Am Luar Biasa GPI yang diselenggarakan tahun 1978 di Sonder tanpa kehadiran
Gereja-gereja seasas, yang antara lain membahas eksistensi GPI sebagai Gereja
dan sebagai badan hukum. Hasilnya ialah ditetapkan Tata Gereja baru GPI
dengan tujuan bahwa GPI nantinya menjadi model keesaan di Indonesia. Dalam
rangka itu ditetapkan penyeragaman nama bagi semua Gereja yang berada di
dalam lingkungan GPI serta program kerja GPI antara lain pembinaan
komunikasi dan pemanfaatan harta milik Gereja-gereja (dalam lingkungan GPI).
Ketetapan ini tidak pernah dapat direalisir sampai sekarang dan harapan GPIB
untuk menjadikan GPI sebagai model keesaan itu tetap tidak terjangkau.
Terhadap DGI (sekarang PGI), GPIB mempunyai sikap yang jelas
terutama tercermin di dalam keputusan sinodal. GPIB turut mendirikan DGI
tahun 1950 dan mengejar secara konsekuen tujuan DGI. Sebagai Gereja yang
multi kultural, GPIB menyadari posisinya sebagai katalisator di dalam usaha-
usaha oikumenis di Indonesia. Karena itu GPIB tidak hanya menyetujui Sinode
Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan tahun 1970, tetapi juga menyarankan
perubahan di dalam struktur dan gaya kerja DGI. Dalam rangka Sinode
Oikumene itu maka diusulkan agar kegiatan DGI tidak bertumpuk di jalan
Salemba Raya 10 Jakarta. Kegiatan-kegiatan di lapangan tidak perlu langsung
ditangani oleh DGI tetapi seharusnya lebih banyak oleh Jemaat-jemaat/Gereja-
gereja dan dilaksanakan bersama Gereja-gereja di wilayah-wilayah. Sehubungan
dengan itulah maka GPIB selalu menekankan kehadirannya di wilayah-wilayah
(DGW atau DGS), sehingga Jemaat-jemaat GPIB berperan-serta bahkan
menjadi pelopor dalam kegiatan-kegiatan DGW dan DGS. Namun harapan-
harapan Sidang Sinode ini akhirnya tetap menjadi mimpi, sementara itu konsep
Sinode Oikumenis dan konsep model GPI dianggap ketinggalan dan DGI
kemudian berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada
tahun 1984. Di lain pihak GPIB sendiri tidak mempersiapkan kader yang dapat
disumbangkan untuk kegiatan-kegiatan oikumenis.

Masa Kemandirian (1982 - 1990)

24
Kemandirian yang dimaksud di dalam bahasan ini adalah sesuai dengan
pokok pikiran Sidang Raya PGI XI di Surabaya tahun 1989. Sidang Raya
menegaskan bahwa kemandirian itu meliputi visi yang jelas mengenai hakekat
hidup dan pelayanan gereja, memiliki nilai-nilai tertentu untuk bertumbuh
berkembang seperti percaya diri sendiri, jeli dalam mengamati masa depan,
berpandangan ke depan, gigih dalam berusaha dan mampu bekerja sama. Upaya
pembangunan Jemaat Missioner telah dimulai pada akhir masa konsolidasi
(1966-1970) dan ditingkatkan pada masa pembangunan GPIB (1970-1982) telah
mengantar GPIB untuk mandiri dalam artian memiliki kedewasaan. Kedewasaan
yang dimaksud adalah mampu menata dirinya dengan potensi-potensi yang
tersedia, hadir di tengah masyarakat dan mampu merumuskan imannya di dalam
masyarakat, serta berinisiatip menentukan peranannya di tengah sejarah
perjalanan bangsa dan gereja-gereja di Indonesia. Kemandirian inilah yang
dimantapkan dan ditingkatkan mulai tahun 1982, yang ditandai dengan:

1. Perumusan Pemahaman Iman GPIB


Pemahaman Iman GPIB sesungguhnya telah lama digumuli terutama
melalui diskusi-diskusi teologi sejak tahun 1970 dan diilhami pula oleh
kebutuhan masyarakat dan pergaulan oikumenis. Dalam kurun waktu 1970-
1982, warga Jemaat maupun para pejabat mempersoalkan teologi GPIB dan apa
ciri khas gereja ini. Dalam rangka menyusun Tata Gereja 1982 makin gencar
dipersoalkan apa pemahaman iman GPIB sebagai landasan teologis bagi
penyusunan pranata GPIB (Tata Gereja, liturgi dan ketetapan-ketetapan lainnya)
bagi pembinaan, pendidikan dan pelayanan serta kesaksian GPIB. Sebab itu
sejak Sidang Sinode XIII di Pandaan tahun 1982, GPIB mulai membicarakan
"Iman, Ajaran dan Ibadah" GPIB secara menyeluruh dalam kaitan dengan
perumusan suatu Pemahaman Iman. Tahun 1983 dibentuklah Bidang Pengkajian
Theologia, yang dipimpin oleh Pdt. V. I. Tanya, Ph.D., dan digiatkan kembali
Bidang Penelitian dan Pengembangan/Pembinaanyang dipimpin oleh Pdt. O. E.
Ch. Wuwungan, D.Th. Bersama dua lembaga ini Majelis Sinode membentuk
Tim Kerja 19 yang menyusun satu konsep pemahaman iman GPIB.
Melalui diskusi dan penyempurnaan di Jemaat jemaat dan Mupel-Mupel
GPIB maka naskah Pemahaman Iman ini ditetapkan di dalam Sidang Sinode
XIV Denpasar, Bali, tahun 1986. Pemahaman Iman ini dipikirkan dalam
semangat Reformatoris dan di dalam konteks Indonesia. Keadaan dan kebutuhan
masyarakat Indonesia yang sedang membangun serta pertemuan dengan agama

25
lain di Indonesia menuntut GPIB untuk tidak menonjolkan ketritunggalan Allah
sebagaimana halnya dengan ketiga simbol gereja purba yang diterima gereja-
gereja sekarang. Pemahaman Iman ini memakai pendekatan soteriologis, yang
dianggap amat penting bagi masyarakat yang sedang berusaha meraih
kesejahteraan bersama. Karena pembangunan seyogianya diupayakan di dalam
rangka tindakan Allah yang menyelamatkan manusia dan dunia ini melalui
Yesus Kristus.
Pendekatan seperti ini diyakini sebagai pembuka jalan bagi dialog dan
kerja bersama sehingga tidak perlu menjadikan ke-Tritunggalan itu sebagai batu
sandungan di dalam pergaulan dengan agama-agama lain di tengah masyarakat.
Isi pemahaman iman ini secara garis besar dapat kami rumuskan sebagai
berikut.
Pasal pertama pemahaman iman ini berbicara tentang keselamatan.
Seluruh tindakan Allah mulai dari penciptaan sampai parousia adalah berporos
pada Keselamatan di dalam Kristus. Tindakan Allah itu tidak pernah selesai,
berproses terus menerus menciptakan peluang, tantangan dan harpan bagi
manusia untuk mengalami dan memberlakukannya.
Tindakan Keselamatan itulah yang telah disambut dan diberitakan oleh
persekutuan orang-orang percaya yang disebut Gereja (pasal 2). Karena itu
Gereja merupakan buah sulung Kerajaan Allah, yang pertama-tama terbentuk
oleh karya Roh Kudus di dalam Kristus.
Dalam hubungan inilah Gereja merupakan Tubuh Kristus dengan Kristus
pula sebagai Dasar dan Kepalanya, menjadi persekutuan mondial dan benar
karena memberitakan Firman serta digerakkan oleh Roh Kudus untuk
menyatakan Kasih Allah melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian.
Gereja itu sendiri sebagai buah sulung memperkenalkan 'Citra Manusia
Baru' (pasal 3) di dalam tokoh Kristus. Sebab itu kehidupan manusia baru itu
hanya bisa dijalani di dalam hubungan dengan tindakan Allah yang
menyelamatkan itu dan di dalam persekutuan orang percaya, yaitu Gereja.
Selanjutnya manusia yang telah menemukan citranya itu hidup
bertanggungjawab dan mengelola alam ini.
Alam dan sumber dayanya (pasal 4) adalah kemungkinan-kemungkinan
yang disediakan Allah agar manusia di dalam citranya itu mengelola dan
melestarikannya untuk kepentingan bersama. Dan dalam rangka membina
kebersamaan itu maka keberadaan Negara dan Bangsa (pasal 5) mutlak perlu
26
untuk memanfaatkan dan mengendalikan kuasa manusia mencapai tujuan
bersama dengan tertib dan teratur. Kebersamaan itu dirangsang oleh masa depan
bersama (pasal 6) yang sekaligus pula berfungsi dan mendorong manusia untuk
menilai dan membarui diri serta membuka wawasan-wawasan baru agar
bertumbuh dan berkembang di dalam alur Keselamatan yang ditentukan Allah.
Supaya Gereja maupun masyarakat dan dunia tetap berada di alur
Keselamatan itu maka Firman Allah (pasal 7) diberikan untuk terus menerus
menerangi (= mengkritik) kehidupan Gereja dan dunia. Firman Allah yang
hidup, mencipta, memelihara dan memberi arah itu telah mewujudkan diri di
dalam Kristus. Itulah yang disaksikan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dan dengan kuasa Roh Kudus diberitakan terus menerus sepanjang zaman
dan di semua tempat.
Jelas, bahwa Pemahaman Iman ini merupakan pertanggungjawaban iman
GPIB di tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, dan berusaha
menjelaskan Allah itu dari segi karyaNya yang dialami oleh manusia dan dunia
ini. Di samping itu Pemahaman Iman ini sekaligus merupakan penjabaran
Pengakuan Iman gereja purba di tengah pelayanan dan kesaksian GPIB.
Di dalam praktik, pokok-pokok Pemahaman Iman ini dipakai sebagai
pedoman dalam menyusun kurikulum pelajaran bagi Pelayanan Anak,
Persekutuan Teruna, katekisasi, penelaahan Alkitab (Sabda Guna Krida), kotbah
Ibadah Minggu (Sabda Guna Darma) bacaan harian warga (Sabda Bina Umat).
Di dalam ibadah-ibadah Jemaat, bagian-bagian tertentu dan Pemahaman Iman
ini dikutip sesuai tema-tema pelayanan GPIB untuk diikrarkan Jemaat sebagai
pengganti Pengakuan Iman yang telah ada.

2 Peningkatan Proyek-proyek Pelkes


Istilah Pelkes (Pelayanan dan Kesaksian) muncul dalam konteks
Pembangunan Jemaat Missioner yang telah dilaksanakan tahun 1970. Istilah ini
muncul untuk merangkum semua kegiatan pekabaran Injil dalam arti yang
tradisional, PMKI, PMDA dan pembangunan material. Isi Pelkes dirumuskan di
dalam Konsultasi Sinodal Majelis Sinode dan Mupel-mupel di Ujung Pandang
tahun 1981 dan yang dibakukan oleh Konsultasi Pelkes di Lampung tahun yang
sama.
Jemaat-jemaat yang berhubungan langsung dengan proyek-proyek Pelkes
diarahkan untuk membangun masyarakat sekitarnya dan dalam batas-batas
27
tertentu melibatkan masyarakat antara lain perusahaan-perusahaan swasta yang
membantu proyek pendidikan di Kalimantan Barat.
Proyek-proyek ini yang dimulai awal tahun 1970-an dan dikenal dengan
proyek adopsi, telah berkembang pesat sehingga tahun 1990 berjumlah 229 pos
pelayanan dengan 44 Jemaat pembina. Permasalahan yang dihadapi ialah
terbatasnya tenaga yang terampil yang berpendidikan teologi sekaligus
berketerampilan khusus mengorganisir masyarakat setempat, misalnya dalam
hal mengembangkan pendidikan non formal, menjadi guru di sekolah-sekolah,
mengelola poliklinik, Posyandu (Pos pelayanan terpadu sesuai program
pemerintah) dan merintis komunikasi dengan suku-suku terasing. Untuk
mengatasi kekurangan tenaga yang dibutuhkan proyek-proyek Pelkes ini, maka
pada tanggal 14 Oktober 1990 STPG yang didirikan sejak 1970 di Samarinda
ditingkatkan menjadi Akademi Pelayanan dan Kesaksian GPIB (APK GPIB).
Dengan demikian, pembangunan GPIB kini bertumpu pada program Pelkes,
yang melibatkan pihak-pihak lainnya untuk mewujudkan misi GPIB di tengah
masyarakat. Pihak-pihak itu antara lain pemerintah setempat, usaha swasta,
petugas kesehatan, pengerja sosial, para pendidik dan penyuluh pertanian.
Selanjutnya program Pelkes ini dievaluasikan dan dikaji
perkembangannya terus menerus, misalnya mengenal pola pembangunan desa
yang berdampak lingkungan dan sebagainya. Setiap tahun GPIB
menyelenggarakan Bulan Pelkes untuk menilai kegiatan ini, selain untuk
memasyarakatkan ide Pelkes, juga untuk menggalang dana.
Tahun 1984 Bulan Pelkes dipusatkan di Batam, 1985 di Balikpapan, 1986
di Denpasar, 1987 di Surabaya, 1988 di Bandung, 1989 di Jakarta dan 1990 di
Cilacap. Ternyata minat terhadap kegiatan Bulan Pelkes ini cukup besar, diisi
dengan kegiatan-kegiatan ibadah syukur, pembinaan, seminar, pekan keluarga,
penelaahan Alkitab, perkunjungan ke pos Pelkes terdekat dan penggalangan
dana.
Selain Bulan Pelkes, sejak tahun 1986, pada waktu Sidang Sinode GPIB
diadakan juga pertemuan Raya Pelkes yang dihadiri oleh utusan-utusan khusus
dari seluruh jemaat GPIB (mereka bukan peserta Sidang Sinode dan dapat
berasal dari warga jemaat biasa). Pertemuan Raya seperti ini dibuka bersama-
sama dengan pembukaan Sidang Sinode dan ditutup secara bersama pula.

28
Kegiatan Pelkes ini oleh GPIB telah dijadikan sebagai program strategis
dalam bergereja di tengah bangsa dan negara yang sedang membangun, dengan
penekanan pada pembangunan manusia dan masyarakat seutuhnya.

3. Pemberdayaan Organisasi sebagai alat pelayanan


Kebutuhan untuk hidup di dalam konteks masyarakat telah mendorong
GPIB untuk memberdayakan organisasinya terus menerus sejak 1962. Setiap
Persidangan Sinode selalu mengevaluasikan organisasi dan merelevansikan Tata
Gereja yang berlaku.
Faktor wilayah yang begitu luas meliputi 24 propensi di Indonesia,
jemaat-jemaat yang menyebar serta komunikasi lalu lintas yang belum lancar di
daerah-daerah pedalaman dan pulau-pulau (khusus Kalimatan dan Sumatera),
telah mendorong GPIB untuk menata organisasinya dari waktu ke waktu.
Tata Gereja 1982 disusun dalam bentuk yang lengkap dan mencakup
semua peraturan-peraturan untuk memberdayakan organisasi GPIB. Tata Gereja
tersebut terdiri dari Tata Dasar, 3 Peraturan Pokok (Jemaat, Persidangan Sinode,
Majelis Sinode) dan 10 Peraturan (Pemilihan Penatua dan Diaken, Tata Tertib
Persidangan Sinode, Pemilihan Anggota Majelis Sinode, Pejabat, Pegawai dan
Penggajian, Perbendaharaan, Bidang Pelayanan Kategorial, Badan Pemeriksa
Perbendaharaan Gereja, Badan Pembantu, Pendewasaan dan Pelembagaan
Jemaat).
Sistim Presbiterial Sinodal tetap mewarnai Tata Gereja ini dengan
memperhatikan kebutuhan untuk memberdayakan organisasi GPIB.
Kemandirian GPIB ingin diterjemahkan dalam sebanyak mungkin unsur yang
berperan melaksanakan pelayanan. Sehingga sebanyak mungkin peraturan
ditampung dalam Tata Gereja ini.
Sekalipun demikian, pemberdayaan organisasi GPIB di masa kemandirian
ini ditandai dengan 4 hal.
a. Peranan Majelis Sinode dalam memimpin GPIB
b. Kepejabatan
c. Musyawarah Pelayanan
d. Akta Gereja

29
a. Peranan Majelis Sinode dalam memimpin GPIB
Kebutuahan untuk melaksanakan pembangunan Jemaat Misioner
menyebabkan GPIB mengadakan peningkatan dan pemantapan di bidang
organisasi.
Struktur GPIB sesuai Tata Gereja tahun 1972 yang menempatkan Majelis
Sinode dan Majelis Jemaat dalam jajaran yang sama dalam memimpin gereja,
tetapi Tata Gereja 1982, lebih memberikan peran pada aras Sinodal.
Secara Sinodal, Majelis Sinode, yang mewakili kebersamaan memimpin
GPIB dalam keseluruhan. Wewenangnya tidak hanya terbatas pada
melaksanakan keputusan-keputusan persidangan sinode, tetapi juga mengatur
personil dan mengelola semua harta milik GPIB serta dapat menetapkan
kebijakan-kebijakan bagi GPIB.
Dalam rangka itu organisasi Majelis Sinode diperluas untuk melaksanakan
langsung maupun tidak langsung seluruh program GPIB. Secara lokal, Majelis
Jemaat memimpin Jemaat setempat dengan meneruskan kebijakan-kebijakan
dari Majelis Sinode. Selanjutnya Bidang Pelayanan Kategorial tetap diberikan
fungsi sebagai alat pembinaan warga. Untuk itu bidang ini ditata kembali dari 3
menjadi 5, yaitu: Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda,
Persatuan Wanita dan Persekutuan Kaum Bapak.

b. Kepejabatan
Untuk menghapus hirarki jabatan yang sudah lama dirasakan menghambat
pelayanan, maka dirumuskan kembali tugas masing-masing jabatan yang ada
dan ditegaskan bahwa semua jabatan itu ada bukan untuk diri sendiri tetapi
untuk melayani.
Jabatan-jabatan itu diarahkan untuk secara bersama berfungsi menjaga
kemurnian pemberitaan Firman dan ajaran gereja. Semuanya diberikan fungsi
liturgis dan menjaga ajaran gereja. Karena itu mereka berada dalam satu ikatan
korps pelayan yang loyal terhadap gereja. Korps itu diwujudkan melalui istilah
presbiter untuk semua jabatan yang ada. Sekalipun disadari istilah ini semula
untuk penatua tetapi Tata Gereja 1982 menggunakannya untuk menjelaskan
bahwa jabatan-jabatan itu ada untuk menjaga kemurnian pemberitaan Firman
dan ajaran gereja, salah satu fungsi penting dari para penatua.

30
Dalam rangka menjaga kemurnian ajaran gereja itu maka para pelayan itu
harus loyal kepada gereja, hal mana dinyatakan melalui formulir yang
disampaikan sebelum diteguhkan sebagai palayan gereja. Mereka harus setia
kepada iman, ajaran dan ibadah GPIB, sesuai keputusan Sidang Sinode ke XIV
di Denpasar tahun 1986. Untuk itulah pembinaan terhadap mereka ini
diintensifkan, misalnya masa vikariat bagi calon pendeta dan pengmlll atau
KDPP sejak tahun 1988 dihidupkan lagi, sangsi yang ketat ditetapkan bagi para
pejabat yang tidak menaati peraturan Gereja dan pembinaan bagi para calon
penatua dan diaken ditingkatkan. selanjutnya tahun 1990 dibentuk Kursus
Lanjutan Pendeta dan Penginjil (KLPP) bagi para pendeta dan penginjil yang
memasuki kategori senior dalam rangka proyeksi kepemimpinan GPIB.

c. Musyawarah Pelayanan (MUPEL)


Tata Gereja 1972 telah memberikan peranan bagi Mupel dalam
memelihara kebersamaan Jemaat-jemaat di satu wilayah GPIB. Kemudian
dalam Tata Gereja 1982, lembaga Mupel ini disebut sebagai jembatan dinamis
yang selain berfungsi untuk memelihara kebersamaan Jemaat-jemaat di satu
wilayah, juga untuk menyebarkan kebijakan-kebijakan sinodal kepada Jemaat-
jemaat di wilayah tersebut. Khususnya dalam penyelenggaraan program Pelkes,
Mupel ini sangat berperanan.
Sampai tahun 1990, telah terbentuk 17 Mupel GPIB yang setiap tahun
berkumpul bersama Majelis Sinode dalam Konsultasi Sinodal untuk
menjabarkan program tahunan GPIB.
Lama kelamaan fungsi dan peranan Mupel lebih merupakan alat untuk
mewujudkan kepentingan Majelis Sinode dari pada Jemaat.

d. Akta Gereja
Akta adalah sejenis fatwa (di dalam Islam) di mana Gereja menetapkan
pedoman untuk membantu Warga Jemaat menentukan sikap terhadap berbagai
masalah di tengah masyarakat. Masalah-masalah itu seperti:
Pernikahan campuran (antar dua orang yang bcrbeda keyakinan, khusus
Islam dan Kristen), sunat, bayi tabung, operasi kelamin, pembaruan pengakuan
iman bagi warga Jemaat yang kembali setelah pernah beralih agama dan
meninggalkan Gereja, sumpah jabatan pegawai negeri, gerakan kharismatik,

31
pembentukan Gereja baru, jabatan penginjil, pendeta wanita, Persekutuan
Oikumene Umat Kristen, euthanasia, perceraian dan pokok-pokok lainnya yang
muncul di dalam perjalanan Gereja.
Akta Gereja ditetapkan oleh Persidangan Sinode XIV - 1986 sebagai salah
satu tanggungjawab untuk menggembalakan warga Jemaat dan sekaligus
pernyataan sikap GPIB untuk menjadi masukan bagi masyarakat dan negara.

Rangkuman
Kita telah mengikuti kisah perjalanan GPIB sejak berdirinya tahun 1948
sampai 1990. Gereja ini telah bertumbuh dan berkembang dalam artian is telah
berjuang keras untuk keluar dari keadaannya yang lama dan memasuki suatu
keadaan yang baru. Keadaan yang lama itu terutama berhubungan dengan
keterikatan warisan-warisan GPI. Sedangkan keadaan yang baru adalah
menemukan diri sebagai satu Gereja mandiri di tengah pergumulan masyarakat.
Keberadaannya yang baru sebagai Gereja itu ditandai dengan pelaksanaan
tugas missioner (kemudian dengan istilah Pelkes), pembinaan warga (melalui
BPK-BPK) dan para pelayan (melalui LPJ/Majelis Sinode), pembangunan
material (terutama menggali potensi Jemaat-jemaat untuk kemandirian daya dan
dana) serta penataan perangkat-perangkat teologis (Pemahaman Iman, Tata
Gereja, GBKUPG, Akta Gereja dan Tata Ibadah).
Dalam pelaksanaan tugas missioner (=Pelkes) GPIB telah berhasil
mendorong Jemaat-jemaat untuk memasuki kehidupan dan pergumulan
masyarakat yang dilayaninya. Namun tidak nampak perjumpaan dengan
masalah-masalah sosial, budaya dan agama-agama dalam rangka upaya
berteologi secara kontekstual dan aksi pastoral. Masalah-masalah sosial budaya
dan agama yang muncul dalam masyarakat hanya ditanggapi melalui wacana.
Begitu pula hubungan dengan pemerintah tidak mewujudkiin secara langsung
fungsi-fungsi kenabian tetapi disalurkan melalui lembaga oikumenis seperti
PGI.
Mengenai pembinaan, kita mendapat kesan bahwa pembinaan pejabat atau
pelayan-pelayan lebih menonjol, khususnya dalam hal kesetiaan mereka
terhadap lembaga GPIB. Sedangkan pembinaan warga sendiri yang
dipercayakan kepada BPK-BPK cenderung mengalami kemunduran di tengah
maraknya kegiatan aliran-aliran baru (kharismatik), terutama sejak akhir tahun
1980-an.
32
Di bidang pembangunan, kita melihat bahwa pemanfaatan harta milik
menjadi daya tarik tersendiri sehingga GPIB segera mengurus status-status tanah
yang diterima sebagai warisan dari GPI. Lalu dengan dukungan perangkat
hukum GPIB mulai mengelola tanah-tanah tersebut, walaupun ada banyak
masalah yang muncul karena belum dipersiapkan dengan baik, misalnya
hubungannya dengan GPI dan perencanaan yang lebih matang secara gerejawi.
Akhirnya boleh dikatakan penataan perangkat-perangkat teologis cukup
berhasil untuk menempatkan GPIB sebagai Gereja yang menggumuli dirinya
sebagai persekutuan orang percaya. Hal ini ditandai dengan pembaruan Tata
Ibadah yang terus menerus dilaksanakan. Juga Pemahaman Iman yang
diterapkan dalam materi-materi pembinaan warga dan pelayan. Begitu pula
GBKUPG dan Akta Gereja sebagai usaha untuk menjawab kebutuhan warga dan
masyarakat yang diterangi oleh Firman ALLAH. Sedangkan Tata Gereja yang
mengalami pembaruan setiap 10 tahun belum digarap sebagai upaya berteologi.
Perubahan Tata Gereja lebih banyak didorong oleh kebutuhan organisasi dan
manajemen yang diandalkan masyarakat modern. Sehingga peraturan-peratuan
yang dirangkum dalam Tata Gereja lebih bersifat kekuasaan untuk mengatur,
menertibkan dan menghukum. Seyogianya Tata Gereja dibaca dan diberlakukan
sebagai Injil. Tata Gereja adalah berita sukacita dalam pelayanan.

33
.

34
35

Anda mungkin juga menyukai