Anda di halaman 1dari 6

MELIRIK MATA UANG EMAS DAN PERAK

SEBAGAI ALTERNATIF UANG KERTAS (1)

Rupiah terus anjlkok hingga mendekati 12 ribu rupiah. Bahkan Bank Indonesia
selaku otoritas moneter yang bertanggungjawab menjaga kestabilan rupiah
mengaku kesulitan menjaga nilai tukar rupiah. Intervensi pasar yang dilakukan
lembaga tersebut tidak membantu. Berdasarkan data BI cadangan devisa BI per 31
Oktober telah merosot US$ 6,528 miliar atau Rp 71 triliun (dengan kurs 11 ribu)
dibandingkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$ 57,108 miliar.1
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 28 /PBI/2008 yang mengatur transaksi yang
membatasi transaksi pembelian dollar untuk tujuan spekulasi yang dikeluarkan
beberapa waktu lalu tak banyak menolong.
Indonesia tidak sendirian ditimpa fluktuasi nilai tukar akibat pergerakan capital
yang liar pasca meledaknya krisis finasial AS. Seluruh mata uang negara-negara
emerging market seperti krona Islandia, rand Afrika hingga won Korsel mengalami
hal serupa. Di sejumlah negara bahkan penurunannya telah mencapai 80 persen
sejak awal tahun. 2
Fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar yang sangat tajam ini tak pelak menjadikan
pelaku ekonomi yang berhubungan dengan dengan ekspor impor menjadi tidak
menentu. Bagi perusahaan termasuk pemerintah yang memiliki utang ke pihak
asing dengan kurs mengambang maka nilai utangnya semakin tinggi. Demikian
pula dengan impor bahan baku produksi, barang modal dan konsumsi juga akan
mengakibatkan inflasi makin tinggi.

Ketidakpastian juga dialami oleh eksportir. Meski menanganguk untung ditengah


melemahnya rupiah dimana nilai ekpor mereka akan naik. Namun dalam jangka
panjang fluktuasi nilai tidak sehat bagi perkembagan usaha mereka. Ketika
pendapatan mereka meningkat tajam akibat pelemahan rupiah maka mereka akan
terdorong meningkatkan investasi dengan meningkatkan skala produksi,
meningkatakan belanja modal seperti penambahan karyawam dengan harapan
keuntungan akan semakin berlipat. Namun dengan nilai tukar yang bebas dan
mengambag seperti saat ini mata uang dapat dengan tiba-tiba menguat sehingga
keuntungan mereka merosot drastis. Akibatnya investasi mereka malah
menghasilkan kerugian. Perencanaan bisnis menjadi sulit diprediksi.

Akhir Bretton Woods


Kerugian bisnis akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluktuatif telah
berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah kurs
mengambang dimana mata uang kertas yang tidak ditopang emas dijadikan
sebagai alat tukarnya. Pada era sebelumnya hingga hancurnya Bretton Woods,
peredaran mata uang masih dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian Bretton Woods
misalnya, mata uang suatu negara harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara
dollar sendiri yang diedarkan oleh AS juga ditopang oleh emas. Dengan demikian
pertumbuhan supply dollar akan ditentukan seberapa besar cadangan emas AS.

Namun sistem tersebut yang dikenal dengan Bretton Woods Aggrement


dibubarkan oleh AS. Pasalnya AS terus mencetak dollar untuk meningkatkan belanja
1
Lihat situr resmi BI, www.bi.go.id
2
(Kompas, 31/10/08).
fiskalnya diantaranya untuk membiayai perang Vietnam yang mengakibatkan
defisit anggaran yang makin membesar. Sementara itu rasio antara supply dollar
dan cadangan emasnya terus merosot. Pada periode tersebut stok emas AS
merosot dari 20 milar dollar menjadi hanya 9 miliar Dollar. AS selanjutnya
mengalami defisit cadangan emas. 3
Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana
yang ditetapkan dalam Bretton Woods masih diwajibkan menjaga cadangan
dollarnya dan bahkan menggunakannya sebagai dasar untuk meningkatkan supply
mata uang dan kredit di dalam negeri. Padahal semakin hari nilai dollar terus
merosot (undervalue) sementara nilai mata uang mereka terus menguat
(overvaluasi). Keadaan ini sangat merugikan negara-negara tersebut karena nilai
ekpsor mereka menjadi lebih mahal meski harus diterima sebagai konsekuensi
perjanjian Bretton Woods.
Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara massif kemudian menukarkan
cadangan Dollar mereka dengan emas. AS kemudian tidak berdaya
mempertahankan paritas nilai dollar pada emas, sebesar 35 dollar per ons. Pada
awal 1971, kewajiban dollar telah mencapai lebih dari 70 miliar dollar sementara
cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar.4
Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa
berkonsultasi dengan negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan berlakunya
Bretton Woods Agrement yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah
emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal
dengan era mata uang kertas (fiat money) dimana dollar sebagai panglimanya.
Menurut an-Nabhany secara politis langkah yang dilakukan oleh AS untuk
menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah didorong oleh keinginan AS
untuk memposisikan dollar sebagai standar moneter internasional hingga
menguasai pasar moneter internasional. Oleh karena itu standar emas kemudian
dianggap tidak lagi dapat dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods
kemudian hancur dan kurs pertukaran mata uang terus berfluktuasi. Dari sinilah
muncul berbagai kesukaran dalam mobilitas barang, uang dan orang. 5
Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak stabil. Mata uang AS dan seluruh
dunia terus bergolak. Fluktuasi tingkat nilai tukar menjadi sulit untuk diprediksi
bahkan kadangkala bergerak secara ekstrim. Belum lagi inflasi terus membumbung
akibat percetakan mata uang kian tak terkendali. Suatu keadaan yang sangat
meresahkan para pelaku ekonomi. Inilah diantara konsekuensi yang ditimbulkan
oleh mata uang fiat.

Sejarah Kelam Mata uang Kertas (Fiat Money)


Jika merunut pada sejarah moneter dunia maka akan dijumpai bahwa pencetakan
mata uang kertas yang tidak ditopang oleh komoditas akan menyebabkan inflasi
yang tinggi dan merugikan perekonomian suatu negara. Pada awal abad ke-9
misalnya, Cina mengedarkan uang kertas—sekaligus sebagai negara pertama yang
menggunakan uang kertas—untuk mengganti tembaga yang saat itu mengalami
kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak
ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi

3
www.the-privateer.com/1933-gold-confiscation.html.
4
Hammes and Wills. Black Gold: The End of Bretton Woods and the Oil-Price Shocks of the
1970s, The Independent Review, v. IX, 2005
5
An-Nabhany. An Nidzamu al-Iqtishady fi Islam hal. 271 . Dârul Ummah (1999)
perekonomiannya, pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi
yang sangat tinggi akibat produksi uang kertas yang terus berlangsung.6
Hal yang sama juga pernah terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank of England
menerbitkan uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas. Uang
tersebut kemudian digunakan untuk membiayai angkatan perang pemerintah.
Pertumbuhan uang (money base) Inggris pada masa perang tersebut naik hingga
41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi membumbung hingga mencapai
13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan sejumlah negara lainnya
kembali pada standar emas (gold exchange rate)
Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I, dunia modern menyaksikan
bahaya dari fiat money yang dikeluarkan tanpa ditopang oleh emas. Beberapa saat
sebelum perang, Bank Sentral Jerman membuat keputusan untuk menghentikan
konvertibilitas mark dengan emas. Uang kertas mark selanjutnya dapat diterbitkan
tanpa batas untuk membiayai angkatan perang Jerman. Akibat emas tidak dijadikan
jangkar (anchor) membuat nilai mata uang negara tersebut paling rendah di dunia.
Pada akhir tahun 1923 harga di negara tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya
dalam hitungan jam. Harga sepotong roti misalnya bisa mencapai 200 miliar mark.
Bahkan ibu-ibu rumah tangga menjadikan uang kertas mark sebagai kayu bakar
karena nilainya jauh lebih rendah dari kayu bakar itu sendiri!
Ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash) yang mengakibatkan
depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai menampakkan
ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka berlomba-lomba
menimbun (hoarding) emas. Beberapa tahun setelahnya, kondisi di AS semakin
kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan
produksi mata uang emas.7
Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang
kertas. Akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia dan hyperinflasi
yang mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank Indonesia melakukan
pemotongan nilai uang dari Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1,-. Kebijakan ini didasarkan
pada Penetapan Presiden No.27 tahun 1965 yang diberlakukan pada tanggal 13
Desember 1965. Bisa dibayangkan kekayaan orang terpangkas hampir 1.000%
(Singgaling dkk, 2004).
Di sisi lain mata uang kertas (fiat money) seringkali dimanfaatkan pemerintah untuk
dijadikan sebagai salah satu sumber pemasukan. Sebagai contoh penerimaan
pemerintah Argentina dari pencetakan uang baru dari tahun 1985-1990
diperkirakan mencapai 54 persen yang puncaknya pada tahun 1987 yang mencapai
86%. Akibatnya rakyat Argentina enggan menggunakan peso dan lebih memilih
menggunakan dollar AS yang nilainya dianggap lebih stabil (Abdullah, 2006).
Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah rezim
Rabbani. Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan adalah 50
afgani per dollar AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas
1991 nilai tukar tersebut telah mencapai 1.000 afgani per dollar. Pemerintah
kemudian mengeluarkan pecahan uang baru yang bernominasi 5.000 afgani dan
kemudian 10.000 afgani. Hasilnya setiap kali mata uang tersebut diterbitkan maka
nilai mata uang tersebut terus melorot. Pada bulan September 1996 ketika Kabul
jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani diperdagangkan dengan nilai
17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan Mazari Sharif—daerah yang
dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan Rabbani pada tahun 1994
—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar.

6
Davies, Glyn. A History of money from ancient times to the present day, 2005
7
Idem
Pemerintah Pakistan juga menikmati keuantungan dari bentuk fiat money ini. Pada
masa 1991-1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai
10,6 persen. Selama periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan
memperoleh penerimaan sebesar 97,173 miliar rupee hanya dari pencetakan uang
kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).

Perampokan Legal
Dampak lain dari buruknya tata moneter internasional saat ini adalah adanya
kesempatan yang sangat besar bagi negara-negara kuat untuk mencuri keayaan
negara-negara lain secara legal diantaranya dengan seignorage uang fiat.
Seignorage berarti keuntungan dalam memproduksi uang akibat perbedaan antara
nilai nominal (face-value) suatu mata uang dengan biaya memproduksi uang
tersebut. Sebagai contoh biaya untuk memproduksi 100 uang kertas dollar adalah
20 sen maka seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS
mencetak satu lembar uang 100 dollar dollar, maka ia akan mendapatkan
keuntungan 99,80. Federal Reserve menikmati seignorage yang besar dengan
mengeluarkan Dollar sejak Dollar menjadi cadangan mata uang internasional yang
paling dominan. Tidak seperti mata uang lainnya Dollar memiliki daya beli yang
kuat di luar AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan kesempatan ini untuk
terus mencetak Dollar.8
Di sisi lain negara-negara lain khususnya negar-negara berkembang justru
mengalami kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah satu
contoh yang paling nyata adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta barrel
per hari untuk menutupi defisit produksinya. Sebagian besar minyak tersebut dibeli
dari Arab Saudi dengan hanya mencetak Dollar baru yang kemudian ditransfer ke
rekening pemilik perusahaan minyak Arab Saudi. Meski Arab Saudi dapat membeli
barang lain dengan lembaran-lembaran dollar tersebut namun pada faktanya tetap
saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dan penambangan jauh
lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar AS.
Yang lebih mengherankan lagi dana-dana hasil penjualan minyak Timur
Tengah tersebut yang lazim dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF) kembali
kembali ke AS dalam bentuk pembelian aset-aset seperti saham, obligasi baik yang
dterbitkan pemerintah ataupn swasta. Abu Dhaby Investment Authority (ADIA)
misalnya, milik pemerintah Uni Emirat Arab kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32
triliun. Dan tersebut merupakan hasil penjualan minyak yang kemudian digunakan
membeli sejumlah saham-saham kelas dunia termasuk yang tengah kolaps.9
Sementara negeri-negeri kaum muslimin diberbagai belahan dunia termasuk di
Indonesia penuh dengan kantong-kantong kemiskinan.
Kerapuhan Dollar
Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh
dunia apapun yang mereka ingingkan.10 Sebagai mata uang internasional dollar
dapat tersu dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai
kebijakan fiskalnya termasuk membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak
saja misalnya sebagaimanan yang dinyatakan oleh Joseph E Stiglitz di dalam
bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya lebih dari 3 triliun dollar.

8
Ahamed Kameel Mydin Meera. Theft of Nations Returning to Gold. 2004. Pelanduk
Publications, hal. 37
9
Investor Daily, 8/10/08.
10
Robert Mundell, Currency Areas, Exchange Rate Systems and International Monetary
Reform, 2007
Setiap tahunnya AS mengimpor barang-barang dari seluruh dunia untuk konsumsi
domestik dan membayar mereka dengan Dollar. Defisit neraca perdagangan AS
bulan Agustus 2008 telah mencapai lebih dari 66 miliar Dollar. Pada tahun Agustus
2008 defisit pemerintah federal telah mencapai 706,9 miliar dollar sementara
utangnya sebesar 10, 024 ttiliun dollar. Negara ini telah mengalami multy deficit.
Pertanyaannya dari mana AS akan membiayai defisit dan utangnya? Akankah ia
akan terus mencetak dollar?
Setiap tahunnya negara negara tersebut harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar
surat utang untuk menutupi defisitnya. Bank-bank sentral asing, korposarasi dan
individu selanjutnya membeli membeli instrumen utang dari The Fed, Bank sentral
AS. Padahal sekuritas berharga (treasury security) tersebut diciptakan dari sesuatu
yang tidak ada. Tidak berlebihan jika dalam waktu yang tidak teralu lama, AS
diprediksi tidak akan mampu membayar utang-utangnya. Menurut analis yang
pernah bekerja di IMF ini, cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan.11
Kerapuhan dollar juga diperingatkan oleh Paul Samuelson sebagaimana yang ditulis
dalam The Washington Post (17/11/004) bahwa investor swasta pada tahun 2004
saja telah memborong saham dan obligasi AS. Secara keseluruhan investor asing
telah memegang 13 persen dari total saham AS, 24 persen obligasi korporasi dan
43 persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury securities).
Sturuktur kepemilikan aset tersebut sangat membahayakan AS. Alasannya, saat ini
dunia telah menerima dollar lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat
momentum krusial sewaktu-waktu—saham-saham dan obligasi tersebut akan
dilepas oleh pemiliknya dan resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang
beramai ramai menjual dollar dan beralih ke mata uang kuat lainnya seperti Euro
dan Yen. Nilai dollar dipastikan akan terus menurun. Anjloknya dollar berarti berarti
nilai dari saham dan obiligasi yang dipengang oleh investor asing tersebut juga
akan menurun. Mereka kemudian akan berhenti membeli saham-saham AS sambil
menjual aset-aset yang mereka memiliki. Pada saat itulah pasar-pasar saham akan
anjlok secara tajam dan dollar AS akan kehilangan nilai.
Vadillo (1998) bahkan berargumen bahwa dollar AS sebenarnya tidak lagi memiliki
nilai. Alasannya saat ini dunia telah dibanjiri terlalu banyak Dollar. Dalam pasar-
pasar uang saja, terdapat gelembung-gelembung Dollar AS yang berjumlah 80
triliun Dollar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia,
yang jumlahnya sekitar 4 triliun Dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa
membeli segala yang diperdagangkan sebanyak 20 kali lipat dari biasanya.
Gelembung semakin lama semakin membesar dan secara pasti gelembung itu
suatu saat akan meledak yang menyebabkan keruntuhan ekonomi global yang jauh
lebih buruk dari depresi ekonomi tahun 1929 (Vadillo, 1998 dalam Yusanto, 2001).
Hal ini senada juga telah diprediksi oleh Robert Mundell (1997). Menurut ekonom
yang pernah meraih Nobel ini, terus membanjirnya uang kertas tanpa didukung
oleh likuiditas akan memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya hingga saat ini
Bank Sentral AS terus meningkatkan pertumbuhan supply dollar. Dengan
membanjirnya uang kertas dan kredit, maka harga barang dan jasa (inflasi) akan
semakin tinggi dan sangat mungkin suatu saat berubah menjadi hyperinflasi.
Oleh karena itu, tidak ada mata uang lain, baik yang berskala nasional ataupun
internasional yang dapat selamat dari ancaman sebagaiamana yang dialami dollar
AS saat ini. Seluruh mata uang tersebut akan mengalami ancaman yang serius dari
sebuah sistem yang sama, fiat money, mata uang kertas yang tidak ditopang oleh
emas dan hanya dan dijamin oleh otoritas politik semata. Otoritas yang sewaku-
waktu dapat kehilangan legitimasi.

11
Robert Blumen, The Dollar Crisis, http://mises.org/story/1386
Inilah buah dari estándar mata uang kertas, gelembung uang yang terus tumbuh
tanpa batas dan membuat ekonomi global menjadi tidak stabil. Krisis Asia Timur
pada tahun 1997, Rusia, Argentina dan sejumlah krisis keuangan lainnya semakin
meperjelas bahwa sistem moneter saat ini sangat rapuh dan membutuhkan sistem
moneter yang lebih adil dan stabil. Mata uang emas merupakan standar moneter
yang layak diperhitungkan. (bersambung)

Anda mungkin juga menyukai