Bagikan
16 April 2010 jam 13:24
'Abdul Wahid bin Zaid al Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk
menganjurkan mereka berjihad. Sedangkan saat itu Ummu Ibrahim turut menghadiri
majelis ini. 'Abdul Wahid terus berkhutbah, sampailah pembicaraannya menerangkan
tentang bidadari. Bidadari merupakan imbalan bagi sebagian penghuni surga, akibat
amalannya diterima oleh Allah, amalan tersebut antara lain adalah jihad.
Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang merengek-rengek
Maka sebagian orang bergerak pada sebagian yang lainnya, dan majelis itupun
menjadi ramai dan gaduh. Kemudian Ummu Ibrahim yang mengikuti khutbah 'Abdul
Wahid ini menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada 'Abdul Wahid,
"Wahai Abu 'Ubaid, bukankah engkau tahu anakku Ibrahim. Para pemuka Bashrah
meminangnya untuk puteri-puteri mereka, tetapi aku memukul anakku ini di hadapan
mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku dan aku meridhainya
menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa yang engkau sebutkan tentang
kecantikannya.”
Orang-orangpun menjadi semakin ramai, lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata
kepada ‘Abdul Wahid,
“Wahai Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku meridhainya
sebagai pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkan puteraku dengan
gadis tersebut saat ini juga?, Ambilllah maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta
bawalah putraku keluar bersamamu menuju peperangan itu. Mudah-mudahan Allah
mengaruniakan syahadah (mati syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi
syafa’at untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.”
‘Abdul Wahidpun menjawab, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu
akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Ibrahimpun bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan, “Aku penuhi
panggilanmu, wahai ibu.”
Ummu Ibrahim berkata, “Wahai puteraku! Apakah engkau ridha dengan gadis
(bidadari) ini sebagai isteri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah
dan tidak kembali dalam dosa-dosa?”
Pemuda ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.”
Ummu Ibrahim berkata, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah
menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan
tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian ibu ini pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 dinar seraya
mengatakan, “Wahai Abu ‘Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan mahar
ini. “
Sang ibu kemudian pergi membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan
menyiapkan senjata untuknya.
Ketika sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan kain kafan
dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika
engkau hendak bertemu dengan musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakanlah
wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.”
Kemudian ia memeluk puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “wahai
anakku, Allah tidak mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya
pada hari Kiamat.”
‘Abdul Wahid berkata, “Ketika kami sampai diperbatasan musuh, kemudian terompet
pun ditiup, dan mulailah terjadi perang. Saat itu Ibrahim berperang di barisan
terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah yang besar, sampai musuh
mengepungnya, kemudian membunuhnya.”
‘Abdul Wahid berkata, “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada
Sahabat-Sahabatku,
‘Jangan kalian menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa
puteranya sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan.
Sehingga ia tidak bersedih dan pahalanya tidak hilang.’
Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orangpun keluar untuk menyambut kami, dan
Ummu Ibrahim pun berada diantara mereka.”
‘Abdul Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu Ubaid,
apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak
sehingga aku diberi belasungkawa?’
Maka ibu inipun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur,
dan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku dan menerima
ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.
Keesokan harinya, Ummu Ibrahim datang ke masjid yang didalamnya terdapat ‘Abdul
Wahid lalu dia berseru, ‘Assalaamu’alaikum wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira
untukmu’. Selanjutnya dia berkata,
‘Tadi malam aku bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di
atasnya terdapat kubah hijau, sedangkan dia berada di atas ranjang yang terbuat dari
mutiara, dan kepalanya memakai mahkota. Ibrahim berkata,
"Wahai ibu, bergembiralah. Sebab maharnya telah diterima dan aku bersanding
dengan pengantin wanita.’”
Demikianlah salah satu kisah ibu-ibu umat Islam terdahulu. Yang dia menyebabkan
bangsa Arab dan umat Islam dahulu, menjadi bangsa yang kuat. Umat Islam dahulu
menjadi umat yang mempunyai kewibawaan yang besar diantara umat-umat yang
lain. Salah satunya adalah upaya dari ibu-ibu dengan menyiapkan anak-anaknya
sebagai prajurit pembela Islam.
Marilah para ibu, maupun calon ibu untuk mencontoh segala yang dilakukan oleh ibu-
ibu umat Islam ini jaman terdahulu, yang selalu membantu suami dan anaknya dalam
rangka mentaati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kangjul Arifin Sang Penakluk afwan ikut share ah,,,, syukron artikelnya...
16 Mei jam 17:25 · Beri bendera
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan
bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai
harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya.
harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan
Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah
mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup
dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan
hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat.
Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan
aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.
Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang
didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya
cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman
dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan
perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka
menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat
dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun
saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu
mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah
dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke
luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya.
Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan
keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza
yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas
ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di
hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang
penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya
menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan
tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis
yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa
telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk
menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu
ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi
di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua
menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan
yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan
hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu,
dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan,
kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam
memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu
saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan
membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:
Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki
sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya
dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi
yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia
lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun
dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya
membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui.
Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya
sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada
perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di
jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-
jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili
pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui
dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah
menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah
dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu
yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga
besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan
ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda
kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah
dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan
hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan
pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-
apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci
yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la
haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau
setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-
mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau
menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan
bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata
3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah
itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah
di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar
menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum
berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah
kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari
rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari
rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa
potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang
saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua
bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan
Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa
cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya
saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan
jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita
kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk
di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa.
Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak
mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang
juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah
toko selama 24 jam.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami
berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra
Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin
dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan
mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus
dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,
jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia
bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah
sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang
jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari
25 pound saja untuk 3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu
kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih
dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu
kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua
cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa
tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini
kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-
orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
menjanjikan cinta.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan
tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah
Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu
siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia
memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad
untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia
juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa
sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup
untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami
digedor dan didobrak oleh 4 ..::makhluk yang lucu::.. kiriman ayah
saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-
satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur
tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam
dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan
ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan
Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala
itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat ..::makhluk yang
lucu::.. itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi
nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang
hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami
masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek
tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan
kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman
inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi
hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah
merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan
tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen
militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan
undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah
total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman
karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil
membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk
bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu
terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa
berbuat lebih nekad.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan,
dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh
cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan
terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di
dunia ini.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih
gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja!
Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister
pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada
istilah makan enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan
untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka,
kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang
mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal
masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir
setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia
kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program
Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai
dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam
suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah
swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika
hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan
mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak
pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka
lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum
ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah
istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa
mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."
Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana
pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese
seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan
kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia
rela melepaskan pengobatannya.
Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya.
Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun
yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin
Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan
pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada
lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10
imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan
rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan.
Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20
November jam 12.
Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah.
Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja
bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan
menghela nafas dan berkata, "saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya
makan". Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.
Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang
anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu
memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini
tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat
patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki
kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar,
walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan.
Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.
Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur
lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju,
memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar
dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua,
sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia
dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan
tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.
Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat
belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak
berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya,
dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di
ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-
soal yang susah untuk menguji papanya.
Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak
seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa,
ia sudah sangat berbahagia.
Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu
pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah
penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara
tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan
ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga
mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-
bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke
rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan
nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang
panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air
yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak
kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari
hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh
berisi darah yang keluar dari hidung
Yu Yuan.
Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa.
Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas.
Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000
$. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya
hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara
meminjam uang
kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit.
Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan
harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat
tidak bisa menemukan seorang pembeli.
Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu
Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun
mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa saya ingin mati". Papanya
dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, "Kamu baru berumur 8 tahun kenapa
mau mati". "Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak
berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini."
Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf,
menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan
tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya
sendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah,
Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua
permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan
berkata kepada papanya: "Setelah saya tidak ada,
kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini". Hari kedua, papanya menyuruh
bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang
memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih
dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya.
Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju
barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia
berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang
mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di
surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari
pohon dan hilang ditiup angin.
Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian
menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara
detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya
sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang
tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara
bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk
menggalang dana bagi anak ini". Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang
sangat kuat bagi setiap orang.
Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah
mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu
Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.
Ada seorang teman di-email bahkan menulis: "Yu Yuan anakku yang tercinta saya
mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu
cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu
Yuan anakku tercinta."
Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu
memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min
kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, "Anak yang baik". Semua
orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup
dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan
banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan
melakukan terapi dan telah
berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan
dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari
tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun
menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.
Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: "Tante kenapa
mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan
tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang
baik hati". Yu Yuan kemudia berkata : "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik
hati". Wartawan itupun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus
saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik". Yu yuan dari bawah
bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini
adalah surat wasiat saya."
Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada
sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas
sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,..... .. Dan dia juga
ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang
selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. "Sampai jumpa tante, kita
berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan
ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakana ini juga pada pemimpin palang
merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang
yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan
tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.
Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir
Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan
dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa
mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan,
Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di
pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan
pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat
pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis.
Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa
membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut
akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima
kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah
pergi kedunia lain.
Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada
anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu
Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie.
Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka
adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.
Kesimpulan:
Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak
kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat
sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang
tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia. Walaupun
hidup serba kekuarangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah
contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu
yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada
orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi
seorang Pengasih.