1948 -1990
oleh: Pdt. H. Ongirwalu, M.Th.
3. Para pejabat yang dialihkan dari GPI ke GPIB belum dipersiapkan untuk
memimpin
Para pejabat yang dialihkan dari GPI ini belum siap untuk memimpin
GPIB. Mereka umumnya adalah tamatan STOVIL di Ambon, Tomohon dan
SoE. Latar belakang pendidikan dan kedaerahan yang berbeda telah membawa
masalah tersendiri dalam membangun kebersamaan di GPIB. Wilayah GPIB
berbeda dengan Maluku, Minahasa atau Timor. Di daerah-daerah itu GPI telah
membentuk STOVIL dan kemudian menempatkan Pendeta-pendeta Ketua yang
berperanan untuk membina wawasan bergereja, kolegialitas pejabat dan
organisasi, kepemimpinan serta administrasi gereja masing-masing. GPIB tidak
mengalami persiapan seperti itu. Tidak mengherankan bila kepemimpinan GPIB
pada 10 tahun pertama dijabat oleh tenaga-tenaga dari GMIM dan GPM (Pdt.
W. J. Rumambi dan Pdt. C. Ch. Kainama). Mereka adalah tamatan STT Jakarta
angkatan pertama dengan wawasan oikumenis berperanan memimpin GPI dan
GPIB.
2
GPIB pada mulanya mengalami kesulitan mendasar dalam bidang
keuangan. GPIB harus menjelaskan kepada anggota-anggota Jemaatnya bahwa
para pendeta tidak lagi dibiayai oleh pemerintah.
GPIB harus menetapkan iuran anggota Jemaat, suatu hal yang sebelumnya tidak
pernah dilakukan. Juga harus membina Jemaat agar memberi bagi pelayanan
gereja. Begitu pula harus mengelola badan-badan diakonia yang diwariskan oleh
yayasan-yayasan yang dialihkan karena pengelolanya telah kembali ke Negeri
Belanda. Di satu pihak badan-badan diakonia itu secara resmi menjadi milik
GPIB tetapi telah dikelola secara pribadi oleh warga Jemaat GPIB atau oleh
yayasan-yayasan baru yang anggota-anggotanya adalah warga Jemaat GPIB.
Kelima masalah ini menjadi pergumulan utama GPIB pada masa 22 tahun
pertama. Itulah sebabnya dalam menetapkan periodisasi sejarah GPIB, perlu
ditempatkan masa 22 tahun pertama (1948 -1970) sebagai konsolidasi.
Sedangkan periode kedua (1970-1982) disebut: masa pembangunan yang
didukung oleh konsep Jemaat Missioner, dan periode ketiga (1982-1990) adalah
kemandirian GPIB dalam arti bahwa GPIB bukan hanya mandiri dalam daya
dan dana tetapi juga merumuskan visi dan misinya mengenai hakekat hidup dan
pelayanannya sebagai gereja. Masa antara tahun 1990 - kini, belum dapat
digarap sebagai peristiwa sejarah, karena masa ini penuh dengan gejolak yang
membutuhkan penelitian khusus.
1. Penataan Pelayanan
Persoalan pertama yang segera dihadapi GPIB setelah pelembagaannya,
ialah pelayanan dua bahasa di sebagian besar Jemaat-Jemaat bekas GPI, khusus
di kota-kota besar. Pelayanan berbahasa Belanda di satu Jemaat diatur oleh satu
Majelis Jemaat tersendiri dan pelayanan berbahasa Indonesia yang diatur juga
oleh Majelis Jemaat yang berbeda. Sehingga di dalam satu Jemaat terdapat dua
Majelis Jemaat yang melayani dengan dua bahasa dan juga dengan dua kas
Jemaat. Pelayanan dua bahasa ini sebenarnya sudah ada sejak zaman VOC tahun
1621 di Jakarta dengan satu Majelis Gereja dan tetap dilanjutkan pada zaman
Hindia Belanda. Ternyata pelayanan dua bahasa ini telah menimbulkan
pengkotakan di dalam persekutuan Warga Jemaat.
Bukan hanya Majelis Jemaat dan Kas Jemaat terbagi dua, tetapi juga
warga Jemaat. Warga Jemaat berbahasa Belanda berorientasi ke Eropa,
3
sedangkan mereka yang berbahasa Indonesia lebih nasionalis. Pelayanan
Pemuda juga terpecah dua, yaitu dalam PJC (Protestantse Jeugd Club) yang
kemudiaun menjadi AMP (Angkatan Muda Protestan) untuk semua anggota
yang berbahasa Belanda, sedangkan di Jemaat-jemaat yang berbahasa Indonesia
tumbuh organisasi pemuda GPIB yang mewakili Jemaatnya dengan bermacam
nama, Pelayanan Sekolah Minggu juga demikian, terbagi atas yang berbahasa
Indonesia dan yang berbahasa Belanda.
Dualisme ini diperuncing lagi oleh keadaan politik saat itu yang kemudian
memuncak pada persoalan terputusnya hubungan Belanda dan Indonesia karena
masalah Irian Barat (berubah menjadi Irian Jaya dan sekarang: Papua) tahun
1958.
Di dalam Sidang Sinode III tanggal 13-17 April 1953 di Jakarta, dualisme
ini telah diperdebatkan dan Klasis Jawa Barat membawa usul untuk segera
memecahkan persoalan ini. Yaitu agar segera disusun satu Peraturan Jemaat
mengenai bentuk Jemaat-jemaat GPIB dan satu Majelis Jemaat saja yang
mengatur pelayanan tersebut, serta memelihara keesaan Jemaat setempat. Maka
disusunlah satu konsep peraturan yang ditetapkan di dalam Sidang Sinode IV
yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 1-7 Mei 1955. Namun peraturan ini tidak
pernah diterapkan di seluruh Jemaat GPIB. Sidang Sinode V tahun 1958 di
Jakarta mengambil keputusan yang sama sekali lain karena situasi politik waktu
itu, yaitu menghapuskan pelayanan berbahasa Belanda di semua Jemaat GPIB.
Rumusan yang dipergunakan oleh Sidang Sinode V itu ialah "GPIB hanya
mengenal satu Jemaat, satu Majelis Jemaat dan satu Kas Jemaat." Rumusan ini
tegas tetapi juga bersifat politis dan di dalam pelaksanaannya seluruh kegiatan
pelayanan yang berbahasa Belanda bagi orang-orang Indonesia dihapuskan di
dalam seluruh jajaran GPIB. Sedangkan bagi orang-orang asing akan diusahakan
pelayanan tersendiri dengan pengaturan yang baru.
Menyadari peranan yang cukup penting dari bidang-bidang ini maka sejak
awal, Majelis Sinode sudah menjadikannya sebagai mitra kerja dalam
pelayanan. Langkah pertama adalah mengadakan Konferensi Organisasi Pemuda
Kristen Protestan yang dilaksanakan tanggal 13-15 Juli 1950 di Surabaya.
Konferensi yang dihadiri oleh berbagai Organisasi Pemuda di Jemaat-jemaat,
diakhiri dengan terbentuknya Gerakan Pemuda GPIB tanggal 15 Juli 1950, yang
dipimpin oleh Dewan Pemuda dan bekerja sama dengan Majelis Sinode untuk
membina kegiatan pemuda GPIB, dalam Gereja maupun masyarakat. Organisasi
pemuda ini dijadikan sebagai wadah pembinaan kader dari sejak awal berdirinya
sampai tahun 1966 dipimpin pendeta-pendeta seperti J. W. Porajouw, D. R.
Maitimoe, J. J. Matulessy dan P. H. Rompas.
Dewan Pemuda dipercayakan untuk mengkoordinir pelayanan Sekolah
Minggu di Jemaat-jemaat. Ketika Pdt. D. R. Maitimoe menjadi Ketua Dewan
Pemuda tahun 1957, Gerakan Pemuda mempersiapkan satu Konperensi Guru-
5
guru Sekolah Minggu, yang diadakan awal bulan September 1959 di Sukabumi.
Konferensi ini melahirkan organisasi Sekolah Minggu/Kebaktian Remaja
(SM/KR) tanggal 6 September 1959, yang dipimpin oleh Dewan SM/KR dengan
Ketua dirangkap oleh Pdt. D. R. Maitimoe, yang banyak menaruh minat
terhadap pembinaan Sekolah Minggu.
Dalam rangka pelaksanaan ide Jemaat Missioner itu, Pdt. D.R. Maitimoe
pada Sidang Sinode VIII tersebut memberikan ceramah yang berjudul
"Mendapatkan pola-pola baru guna mencapai struktur Jemaat Missioner".
Pokok-pokok pemikiran ini (disini ada pengaruh Sidang Raya DGD III, 1961 di
New Delhi) mendorong terjadinya arah baru dalam membarui struktur
pelayanan GPIB.
Masa antara tahun 1960-1970 adalah masa ketika seluruh Jemaat dan
jajaran GPIB 'demam' Jemaat Missioner, yang membawa dampak yang cukup
besar terutama dalam rangka mengarahkan warga Jemaat untuk melayani
masyarakat dan lingkungan sekitarnya sebagai sasaran berita Injil. Pengaruh itu
dapat dilihat di dalam pertumbuhan Jemaat-Jemaat. Pertumbuhan jumlah itu
disebabkan pemekaran Jemaat-jemaat kota dan hasil pekabaran Injil. Di Jakarta
misalnya, dari 3 Jemaat di tahun 1948 dimekarkan menjadi 24 Jemaat di tahun
1970, di Surabaya dari 1 Jemaat menjadi 7 Jemaat dan di Makassar dari 1
Jemaat menjadi 4 Jemaat. Jemaat-jemaat baru hasil pekabaran Injil seperti
Subang, Tanjung Karang, Sungai Penuh, Kerinci, Katapang, Tarempa dan Jambi
berdiri sebelum tahun 1970.
4. Keuangan
8
Pada tanggal 1 Pebruari 1950 Pemerintah RI meneruskan bantuan/modal
dari Pemerintah Belanda kepada GPI sesuai keputusan Ratu Belanda tahun
1935, sebesar 31 juta gulden. Dari GPI, GPIB menerima uang sejumlah 10 juta
rupiah dalam bentuk obligasi. Itulah modal kerja GPIB. Persoalannya sekarang
ialah bagaimana memanfaatkan uang tersebut dan bagaimana menjelaskan
kepada warga Jemaat bahwa dengan bantuan itu pemerintah telah mengakhiri
tanggungjawabnya kepada gereja, khususnya dalam hal memberikan gaji kepada
para pendeta GPIB.
Sekalipun kesadaran memberi dari warga Jemaat yang diukur dari setoran
iuran Jemaat ke Majelis Sinode barulah sekitar 30-35%, namun secara
keseluruhan perkembangan keuangan GPIB menanjak cepat pada tahun 1960-an
dibandingkan dengan keadaan tahun 1950-an, sehingga GPIB memasuki tahun
1970-an dengan kemandirian dana terutama di Jemaat-jemaat. Walau keuangan
Majelis Sinode sering mengalami defisit tetapi secara keseluruhan GPIB tidak
bergantung kepada pihak lain di dalam maupun di luar negeri. Pengalaman
ketergantungan masa GPI dan masa-masa awal GPIB menjadi cambuk untuk
menyadarkan warga Jemaat agar berdiri sendiri di bidang keuangan.
5. Kepemimpinan
Ketika berdirinya GPIB, boleh dikatakan, tidak tersedia tenaga yang
mampu memimpin gereja ini secara sinodal. Memang ada pendeta-pendeta
tamatan STOVIL Ambon, Tomohon dan SoE, tetapi mereka terutama
mengambil alih pelayanan di Jemaat-jemaat setelah para pendeta Belanda
ditawan selama Perang Dunia II atau meninggalkan Indonesia setelah perang itu.
Sesudah Perang Dunia II pendeta-pendeta GPI asal Belanda kembali memimpin
GPI dan GPIB yang baru didirikan itu. GMIM, GPM dan GMIT telah dipimpin
olch pendeta-pendeta Indonesia. Agaknya penyerahan kepemimpinan GPI dan
GPIB kepada orang-orang Indonesia belum dipersiapkan. Ada orang-orang
Indonesa seperti Pdt. J. J. Ayal dan Pdt. B. Supit yang memimpin Kerkbestuur
GPI pada masa pendudukan Jepang, atau Pdt. Nic Sahulata yang memimpin
Jemaat GPI di Jakarta sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi kepada mereka
belum diberikan peranan di dalam jabatan utama sesuai hirarki jabatan GPI.
Pada tahun 1950-an GPIB agak sulit mengeluarkan diri dari keterikatan
hirarki jabatan itu. Kepemimpinan GPIB tahun 1960-an banyak diwarnai oleh
peran Pdt. D. R. Maitimoe, Pdt. P. H. Rompas dan Pdt. A. J. Sahetapy Engel,
yang mengantar GPIB memasuki masa pembangunannya.
6. Organisasi
Sejak tahun 1948 GPIB telah memberlakukan Tata Gereja presbiterial
sinodal. Namun, banyak sekali persoalan yang muncul dari Jemaat-jemaat yang
tidak dapat dijawab oleh Tata Gereja ini. Persoalan-persoalan itu antara lain
mengenai pengaturan Jemaat-jemaat yang berada di dalam dualisme pelayanan,
kegiatan-kegiatan bidang pelayanan: Sekolah Minggu, Pemuda dan Wanita yang
terlepas dari kepemimpinan Majelis Jemaat, keuangan yang tidak dibantu lagi
oleh pemerintah, harta milik yang dipakai oleh GPIB dan GPI, kepemimpinan
yang kurang bertumbuh dari Jemaat dan organisasi yang masih meneruskan
model GPI. Semua masalah ini sebenarnya bersumber pada pertanyaan:
Bagaimana wujud GPIB yang sebenarnya dan bagaimana hubungan GPIB dan
GPI? Pertanyaan seperti ini telah dilontarkan di dalam Sidang Sinode III tahun
1953 dan IV tahun 1955 bahkan lebih hangat lagi pada Sidang Sinode VI tahun
1960. Tata Gereja 1948 tidak memberikan uraian tentang bagaimana wujud
Jemaat-jemaat itu dan bagaimana pengelolaannya. Belum ada peraturan tentang
Jemaat sebagai penjabaran dari Tata Gereja 1948. Sebab itu sangat terasa
kebutuhan mendesak untuk menyusun Tata Gereja yang baru.
Sidang Sinode VII tahun 1962 di Surabaya, membahas Tata Gereja baru
dengan mencantumkan secara jelas mengenai wujud GPIB yang berhubungan
dengan panggilan dan bukan dalam rangka GPI. Tata Gereja 1962 ini dilengkapi
pula dengan peraturan tentang Jemaat, yang disahkan di dalam Sidang Sinode
VIII 1964 di Bandung. Peraturan Jemaat yang terdiri dari 44 pasal itu
memberikan pedoman yang cukup rinci dan jelas mengenai bentuk Jemaat, apa
12
saja yang dilakukan dan bagaimana mengelolanya. Karena penatua dan diaken
berperanan penting mendampingi pendeta-pendeta di dalam memimpin dan
melayani, maka disusun pula Tata Cara pemilihan penatua dan diaken sebagai
lampiran Peraturan Jemaat tersebut.
Tata Gereja 1962/1964, sama seperti Tata Gereja 1948 menganut sistem
presbiterial-sinodal, yaitu antara lain mengelola pelayanan melalui
permusyawaratan bersama yang dilembagakan lewat Sidang Jemaat, Majelis
Jemaat, Sidang Klasis, Sidang Sinode dan Majelis Sinode.
a. Pendidikan
Mengingat peranan Lembaga-lembaga Pendidikan makin penting di
dalam pembangunan bangsa, maka sejak tahun 1971 GPIB mengadakan
koordinasi terhadap semua lembaga pendidikan yang dimiliki Jemaat. Untuk itu
Badan Koordinasi Pendidikan (BAKORDIK) GPIB didirikan tahun 1971 atas
rekomendasi Persidangan Sinode X tahun 1970 di Bandungan, Ambarawa.
14
Badan ini selain berfungsi untuk mengkoordinir sekolah-sekolah di
Jemaat-Jemaat GPIB juga membantu mengembangkan mutu pendidikan
sekolah-sekolah tersebut serta mengusahakan pengakuan dari pemerintah.
b. Pembinaan
Akibat mobilisasi warga yang dikampanyekan pada sepuluh tahun terakhir
masa konsolidasi, maka telah terjadi kesenjangan antara kaum awam dan para
pejabat. Hal ini menyebabkan pembinaan yang dilakukan Lembaga Pembinaan
Jemaat GPIB beralih dari warga Jemaat ke para pejabat.
18
Persidangan Sinode X tahun 1970 melihat bahwa pekabaran Injil yang
dilaksanakan pada masa 1960-an perlu diberikan bentuk dan isi yang baru.
Karena GPIB menghadapi masyarakat pedesaan yang perlu dikembangkan
secara terpadu, muncullah istilah PMDA ini. Idenya muncul dari lapangan,
pertama-tama dari Kalimantan Timur dan dipelopori oleh Pdt. C. Wairata.
Pelayanan terhadap suku terasing menuntut gereja untuk memikirkan suatu pola
pendekatan yang baru. Tambahan pula kebijakan pemerintah agar suku-suku
terasing itu dimukimkan di sepanjang perbatasan Kalimantan dan Malaysia
Timur, sekaligus mengamankan tapal batas kedua negara. Ditentukanlah Long
Nawang menjadi terminal untuk membangun wilayah sekitarnya, dengan upaya
pembangunan desa yang layak sesuai ketentuan pemerintah, pendidikan non
formal dan formal, jaringan komunikasi, pertanian secara tetap, Puskesmas, dan
kegiatan lainnya untuk menerobos isolasi.
Ide-ide ini kemudian berkembang di tempat lain seperti Kalimantan Barat
di bidang pendidikan, wilayah Lampung selain membangun kehidupan bersama
transmigrasi juga mengusahakan penyaluran hasil-hasil produksi, dan wilayah
Riau dengan suku lautnya.
Kebutuhan dan upaya dari jemaat-jemaat diolah oleh Majelis Sinode
GPIB masa bakti 1970-1974 dan 1974-1978. Lahirlah istilah ’adopsi’ , yaitu
Jemaat-jemaat kota diarahkan untuk mengadopsi Jemaat-jemaat di desa-desa.
Jemaat-jemaat kota bersama mitra kerja di desa berkumpul secara rutin untuk
merencanakan pembangunan desa itu, mengusahakan dana bersama, membiayai
tenaga yang dibutuhkan serta secara berkala mengevaluasi perkembangan desa
tersebut. Tenaga-tenaga yang ditetapkan untuk proyek desa diperlengkapi
dengan kemampuan sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Sejak itu dikenal
Penginjil Lokal yang diangkat oleh jemaat-jemaat yang diadopsi dengan fungsi
antara lain sebagai Guru, petugas kesehatan, penyuluh pertanian dan motivator.
Untuk memenuhi tenaga penginjil wilayah Kalimantan Timur, sejak tahun 1970
didirikan Sekolah Tenaga Pengerja Gereja (STPG) di Samarinda. STPG ini
khusus mendidik para penatua, diaken dan pemuda-pemuda untuk melayani
berbagai proyek PMDA di wilayah Kalimantan Timur. Pendidikan yang sama
kemudian dibuka di Pontianak untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di
Kalimantan Barat. STPG seperti ini kini tidak difungsikan lagi.
Proyek-proyek adopsi ini misalnya dalam tahun 1975 dilaksanakan oleh:
Jemaat Paulus DKI bersama Ebenhaezer Surabaya terhadap Long Nawang di
Apou Kayan Kalimantan Timur; Jemaat Bandung beserta Penabur DKI,
19
Immanuel DKI dan Effatha DKI terhadap Lampung; Jemaat Petra DKI beserta
Pniel DKI dan Koinonia DKI terhadap Kalimantan Barat. Proyek-proyek adopsi
seperti ini telah diperluas di antara jemaat-jemaat dan berkembang sebagai suatu
tradisi dalam pelayanan GPIB.
3. Pembangunan Material
Konsolidasi di bidang keuangan tidak sepenuhnya berhasil, tetapi Jemaat
telah dibimbing untuk menyadari bahwa kemandirian di bidang keuangan
merupakan hal yang penting untuk memasuki masa pembangunan GPIB.
Langkah awal yang dilaksanakan di masa pembangunan ini adalah perubahan
sistem Iuran Jemaat. Warga Jemaat memikul beban keuangan dengan partisipasi
setiap warga sidi minimal Rp.15.- setiap bulan. Sistem ini dianggap kurang
tepat. karena tidak didukung oleh data-data yang akurat, khususnya jumlah
warga Jemaat GPIB. Lagi pula realisasi penyetoran iuran tersebut tidak sesuai
dengan yang direncanakan, yaitu sekitar 30-35% dan seluruh Jemaat yang
memenuhinya.
Karena itu tahun 1978 ditetapkan sistem baru dengan kategorisasi Jemaat-
jemaat dalam tiga kelompok, yaitu yang mampu, yang sedang dan yang minus.
Sistem ini yang berlaku sampai sekarang. Secara sinodal, pembangunan material
ini diarahkan juga kepada pemanfaatan harta milik GPIB. Terutama yang tidak
bergerak, berupa lokasi tanah dan bangunan atas nama bekas Jemaat-jemaat GPI
atau Yayasan/Badan-badan Kristen masa pemerintahan Belanda. Terdiri dari
Gedung-gedung Gereja yang sedang dipergunakan dengan lokasi tanah yang
menyekitarinya, misalnya Gereja Sion, Immanuel, Tugu, Pniel DKI Jakarta;
lokasi-lokasi yang tidak dimanfaatkan GPIB sehingga ditempati masyarakat atau
pemerintah, misalnya Taman Hiburan Rakyat Yogyakarta, Tanah Pejambon
Jakarta, Tanah Tugu Jakarta, Tanah ex Protestantsche Weeshuis Jalan Pemuda
Semarang, Tanah Megamendung dan Tanah Lawang.
Dalam rangka pemanfaatan harta milik ini Majelis Sinode mengurus
semua dokumen yang berhubungan dengan status tanah dan bangunan tersebut
dan melalui keputusan pemerintah, harta milik itu dikonversikan atas nama
GPIB. Keputusan Pemerintah Nomor SK. 22/DDA/1969, tangga1 14 Maret
1969 yang disempurnakan lagi tahun 1975 dan 1978 dan didukung oleh Surat
Keputusan Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama tanggal 28
Oktober 1974 dan 6 Pebruari 1988, yang menegaskan bahwa harta milik bekas
20
Jemaat-Jemaat GPI itu dialihkan menjadi atas nama GPIB. Di antara lokasi-
lokasi itu, ada yang dipindah lokasi, artinya dijual dan dari hasilnya dibeli lokasi
baru untuk kepentingan pelayanan, tetapi ada pula yang disewakan misalnya
untuk jangka waktu 25 tahun, antara lain sebagian tanah perumahan orang tua
Jemaat Pniel di Jakarta dan Panti Werda Dorkas di Semarang, yang menjadi
lokasi pertokoan.
Selanjutnya di dalam masa pembangunan GPIB ini, telah direncanakan
sembilan proyek sebagai upaya memasyarakatkan partisipasi GPIB di dalam
pembangunan bangsa mulai dari pembangunan perkantoran untuk disewakan
(leasing), pertokoan, terminal container/ gudang, hotel, industri kecil,
peternakan sampai kepada Christian Centre dan Pusat Pendidikan. 16 Proyek-
proyek yang telah dicanangkan ini tidak berjalan dengan lancar dan sering
menimbulkan persoalan karena kesulitan dana, tetapi juga karena proses
pengelolaan secara bisnis belum dikembangkan sesuai tuntutan misi Gereja.
Bahkan belakangan menimbulkan persoalan yang mengancam keutuhan GPIB.
Sekalipun demikian, pembangunan GPIB ini telah mendorong Jemaat
menggali potensi GPIB sendiri sebagai Gereja yang mandiri. Hasilnya antara
lain terciptanya sistem pengelolaan keuangan dan anggaran Jemaat dan Sinode,
proyek-proyek di desa-desa yang ditangani secara terpadu, pembangunan
kesejahteraan pendeta dan pegawai serta penginjil atau pendayagunaan Yayasan
Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua dan Perumahan. Selain itu mendorong
calon Jemaat baru untuk lebih mempersiapkan dengan kemampuan berswadaya
dalam bidang dana dan daya sebelum dilembagakan.
a. Tata Gereja
Sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan Jemaat Missioner GPIB,
maka ditetapkanlah Tata Gereja baru dalam Sidang Sinode Istimewa di Jakarta,
tahun 1972. Tata Gereja 1972 ini diusahakan untuk tetap mencerminkan sistem
presbiterial sinodal, dan dilengkapi dengan empat ordinansi, yaitu tentang
Persidangan Sinode, Majelis Sinode, Bidang Pelayanan Khusus/ Kategorial
21
(BPK) dan Jemaat. Tata Gereja tersebut kemudian disempurnakan pada tahun
1974 dalam Persidangan Sinode XI di Surabaya dan tahun 1978 dalam
Persidangan Sinode XII di Jakarta dan dilengkapi pula dengan tiga peraturan
baru (sebagai tambahan terhadap ordinansi-ordinansi yang telah ada) yaitu,
masing-masing tentang Personal dan Penggajian, Perbendaharaan, dan Badan
Pemeriksa Perbendaharaan Gereja. Tata Gereja ini menempatkan Majelis Jemaat
dan Majelis Sinode dalam dataran yang sama, dan bertanggungjawab memimpin
organisasi GPIB" dengan lebih mengedepankan fungsi-fungsi manajerial.
c. Tata Ibadah
Sejak tahun 1970 Tata Ibadah ditinjau dan diperbarui, terutama supaya
warga Jemaat lebih banyak berperanan dalam artian tidak hanya mendengar
Firman tetapi juga menjawab dan mewujudkan ibadah dalam hidup sehari-hari.
Melalui satu kelompok kerja dimana Prof. Dr. J.L. Ch. Abineno sangat
berperanan, tahun 1978 dibakukan Tata Ibadah GPIB dengan rumpun-rumpun
22
yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk setiap Ibadah Jemaat. Kemudian
tahun 1982 ditetapkan Tata Ibadah kedua yang lebih memperhatikan tradisi
Gereja mula-mula dan lebih bersifat oikumenis di mana Pdt. H. A. van Dop dan
Pdt. B. Simauw lebih banyak berperanan. Sementara itu sejak tahun 1974 GPIB
menetapkan untuk memperbarui lagu-lagu Gereja. Hal itu tidak hanya
disebabkan kebutuhan Jemaat untuk mengembangkan musik gerejawi secara
lebih bervariasi tetapi juga karena Jemaat-jemaat dilanda oleh arus kerohanian
baru dengan nyanyian-nyanyian yang dirasakan tidak cocok dengan ciri khas
GPIB. Lahirlah Tim Musik Gerejawi yang memulai kegiatannya dengan
disponsori Jemaat Paulus Jakarta, di mana Pdt. H. A. van Dop memberikan
peranan yang sangat penting. Hasil karya Tim ini diuji-coba melalui Pesta
Paduan Suara GPIB, Jambore Vokal Group Gerakan Pemuda GPIB dan Paduan
Suara Anak-anak di Jemaat-jemaat GPIB. Terbitan pertama diberikan judul
"Pujilah Tuhan" dan beredar secara luas dalam bentuk stensilan di kalangan
GPIB. Pekerjaan ini kemudian dialihkan kepada Yamuger dengan terbitan kedua
berjudul "Sekarang Bri Syukur". Lalu yang terakhir berjudul "Kidung Jemaat"
yang secara resmi dijadikan sebagai nyanyian yang dipergunakan dalam jajaran
Gereja-gereja di Indonesia, termasuk GPIB.
5. Partisipasi Oikumenis
Bila di dalam masa konsolidasi, kehadiran GPIB dalam kegiatan
oikumenis hampir selalu dikaitkan dengan GPI, nyatanya pada masa
pembangunan GPIB ini telah terjadi perkembangan baru. Sidang Sinode IX di
Jakarta tahun 1966 pernah menghimbau agar keesaan GPI tetap dipertahankan
dan agar GPI mewakili gereja-gereja bagiannya di dalam forum-forum
oikumenis. Sikap ini ternyata tidak dapat diperkembangkan secara konsekuen.
GPIB sendiri oleh kebutuhan mengembangkan dirinya dan peranannya, pada
tahun 1964 telah menjadi anggota EACC/CCA dan tahun 1969 menjadi anggota
WARC , serta berusaha menjadi anggota WCC sesuai keputusan Sidang Sinode
XII tahun 1978. Secara resmi GPIB mengajukan permohonan untuk menjadi
anggota WCC tahun 1986, dan baru diterima tahun 1991.
Terhadap GPI, selanjutnya GPIB berpendirian lain. Sidang Sinode X
tahun 1970 menegaskan sikap GPIB bahwa pengaturan di dalam GPI tidak
boleh menghalangi tetapi harus menguntungkan otonomi atau kedaulatan
Gereja-gereja yang berada di dalam lingkungan GPI. GPI hanya dipertahankan
keberadaannya dalam rangka tujuan DGI yaitu perwujudan Gereja Kristen yang
23
esa di Indonesia. Karena itu, GPIB mendesak untuk mengadakan Sidang Gereja
Am GPI yang diperluas dengan Gereja-gereja lain yang seazas (seperti GKJW,
GKP, GKI dsb.) untuk mereorganisir GPI dalam rangka mewujudkan Konsep
Sinode Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan DGI sebelum Sidang Raya tahun
1971 di Pematang Siantar. Usul GPIB ini baru terwujud melalui Sidang Gereja
Am Luar Biasa GPI yang diselenggarakan tahun 1978 di Sonder tanpa kehadiran
Gereja-gereja seasas, yang antara lain membahas eksistensi GPI sebagai Gereja
dan sebagai badan hukum. Hasilnya ialah ditetapkan Tata Gereja baru GPI
dengan tujuan bahwa GPI nantinya menjadi model keesaan di Indonesia. Dalam
rangka itu ditetapkan penyeragaman nama bagi semua Gereja yang berada di
dalam lingkungan GPI serta program kerja GPI antara lain pembinaan
komunikasi dan pemanfaatan harta milik Gereja-gereja (dalam lingkungan GPI).
Ketetapan ini tidak pernah dapat direalisir sampai sekarang dan harapan GPIB
untuk menjadikan GPI sebagai model keesaan itu tetap tidak terjangkau.
Terhadap DGI (sekarang PGI), GPIB mempunyai sikap yang jelas
terutama tercermin di dalam keputusan sinodal. GPIB turut mendirikan DGI
tahun 1950 dan mengejar secara konsekuen tujuan DGI. Sebagai Gereja yang
multi kultural, GPIB menyadari posisinya sebagai katalisator di dalam usaha-
usaha oikumenis di Indonesia. Karena itu GPIB tidak hanya menyetujui Sinode
Oikumene (Sinogi) yang dicetuskan tahun 1970, tetapi juga menyarankan
perubahan di dalam struktur dan gaya kerja DGI. Dalam rangka Sinode
Oikumene itu maka diusulkan agar kegiatan DGI tidak bertumpuk di jalan
Salemba Raya 10 Jakarta. Kegiatan-kegiatan di lapangan tidak perlu langsung
ditangani oleh DGI tetapi seharusnya lebih banyak oleh Jemaat-jemaat/Gereja-
gereja dan dilaksanakan bersama Gereja-gereja di wilayah-wilayah. Sehubungan
dengan itulah maka GPIB selalu menekankan kehadirannya di wilayah-wilayah
(DGW atau DGS), sehingga Jemaat-jemaat GPIB berperan-serta bahkan
menjadi pelopor dalam kegiatan-kegiatan DGW dan DGS. Namun harapan-
harapan Sidang Sinode ini akhirnya tetap menjadi mimpi, sementara itu konsep
Sinode Oikumenis dan konsep model GPI dianggap ketinggalan dan DGI
kemudian berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada
tahun 1984. Di lain pihak GPIB sendiri tidak mempersiapkan kader yang dapat
disumbangkan untuk kegiatan-kegiatan oikumenis.
24
Kemandirian yang dimaksud di dalam bahasan ini adalah sesuai dengan
pokok pikiran Sidang Raya PGI XI di Surabaya tahun 1989. Sidang Raya
menegaskan bahwa kemandirian itu meliputi visi yang jelas mengenai hakekat
hidup dan pelayanan gereja, memiliki nilai-nilai tertentu untuk bertumbuh
berkembang seperti percaya diri sendiri, jeli dalam mengamati masa depan,
berpandangan ke depan, gigih dalam berusaha dan mampu bekerja sama. Upaya
pembangunan Jemaat Missioner telah dimulai pada akhir masa konsolidasi
(1966-1970) dan ditingkatkan pada masa pembangunan GPIB (1970-1982) telah
mengantar GPIB untuk mandiri dalam artian memiliki kedewasaan. Kedewasaan
yang dimaksud adalah mampu menata dirinya dengan potensi-potensi yang
tersedia, hadir di tengah masyarakat dan mampu merumuskan imannya di dalam
masyarakat, serta berinisiatip menentukan peranannya di tengah sejarah
perjalanan bangsa dan gereja-gereja di Indonesia. Kemandirian inilah yang
dimantapkan dan ditingkatkan mulai tahun 1982, yang ditandai dengan:
25
lain di Indonesia menuntut GPIB untuk tidak menonjolkan ketritunggalan Allah
sebagaimana halnya dengan ketiga simbol gereja purba yang diterima gereja-
gereja sekarang. Pemahaman Iman ini memakai pendekatan soteriologis, yang
dianggap amat penting bagi masyarakat yang sedang berusaha meraih
kesejahteraan bersama. Karena pembangunan seyogianya diupayakan di dalam
rangka tindakan Allah yang menyelamatkan manusia dan dunia ini melalui
Yesus Kristus.
Pendekatan seperti ini diyakini sebagai pembuka jalan bagi dialog dan
kerja bersama sehingga tidak perlu menjadikan ke-Tritunggalan itu sebagai batu
sandungan di dalam pergaulan dengan agama-agama lain di tengah masyarakat.
Isi pemahaman iman ini secara garis besar dapat kami rumuskan sebagai
berikut.
Pasal pertama pemahaman iman ini berbicara tentang keselamatan.
Seluruh tindakan Allah mulai dari penciptaan sampai parousia adalah berporos
pada Keselamatan di dalam Kristus. Tindakan Allah itu tidak pernah selesai,
berproses terus menerus menciptakan peluang, tantangan dan harpan bagi
manusia untuk mengalami dan memberlakukannya.
Tindakan Keselamatan itulah yang telah disambut dan diberitakan oleh
persekutuan orang-orang percaya yang disebut Gereja (pasal 2). Karena itu
Gereja merupakan buah sulung Kerajaan Allah, yang pertama-tama terbentuk
oleh karya Roh Kudus di dalam Kristus.
Dalam hubungan inilah Gereja merupakan Tubuh Kristus dengan Kristus
pula sebagai Dasar dan Kepalanya, menjadi persekutuan mondial dan benar
karena memberitakan Firman serta digerakkan oleh Roh Kudus untuk
menyatakan Kasih Allah melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian.
Gereja itu sendiri sebagai buah sulung memperkenalkan 'Citra Manusia
Baru' (pasal 3) di dalam tokoh Kristus. Sebab itu kehidupan manusia baru itu
hanya bisa dijalani di dalam hubungan dengan tindakan Allah yang
menyelamatkan itu dan di dalam persekutuan orang percaya, yaitu Gereja.
Selanjutnya manusia yang telah menemukan citranya itu hidup
bertanggungjawab dan mengelola alam ini.
Alam dan sumber dayanya (pasal 4) adalah kemungkinan-kemungkinan
yang disediakan Allah agar manusia di dalam citranya itu mengelola dan
melestarikannya untuk kepentingan bersama. Dan dalam rangka membina
kebersamaan itu maka keberadaan Negara dan Bangsa (pasal 5) mutlak perlu
26
untuk memanfaatkan dan mengendalikan kuasa manusia mencapai tujuan
bersama dengan tertib dan teratur. Kebersamaan itu dirangsang oleh masa depan
bersama (pasal 6) yang sekaligus pula berfungsi dan mendorong manusia untuk
menilai dan membarui diri serta membuka wawasan-wawasan baru agar
bertumbuh dan berkembang di dalam alur Keselamatan yang ditentukan Allah.
Supaya Gereja maupun masyarakat dan dunia tetap berada di alur
Keselamatan itu maka Firman Allah (pasal 7) diberikan untuk terus menerus
menerangi (= mengkritik) kehidupan Gereja dan dunia. Firman Allah yang
hidup, mencipta, memelihara dan memberi arah itu telah mewujudkan diri di
dalam Kristus. Itulah yang disaksikan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dan dengan kuasa Roh Kudus diberitakan terus menerus sepanjang zaman
dan di semua tempat.
Jelas, bahwa Pemahaman Iman ini merupakan pertanggungjawaban iman
GPIB di tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, dan berusaha
menjelaskan Allah itu dari segi karyaNya yang dialami oleh manusia dan dunia
ini. Di samping itu Pemahaman Iman ini sekaligus merupakan penjabaran
Pengakuan Iman gereja purba di tengah pelayanan dan kesaksian GPIB.
Di dalam praktik, pokok-pokok Pemahaman Iman ini dipakai sebagai
pedoman dalam menyusun kurikulum pelajaran bagi Pelayanan Anak,
Persekutuan Teruna, katekisasi, penelaahan Alkitab (Sabda Guna Krida), kotbah
Ibadah Minggu (Sabda Guna Darma) bacaan harian warga (Sabda Bina Umat).
Di dalam ibadah-ibadah Jemaat, bagian-bagian tertentu dan Pemahaman Iman
ini dikutip sesuai tema-tema pelayanan GPIB untuk diikrarkan Jemaat sebagai
pengganti Pengakuan Iman yang telah ada.
28
Kegiatan Pelkes ini oleh GPIB telah dijadikan sebagai program strategis
dalam bergereja di tengah bangsa dan negara yang sedang membangun, dengan
penekanan pada pembangunan manusia dan masyarakat seutuhnya.
29
a. Peranan Majelis Sinode dalam memimpin GPIB
Kebutuahan untuk melaksanakan pembangunan Jemaat Misioner
menyebabkan GPIB mengadakan peningkatan dan pemantapan di bidang
organisasi.
Struktur GPIB sesuai Tata Gereja tahun 1972 yang menempatkan Majelis
Sinode dan Majelis Jemaat dalam jajaran yang sama dalam memimpin gereja,
tetapi Tata Gereja 1982, lebih memberikan peran pada aras Sinodal.
Secara Sinodal, Majelis Sinode, yang mewakili kebersamaan memimpin
GPIB dalam keseluruhan. Wewenangnya tidak hanya terbatas pada
melaksanakan keputusan-keputusan persidangan sinode, tetapi juga mengatur
personil dan mengelola semua harta milik GPIB serta dapat menetapkan
kebijakan-kebijakan bagi GPIB.
Dalam rangka itu organisasi Majelis Sinode diperluas untuk melaksanakan
langsung maupun tidak langsung seluruh program GPIB. Secara lokal, Majelis
Jemaat memimpin Jemaat setempat dengan meneruskan kebijakan-kebijakan
dari Majelis Sinode. Selanjutnya Bidang Pelayanan Kategorial tetap diberikan
fungsi sebagai alat pembinaan warga. Untuk itu bidang ini ditata kembali dari 3
menjadi 5, yaitu: Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda,
Persatuan Wanita dan Persekutuan Kaum Bapak.
b. Kepejabatan
Untuk menghapus hirarki jabatan yang sudah lama dirasakan menghambat
pelayanan, maka dirumuskan kembali tugas masing-masing jabatan yang ada
dan ditegaskan bahwa semua jabatan itu ada bukan untuk diri sendiri tetapi
untuk melayani.
Jabatan-jabatan itu diarahkan untuk secara bersama berfungsi menjaga
kemurnian pemberitaan Firman dan ajaran gereja. Semuanya diberikan fungsi
liturgis dan menjaga ajaran gereja. Karena itu mereka berada dalam satu ikatan
korps pelayan yang loyal terhadap gereja. Korps itu diwujudkan melalui istilah
presbiter untuk semua jabatan yang ada. Sekalipun disadari istilah ini semula
untuk penatua tetapi Tata Gereja 1982 menggunakannya untuk menjelaskan
bahwa jabatan-jabatan itu ada untuk menjaga kemurnian pemberitaan Firman
dan ajaran gereja, salah satu fungsi penting dari para penatua.
30
Dalam rangka menjaga kemurnian ajaran gereja itu maka para pelayan itu
harus loyal kepada gereja, hal mana dinyatakan melalui formulir yang
disampaikan sebelum diteguhkan sebagai palayan gereja. Mereka harus setia
kepada iman, ajaran dan ibadah GPIB, sesuai keputusan Sidang Sinode ke XIV
di Denpasar tahun 1986. Untuk itulah pembinaan terhadap mereka ini
diintensifkan, misalnya masa vikariat bagi calon pendeta dan pengmlll atau
KDPP sejak tahun 1988 dihidupkan lagi, sangsi yang ketat ditetapkan bagi para
pejabat yang tidak menaati peraturan Gereja dan pembinaan bagi para calon
penatua dan diaken ditingkatkan. selanjutnya tahun 1990 dibentuk Kursus
Lanjutan Pendeta dan Penginjil (KLPP) bagi para pendeta dan penginjil yang
memasuki kategori senior dalam rangka proyeksi kepemimpinan GPIB.
d. Akta Gereja
Akta adalah sejenis fatwa (di dalam Islam) di mana Gereja menetapkan
pedoman untuk membantu Warga Jemaat menentukan sikap terhadap berbagai
masalah di tengah masyarakat. Masalah-masalah itu seperti:
Pernikahan campuran (antar dua orang yang bcrbeda keyakinan, khusus
Islam dan Kristen), sunat, bayi tabung, operasi kelamin, pembaruan pengakuan
iman bagi warga Jemaat yang kembali setelah pernah beralih agama dan
meninggalkan Gereja, sumpah jabatan pegawai negeri, gerakan kharismatik,
31
pembentukan Gereja baru, jabatan penginjil, pendeta wanita, Persekutuan
Oikumene Umat Kristen, euthanasia, perceraian dan pokok-pokok lainnya yang
muncul di dalam perjalanan Gereja.
Akta Gereja ditetapkan oleh Persidangan Sinode XIV - 1986 sebagai salah
satu tanggungjawab untuk menggembalakan warga Jemaat dan sekaligus
pernyataan sikap GPIB untuk menjadi masukan bagi masyarakat dan negara.
Rangkuman
Kita telah mengikuti kisah perjalanan GPIB sejak berdirinya tahun 1948
sampai 1990. Gereja ini telah bertumbuh dan berkembang dalam artian is telah
berjuang keras untuk keluar dari keadaannya yang lama dan memasuki suatu
keadaan yang baru. Keadaan yang lama itu terutama berhubungan dengan
keterikatan warisan-warisan GPI. Sedangkan keadaan yang baru adalah
menemukan diri sebagai satu Gereja mandiri di tengah pergumulan masyarakat.
Keberadaannya yang baru sebagai Gereja itu ditandai dengan pelaksanaan
tugas missioner (kemudian dengan istilah Pelkes), pembinaan warga (melalui
BPK-BPK) dan para pelayan (melalui LPJ/Majelis Sinode), pembangunan
material (terutama menggali potensi Jemaat-jemaat untuk kemandirian daya dan
dana) serta penataan perangkat-perangkat teologis (Pemahaman Iman, Tata
Gereja, GBKUPG, Akta Gereja dan Tata Ibadah).
Dalam pelaksanaan tugas missioner (=Pelkes) GPIB telah berhasil
mendorong Jemaat-jemaat untuk memasuki kehidupan dan pergumulan
masyarakat yang dilayaninya. Namun tidak nampak perjumpaan dengan
masalah-masalah sosial, budaya dan agama-agama dalam rangka upaya
berteologi secara kontekstual dan aksi pastoral. Masalah-masalah sosial budaya
dan agama yang muncul dalam masyarakat hanya ditanggapi melalui wacana.
Begitu pula hubungan dengan pemerintah tidak mewujudkiin secara langsung
fungsi-fungsi kenabian tetapi disalurkan melalui lembaga oikumenis seperti
PGI.
Mengenai pembinaan, kita mendapat kesan bahwa pembinaan pejabat atau
pelayan-pelayan lebih menonjol, khususnya dalam hal kesetiaan mereka
terhadap lembaga GPIB. Sedangkan pembinaan warga sendiri yang
dipercayakan kepada BPK-BPK cenderung mengalami kemunduran di tengah
maraknya kegiatan aliran-aliran baru (kharismatik), terutama sejak akhir tahun
1980-an.
32
Di bidang pembangunan, kita melihat bahwa pemanfaatan harta milik
menjadi daya tarik tersendiri sehingga GPIB segera mengurus status-status tanah
yang diterima sebagai warisan dari GPI. Lalu dengan dukungan perangkat
hukum GPIB mulai mengelola tanah-tanah tersebut, walaupun ada banyak
masalah yang muncul karena belum dipersiapkan dengan baik, misalnya
hubungannya dengan GPI dan perencanaan yang lebih matang secara gerejawi.
Akhirnya boleh dikatakan penataan perangkat-perangkat teologis cukup
berhasil untuk menempatkan GPIB sebagai Gereja yang menggumuli dirinya
sebagai persekutuan orang percaya. Hal ini ditandai dengan pembaruan Tata
Ibadah yang terus menerus dilaksanakan. Juga Pemahaman Iman yang
diterapkan dalam materi-materi pembinaan warga dan pelayan. Begitu pula
GBKUPG dan Akta Gereja sebagai usaha untuk menjawab kebutuhan warga dan
masyarakat yang diterangi oleh Firman ALLAH. Sedangkan Tata Gereja yang
mengalami pembaruan setiap 10 tahun belum digarap sebagai upaya berteologi.
Perubahan Tata Gereja lebih banyak didorong oleh kebutuhan organisasi dan
manajemen yang diandalkan masyarakat modern. Sehingga peraturan-peratuan
yang dirangkum dalam Tata Gereja lebih bersifat kekuasaan untuk mengatur,
menertibkan dan menghukum. Seyogianya Tata Gereja dibaca dan diberlakukan
sebagai Injil. Tata Gereja adalah berita sukacita dalam pelayanan.
33
.
34
35