Di sini terdapat tiga posisi epistemologis: Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya,
tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya
bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu
memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan
uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a =
a dan keseluruhan > bagian. Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak
benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme
bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa
premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi
premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah
menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini. Ketiga, fallibilism.
Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah
mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini
hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain).
Orientasi sosial yang harus dipahami oleh anak didik dan umumnya dunia pendidikan
kita, disamping pemahaman dan pemaknaan terhadap fenomena-fenomena sosial yang
tengah menjadi gejala di masyarakat sehingga ia menjadi feomena yang integral dengan
proses pendidikan; adalah juga idealisme tentang: (1) figur pimpinan panutan / teladan
yang diharapkan masyarakat. Misalnya digambarkan figur yang demokrat, memiliki
komitmen kemasyarakatan yang tinggi, religius; sehingga arah pendidikan dapat kita
dorong ke pembinaan sikap mental anak didik yang demikian; (2) perubahan sosial yang
menjamin arah kemakmuran terbesar pada lapis terbawah masyarakat, sehingga akan
memunculkan berbagai rumusan strategi dan ‘angan-angan’ alternatif tentang perubahan
sosial itu berasal dari proses pendidikan; (3) pemaknaan terhadap perlunya keseimbangan
iman, ilmu, dan amal dalam konteks sosial yang relevan; sehingga dunia pendidikan
memiliki kepedulian untuk mengimplentasikannya.
Kebutuhan tentang orientasi sosial di atas dapat dibentuk melalui rekonstruksi berbagai
perangkat pendidikan, antara lain dengan: pertama, pembenahan orientasi pendidikan
melalui sosialisasi secara benar fungsi-fungsi institusi pendidikan dengan menekankan
pada nilai-nilai/idealisme sosial, bukannya pada sisi pragmatisme semata-mata. Kedua,
penyesuaian dan peninjauan kurikulum pendidikan yang relevan dengan tuntutan
masyarakat, serta menjadikan masyarakat sebagai objek terdekat dari dunia pendidikan
itu sendiri melalui pengayaan studi kasus (case study) tentang dinamika masyarakat
aktual dan untuk kebutuhan futuristik (masa depan). Ketiga, penyempurnaan metoda
pengajaran dengan lebih menjadikan anak didik sebagai subjek, penghapusan sub-
ordinasi guru-murid secara psikologis dan intelektual untuk menjamin peran-peran anak
didik secara kritis dan optimal. Keempat, penyediaan buku-buku referensi dan alat atau
bahan belajar yang sesuai dengan dinamika masyarakat, dengan harga yang relatif
terjangkau.
Selain itu, perlu juga diintensifkan daur belajar secara lengkap yang melibatkan dua
lingkar proses pembinaan yang lain di luar sekolah, yakni peran keluarga sebagai lingkar
pertama, dan organisasi-organisasi sosial yang terdapat di masyarakat sebagai lingkar
pembinaan ketiga, sesudah sekolah. Dengan dioptimalkannya peran-peran lembaga
masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis kelompok berdasarkan minat dan bakat,
kesamaan fungsi, ideologi, dan sebagainya ini, bisa dipastikan wawasan sosial anak didik
akan semakin terasah. Sebab, lembaga-lembaga sosial ini memang ‘biangnya’
pembentukan sikap mental social, politis dan ideologis. Dengan demikian dimensi sosial
pendidikan akan semakin lengkap.
Sejarah budaya dan ilmu pengetahuan mengakui bahwa bidang filsafat dianggap sebagai
induk atau ratu ilmu pengetahuan, dan merupakan bidang pemikiran tertua dalam
peradaban (Avey 1961: 3 – 4). Filsafat mencari dan menjangkau kebenaran fundamental
dan hakiki untuk dijadikan filsafat hidup sebagai kebenaran terbaik. Nilai filsafat yang
bersumber dari Timur Tengah terpadu dengan nilai ajaran agama, karena nilai intrinsik
agama yang metafisis-supranatural sinergis dengan nilai filsafat yang cenderung
fundamental, komprehensif (kesemestaan), metafisis, universal dan hakiki. Demikian
pula nilai agama (Ketuhanan, keagamaan) berwatak fundamental-universal, suprarasional
dan supranatural. Identitas filosofis theisme religious Timur Tengah dapat diakui sebagai
sumur madu peradaban dibandingkan filsafat Barat sebagai sumur susu peradaban.
Karenanya, manusia sehat, sebaiknya minum susu dengan madu; demikian pula bangsa
yang jaya seyogyanya menegakkan nilai theisme religious sinergis dengan filsafat dan
ipteks.
Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 45. Sedangkan Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1987 tetang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menegaskan bahwa Pancasila itu
adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup
bangsa Indonesia dan dasar negar Republik Indonesia. P4 atau Ekaprasetya Pancakarsa
sebagai petunjuk operasional pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk dalam bidang pendidikan . Perlu ditegaskan bahw Pengamalan Pancasila itu
haruslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam Pancasila itu, sebagai
yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 , yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Buku I Bahan Penataran P4 dikemukakan bahwa
Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1989 tersebut diatas memberi petunjuk-petunjuk nyata
dan jelas wujud pengamalan kelima sila dari Pancasila.
Sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang
secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious;
dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara
intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat
kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan
martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk
mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran
kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.
Puncak pendidikan yang berlandaskan Islam adalah ma’rifatullah. Prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa diilhami oleh sila pertama Pancasila. Adapun yang bisa kita
kembangkan dari prinsip ini adalah pemahaman bahwa realitas kehidupan merupakan
satu kesatuan karena Tuhan Maha Esa. Dengan kata lain alam semesta merupakan satu
kesatuan yang sistemik. Oleh karena itu keaneka ragaman masyarakat, keaneka ragaman
tanah air, keaneka ragaman mahluk merupakan satu kesatuan. Tidak ada alasan
bagi masyarakat untuk mengembangkan sikap berpecah belah dengan alasan-alasan
primordialnya. Pendidikan yang dibangun di atas ajaran Islam menjadi idealisme
tersendiri di kalangan praktisi pendidikan Indonesia saat ini.
Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila
mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran
moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan
mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM
berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious:
a. Bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus
amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
b. Bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia
menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
c. Kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
1). Manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha
Pencipta (sila I).
2). Manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta,
termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
3). Manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah
dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Pengalaman yang menarik dari Jepang adalah tradisi yang eksis tak tergerus desakan
kapitalisme-liberalisme-globalisasi. Di tengah masyarakat dunia yang diterpa sistem
sekular, memisahkan urusan budaya dan agama, Jepang malah sebaliknya. Iklim religi
dan kebudayaan Jepang tetap dilestarikan bahkan di jadikan dasar kemana arah Jepang
berjalan. Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan
KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia. Sebagai manusia percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan
martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya sebagai
terpancar dari akal-budinuraninya sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan
subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160).
Amerika sebagai negara sekular yang menjadi cermin bagi wujud negara yang di
inginkan kapitalisme-liberalisme telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang paling
mampu menjawab tuntutan globalisasi. Namun Jepang juga mampu memenuhi tuntutan
globalisasi tanpa harus menjadi negara kapitalistik-liberalistik. Jepang terseret arus
globalisasi tanpa tenggelam di dalamnya. Sehingga dalam setiap aktivitas di berbagai
bidang, khususnya politik dan demokrasi ia tetap mendahulukan tradisi dan akar kultur
kebudayaannya.
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan
nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan;
sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat
dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan
sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45. Ajaran luhur filsafat Pancasila
memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila
dan filsafat Timur umumnya karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas
kepribadian manusia.
Banyaknya ketidaksempurnaan dari hasil pendidikan kita, malah menjadikan anak didik
tidak memiliki keseimbangan antara kebutuhan ruhani dengan kebutuhan fikriyah. Begitu
banyak orang pintar, tapi sedikit sekali yang semakin taqorrub dengan Allah SWT karena
ilmunya. “Kurikulum yang terstruktur tak mampu menghasilkan buah yang optimal.
Konsep pendidikan Islam adalah keseimbangan ilmu fardhu a’in dan fardhu kifayah,”
ungkap pakar pendidikan asal Malaysia, Prof. Wan Mohd Wan Daud, dalam seminar
bertajuk “Pendidikan di Perguruan Tinggi Perspektif Islam” di aula GSG Salman ITB
Bandung, Jumat (13/11/09). “Pendidikan seperti apapun dalam konsep Islam adalah
semua ilmu yang kita dapat yang pada akhirnya akan menumbuhkan satu idealisme akhir,
yakni, ma’rifatullah.”
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif
sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat.
Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan
kedepannya akan terus semakin berkembang. Pengetahuan (Knowledge) adalah segala
sesuatu yang diperoleh melalui berbagai cara penginderaan terhadap fakta, penalaran
(rasio), intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang memenuhi kriteria dari segi ontologis,
epistomologis dan aksiologis secara konsekuen dan penuh disiplin biasa disebut ilmu atau
ilmu pengetahuan (science); kata sifatnya ilmiah atau keilmuan, sedangkan ahlinya
disebut ilmuwan. Dengan demikian, pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu (ilmu
sosial/social sciences dan ilmu-ilmu alam/natural sciences), humaniora (seni, fisafat ,
bahasa, dsb). Oleh karena itu, istilah ilmu atau ilmu pengetahuan itu dapat bermakna
kumpulan informasi, cara memperoleh informasi serta manfaat daari informasi itu.
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu
yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil
kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil
mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil
menginjakkan kaki di Bulan.Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi
dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi
jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan
sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai,
pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Pengembangan dan pemanfaatan iptek pada umumnya ditempuh rangkaian kegiatan :
Penelitian dasar, penelitian terapan, pengembangan teknologi dan penerapan teknologi,
serta biasanya diikuti pula dengan evaluasi ethis-politis-religius. Kemampuan maupun
sikap ilmiah sedini mungkin harus dikembangkan dalam diri peserta didik. Pembentukan
keterampilan dansikap ilmiah sedini mungkin tersebut secara serentak akan meletakkan
dasar terbentuknya masyarakat yang sadar akan iptek dan calon-calon pakar iptek kelak
kemudian hari.
Peradaban yang terus berkembang pada dasarnya didorong oleh hasrat manusia yang
tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Manusia selalu ingin mendapatkan lebih
dari apa yang dimiliki. Hasrat ini, disatu sisi mendorong manusia untuk terus berusaha
melakukan perubahan dan menemukan hal-hal baru, namun di sisi lain sering mendorong
manusia terjerumus ke dalam “jurang” yang tidak berujung. Pada giliranya menjadikan
dunia semakin pragmatis, penghuninya dimanjakan oleh lingkungan kehidupan yang
serba jadi dan siap saji, bergerak dalam pola serba baku, berfikir dan berbicara dalam
rujukan yang serba konkrit, semua untuk memastikan bahwa yang bernilai hanyalah yang
berguna secara pragmatis, dan kebenaran diartikan sebagai kesesuaian dengan kebutuhan
nyata.
Konsep pembentukan manusia ideal menurut Confucius terpadu dalam konsep dasar
manusia itu sendiri, dan cukup relevan. Terlihat dari pembentukan manusia ideal tersebut
terdapat hubungan antara raga dan jiwa manusia, sebagaimana diketahui bahwa manusia
terdiri dari dua unsur yaitu raga (jasmani) dan jiwa (rohani), keduanya merupakan satu
kesatuan (dwi tunggal) yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, maka manusia
dapat dikatakan manusia jika ia memiliki jasmani dan rohani ; hal tersebut yang
menyebabkan manusia dapat bergerak, bersikap dan mempunyai suatu potensi serta
kemauan. . Kita ketahui bahwa manusia terdiri dari jiwa dan badan, potensi dan kemauan
ini ada dalam jiwa manusia, dan fungsi badan disini ialah untuk menunjang agar
terbentuknya potensi itu. Jadi hubungan keduanya cukup menunjang dan saling berkaitan.
Konsep manusia ideal menurut Confucius pembahasannya lebih banyak berkiasar tentang
masalah moral, moral bagi Confucius memiliki cakupan yang demikian luas dan
kompleks yang dapat dijumpai dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan ermasyarakat,
oleh sebab itu dibutuhkan suatu kearifan untuk mendapatkan ketentraman, kesejahteraan,
dan kebahagiaan bagi semua orang. Confucius di dalam pandangan tentang konsep
manusia lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat pragmatis, sehingga segala sesuatu
diukur dengan nilai kegunaan praktis yang mengandung unsur-unsur idealis unuk
mendapatkan tujuan yang dicita-citakan serta bersifat realis yang mempunyai arti selalu
berpedoman pada hal-hal yang nyata ( realita) : maka ruang lingkup pragmatisme,
idealisme dan realisme dalam dimensi filsafat manusia.
Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau sistem politik (kenegaraan) diakui
sebagai teori yang unggul, karena mengakui kedudukan, hak asasi, peran (fungsi), bahkan
juga martabat (pribadi, individu) manusia di dalam masyarakat, negara dan hukum.
Secara universal diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan, antara lain:
“. . . these values be democratically shared in a world-wide order, resting on respect for
human dignity as a supervalue . . .” (Bodenheimer 1962). Sebagaimana juga Kant
menyatakan: “. . .that humanity should always be respected as an end itself (Mc Coubrey
& White 1996). Pemikiran mendasar tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam
memberikan identitas sistem kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl
von Savigny (1779 - 1861) dengan teorinya yang amat terkenal sebagai Volkgeist --yang
dapat disamakan sebagai jiwa bangsa dan atau jatidiri nasional--. Demikian pula di
Perancis dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state) yang menentukan eksistensi suatu
bangsa dan negara (the rise of souvereign, independent, and nationa state)".
(Bodenheimer, 1962). Demikianlah budaya dan peradaban modern mengakui dan
menjamin kedudukan manusia dalam konsepsi HAM sehingga ditegakkan sebagai negara
demokrasi, sebagaimana tersirat dalam pernyataan: “. . . fundamental rights and freedom
as highest value as legal.” (Bodenheimer 1962) sebagaimana juga diakui oleh Murphy &
Coleman(1996): “. . . respect to central human values . . .”.
Berdasarkan berbagai pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan filsafat
Pancasila yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus mengakui
kepribadian manusia sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral.
Secara normatif filosofis ideologis, negara RI berdasarkan Pancasila – UUD 45 mengakui
kedudukan dan martabat manusia sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila yang
menegakkan asas keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia
(KAM) dalam integritas nasional dan universal (termasuk Universal Declaration of
Human Rights, UNO maupun USA). Sebagai integritas nasional bersumber dari sila III,
ditegakkan dalam asas Persatuan Indonesia (= wawasan nasional) dan dijabarkan secara
konstitusional sebagai negara kesatuan (NKRI dan wawasan nusantara). Bandingkan
dengan fundamental values dalam negara USA sebagai terumus dalam CCE 1994: 24-25;
53-55, terutama: "Declaration of Independence, Human Rights, E Pluribus Unum, the
American political system, market economy and federalism." NKRI berdasarkan
Pancasila - UUD 45 memiliki integritas-kualitas keunggulan normatif filosofis-ideologis
dan konstitusional: asas theisme-religious dan UUD Proklamasi menjamin integritas
budaya dan moral politik yang bermartabat.
Konsep manusia ideal jika direlevansikan pada kondisi kekinian sangat berguna dan
bermanfaat dalam membentuk suatu sosialitas yang harmoni dan dimanis. Disamping itu
konsep manusia ideal yang ditawarkan Confucius juga cukup relevan dengan konsep
manusia indonesia yang berkecenderungan ke arah monodualismenya itu suatu aliran
yang berpandangan bahwa manusia mempunyai keseimbangan jasmaniah dan rohaniah
atau keseimbangan lahiriah dan batiniah yang berdasarkan pada pancasila dan UUD
1945. Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila,
berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29.
Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem
filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat
theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan
kodrat martabat kepribadian manusia.
Menjawab pertanyaan mengenai apakah konsep manusia ideal sudah cukup relevan
dengan konsep manusia itu sendiri, kita dapat melihat dari dasar pembentukan manusia
ideal terdapat hubungan antara raga dan jiwa manusia, sebagaimana diketahui bahwa
manusia terdiri dari dua unsur yaitu raga (jasmani) dan jiwa (rohani), keduanya
merupakan satu kesatuan (dwi tunggal) yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain, maka manusia dapat dikatakan manusia jika ia memiliki jasmani dan rohani ; hal
tersebut yang menyebabkan manusia dapat bergerak, bersikap dan mempunyai suatu
potensi serta kemauan. Manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan subjek yang
mandiri dan mengubah dirinya sendiri agar memperoleh kemajuan dan perkembangan
terutama potensi yang terdapat di dalam dirinya. Jadi konsep manusia ideal menurut
Confucius bisa dikatakan relevan karena mencakup suatu konsep dasar dari manusia
yaitu hubungan antara jiwa (rohani) dan raga (jasmani).
Dari konsep manusia ideal menurut Confucius maka kita akan melihat atas dasar apakah
manusia sudah bisa dikatakan ideal. Dasar dikatakan manusia itu ideal jika ia sudah
menjadi Chun-tzu . Chun-tz u adalah seorang yang berusaha memelihara kepribadiannya,
terutama moral dan bertujuan untuk membuat situasi menjadi tenang bagi seluruh umat
manusia, Chun-tzu berarti seorang pemberani yang dapat menyelaraskan berbagai macam
hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas
moral. Confucius berkata: “Seorang manusia yang bijaksana adalah seorang yang
mempunyai harga diri dan memelihara kepemimpinan dengan membina kepribadiannya
pada dua prinsip kebajikan yaitu kesetiaan dan kejujuran serta keberanian untuk
menyatakan mana yang benar dan mana yang salah” (Confucius, 1991 : 31).
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang Chun-tzu diantaranya : setia dan selalu
berbuat baik serta berusaha untuk mawas diri, mencintai sesuatu yang benar dan tidak
mementingkan dirinya sendiri, mengutamakan masalah moral. (Dawson, 1981 : 55). Jadi
ada suatu kriteria untuk menjadi manusia ideal yaitu setiap manusia harus menjadi
seorang Chun-tzu dan tahapan-tahapan untuk mencapainya ialah pertama-tama manusia
harus menyadari potensi dalam dirinya sendiri seperti yang dikatakan Confucius bahwa
di dalam naluri manusia terkandung benih-benih kebaikan yang terdiri dari jen
(perikemanusiaan), yi (kelayakan), li (sopan santun), dan chi (kebijaksanan) dari sinilah
terbentuk potensi untuk menjadi seorang Chun-tzu , jika sudah menjadi Chun-tzu maka ia
harus mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh Chun-tzu seperti yang sudah dijelaskan
diatas, jika kriteria tersebut sudah terpenuhi sampai akhirnya manusia itu sudah biasa
dikatakan sebagai manusia ideal.
Confucius dalam membahas tentang manusia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah
makhluk sosial, maka hendaknya dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat,
maksudnya jika di dalam masyarakat berlaku hal-hal yang tidak baik, maka seyogyanya
dapat merubah ke hal-hal yang baik, dapat diterima oleh siapa saja. Manusia dianggap
bijak apabila selalu mengutamakan masalah moral. Konsep manusia ideal menurut
Confucius pembahasannya lebih banyak berkisar tentang masalah moral. Maka moral
bagi Confucius memiliki cakupan yang demikian luas dan kompleks yang dapat dijumpai
dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, oleh sebab itu dibutuhkan
suatu kearifan untuk mendapatkan ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan. Dari
pemikiran ini kita dapat melihat bahwa Confucius mengedepankan nilai-nilai moral
dalam pembentukan manusia ideal yang pada akhirnya membentuk suatu masyarakat
yang tertib, aman dan sejahtera.
Sumbangan pemikiran ini sangat berguna dan sangat signifikan jika diterapkan pada
kondisi kekinian. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini nilai-nilai moral selalu
dikesampingkan membuat manusia tidak dapat menjadi manusia yang ideal dan
memebntuk suatu masyarakat yang ideal, tertib, dan teratur. Mengenai kodrat manusia itu
sendiri pada kondisi kekinian dapat dijadikan suatu dasar untuk menjalin suatu nilai
kebersaman atau kerjasama diantara setiap individu (manusia), dikarenakan saat sekarang
ini semangat kebersaman sudah mulai hilang, lebih dominan rasa individual yang sangat
ditonjolkan. Oleh karena itu alangkah baiknya jika keduanya seimbang itu akan
menjadikan suatu sosialitas lebih harmoni dan dinamis. Cara hidup Confucius yang
sedemikian sederhana, menyukai kejujuran, senang menasehati orang lain, dan senantiasa
berpegang kepada kesucian, dari cara hidupnya akan menjadikan suatu panutan dan
keteladanan bagi masyarakat dewasa ini.
Peradaban manusia pada hakikatnya adalah hasil dari proses upaya manusia untuk
menemukan sesuatu yang baru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Prinsip 'adab,
diilhami sila kedua istilah 'adab dalam bahasa arab identik dengan istilah husn, maupun
tsaqafah yang artinya peradaban. Dengan demikian tujuan ahir dari setiap sistem
keilmuan adalah mewujudkan peradaban yang paling baik.
Berbagai upaya yang dilakukan manusia berbeda, karena tuntutan kebutuhan yang
berbeda. Bisa juga perbedaan tersebut diakibatkan oleh cara dan proses yang dilakukan
antara satu manusia dengan manusia lainnya berbeda. Justru perbedaan inilah yang
menghasilkan dan memperkaya peradaban manusia tersebut. Prinsip aksiologis Pancasila
yang dapat kita kembangkan meliputi :
a. Prinsip Persatuan, prinsip ini diilhami sila ketiga
b. Prinsip Musyawarah, prinsip ini diilhami sila keempat
c. Prinsip Keadilan, prinsip ini diilhami sila kelima
Nilai -nilai etis tersebut menunjukkan begitu berartinya masyarakat, sehingga
keberadaannya menjadi prioritas pembangunan.
Seperti halnya tradisi bangsa Jepang dalam berhukum dan berdemokrasi. Akar kultur
kebudayaan memang tak bisa dipisahkan oleh hukum, jika hukum itu menginginkan
keadilan bagi masyarakat lokalitas di mana hukum itu hidup, maka bermanfaat dan
efektiflah hukum tersebut. Sebagaimana Jepang yang kita bisa melihatnya sebagai sebuah
negara yang memiliki daya kekuatan sendiri atas landasan tradisi yang dipegang teguh.
Jepang mengidentifikasi dirinya dan membangun kehidupan yang tak menyatu dengan
tradisi, kebudayaan, dan peradabannya. Jepang memegang teguh nilai kolektivisme,
bukan individualisme yang berasal dari mulut liberalisme-kapitalisme. Tradisi Jepang tak
mengenal ”aku”, yang ada bagi mereka adalah uchi (my house) orang-orang yang tinggal
satu rumah, otaku (your house) rumah-rumah tetangga sekitar, dan kaisha (symbolizes
the expression of group consciousness) simbol kesadaran kolektif komunitas. Sehingga
urusan yang ada bukanlah kepetingan diri sendiri, melainkan kepentingan orang rumah,
tetangga, dan kesadaran bersama komunitas.
Sehingga dengan kuatnya tradisi ini Jepang tumbuh menjadi negara yang memiliki
indentitas. Ia memiliki intregasi sosial komunitas masyarakat, sehingga pembangunan
pun di jalankan dengan modal sosial ini. Kepedulian masyarakat Jepang antara satu
dengan yang lain, terutama orang rumah, tetangga, dan komunitasnya begitu besar,
sehingga menciptakan emotional partisipation, partisipasi emosional yang mengikat
antarindividu. Sehingga suasana kekeluargaan, gotong royong, toleransi, dst-nya menjadi
karakteristik masyarakat Jepang. A group formed on basis of exclusiveness, based on this
homogenety, even without recourse to any form of law. Nalar dan rasa komunitas
menyatu dengan pribadi manusia Jepang. Inilah yang menarik dari Jepang yang mungkin
sulit ditiru Indonesia, umpanya dengan Jepang yang memiliki masyarakat homogen dan
ada institusi yang menjaga kultur dan tradisi mereka berupa kekaisaran-kerajaan yang
masih eksis dan autoritatif.
Salah satu wujud peradaban manusia yang sangat cepat berkembang adalah dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan pada bidang ini selain mendorong
dirinya untuk berkembang juga mendorong bidang lain untuk terus juga ikut berkembang,
seperti kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi yang sangat
mengagumkan. Sama halnya dengan bidang lain, sudah menjadi sunatullah, bidang
inipun dalam perkembangannya beragam dan bervariasi. Keberagaman ini disebabkan
oleh banyak factor diantaranya disebabkan oleh cara, proses, asal-usul, dan hubungannya
(epistemology) (Al-Hussaini, 2007) dengan manusia dalam mengembangkan ilmu dan
pengetahuan yang menjadi minat dan perhatiannya yang juga berbeda.
Perkembangan peradaban manusia jauh lebih cepat dibandingkan dengan makluk lainnya
di dunia ini. Sejak kelahirannya di dunia manusia terus berkembang dan mengembangkan
dirinya demi mencapai kenikmatan, kesenangan, kesejahteraan, dan berbagai keindahan
hidup lain, yang bisa jadi tidak pernah dinikmati oleh binatang, atau makluk lain ciptaan
Allah SWT. Pandangan ontologi pendidikan Islam difokuskan pada hakekat manusia,
alam raya dan Tuhan. Mengenai pengalaman dalam pendidikan Pancasila didasarkan
pada fitrah yang dibawa anak sejak lahir, berfungsi untuk membekali pengalaman
keagamaan anak didik, yaitu mengingatkan perjanjian primordial manusia dengan
Tuhannya.
Konsep ini berkembang dari upaya para ahli dan praktisi untuk mencari pembangunan
alternatif yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate growth, gender equity,
and intergenerational equity (Friedmen, 1992). Kartasasmita (1996) menambahkan
bahwa konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan,
tetapi konsep ini berpandangan bahwa dengan pemerataan, tercipta landasan yang lebih
luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan.
Konsep ini juga mencoba untuk melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan
“trade-off”. Sebagai dampak dari pandangan yang pragmatis.
Lebih ironis dari dampak pragmatisme ini adalah menilai kebenaran agama berdasarkan
pada perilaku pemeluknya. Nurcholish Madjid menceritakan pengalamannya. Suatu
ketika, muridnya bertanya kepadanya tentang bagaimana mengukur atau menentukan
kebenaran suatu agama. Muridnya memulai dengan beberapa pertanyaan berikut ini,
“Untuk apa kita beragama?”, Apakah dengan beragama perilaku pemeluknya akan
menjadi lebih baik?” Kita perhatikan, hampir semua orang di negeri ini menganut suatu
agama, baik Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu dan Budha, mereka menjalankan
syariat dan ibadah ritual yang dianjurkan oleh agamanya. Dengan agama yang dianutnya,
semestinya bangsa ini bukanlah bangsa terkorup di dunia, karena perilaku korupsi
bertentangan dengan ajaran semua agama. Kenyataan bangsa ini memiliki indek 111
terkorup di dunia. Jika demikian bagaimana mengukur kebenaran suatu agama, jika
agama tidak memberikan pengaruh pada pola pikir dan perilaku pemeluknya?.
Pandangan pragmatis untuk melihat fenomena agamawi tidak akan mampu
mengungkapkan sepenuhnya kebenaran tersebut.
Para filosof Islam meyakini bahwa Islam memiliki sejumlah pilar utama dalam pencarian
kebenaran (epistemologi), salah satunya adalah tasawuf. Aspek epistemologi Islam ini
dapat dijadikan sebagai alternatif di jaman modern ini dimana kebanyakan manusianya
telah dikuasai oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan
budaya barat yang materialitik dan sekularistik.
Saat berkunjung ke Pontianak, 8 Januari 2010 yang lalu, Muhammad Nuh selaku
Mendiknas berbicara di dua tempat, yakni Forum Rektor Indonesia di Rektorat Untan dan
Temu Wicara Mendiknas dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota se-Kalimantan Barat di Hotel Mahkota. Informasi yang
disampaikan sangat mendasar diantaranya tentang empat hal penting yang harus
diperhatikan (Aswandi, 2010) dalam membangun martabat bangsa, yakni; adanya (a)
cita-cita yang tinggi, luhur dan mulia. Cita-cita luhur akan mengantarkan bangsa ini lebih
bermartabat, prosesnya sangat panjang, bisa jadi mereka yang berperan sebagai pencetus
dan penggagas tidak sempat menikmati hasilnya karena dipanggil oleh Sang Khalik; (b)
ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut; (c) kepribadian
atau karakter; dan (d) mengkombinasikan fondasi filosofi idealisme dan pragmatisme.
Di dunia kemahasiswaan benturan antara idealisme dan pragmatisme sering terjadi. Ada
saja diantara mahasiswa kehadirannya di kampus hanya mengejar Indek Prestasi
Komulatif (IPK) yang tinggi, memperoleh nilai tinggi tanpa belajar keras. Terlebih lagi
isu filosofis pendidikan yang sangat mendasar, penting memberi arah pemikiran dan
martabat bangsa ini jarang disampaikan oleh para pemimpin pendidikan kita dan barang
kali belum menjadi dasar berpijak dalam membangun pendidikan di negeri ini. Oleh
karena itu, janganlah heran, jika kita hanya telihat sibuk dan menghabiskan banyak uang
yang dialokasikan pada berbagai proyek tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
bagi masa depan anak bangsa ini. Misalnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
atau masyarakat di negeri ini, semakin tinggi pula angka pengangguran kaum terdidik.
Hal ini berarti dunia pendidikan belum mampu memberdayakan masyarakat.
Ini sebuah bukti fondasi pendidikan kita goyah tanpa arah, dan kita harus berupaya
menemukan kembali fondasi filosofis pendidikan yang telah hilang, menghilang, atau
sengaja dihilangkan dari dunia pendidikan kita. Menurut Jim Ife (1995) dalam
membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep
sentral, yaitu konsep power (“daya”) dan konsep disadvantaged (“ketimpangan”)
Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari empat
sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-
strukturalis.
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk
menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk
bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan
menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan
media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya
sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau
kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan
kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete wthin
the rules).
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitist adalah suatu upaya untuk
bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan
konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya karena
adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan,
partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang
lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural
dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas
masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik. Dengan kata lain
pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara
fundamental, menentang penindasan struktural.
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses
yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama
pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi; atau pemberdayaan masyarakat
adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis,
dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi.
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika
dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal
pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut
Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok
Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin
yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk
menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata
Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili
pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme
sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak
diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno,
ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan
bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup
dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan
Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai
satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme
dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme. Zaman Romawi tidak begitu banyak
menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal
itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis
dan ideologis.
Pancasila jangan lagi dijadikan sebagai alat kooptasi negara untuk kepentingan politik
kekuasaan yang otoriter. Pancasila harus tumbuh mekar dalam kehidupan bangsa ini
justru karena kesadaran dari semua elemen yang ada baik elit maupun masyarakat, dan
bukan karena indoktrinasi yang berlebihan. Para elit politik jangan lagi menggunakan
Pancasila sebagai alat argumentasi dan legitimasi kepentingan politik sektarian. Agar
Pancasila berfungsi sebagai kehendak politik yang baik dan secara simultan bersesuaian
dengan perubahan-perubahan politik yang terjadi di era reformasi, maka Pancasila harus
ditempatkan tidak saja sebagai sebagai moral politik tetapi harus berfungsi secara lebih
tegas dalam kerja-kerja konsolidasi demokrasi dan politik kebangsaan.
Jadi, kalau elit politik mau melaksanakan kewajibannya untuk menjadikan Pancasila
sebagai ideologi bangsa yang bermakna pada masyarakat, maka elit politik harus
mengelola pemerintahan secara bersih dan baik, serta melakukan pemberantasan korupsi
secara sungguh-sungguh. Elit politik jangan hanya melihat masyarakat sebagai entitas
politik dan ekonomi, dalam arti melihat masyarakat untuk kepentingan dukungan politik
pada saat pemilihan umum dan potensi pembayar pajak. Tetapi lebih utama harus melihat
masyarakat sebagai entitas sosial yang harus disejahterakan dengan kebijakan-kebijakan
politik dan ekonomi yang berkeadilan sosial. Dengan demikian secara teknis, Pancasila
harus digunakan secara benar, konsisten dan ideologis dalam pembuatan dan pelaksanaan
segala produk perundang-undangan, serta mendorong tumbuhnya iklim birokrasi yang
merit system, dimana pergantian jabatan-jabatan non politis di pemerintahan didasarkan
atas kemampuan, kecakapan dan kejujuran pribadi pejabat dimana informasi penilaiannya
berasal dari penelusuran catatan jenjang karir pejabat yang bersangkutan.
Pancasila merupakan arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.
Maksudnya adalah masyarakat diharapkan untuk tidak lagi memunculkan ketegangan
antara kelompok yang membuat Pancasila digunakan untuk memaksakan kehendak, dan
instrumen untuk mendelegitimasi kekritisan berpikir dari kelompok tertentu. Pancasila
tidak membuat kelompok tertentu menjadi tirani atas kelompok lainnya. Tetapi
sebaliknya, Pancasila harus dijadikan etos kolektif masyarakat, dimana kesadaran
terhadap nilai-nilai Pancasila harus tumbuh, tanpa cara-cara yang otoriter. Pancasila harus
dilepaskan dari dominasi institusi negara. Wacana Pancasila harus diletakkan dalam
ruang publik dimana setiap masyarakat atau kelompok masyarakat dapat secara leluasa
memikirkan secara kritis, dan memberi kontribusi terhadap aktualisasi etis dari nilai-nilai
Pancasila dan prakteknya yang ideologis.
Ketika Daniel Bell tahun 50-an memproklamirkan kematian ideologi, sesungguhnya ada
muatan politis, agar para ilmuwan khususnya di dunia ketiga tidak mempertanyakan
kesahihan ideologi keilmuan Barat. Pancasila melampaui filsafat yang selama ini di
dominasi oleh pemikiran barat. Pemikiran barat yang terlalu mempercayai rasionalitas.
Rasionalitas di anggap sebagai senjata ampuh untuk menyiram api mitos. Meskipun
demikian, sebaliknya, keyakinan pada rasionalitas yang berlebih-lebihan merupakan
justru menciptakan mitos baru. Seolah-olah semuanya dapat diselesaikan dengan akal
budi manusia yang terbatas kapasitanya.
Diperkuat dengan pembuktian empiris oleh Francis Fukuyama dengan bukunya yang
terkenal The End of History. Sampai dengan maraknya praktek neoliberalisme kita masih
belum mampu mengetahui posisi ideologi Pancasila. Prinsip Hikmah di ilhami sila
keempat, istilah hikmah dalam bahasa Arab lebih mengacu pada kesatuan epistemologi
rasional, empiris dan normatif. Dengan kata lain pencapaian kebenaran yang ideal adalah
jika dipahami baik secara normatif, rasional maupun empiris. Dengan kata lain suatu
argumentasi yang semata mengembangkan pengetahuan rasional, empiris semata maka
pengetahuan tersebut belum lengkap demikianpula pengetahuan normatif yang tidak
lengkap adalah jika tidak dikembangkan dalam argumentasi yang rasional teoritis
maupun empiris.
Sebaliknya tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematika pendidikan tanpa
menjiwai praktek pendidikan”. Para filosof berpendapat; “Idealisme memandang bahwa
realitas adalah sesuatu yang bersifat spritual dan mental, proses mengetahui (knowing)
adalah memikirkan kembali ide-ide latent, dan nilai bersifat absolut. Sementara
pragmatisme memandang realitas adalah interaksi individu dengan lingkungan atau
pengalamannya, proses mengetahui pada umumnya sebagai dampak dari penggunaan
pengalaman berdasarkan metodologi ilmiah, dan nilai bersifat relatif atau situasional.
Ornstein (1977).
Jika ideologi Pancasila secara imperatif tidak digunakan lagi secara dominan sebagai
comman platfform oleh para elit politik dalam konsolidasi demokrasi, sehingga
demokratisasi hanyalah memproduksi disparitas ekonomi antara elit dan massa atau
antara pusat dan daerah yang semakin lebar, kebebasan asasi tidak bisa di proteksi dan
dipenuhi oleh negara, serta perbedaan latarbelakang dan kepentingan politik tidak di
akomodasi secara adil dan konstitusional, seperti yang terlihat secara terang benderang
sekarang ini, maka akan mendorong terus terjadinya disintegrasi kepentingan politik
horisontal.
Sifat analog dalam pengetahuan mensyaratkan bahwa sifat awal yang tepat bagi ilmuwan
adalah kerendahan hati di dalam menghadapi pengalaman dengan sikap keterbukaan
total. Istilah ‘integralistik’ untuk menunjukkan pada istilah lain dari Pancasila pertama
kali dipergunakan oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31
Mei 1945. Pada waktu itu beliau secara makro memberikan pilihan ideolgi sebelum
masuk kepada sumbstansi ideology, yang sekarang kita namaian Pancasila. Beliau
menunjukkan tiga pilihan ideology, yaitu : (1) Paham individualisme, (2) Paham
Kolektivisme, (3) Paham Integralistik.Mr. Soepomo dengansangat meyakinkan menolak
paham individualisme dan kolektivisme, serta menyarankan paham integralistik yang
dinilai lebih sesuai dengan ssemangat kekeluargaan yang berkembang di daerah pedesaan
kita. Paham integralistik merupakan kerangka konsepsional makro dari apa yangsudah
menjiwai rakyat kita di kesatuan msyarakat yang kecil-kecil itu (Murdiono, dalam Oetojo
Oesman dan Alfian, 1993).
Menurut Arif Budiman, perdebatan tentang system Perekonomi Pancasila, teori tentang
hakekat manusia dan negara menggambarkan keadaan ilmu social pada saat ini.
Perdebatan tersebut menunjuk pada dua kubu ilmu social yang dianut oleh sarjana-
sarjana ilmu soaial di Indonesia. Dua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, adalah kubu yang menekankan aspek-aspek psikologi dari individu, serta
system nilai masyarakat yang melingkunginya, disini yang disebut pendekatan
psikologi/kebudayaan; Kedua, menekankan pada lingkungan material manusia, yakni
organisasi kemasyarakatan beserta system imbalan-imblan material manusia termasuk
perubahan-perubahan teknologi, pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan structural.
Prinsip Ketergantungan
Seluruh mahluk yang ada dialam ssemesta ini baik didalam alam mikro kosmossampai
dengan alam makro kosmos adalah merupakan satu kesatuan karena saling tergantung
antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain tidak satupun mahluk yang ada
didalam alam semesta yang berdiri sendiri tidak tergantung kepada mahluk yang lainnya.
Karena seluruh mahluk saling tergantung maka zat yang merupakan awal dan akhir dari
ketergantungan adalah dzat yang tidak bergantung yaitu Allah SWT. Tuhan Yang Maha
Esa. Alam semesta yang realitasnya tergantung padanya, dan yang diciptakandalam
zatnya, juga diciptakandalam artian temporal. Artinya, alam ssemesta berubah secara
terus menerus dari perubahan pada hakekatnya meruapakan wataknya. Dengan
konstitusinya yang ssepertiitu, ia berada dalam keadaan menujadi (becoming) yangterus
menrus, dan keadaan diciptakan yang berulang-ulang. Tak ada satu saatpun dimana alam
ssemesta tidak berada daslam keadaan diciptakan dan rusak (Murtadha Mutahhari, 1991).
Prinsip Kekeluargaan
Pada hakekatnya manusia adalah satu keluarga, hal ini merupakan keyakinan agamawi
karena manusia saatu keturunan dari Adam. Hal ini berarti individu berasal dari individu
yang lain, dan tidak ada satupun individu yang tidak berasal dari individu yang lain.
Bahkan ada filosof yang berpendapat bahwa alam semesta sebagai satu keluarga.
Dimana mahluk yang satu merupakan asal dari mahluk yang lain. Mereka antara lain Ibn
Miskawayh, Jalalludin Rumi demikian juga dapat disebut Lamarck dan Darwin.
Jalalludin Rumi mengatakan dalam syairnya yang berjudul evolusi atau pendakian jiwa
seperti berikut ini :
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan
Aku mati sebagi tumbuhan dan muncul sebagai hewan
Aku mati sebagai hewan dan muncul sebagai insane
Mengapa aku mesti takut ? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagi insane, untuk membumbung
Bersama para malaikat yang direstui; bahkan dari tingkat malaikatpun
Aku harus wafat; segala akan binasa kecuali Tuhan
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan
Akun akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran
Oh, biarkanlah aku tiada, karena ketiaddaan
Membisikkan nada dalam telinga “ Sesungguhnya kepada-Nyalah kita kembali
(Reynold A Nicholson, 1993).
Prinsip Kesetaraan
Implikasi lebih lanjut denganadaanya prinsip saling ketergantungan dan kekeluargaaan
adalah prinsip kesetaraan. Ldengan prinsip kesetaraan ini berarti antara mahluk yang satu
dengan mahluk yang lain pada hakekatnya setara atau sebanding. Sehingga terjadi prises
evolusi serta lsaling ketrgantungan. Dan tidak satupuh mahluk yang tidak setara dengan
mahluk yang lain dimana dan kapanpun juga. Karena sseluruh mahluk pada hakekatnya
setara atau sebanding antara satu dengan yang lainnya, maka hubungan ini berawal dan
berakhir pada dzat yang tidak setara yang Esa yaitu Allah SWT.
Menurut bangsa Indonesia, hikmah merupakan karunia yang berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa. Oleh karesna itu bangunan filsafat dan ilmu pengetahuannya berlandanskan
kepada keyakinan kepada adanyaTuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian prinsip ilmu
untuk ilmu sejauh mungkin dihindari oleh bangsa Indonesia. Karena kemungkinan besar
akan dapat menjerumuskan ilmuwan kesdalam pemikiran netralits etik. Dengan
demikian bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan hati nurani bansa Indonesia.
Demikian pula berarti terdaspat kaitan yang sangat erat atara metafisika- etika-ilmu
pengetahuan(hikmah)- dan estetika.
Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai
ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa.
Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan
melandasi cita budaya dan moral politik nasional, terjabar secara konstitusional:
a. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV); b. Negara kesatuan, negara
bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan
sebagai NKRI; c. Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum
demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai
negara hukum Pancasila; d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut
dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan
kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral manusia warga negara dan politik
kenegaraan RI; e. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara
melindungai seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara
mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam
sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2007: 108 - 127).
Menurut hakikat dan strukturnya sebagai pengetahuan ilmiah atau “ilmu” (science) maka
pengetahuan (jenis-jenis epistemology yang sifatnya khusus) harus bersifat
terspesialisasi. Para saintis umumnya cenderung memaksakan adanya suatu jenis
epistemology tertentu yang benar-benar pantas disebut pengetahuan. Mereka
menekankan adanya jaminan metode dan ukuran kebenaran tertentu saja yang dapat
menentukan ketepatan dan kejelasan suatu kebenaran ilmiah. Hal ini berakibat pada sikap
yang cenderung menolak kebenaran lainnya dan hanya memandangnya sebagai sesuatu
yang mendekati kedudukan ilmiah (Greg Soetomo, 1995: 14). Cara demikian ini sangat
tidak memadai karena untuk menghasilkan suatu definisi yang pasti dan tetap mengenai
pengetahuan adalah hal yang tidak mungkin.
Kita tak perlu meragukan unsur holistisisme di dalam Pancasila. Meskipun demikian,
dalam tulisan ini hal ini perlu dibuktikan melalui hasil penyelidikan nalar. Pertama,
Pancasila di konstruksikan oleh Bung Karno, dimana ia merupakan menggagas
keseluruhan sila yang di kontekstualisasikan dari keindonesiaan. Tidak berjuang secara
parsial, misalnya Ki Hajar Dewantara yang mengkonsepsikan tipikal pendidikan nasional
Indonesia saja, meskipun kita harus mengakui perjuangan Ki Hajar Dewantara begitu
besar untuk Indonesia. Walaupun secara proporsional kita bisa mengatakan bahwa
pergerakan beliau hanya sebatas di wilayah pendidikan. Tetapi, Pancasila. Melepaskan
sekat-sekat perjuangan, ras, agama, disiplin ilmu, hingga menuju Bhineka tunggal Ika-
nya. Menuju ke kekesatuan yang utuh. Pancasila sebagai paham yang tak termakan oleh
zaman, melainkan ia selalu hadir sebagai perspektif kontemporer yang cocok bagi bangsa
Indonesia.
Van Melsen selanjutnya menekankan bahwa spesialisasi dalam ilmu pengetahuan (jenis-
jenis epistemology yang khusus) biasanya terjadi karena ilmuwan membatasi diri pada
satu wilayah tertentu saja. Setiap jenis epistemology khusus berbeda satu sama lain
karena menggunakan metode atau cara pandang (objek formal)-nya masing-masing yang
sangat berlainan untuk menyelidiki, melukiskan, dan mengerti realitas manusia sebagai
objek material. Akibatnya masing-masing melakukan observasi dan eksperimen yang
berbeda-beda terhadap objek material yang umumnya sama yaitu pada manusia.
Oleh karena itu, setiap masalah manusia tidak dapat diselesaikan oleh salah satu disiplin
secara sendiri-sendiri, apalagi hal itu dilakukan secara otonom, tertutup, dan terpisah dari
disiplin lainnya. Prinsipnya, harus diberi tempat yang wajar untuk semua bidang
pengetahuan kemanusiaan dengan sumbangsihnya sendiri, baik dalam hal objek maupun
dalam hal metode. Keutuhan pengalaman manusia harus ditemukan kembali dan diteliti
secara ilmiah. Seandainya jenis-jenis epistemology yang beraneka ragam itu memetakan
sebagian realitas, maka hanya perlu menggabungkan peta-peta itu supaya dapat diperoleh
tujuan yang mencakup seluruh realitasnya. Alasan yang kuat bagi epistemology untuk
dikembangkan secara menyeluruh (holistik) karena terdapat sesuatu yang sifatnya
bersama yang terdapat diantara jenis-jenisnya yang khusus.
Prinsip holistik juga mengakui bahwa betapa pun besarnya kemampuan bidang
pengetahuan eksakta dengan teknologinya, tetap tidak dapat merangkum dan mencakup
seluruh pengalaman manusia. Karena masing-masing bidang memiliki fokus, proses, dan
sumber kajian yang berbeda. Pengetahuan, rasa citranya, perasaan terhadap keindahan,
cinta dan kasih sayang, serta rasa harga diri manusia secara utuh tidak dapat dirangkum
secara eksak. Ini menunjukkan tidak ada satupun bidang pengetahuan yang sempurna dan
komprehensif. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri, dengan segala kelebihan
dan kekurangannya.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.