Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB

ILMUWAN KESEHATAN

DR.DRS. SURYA UTAMA, MS.

Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Sumatera Utara

1. PENDAHULUAN
Rekayasa RNA (ribonucleic acid) hingga saat ini tetap belum dapat dilakukan,
dan masih menjadi rahasia Tuhan. Beberapa ilmu wan mengatakan bahwa hal itu
tampaknya tetap menjadi hak prerogatif Tuhan yang mungkin tidak akan dibukakan.
Jika dibukakan,manusia mungkin akan mampu menciptakan protein dalam
laboratorium, kelak mungkin manusia akan dapat menciptakan mahluk.
Jika,misalnya saja, hal itu dapat terjadi, manusia tentu kemudian akan ingin mencari
kunci untuk memecahkan masalah nyawa. Dan kembali lagi, mereka akan
dihadapkan kepada nilai-nilaii moral dan agama serta budaya masyarakat
(Mohamad, 1992).
Haruskah kita menghentikan para ilmuwan dari upaya menemukan hal-hal
yang baru itu, dan dapatkah hal itu dihentikan? Para ilmuwan pun menanyakan hat
yang sarna. Seperti tulis John Barrow, dalam bukunya Quest for Ultimate
Explanation: Dapatkah kita
berharap akan menguak rahasia alam secara tuntas? Adakah teori tentang segala
sesuatunya (theory of everything) di dunia ini, dan apa yang dapat kita ketahui
darinya? Dan, jika ada, sampai seberapa luas yang dikatakan sebagai "segala
sesuatu" (every-thing) yang dicakup teori itu (Mohamad, 1992).
Menarik untuk direnungkan ungkapan di atas. Fenomena yang termaktub
didalamnya, sedikitnya memberikan suatu gambaran tentang beberapa hal, yaitu:
(1) agresifitas manusia (khususnya para ilmuwan) untuk mencari tahu segala
sesuatunya, yang dengan bantuan metode keilmuwan akan menciptakan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, (2) hasil yang diperoleh, berupa ilmu
pengetahuan itu benar-benar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat
luas, dan (3) kemungkinan munculnya problem baru, ketika apa yang dihasilkan
ilmuwan dan diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat, melampui
batas-batas nilai moral, agama, dan budaya masyarakat.
Fenomena di atas, akan menimbulkan pertanyaan: apa yang harus dilakukan
dan apa yang menjadi tanggungjawab para ilmuwan dalam penggalian dan
pengembangan ilmun pengetahuan? Apa yang harus dilakukan dan bagaimana
tanggungjawab ilmuwan, jika ilmu pengetahuan yang ditemukannya dan
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat tidak selaras nilai moral, agama, dan
budaya masyarakat; meskipun dari satu sisi lain hal itu membawa manfaat pada
masyarakat itu sendiri?
Pertanyaan ini, menjadi penting diajukan, terutama dengan perkembangan
pesat ilmu pengetahuan yang secara langsung terkait dengan substansi kehidupan
manusia, seperti ilmu kedokteran. Dewasa ini, pelayanan kesehatan telah
memberikan banyak harapan kepada anggota masyarakat untuk menanggulangi
masalah kesehatannya. Hal ini dimungkinkan dengan berkembang pesatnya ilmu
kedokteran, yang didukung kemajuan pesat bidang biologi dan teknologi. Banyak
jenis penyakit, yang selama ini harus berakhir dengan kematian penderitanya, dapat
ditanggulangi, dan akhirnya dapat memberikan harapan hidup yang lebih panjang.

© 2003 Digited by USU digital library 1


Kemajuan yang sangat pesat itu, pada satu sisi sangat menggembirakan;
namun di sisi lain, justru sangat mengkhawatirkan karena acapkali bertentangan
dengan substansi norma, hukum, dan ajaran agama yang dianut masyarakat.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya pada masyara
kat, seperti bidang kedokteran, yang dapat memuaskan semua pihak secara
universal, mungkin sulit dilakukan. Pada konteks inilah sangat penting dibahas aspek
tanggungjawab ilmuwan dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

2. PERKEMBANGAN BIOMEDIS DAN MASALAH YANG DIHADAPI


Perkembangan bidang ilmu kedokteran, telah menciptakan prestasi besar
yang pernah dicapai sepanjang sejarah manusia. Kemajuan yang sangat revolusioner
dalam bidang medis (didukung kemajuan bidang ilmu lainnya seperti biologi dan
teknologi) mencerminkan betapa para ilmuwan kedokteran telah bekerja keras
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Fenomena yang terjadi saat ini, adalah betapa dalam kehidupan sehari-hari
banyak orang dapat menikmati suatu layanan medis seperti pembuahan artifisial,
bayi tabung, ibu titipan, menentukan jenis kelamin bayi sesuai keinginan, rekayasa
genetika, dan transplantasi organ tubuh.
Menurut Maertens (1990), pada abad ke 21, diperkirakan para ilmuwan telah
dapat melakukan rekayasa genetika, yang dapat diterapkan sebagai terapi untuk
menyembuhkan penyakit turunan,dan memperbaiki kualitas ras manusia.
Namun prestasi besar ini tidak jarang bersifat ambigu, yaitu: pada satu sisi
dapat memecahkan masalah manusia, disisi lain dapat menimbulkan masalah baru.
Diantara masalah itu acapkali bersentuhan dengan masalah etika. Pertanyaan
mendasar yang muncul adalah, apakah setiap yang dapat dilakukan manusia
(melalui hasil prestasi ilmiah) pada kenyataannya boleh juga dilakukan.
Pada hakikatnya, masalah yang muncul tidak saja pada aktifitas layanan
medis, sebagai salah satu realisasi dari suatu kemajuan pengembangan ilmu
kedokteran; tetapi masalah itu telah muncul pada proses berkembangnya ilmu itu
sendiri yang dilakukan para ilmuwan.
Perkembangan ilmu pengetahuan menuntut diadakannya beragam
eksperimen baru. Namun apakah batas-batas etis untuk eksperimen semacam itu,
sampai dimana hak manusia yang terlibat dalam eksperimen harus dilindungi,
sampai batas mana boleh diadakan eksperimen dengan embrio, sperma, Bel telur,
dan gen manusia (rekayasa genetika). Bagaimanapun juga, ilmu pengetahuan
sebagai ciptaan manusia tidak dapat dilepaskan dan tanggungjawab manusia.
Karena itu refleksi etis atas apa yang sedang dilakukan sekarang menjadi hat yang
sangat mendesak (Maertens dkk, 1990).
Fenomena di atas menggambarkan adanya 2 masalah utama yang dihadapi
para ilmuwan, yaitu: (1) masalah pada saat ilmu pengetahuan itu dikembangkan,
dan (2) pada saat ilmu penletahuan itu diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari menurut
segala aspeknya. Kegiatan ilmiah dewasa ini didasarkan pada 2 keyakinan, yaitu: (1)
segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk
mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih
mendalam menurut segala aspeknya; dan (2) semua aspek realitas memerlukan
penyelidikan untuk memenuhi kebutuhan itu. Kebutuhan primer manusia (seperti
makan, minum, atau kesehatan) tidak akan cukup terpenuhi tanpa adanya
penyelidikan (Melsen dkk, 1992).
Menurut Melsen dkk (1992), manusia itu berada dalam semacam gerak spiral,
yaitu: di satu sisi kita harus menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjamin
kebutuhan kita yang paling elementer, dan di sisi lain keharusan itu sebagian
disebabkan oleh perbuatan kita sendiri yang mengubah keadaan hidup kita yang

© 2003 Digited by USU digital library 2


natural. Sebenarnya, lingkungan yang natural relatif sarna banyaknya mengandung
persoalan seperti pada lingkungan artifisial yang diciptakan manusia melalui bantuan
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah
bagaimana agar ilmu pengetahuan dapat berguna untuk kehidupan sehari-
hari,sekaligus menghilangkan unsurnya yang merugikan manusia (Melsen dkk,
1992).
Berdasarkan uraian di atas, maka setiap ilmuwan, khususnya bidang
Kedokteran, mempunyai tanggungjawab khas, yang secara umum meliputi 2 hal,
yaitu: (1) tanggungjawab untuk senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan
secara terus menerus untuk kepentingan ilmu itu sendiri, (2) pengembangan ilmu
pengetahuan yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia; dan (3)
tanggungjawab atas kemungkinan munculnya masalah baru yang merugikan pada
proses pengembangan dan pemanfaat ilmu pengetahuan. Ketiga hal ini,harus
menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanggungjawab yang bersifat khas.
Topik pembahasan berikut ini akan lebih difokuskan pada 2 aspek tanggjuwab
seperti terurai di atas, khususnya tanggungjawab ilmuwan dalam konteks
perkembangan biomedis.

3. TANGGUNGJAWAB ILMUWAN DAN PROBLEM ETIS


Satu deksripsi ringkas mengenai awal berkembangnya Ilmu Kedokteran
ilmiah, disajikan oleh Russel (1952), yang secara tragis menggambarkan betapa
sukarnya menjadi ilmuwan. Dikisahkan bahwa
Ilmu Kedokteran Ilmiah pada mulanya harus memerangi takhayul yang mirip
takhayul yang melandasi kepercayaan pada ilmu sihir. Ketika untuk pertama kali
Vesalius melakukan pembedahan mayat, Gereja merasa ngeri. Untuk sementara
Vesalius diselamatkan dari hukuman oleh Kaisar Charles V yang sakit-sakitan dan
yakin bahwa tidak ada dokter lain yang dapat mempertahankan kesehatannya.
Namun ketika kaisar akhirnya wafat, Vesalius dituduh memotong-motong tubuh
orang sebelum orang itu mati. Sebagai hukumannya, Vesalius diperintahkan untuk
berziarah ke Tanah Suci. Kapalnya karam, dan ia meninggal karena kedinginan dan
kelaparan. Kendati ada jasa besar Vesalius dan ahli lainnya, bidang kedokteran
masih diliputi suasana yang bersifat takhayul. Kegilaan, masih dianggap disebabkan
oleh kemasukan roh jahat. Penderita diperlakukan dengan sangat kejam dengan
harapan roh jahat merasa tidak betah,dan pergi meninggalkan tubuh si penderita.
Abad ke-18, dapat dikatakan sebagai era berkembangnya bidang kedokteran
sebagai bidang ilmiah. Jasa ilmu kedokteran dalam mengurangi penderitaan manusia
(seperti temuan Louis Pasteur) sungguh tidak terhitung. Namun demikian, tantangan
para ilmuwan bukan semakin surut melainkan dimensi masalahnya semakin luas.
Masalah yang dihadapi oleh para ilmuwan tidak saja dalam proses pencarian
imu untuk kepentingan orang banyak, penyakit yang semakin berkembang, tetapi
juga bersumber dari orang dan institusi yang menilai kerja ilmuwan sebagai sesuatu
yang salah.
Menurut Russel (1952) terdapat 3 unsur yang amat penting dalam pandangan
ilmiah pada abad ke-18, yaitu:
1). Pernyataan tentang fakta harus didasarkan pada pengamatan, bukannya
pada otoritas yang tidak berdasar (seperti yang dilakukan oleh gereja).
2). Dunia nirnyawa adalah sistem yang hidup dan bertindak sendiri, dengan
semua perubahan yang terjadi tidak tunduk pada hukum alam.
3). Bumi bukanlah pusat semesta, kemungkinan besar manusia bukanlah
tujuannya, lagipula "tujuan" adalah sebuah konsep yang secara ilmiah tidak
berguna.
Ketiga unsur ini membentuk apa yang dinamakan pandangan mekanistis yang
dikutuk oleh para imam (gereja). Meskipun mendapat tentangan teras, namun

© 2003 Digited by USU digital library 3


pandangan ini setidaknya telah membawa dampak positif pada penderita, yaitu
dihentikannya beragam penyiksaan atau penganiayaan, serta menimbulkan sikap
yang secara umum lebih manusiawi.
Bahwa fakta haruslah dipastikan dengan pengamatan yang sungguh-
sungguh, adalah merupakan salah satu wujud dari keberhasilan orang-orang besar
(ilmuwan) terdahulu. Menurut Russel (1952), menghargai pengamatan sebagai
lawan tradisi, adalah sesuatu yang sulit dan orang hampir berpendapat bahwa hal itu
bertentanngan dengan kodrat manusia. Ilmu pengetahuan menuntut hal itu.
Tuntutan itulah yang menjadi sumber pertentangan tak berkesudahan antara ilmu
pengetahuan (ilmuwan) dengan pemegang otoritas (gereja), setidaknya didataran
Eropah.
Dewasa ini, ilmu kedokteran telah berkembang pesat sebagai ilmu
pengetahuan praktis. Ilmu ini mengarahkan perhatiannya pada fenomena penyakit
dan pada manusia yang sakit. Untuk itu ia menggunakan macam-macam ilmu
pengetahuan lainnya yang dapat membantu menyembuhkan orang sakit. llmu
kedokteran, mempunyai objek yang bersifat praktis dan konkrit; objek ilmu ini
mudah dikenal sebagai suatu aspek khusus dari realitas yang dapat diabstraksikan.
Ilmu kedokteran juga mempunyai sifat yang khas, yaitu ilmu normatif. Sifat ini
membawa arti, bahwa mereka tidak membatasi diri pada penyelidikan beragam
fenomena penyakit yang pada kenyataannya ada, tetapi mereka memandang juga
semuanya itu dalam perspektif apa yang seharusnya ada. Dalam hal ini, ilmu
kedokteran mengambil norma kesehatan alamiah, sebagai norma yang seharusnya
ada (Melsen, 1992).
Rumusan di atas, membawa konsekuensi terhadap apa yang seharusnya
menjadi tanggungjawab ilmuwan kedokteran. Tanggungjawab itu tampaknya harus
dikembangkan dengan diawali dari suatu pemahaman atas pertanyaan, apakah ilmu
kedokteran sebagai ilmu praktis harus bebas nilai.
Jawaban atas pertanyaan ini merupakan titik awal terbentuknya
tanggungjawab ilmuwan kedokteran, untuk memajukan bidang kedokteran sebagai
ilmu pengetahuan maupun sebagai sarana untuk meningkatkan kesehatan manusia.
Tanggungjawab ilmuwan kedokteran ini, dengan demikian akan terkait secara
langsung dengan aspek praksis ilmu kedokteran yang terkait dengan dimensi
etisnya. Dimensi etis dalam ilmu kedokteran menjadi sangat krusial, scbagai rambu-
rambu yang membatasi dan memberi ruang gerak yang jelas, yang seharusnya
menjadi tanggungjawab ilmuwan kedokteran; sebab dalam praksisnya, ilmu
kedokteran terkait secara langsung dengan aspek fisik, psikis, norma, dan ajaran
agama yang dianut manusia.
Praktek ilmu manusia (termasuk kedokteran) tidak akan pernah bebas nilai
sarna sekali, dalam arti tidak boleh mengabaikan sama sekali pertimbangan etis
(Melsen dkk, 1992).
Sulitnya ilmu kedokternn untuk bebas nilai, terutama disebabkan oleh
kegiatan eksperimental yang dilakukan secara umum tidak dapat bersifat netral.
Sesungguhnya tidak boleh seorang ilmuwan kedokteran melakukan berbagai ujicoba
atau tindakan berupa pembedahan pada tubuh manusia, lalu mengamati hasilnya.
Aktifitas semacam ini tidak dapat dilakukan semata-mata untuk alasan kemajuan
ilmu pengetahuan, atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan manusia lainnya.
Seorang ilmuwan kedokteran, memang harus mengusahakan apa yang paling
baik bagi manusia, tetapi tidak ada kebebasan untuk menggunakan manusia lainnya
sebagai korban. Ruang eskperimen untuk bidang ilmu ini tetap ada, tetapi bersifat
terbatas; sebab bagaimanapun manusia bukanlah seperti benda lainnya yang dapat
secara terus menerus digunakan dan diganti oleh manusia lainnya untuk mengetahui
sifat-sifatnya. Dalam konteks ini pertimbangan etis tidak dapat dihindarkan, dan
memang sungguh diperlukan.

© 2003 Digited by USU digital library 4


Sifat progresif dan rasa tanggungjawab ilmuwan untuk mengembangkan ilmu
kedokteran, di sisi lain hal ini harus berhadapan dengan aspek moral dan hukum,
yang secara potensial dapat menimbulkan konflik, dapat dilihat dari
dikembangkannya proses (melalui bantuan teknologi) Pembuahan In Vitro (VIT) dan
Gamet Intra Fallopian Transfer (GIFT) untuk membantu pasangan suami istri yang
mandul agar dapat mempunyai anak (Mohammad, 1992).
Keberhasiln proses VIT dan GIFT relatif rendah (sekitar 20%) karena
dipengaruhi berbagai faktor. Upaya untuk meningkatkan keberhasilan, umumnya
dilakukan dengan mengambil lebih banyak sel telur yang akan dibuahi, dan
mengembalikannya ke rahim dalam jumlah yang lebih dari satu sel telur yang telah
dibuahi. Maksimum hanya 4 sel telur yang sudah dibuahi dapat dikembalikan ke
rahim, sedang sel telur yang dibuahi sebenarnya lebih dari 4. Hal ini
menggambarkan adanya proses seleksi untuk memperoleh sel telur terbaik, yang
ditujukan pula untuk memperkecil resiko kegagalan.
Problem etis muncul, ketika proses pemusnahan sel telur yang sudah dibuahi
(tetapi tidak dikembalikan ke rahim ibu) akan dilakukan. Kalangan agama Kristen
(Fletcher, 1979) dan Islam (Mohamad, 1990) mencela tindakan pemusnahan itu,
sebagai tindakan "hendak menjadi Tuhan" dan perbuatan itu merupakan dosa besar.
Sulitnya, kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi yang mendukungnya membuka
peluang untuk memunculkan perdebatan baru, dalam hal memperlakukan sel telur
yang sudah dibuahi, seperti apakah harus dimusnahkan, disimpan beku, didonasikan
kepada pasangan lain yang menginginkan, atau dimusnahkan jika diketahui bahwa
embrio itu cacat. Tentangan dari pakar agama dan hukum atas proses ini, sayangnya
tidak disertai oleh solusi yang jelas bagaimana seharusnya sel telur tersebut harus
diperlakukan.
Polemik yang berkepanjangan ini tidak menemukan jalan keluar (Mohamad,
1992). Sampai pada akhirnya, Kongres Persatuan Dokter Sedunia (WMA) di Madrid,
tahun 1987, membuat pernyataan mengenai sel telur yang sudah dibuahi tetapi
tidak dikembalikan ke rahim itu, yaitu: WMA mendesak kepada para dotter agar
bertindak etis dan dengan tetap menghormati kesehatan calon ibu dan janin sejak
awal hidupnya. Jika dalam teknik PIV terdapat kelebihan sel telur
yang tidak akan segera dipergunakan, maka dengan persetujuan pasangan suami
isteri yang bersangkutan, kelebihan tersebut dapat: (a) dimusnahkan, (b) disimpin
secara beku, dan (c) dibuahi dan simpin secara beku.
Pernyataan di atas merupakan pedoman etis yang menjadi dasar
tindakan para dokter. Namun hingga saat ini pedoman etis dari segi agama dan
hukum, yang selaras dengan etika medis memang belum ada.
Pada beberapa Negara, seperti di Amerika Serikat, khususnya negara bagian
Lousiana, hukum yang berlaku menyatakan bahwa embrio yang terbentuk melalui
PIV sudah dianggap sebagai manusia (a person) dan oleh karena itu tidak boleh
dimusnahkan. Wanita yang memilikinya hanya mempunyai 2 pilihan, yaitu: (1)
mengembalikan seluruhnya ke dalam rahimnya, atau (2) menyerahkan sepenuhnya
kepada negara. Negaralah yang nantinya menentukan sepenuhnya kepada siapa
embrio itu harus didonasikan (Mohamad, 1992).
Hal di atas, menunjukan adanya kesenjangan yang lebar antara kemajuan
bidang kedokteran yang telah diraih para ahli, dengan ketentuan hukum dan norma
yang menjadi perisai bagi tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
masyarakat secara luas.
Pertemuan Dokter Sedunia (1987) di Madrid, mengeluarkan pernyataan,
bahwa: Pengetahuan tentang pematangan, pembuahan, dan proses perkembangan
sel-sel manusia pada tahap awal masih sangat sedikit. Oleh karena itu, penelitian
terhadap fenomena fisik maupun kimiawi tentang itu adalah wajar selama dilakukan
sesuai dengan Deklarasi Helsinki. Deklarasi Helksinki adalah deklarasi yang

© 2003 Digited by USU digital library 5


mengatur tentang tata cara penelitian dengan menggunakan manusia sebagai subjek
(bahan) untuk penelitian.
Selanjutnya, Deklarasi Madrid (1987) menyatakan bahwa: Teknologi
pembuahan in vitro dapat pula digunakan untuk riset yang ditujukan untuk
memahami lebih jauh tentang penyakit genetik, dan jika mungkin untuk mencegah
atau mengobatinya. Implikasi etik dan moral yang mendalam baik bagi pasien
maupun dokternya dapat terjadi, dan oleh karena itu, dotter tidak boleh melanggar
prinsip moral yang dianutnya dan harus peka dan menghormati terhadap prinsip
moral yang dianut oleh pasien... Persatuan Dokter Sedunia menganjurkan agar
dokter menahan diri dari keinginan untuk mengubah proses reproduksi melalui PIV
ini hanya untuk memilih jenis kelamin bayi, kecuali jika untuk menghindari penyakit
keturunan serius yang berkaitan dengan jenis kelamin.
Tantangan pada para ilmuwan kedokteran juga semakin besar, terutama
dengan munculnya Rekomendasi dari Parlemen Eropa no.1100, yang menggariskan
bahwa penelitian dengan menggunakan gamet manusia tidak boleh digunakan untuk
menciptakan embrio secara invitro untuk tujuan prokreasi. Penelitian untuk
mencegah atau mengobati kelainan genetik dibolehkan, tetapi tidak boleh untuk
mengubah ciri keturunan yang tidak patologis (Mohamad, 1992).
Prestasi ilmiah yang telah dicapai oleh para ilmuwan memang sungguh
menakjubkan. Pembuahan in vitro pada manusia ternyata telah menimbulkan ide
kreatif dalam memenuhi keinginan pasangan suami isteri untuk mempunyai anak,
seperti surrogate mother atau ibu pengganti, sistem garnet donor, dan rahim
pinjaman. Prestasi di atas, sesungguhnya hanya sebagian kecil dari sekumpulan
prestasi gemilang yang telah dicapai para ilmuwan dalam bidang kedokteran, yang
juga ditopang oleh para ilmuwan bidang lainnya seperti bidang biologi, kimia, dan
teknologi. Daftar panjang prestasi itu, secara teoritis telah berhasil membangun
kesatuan ilmu kedokteran, disisi lain kemanfaatannya nyata dapat membangun
nyata dapat membantu memecahkan banyak problem kesehatan manusia.
Prestasi lainnya yang dapat diungkapkan adalah transplantasi organ.
Keberhasilan ilmuwan untuk melakukan kegiatan transplantasi organ tubuh manusia
telah meningkatkan banyak harapan orang untuk lebih lama menjalani kehidupan
dalam keadaan sehat.
Harapan hidup bagi penderita yang mendapat cangkok organ semakin tahun
semakin panjang, terutama dengan adanya kemajuan dalam ilmu bedah mikro,
kemajuan ilmu imunologi, dan kemajuan pengobatan untuk mencegah penolakan
organ. Demikian pula kualitas hidup penderita dapat dipulihkan pada tingkat yang
hampir sarna dengan sebelum ia sakit. Pengertian kualitas hidup di sini bukan hanya
kualitas secara fisik, tetapi juga kualitas psikis karena karena rasa percaya dirinya
menjadi pulih, dan meningkat pula kualitas hidup sosialnya (Mohamad, 1992).
Agresifitas para ilmuwan untuk membantu penderita adalah sesuatu yang
sangat menggembirakan, dengan hasil nyata yang telah ditunjukkan. Namun apakah
keberhasilan yang menggembirakan itu telah mencapai pola pikir dan perasaan
setiap orang untuk menyetujuinya? Jawaban yang paling mendasar adalah tidak
seluruhnya setuju atas keberhasilan itu. Banyak tentangan atas hasil yang telah
dicapai para ilmuwan kedokteran, terutama karena keberhasilan yang telah dicapai
sering sekali bertentangan dengan substansi nilai, norma, dan kepercayaan sebagian
besar masyarakat.
Akhir-akhir ini yang menggembirakan sekaligus merisaukan adalah
transplantasi otak. Menggembirakan karena penderita Parkinson yana semula
dianggap tidak mungkin sembuh, kini mempunyai harapan untuk sembuh,
merisaukan sebab transpaltasi terbaik adalah jika sel otak yang akan dipindahkan itu
diambil dari otak janin atau bayi (Mohamad, 1992).

© 2003 Digited by USU digital library 6


Fenomena di atas merupakan salah satu contoh keberhasilan lainnya dari
agresifitas ilmuwan kedokteran dalam mengembangkan pemanfaatan ilmu
kedokteran sebagai ilmu praksis.
Keberhasilan yang dapat menggembirakan, sekaligus mengkhawatirkan ini
pada akhirnya menimbulkan problem etis yang serius, ketika kegiatan eksperimen
maupun aplikasi temuan itu memanfaatkan manusia sebagai objeknya .
Problem etis yang muncul pada kasus penyembuhan penyakit parkinson,
adalah ketika proses penyembuhan yang terbaik menggunakan bayi sebagai donor.
Problem etis muncul, ketika akan terjadi kemungkinan seseorang menjadi peternak
janin, untuk memperoleh uang. Sengaja hamil, kemudian digugurkan clan dijadikan
donor atas pesanan penderita parkinson, dengan ganti rugi (uang) tertentu.
Pada kasus lainnya, untuk menolong bayi yang mengalami kelainan organ;
maka bayi yang digunakan sebagai donor adalah bayi yang anensefali (lahir tanpa
otak yang utuh). Bayi anensefali, bagaimanapun juga paling lama akan bertahan
hidup selama beberapa hari. Sehingga muncul gagasan untuk menganggapnya
sebagai "mati batang otak" dan menjadikannya donor organ untuk bayi yang lain
yang memerlukan.
Adanya keraguan atas berbagai upaya yang dilakukan ilmuwan (dokter),
terutama karena didasari beberapa kelompok orang merasa ragu atas ketulusan
ilmuwan dalam menggunakan ilmu pengetahuannya (Mohamad, 1992).
Hal inilah yang mendorong pentingnya refleksi etis dari kalangan ilmuwan
terhadap segala tindakannya. Berdasarkan pendapat Maertens dkk (1990) Berta
Melsens dkk (1992), dapatlah disimpulkan bahwa kemajuan pesat ilmu pengetahuan
harus diimbangi oleh refleksi etis dari apa yang sedang kita lakukan. Bagaimanapun
ilmu pengetahuan adalah ciptaan manusia dan menjadi tanggungjawab manusia.
Pertimbangan etis menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan dan tidak
dapat dihindarkan pada saat ini.
Kemajuan ilmu kedokteran memang berkembang pesat, yang tampaknya
selaras semakin kompleksnya problem kesehatan masyarakat. Banyak kasus
kesehatan orang dapat ditanggulangi oleh kemampuan para ilmuwan, namun
sebagian kasus tersebut, dalam hal penanganannya selalu berbenturan,
menimbulkan pro dan kontra yang luas dikalangan masyarakat. Tugas dan
tanggungjawab ilmuwan kedokteran, akhirnya semakin berat.
Salah satu yang dapat dikemukakan adalah dalam kasus Karen Anne Quinlan,
umur 21 tahun. Pada tahun 1975, Karen telah mengalami koma, yang diduga karena
akibat dari penggunaan penenang secara berlebihan. Ia mempunyai orangtua,
penganut Katolik yang taat. Berdasarkan pemeriksaan klinis Karen dikategorikan
pada penderita stadium terminal, yang termasuk pada kategori 2 standard Harvard.
Berdasarkan situasi keberadaan (being), Karen tidak memilikki suatu tingkat minimal
kesadaran kognitif atau telah kehilangan secara irreversibel seluruh kesadaran, maka
Karen tidak mempunyai hak untuk hidup; namun juga tidak punya hak untuk mati.
Orang tua Karen yang paling berhak mewakili Karen untuk mengambil keputusan.
Orang tua Karen memutuskan agar dotter menghentikan atau mencabut alat
penopang hidup yang terpasang pada tubuh Karen. Ternyata keputusan ini didukung
oleh keputusan pengadilan tinggi.
Permasalahan etik pada kasus ini, apakah perawatan pada Karen sebaiknya
harus dilanjutkan atau dihentikan, atau apakah Blat penopang kehidupan Karen
sebaiknya dihentikan atau tidak?
Para ilmuwan Kedokteran (terutama yang merawatnya) menolak
tindakan sesuai keinginan orangtua Karen, terutama karena kemaujuan teknologi
kedokteran dan obat-obatan yang tersedia dapat menopang kehidupan Karen
meskipun dalam keadaan kama, disisi lain Karen dianggap belum mati.

© 2003 Digited by USU digital library 7


Perdebatan mengenai kasus Karen, menimbulkan beberapa alternatif
tindakan, yang antara lain:
Alternatif pertama, sebenarnya Karen belum dapat dikatakan belum
meninggal menurut kriteria apapun, tetapi dia sudah tidak mempunyai pribadi
(personhood). Hanya fungsi fisik yang benar-benar dasar saja atau fungsi vegetatif
yang masih ada, yang menandai tubuh Karen masih hidup, sedang fungsi kesadaran
dan fungsi lainnya sudah tidak tampak lagi. Seyogyanya Karen harus tetap
diusahakan semaksimal mungkin dengan cara apapun agar tetap dapat
mempertahankan kehidupannya.
Alternatif kedua, dari segi medis penyakit Karen tidak dapat disembuhkan,
tetapi Karen belum mati menurut kriteria apapun. Pemakaian alat bantu penopang
hidup sudah dapat dikategorikan usaha memperpanjang kehidupan dengan "cara
luar biasa". Keputusan orang tua Karen yang disetujui oleh pengadilan tinggi,
haruslah dihormati. Yang berarti alat penopang hidup pada Karen sebaiknya dicabut
dan dokter melepaskan tanggung jawab sama sekali.
Alternatif ketiga, usaha untuk mempertahankan kehidupan secara artifisial di
luar batas bertentangan atau tidak disetujui oleh norma agama, terutama seperti
pada kondisi penderitaan yang tidak ada lagi harapan untuk disembuhkan.
Keputusan untuk menghentikan upaya penyembuhan dengan cara-cara "luar biasa"
sebaiknya dihormati. Namun tetap harus dilakukan usaha untuk mengurangi
penderitaan dengan cara "biasa". Dalam kasus ini, keputusan orang tua Karen tetap
dilaksanakan, tetapi gangguan dan kebutuhan terhadap fungsi fisik yang masih ada,
harus tetap ditanggulangi dengan cara-cara biasa seperti dengan cara memberi
obat-obatan dan pemberian "feeding". Kita tidak dapat membiarkan Karen menuju
kematian tanpa tindakan apapun, dibiarkan mati tanpa pemberian makanan ataupun
pemberian obat-obatan apabila terjadi infeksi sekunder.
Perdebatan kasus Karen, memang pad a akhirnya lebih didominasi oleh
masalah etis. Prinsip Etik yang menjadi landasan untuk menilai apakah suatu
tindakan bersifat etis atau tidak, adalah ajaran agama, hukum negara, disamping
pandangan para filosof.
Gereja Katolik, mengajarkan: bahwa kita harus menghargai kehidupan sejak
permulaan kehamilan (Bone, 1988).
Etika Kristen: Seorang Penganut Kristus harus berusaha sekuat tenaga untuk
menghilangkan segala penderitaan di dunia, sambil mengetahui bahwa hal ini tidak
akan pernah berhasil seperti diinginkan. Dari penderitaan dan wafatnya Yesus, hal ini
akan mampu melekatkan label "penyelematan" pada apa yang tak dapat
disingkirkannya (Maerten, 1988).
Intisari dari ajaran agama, bahwa kematian itu sebagai penyempurnaan
kehidupan dan masuk dalam tujuan akhir dart perjalanan hidup seseorang, dan
sekedar "pintu" suatu peralihan menuju ke kehidupan sepenuhnya. Setelah kematian
diyakini akan adanya kebangkitan akan kebangkitan. Kita hidup di dunia ini hanya
sebagai wakil Tuhan yang berperan sebagai wakil yang mengurusnya dengan penuh
tanggung jawab, bukan sebagai penguasa mutlak.
Karena itu setiap usaha "mercy killing" (pembunuhan karena kasihan) atau
euthanasia aktif tidak dapat diterima. Tidak dapat dibenarkan usaha memperpanjang
kehidupan secara artifisial di luar batas, padahal harapan akan penyembuhan tidak
ada lagi, karena keadaan koma yang definitif atau status semata-mata vegetatif.
Diakui nilai "penebusan" dari penderitaan yang dapat ditahan manusia dan dijalani
dengan sikap keagamaan, tetapi dolorisme (dalam arti: penderitaan demi
penderitaan) tidak dapat dianggap sebagai suatu unsur otentik dalam tradisi spiritual
Kristen dan Islam (Bone, 1988).
Sistem etika Kant menekankan tentang masalah kewajiban, yang
mengandung arti bahwa tujuan akhir manusia adalah pemenuhan kewajiban. Rasa

© 2003 Digited by USU digital library 8


kewajiban itu adalah hukum moral yang berasal dari watak kita yang paling dalam.
Selanjutnya Kant menekankan motif baik dan niat baik sebagai dasar tindakan. Kant
memberi tiga ukuran atau formulasi tentang hukum moral, yaitu: prinsip
universalitas, prinsip kemanusiaan sebagai tujuan bukan sarana, prinsip otonomi.
Kant mengakui bahwa kemampuan manusia terbatas sehingga tidak mampu
merealisasikan kebaikan secara sempurna, kecuali hanya menghampiri suatu
pemenuhan secara sempurna hukum moral, karena kesempurnaan, kesucian, dan
segala kebaikan yang ideal adalah semata-mata hak Tuhan.
Kontraversi pads kasus Karen terhenti, dan semua pihak harus tunduk
(termasuk ilmuwan), ketika pengadilan mengizinkan alat bantu penopang hidup bagi
Karen harus dicabut. Setelah alat bantu dicabut, Karen Ann Quinland masih tetap
hidup, meski dalam keadaan koma, sampai musim panas 1979.
Peristiwa Karen menunjukkan betapa berat tanggungjawab dokter untuk
mengambil tindakan keputusan tentang kematian sesorang yang dalam keadaan
vegetatif, tidak sadar, dan fungsi organ tubuhnya dapat berjalan karena bantuan
teknologi (Mohamad, 1992).
Para pakar kedokteran, mendapat tantangan baru untuk merumuskan konsep
kematian, yang harus memenuhi kriteria teknis kedokteran, juga harus memenuhi
kriteria moral.
Euthanasia, adalah kasus media yang banyak menimbulkan perpecahan
(setuju dan tidak setuju) di kalangan para ahli dan anggota masyarakat sendiri, yang
mencerminkan batas moral yang tidak bersifat universal.
Bulan Juni, 1996, Negara bagian Australia Utara melegalkan euthanasia.
Tanggal 2 januari, 1997, Janet Mills (52 tahun), penderita Mycosis Fungoides sejenis
kanker yang tidak dapat disembuhkan lagi, menjalani euthanasia di bawah
bimbingan dr.Nitsche. Setelah kematian Mills, kalangan gereja dan beberapa pemuka
masyarakat bersatu untuk pembatalan undang-undang yang melegalkan euthanasia
yang telah disahkan negara bagian Australia Utara. Pro dan kontra atas euthanasia,
terjadi pula pada banyak negara, yang melibatkan banyak para ahli, organisasi
profesi dan sosial, serta masyarakat (Republika, 12 Januari, 1997).
Dalam konteks ini, para ilmuwan dituntut untuk mengembangkan rasa
tanggungjawab sosial yang besar, sebagai konsekuensi logis dari ilmu pengetahuan
yang diciptakan, dikembangkan, dan akhirnya disosialisasikan pada masyarakat luas.

4. TANGGUNGJAWAB SOSIAL ILMUWAN


Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji
secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi syarat keilmuwan
maka ia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan
oleh masyarakat. Dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang
menonjol dalam kemajuan ilmu, yang dapat saja mengubah wajah peradaban. Jelas
bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial yang terpikul dibahunya.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara
individual, namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri, 1984).
Implikasi penting dari tanggungjawab sosial seorang ilmuwan, adalah bahwa
setiap pencarian dan penemuan kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan
landasan etis yang kukuh.
Menurut Suriasumantri (1984), proses pencarian dan penemuan kebenaran
ilmiah yang dilandasi etika, merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis
seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi
kebenaran tersebut tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Aspek etika
dari hakikat keilmuwan ini kurang mendapat perhatian dari para ilmuwan itu sendiri.

© 2003 Digited by USU digital library 9


Agresifitas ilmuwnn kedokteran, telah memajukan sangat pesat ilmu kedokteran,
dan mampu meningkatkan pelayanan media kepada masyarakat. Namun pada
proses penciptaan ilmu dan aplikasi ilmu di masyarakat, sering sekali terjadi
pelanggaran nilai moral.
Sekelompok kecil orang membutuhkan organ tertentu, kelompok orang
lainnya menjadi karban, dan ilmuwan serta praktisinya menjadi perantara aktif
dalam transaksi itu. Hakikatnya, ilmuwan itu telah mengabaikan prinsip moral dan
agama yang dianut masyarakat.
Fenomena ini, yang cenderung menjadi faktor paling fundamental yang
mendorong berdirinya berbagai lembaga yang mengkaji dan berupaya menegakkan
etika biomedis.
Tanggungjawab ilmuwan tidaklah ringan. Dapatkah seorang ilmuwan
kedokteran memikul tanggungjawab sedemikian itu, jika batas moral yang berlaku
tidak bersifat universal?
Hal etis, yang diharapkan menjadi landasan utama tegaknya tanggungjawab
moral para ilmuwan, memang tidak pernah memiliki sifat umum dan universal.
Artinya, etika tidak dapat memberikan aturan universal yang konkrit untuk setiap
masa, kebudayaan, dan situasi (Peursen dkk, 1990).
Hal ini yang medorong, setiap kebudayaan atau suatu negara
mengembangkan etika profesi dan aturan hukum yang dapat dikatakan sebagai
pedoman dari perwujudan tanggungjawab sosial para ilmuwan dan juga praktisi.
Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang-undang No. 23 tahun 1992,
tentang Kesehatan, maka pedoman bagi pengembangan tanggungjawab sosial
ilmuwan kedokteran dan praktisinya sudah semakin jelas.
Undang-undang No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, berisikan aturan
adalah merupakan norma yang menjadi pedoman perilaku, yang mengharuskan bagi
setiap orang mematuhinya. dan apabila tidak mematuhi, undang-undang tersebut
juga sudah mengatur akibat hukum atau sanksi (Koeswadji, 1996).
Khusus untuk kalangan profesi medik di Indonesia, telah pula dilengkapi
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI telah menjadi dasar
pengembangan tanggungjawab para ilmuwan dan praktisi kedokteran di Indonesia,
baik secara spesifik untuk tanggungjawab pengembangan ilmu kedokteran maupun
pemanfaatan ilmu kedokteran bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Berdasar mukadimah Kodeki, dapat diketahui bahwa landasan utama proses
pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah (pengembangan ilmu kedokteran) oleh
para imuwan Indonesia adalah etika yang bersumber ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
Etika yang bersumber dari ajaran agama, merupakan kategori moral yang menjadi
dasar sikap etis seorang ilmuwan dan praktisi kedokteran di Indonesia.
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi adalah
segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga
peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran
lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang
hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara
intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern
ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga
keilmuan ini merupakan tanggungjawab sosial kaum ilmuwan (Suryasumantri,
1984).
Berdasarkan uraian di atas, mnka dapatlah diasumsikan. Jika ilmuwan
(kedokteran) telah dapat memenuhi tanggungjawab sosialnya, maka ilmu
pengetahuan itu akan berkembang pesat, ilmu pengetahuan itu akan dapat memberi
manfaat besar bagi kehidupan manusia. dan ilmu pengetahuan itu tidak akan
menimbulkan konflik di masyarakatnya. Dapatkah asumsi di atas terwujud? jawaban
atas pertanyaan ini juga merupakan bagian dari tanggungjawab sosial ilmuwan.

© 2003 Digited by USU digital library 10


Menurut Suriasumatri (1984). kita tidak bisa lari daripadanya (tanggungjawab sosial)
sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita
tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.

5. KESIMPULAN
Pesatnya perkembangan ilmu kedokteran dewasa ini, mencerminkan
perwujudan tanggungjawab intelektual imuwan kedokteran, yang dalam beberapa aspek
didukung oleh perwujudan ilmuwan bidang biologi dan teknologi. Berbagai penyakit
yang pada beberapa dasawarsa lalu. harus diakhiri dengan kematian si penderita, dewasa
ini telah dapat disembuhkan. Namun demikian, kemajuan pesat ilmu ini, ternyata juga
menimbulkan masalah baru, yaitu masalah etis.
Fakta empirik menunjukkan bahwa masalah etis muncul pada 2 fase, yaitu:
(1) fase penemuan dan pengembangan ilmu, temuan bidang kedoktcran melalui
eksperimen pada manusia telah menimbulkan problem etis yang sangat serius; dan
(2) Fase implementasi, pada saat ilmu kedokteran dimanfaatkan untuk kepentingan
umat manusia. ternyata juga banyak menimbulkan masalah etis.
Problem etis ini, pada umumnya muncul akibat dart agresifitas ilmuwan
dalam menciptakan dan mengembangkan ilmu, serta kegiatan praksisnya, sering
dinilai bertentangan dengan norma. nilaii budaya, dan agama yang dianut
masyarakat. Problem etis ini semakin kompleks, ketika aspek etis itu sendiri sering
tidak bersifat universal. Sebagian masyarakat memandang tindakan ilmuwan adalah
etis, sebagian masyarakat lainnya memandang tidak etis.
Peningkatan kualitas tanggungjawab sosial, merupakan konsep
tanggungjawab yang dapat digunakan sebagai pedoman normatif bagi kalangan
ilmuwan, yang diharapkan dapat menjadi dasar: (1) agresifitas ilmuwan untuk
menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, (2) kegiatan praksisnya
bermanfaat bagi masyarakat; dan (3) dalam kedua hal ini tidak menimbulkan
problem etis.
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, peraturan pemerintah
lainnya, Berta kode etik kedokteran indonesia, yang secara keseluruhannya dilandasi
oleh falsafah Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, merupakan pedoman dasar bagi
pengembangan tanggungjawab sosial ilmuwan, praktisi kedokteran dan kesehatan di
Indonesia.

© 2003 Digited by USU digital library 11

Anda mungkin juga menyukai