Anda di halaman 1dari 27

Gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan kita

Oleh Rum Rosyid


Pendidikan sebagai sarana membentuk karakter bangsa sudah semestinya mampu
menjadi ruang untuk melahirkan intelektual yang nantinya bisa menopang
keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat, esensi
pendidikan tersebut sepertinya telah jauh dari harapan yang ada. Keberadaan institusi
pendidikan yang ada saat ini malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan
kekuasaan, keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang
dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap rakyat.
Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan
komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus
dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup
komunikasi bebas penguasaan. Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006) tidak
mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi
untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan
redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan
nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah
penyucian batin maupun spiritual.

Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan,
baik pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia
setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami
banyak perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik
baik secara horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya
dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat Indonesia serta dengan
kemajuan dalam berbagai bidang pembagunan, utamanya dalam bidang pendidikan
politik, maka sisi ketunggalan dari “Bhineka Tunggal Ika” makin mencuat. Berbagai
upaya yang dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah (misalnya dengan mata
pelajaran pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dll)
maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 non penataran,
dll) telah mulai menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai upaya tersebut dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang
kemajemukan masyrakat Indonesia.

Ketika ekonomi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis ekonomi konvensional yang
saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter ekonomi pasti
kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Banyak agenda membangun peradaban yang
lebih baik, digagas dari segala penjuru. Membangun peradaban tidak dapat hanya
dilakukan parsial. Membangun peradaban harus dilakukan secara bersama melalui
mekanisme organis dengan kesamaan substansi menuju bentuk peradaban yang sama.
Salah satu tugas peradaban adalah proses pencarian dan penggalian (ilmu) ekonomi.
Pencarian dan penggalian tidak dapat dijalankan hanya dengan proses adopsi tanpa
adaptasi. Pencarian dan penggalian juga harus dilakukan dengan cara pencerahan
sekaligus pembebasan sesuai realitas di mana ekonomi dikembangkan. Pembebasan dan
pencerahan menurut Mulawarman (2006b) adalah proses mempertemukan dua dimensi
praxis menuju pencerahan yang berujung perubahan pemahaman dan praxis baru.
Habermas (Held 1980, 249-259) berusaha melakukan pertalian antara teori dan praxis
yang telah ditanggalkan Marx dan Kapitalisme.

Ketika ekonomi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC's (Multi National


Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka ekonomi yang diajarkan dan
dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi kepentingan neoliberalisme
ekonomi pula. Globalisasi dan neoliberalisme semuanya mengarah kepentingan ekonomi
dengan alat bantu teknologi yang makin tak terkendali. Kepentingan pengembangan
ekonomi dan teknologi neoliberalisme masih bertumpu self interest dan antroposentris.
Kondisi seperti itu berdampak pada lalu lintas moneter dan penguasaan teknologi serta
produksi hanya terkonsentrasi pada segelintir perusahaan multinasional. Konsentrasi
memunculkan hegemoni politik ekonomi dan menggeser kekuatan ekonomi negara
berkembang menjadi pemain pinggiran yang tak pernah terselesaikan nasibnya. Negara
dan ekonomi rakyat di dalamnya akan terhegemoni menjadi 'perusahaan jajahan kolonial'
dari perusahaan multinasional.

Bentuk hegemoni MNC's tersebut adalah sub-ordinat kekuasaan perusahaan


multinasional, dan didukung pemerintahan yang juga korup. Bentuk konkrit hegemoni
MNC's dalam akuntansi menurut Graham dan Neu (2003) dengan menerapkan teknologi
dan praktik akuntansi yang dijalankan MNC's dalam bentuk tata kelola aliran kas dan
praktik standarisasi. Tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi dilakukan melalui
sistem "aliran lintas batas melampaui ruang dan waktu". Keduanya jelas sekali bermuatan
ekonomi politik untuk kepentingan MNC's melalui berbagai institusinya seperti IFM
(International Financial Markets), IASB (International Accounting Standard Boards),
IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), WB (World
Bank), dan lainnya.

Menurut Mulawarman (2006) melakukan perubahan melalui penyucian harus dimulai


dari pendidikan ekonomi. Caranya adalah pencerahan (enlightenment) dan pembebasan
(emansipation) tujuan pendidikan. Pendidikan ekonomi memegang peranan penting
untuk memunculkan nilai-nilai baru dan konsep pembelajaran ekonomi pro-Indonesia.
Tugas dan akuntabilitas akademisi ekonomi adalah tugas kesejarahan yang tak mungkin
berjalan dan berhenti di satu titik tertentu, tetapi harus selalu melakukan proses
perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Ainsworth
(2001): Perhaps, as educators, we spend too much time trying to "prove" what we teach
rather than striving to "improve" what and how we teach.

Mahasiswa adalah “Buruh” dan kampus adalah “Pabrik”. Itulah gambaran yang mewakili
rupa pendidikan di Indonesia(bahkan Dunia). Orientasinya adalah, setelah lulus para
pesrta didik ini akan segera menjadi penggerak kapitalisme yang menghisap.
Berbondong-bondong mendatangi perusahaan-perusahaan asing dan dalam negri,
berlomba menjadi manajer, direktur, mengumpulkan harta yang banyak, gengsinya
meningkat dan mereka mengabaikan kesejahteraan buruh, jauh dari watak sosial.
Kapitalisme membutuhkan para buruh untuk memutarkan baling-baling industrinya,
begitu juga dengan para lulusan mahasiswa saat ini.
Pendidikan ekonomi sekular hanya cinta dunia dan berujung pada kepentingan
keuntungan pribadi (antroposentrik) dan materialistik (kapitalistik) semata. Pendidikan
ekonomi sekular diorientasikan pada self-interest dan kesadaran menikmati kesejahteraan
materi. Dengan adanya krisis kapitalisme, maka perusahaan-perusahaan besar para tuan
modal satu-persatu merugi, bangkrut, gulungtikar akibat kesalahan yang ditimbulkan dari
dalam dirinya sendiri. Kesalahan yang selalu ada(inhern)dalam tubuh kapitalisme ialah:
Produksi memiliki watak sosial, tapi alat produksinya dimiliki individu. Oleh Marx
dinyatakan dalam kalimat: ”Kapitalisme sedang menggali liang kuburnya sendiri”.
Kesalahan itulah yang jadi awal penyebabnya.

Saat ini memang benar terjadi banyak PHK, industri bangkrut, penganguran melimpah.
Kepala Subdirektorat Statistik Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) Aden
Gultom mengatakan, jumlah penganggur terdidik terus bertambah sejak 2003 lalu.Ini
didasarkan pada indikator pertambahan lulusan universitas atau setara diploma yang tidak
memiliki pekerjaan. Mengutip data statistik penganggur menurut tingkat pendidikan,
angka pengangguran terdidik lulusan universitas mencapai 626,6 ribu orang dari total
penganggur 9,259 juta per Februari 2009. Angka ini meningkat dari total penganggur
universitas periode Agustus 2008 sebanyak 598,3 ribu orang dari total pengangguran
nasional 9,394 juta orang. Begitu juga penganggur lulusan setara diploma yang mencapai
486,4 ribu orang per Februari 2009, meningkat dari 362,7 ribu orang per Agustus 2008.
Bandingkan dengan penganggur tidak terdidik yang tidak atau belum pernah tamat
sekolah yang tercatat mencapai 60,3 ribu per Februari 2009, turun hampir dua kali lipat
dari 103,2 ribu orang per Agustus 2008. Per Februari 2009, pengangguran lulusan
universitas mencapai 12,95% dari total penganggur nasional, jauh di atas porsi
pengangguran dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah yang hanya mencapai
4,51%. “Masing-masing membengkak dari 10,94% untuk penganggur lulusan universitas
dan penganggur dengan pendidikan SD ke bawah 5,83% di tahun 2004 lalu,”katanya.

Pendidikan ekonomi yang asasi adalah pendidikan ekonomi dengan cinta. Cinta bukan
hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove (cinta
melampaui). Pendidikan ekonomi dengan cinta dengan demikian dijalankan untuk
menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan,
didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan
penghianatan.

Pengaruh revolusi industri terhadap pendidikan


Faham kapitalisme berpengaruh terhadap sistem pendidikan di suatu negara. Lahirnya
teori educational production process dalam pendidikan yang memandang proses
pendidikan sama dengan proses produksi di sebuah pabrik. Anak didik dipandang sebagai
masukan kasar (raw input), sekolah adalah sebagai pabriknya, sedang guru, kurikulum,
buku, dan fasilitas pendidikan lainnya sebagai masukan instrumental (instrumental input),
kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan aspek pertahanan keamanan merupakan
masukan lingkungan (environmental input). Semua masukan kasar dan instrumental
tersebut akan mempengaruhi keluaran yang diharapkan (output) dan hasilnya (outcomes).
Pandangan tersebut memang memiliki pengaruh positif dalam menghasilkan keluaran
atau output secara massal yang memiliki standar tertentu. Semua komponen dalam sistem
telah terstandar. Oleh karena itu hasilnya diharapkan juga akan memenuhi standar yang
telah ditetapkan. Kesalahan yang terjadi adalah mutu produk sering dikaitkan dengan
mutu instrumentalnya. Jika gurunya bagus, kurikulumnya juga bagus, dan gedung
sekolah, buku, dan fasilitas lainnya bagus, maka diharapkan hasilnya juga akan bagus.

Namun, apa yang terjadi dalam praktik dan kenyataan. Guru telah ditingkatkan
kompetensinya melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan. Kurikulum telah diubah,
dan fasilitas pendidikan juga telah dibangun dan dilengkapi. Kenyataannya, keluaran dan
hasil pendidikan tidak pernah naik secara signifikan. Hal tersebut tejadi karena yang
digarap hanya instrumental input-nya. Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi
proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang
diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak
menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM
(pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).

Dalam pendidikan sekolah, yang sering dilupakan adalah prosesnya, yang sebenarnya
amat ditentukan oleh aspek manusianya, bukan mesin seperti dalam dunia industri (meski
dalam dunia industri pun manusia juga memegang peranan penting). Proses dalam dunia
pendidikan amat memegang peranan penting, karena yang diproses adalah manusia, yang
memproses juga manusia. Akibatnya, sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh faham
kapitalisme ini menganggap peserta didik adalah obyek, bahkan sering disebut untuk
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) amat dekat dengan konsep dehumanisasi
pendidikan.
Proses pendidikan yang terjadi lebih menghasilkan manusia kuli atau manusia robot
dengan standar yang ditentukan oleh kaum pemegang modal (kapitalis). Inilah aspek
negatif yang ditimbulkan oleh paham kapitalistik dari era revolusi industri tersebut.
Manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia secara pribadi (subyek). Inilah hakikat
dehumanisasi dalam pendidikan (Intisari pengarahan Menteri Pendidikan Nasional,
Bapak Bambang Sudibyo, pada acara pembukaan Lokakarya Pengembangan Pendidikan
Seni, di PPPG Kesenian Yogyakarta, tanggal 23 Mei 2005).

Awal Kapitalisme Pendidikan : Pendidikan Sebagai Komoditas


Di era reformasi dan globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kekuasaan negara
melemah di desak oleh kekuasaan ekonomi. Indikasinya bisnis pendidikan mulai
dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan
Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk
demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya
pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu
pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai
mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Meskipun pemerintah dikritik bahkan didemo oleh masyarakat yang keberatan, tetapi
kebijakan itu tetap berlangsung . Pemerintah dalam hal ini tampak tidak berdaya
menghadapi para pemilik modal. Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan
kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan
bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim.

Sejarah mencatat, bahwa di tahun 60-an, Amerika Serikat menemukan hasil penelitian
yang menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan
dibandingkan investasi di bidang saham (Abuddin Nata, 2009). Setelah itu Amerika
Serikat membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan tidak
kurang dari 6 milyar dollar. Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem
pendidikan yang berorientasi pasar. Standarsisasai terhadap berbagai aspek pendidikan
mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia, karena lulusannya sangat unggul dan mampu
bersaing dalam merebut peluang. Untuk itu mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika
Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia.

Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum memiliki political will untuk


memprioritaskan pendidikan untuk perbaikan ekonomi dan sumber daya manusia. Negara
sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas
pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada
kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap
MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945
mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana
pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN. Ironisnya DPR dan
partai politik tidak ada yang protes.

Sesungguhnya telah banyak bukti seperti dinyakatan Lauritz-Holm Nielson (Lead


Specialist for Higher Education, Science and Technology the World Bank) pada acara
International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta bahwa pendidikan
tinggi merupakan kunci terpenting dalam pembangunan ekonomi secara global.
Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu negara.
Selanjutnya Nielson menyatakan di negara – negara maju, investasi di bidang penelitian
dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 % dari total anggaran litbang seluruh
dunia. Di India, Brasil, Cina, dan negara-negara Asia Timur lainnya, anggaran litbangnya
mencapai 11 % dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa 4 % yang dibagi oleh
negara – negara sedang berkembang. Dalam kondisi dana litbang yang sangat minim di
negara sedang berkembang, Nielson melihat negara –negara sedang berkembang tidak
memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal
penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan
kapasitas keuntungan kompetitif negaranya ( http: / / www. yahoo. com , 1 September
2004).

Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia,
hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah
satu komoditas yang diperdagangkan. Setiap orang yang akan memasuki sebuah
perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi
apa, Kerjanya di mana, Dan gajinya berapa. Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini
tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah
mendapatkan kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan
tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan
pasar. Itulah sebabnya beberapa program studi, termasuk program studi agama saat ini
kurang mendapatkan peminat, dibandingkan dengan program studi lainnya, seperti
kedokteran, ekonomi, komputer dan sebagainya.

Berbagai peraturan perundang-undangan tentang pendidikan yang ada di seluruh dunia


pada umumnya memuat pasal yang saling membolehkan di antara negara-negara di dunia
untuk membuka praktek pendidikan. Karena pendidikan sudah merupakan salah satu
komoditas yang diperdagangkan, maka pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar
dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, pragmatis dan
sistemik. Berbagai komponen pendidikan: visi, missi, tujuan, kurikulum, proses belajar
mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus
tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Membuka lembaga pendidikan yang berbasis
pada logika bisnis, tak ubahnya seperti membuka restoran. Menu yang disajikan harus
sesuai dengan selera pelanggan, letaknya strategis, pelayanannya cepat, tepat, ramah,
menyenangkan dan profesional, ruang dan tata letaknya asri, indah, aman dan nyaman,
harganya terjangkau, dan seterusnya.

Dengan ilustrasi tersebut, maka pendidikan yang ditawarkan harus sesuai dengan yang
diinginkan masyarakat, para pendidik, tenaga kependidikan dan pengelolanya
profesional, letaknya mudah dijangkau, lingkungannya yang kondusip, dan biayanya
yang terjangkau. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan
pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang
diakui (recognize). Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki
sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture).
Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis ini
telah menggeser praktek pendidikan yang didasarkan pada logika filsafat, agama, politik
dan ilmu pengetahuan sebagaimana di atas.

Rasionalisasi tersebut akhirnya memakan korban yang sangat tragis. Kaum miskin yang
berpenghasilan sederhana akan semakin meratapi nasib, karena anak-anak mereka pasti
'gagal' menangkap peluang strategis di institusi pendidikan. Rakyat kecil akan semakin
terpinggirkan aksesibilitas publiknya, karena hak pendidikannya terpasung oleh ambisi
dan arogansi kuasa pasar. Sangat ironis, memang. Institusi pendidikan sudah diibaratkan
'barang dagangan' (komoditas) yang diperjualbelikan, sesuai dengan tingkat kenaikan
harga di pasar.

Ketika Dunia pendidikan Indonesia memasuki tahun ajaran baru 2008/2009 diwarnai
dengan ragam gejolak ihwal naiknya biaya pendaftaran dan registrasi. Institusi
pendidikan terus "menancap gas" dalam menaikkan biaya pendidikan, terlebih seiring
dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan biaya itu, oleh institusi
pendidikan, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan kenaikan harga
kebutuhan manusia yang juga terus melonjak naik.

Nasib rakyat kecil yang menjadi korban kapitalisasi pendidikan meradang. Kasus di
Semarang, di mana biaya masuk sekolah negeri mencapai biaya Rp 5 juta sampai Rp 6
juta. Demikian juga yang terjadi di Jakarta, sekolah berlomba menaikkan biaya
pendaftaran dan registrasi, sehingga kaum miskin kehilangan kesempatan
menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Nasib tragis warga miskin di berbagai
pelosok negeri masih bergentayangan. Terlebih di Indonesia wilayah timur. Selain gagal
menggapai pendidikan, nasib mereka masih dikerubungi aneka krisis gizi, kekeringan,
dan sebagainya.

Tidak mudah bagi mereka yang berada pada level menengah ke bawah bisa menikmati
pendidikan di sekolah swasta. Partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajib
belajarpun masih memprihatinkan. Misalnya bisa dilihat indikatornya masih banyaknya
usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004 menurut Depdiknas
dari 13 juta anak usia 13 – 15 tahun atau usia SMP yang belum tertampung masih sekitar
2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket belajar belum mampu mengatasi anak
yang belum tertampung. Karena baru sekitar 245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK
(Tempat Kegiatan Belajar) di bawah naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih
diperparah sekitar 97 % pelajar SMP terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi dikarenakan factor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di
tempat tinggal mereka (Kompas, 19 Juli 2004).

Gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan kita


Tidak semua kebijakan pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya indikasi terjadinya
dehumanisasi pendidikan. Kebijakan Sekolah Rakyat dengan kurikulum dengan Bahasa
Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar merupakan bentuk kebijakan yang
sesuai dengan kebutuhan lokal. Adanya mata pelajaran 'pekerjaan tangan' dan 'hari krida'
untuk berkebun di Sekolah Rakyat tempo dulu juga merupakan kebijakan yang selaras
dengan kondisi dan kebutuhan lokal pada masa itu. Lahirnya kurikulum terintegrasi (fusi
mata pelajaran) pada tahun 1968 merupakan satu bentuk kebijakan pendidikan untuk
mengendalikan agar mata pelajaran tidak terlalu bersifat akademis dan terlepas dari hidup
dan kehidupan manusia (contextual teaching and learning atau dikenal dengan CTL).

Kebijakan sekolah pembangunan yang dilahirkan oleh Komisi Pembaharuan Pendidikan,


juga tidak terlepas dari upaya dan kepentingan untuk lebih memperhatikan peserta didik
yang memang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih. Ketika itu lahirlah sistem
modul yang digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem modul ini, siswa yang
lebih cepat belajar akan lebih cepat menyelesaikan pelajarannya. Sayangnya, kompetisi
seperti itu hanya berlaku dalam bidang akademis, tidak berlaku dalam bidang
nonakademis. Jalur pendidikan keterampilan di SMA tidak pernah hidup.

Sebenarnya di sini telah mulai adanya indikasi dehumanisasi, karena siswa yang memiliki
bakat dan kemampuan nonakademis seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan olah raga
tidak memperolah hak dan perhatian sebagaimana mestinya. Kelahiran kebijakan
pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan Pendidikam Moral Pancasila (PMP)
sebenarnya merupakan keinginan untuk memperbaikai aspek kepribadian dan moralitas
bangsa melalui pendidikan. Konsep ini mengalami kemacetan dalam perjalanannya,
karena model indoktrinasi dalam proses pembelajarannya kemudian dihadang secara
pelan tapi pasti oleh derasnya arus informasi, demokratiasi, globasisasi, dan reformasi,
yang terjadi di belahan bumi mana pun juga.

Kebijakan tentang sekolah unggulan yang pernah muncul, dan yang kini dicoa untuk
dibangkitkan kembali dengan pola sekolah global, sekolah (SMP dan SMA) dengan
standar nasional dan standar internasional, TK/SD model, sebenarnya merupakan upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan yang makin hari makin tertinggal jauh dengan
sekolah-sekolah internasional yang semakin hari semakin diminati oleh masyarakat yang
memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi. Model sekolah seperti ini dapat masuk dalam
kategori dehumanisasi jika kebijakan itu tidak memiliki perhatian yang adil bagi mereka
yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah.

Pada umumnya keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi akan lebih banyak
memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu pendidikan anaknya. Maka muncullah
masalah jurang pemisah antara yang mampu dengan yang miskin. Dari sinilah muncul
indikasi dehumanisasi, karena faktor sosial ekonomi. Ada kesan kuat pemerintah lebih
memperhatikan pendidikan untuk kalangan yang mampu dari aspek sosial ekonomi,
akibat dari kebijakan seperti itu. Timbulnya gagasan kebijakan baru tentang sekolah
mandiri dan sekolah standar sebenarnya dilatarbelakangi untuk lebih memperhatikan
kalangan yang tidak mampu, agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan akademis dan kemampuan ekonomisnya. Untuk itulah maka
ditemukan peta keadaan pendidikan di negeri ini seperti ini, yang melahirkan gagasan
tersebut.

Dari sinilah muncul kritik tajam tentang isu keadilan dan dehumanisasi dari kalangan
praktisi pendidikan. Jika penggolongan ini tidak dalam bentuk lembaga pendidikan yang
terpisah, memang akan menjadi proses alineasi dari kalangan keluarga mampu dan tidak
mampu. Dan ini akan sangat berbahaya karena bisa menimbulkan konflik sosial yang
berbahaya. Tetapi, jika penggolongan itu hanya terbatas untuk digunakan dalam
membangun sistem pemberian beasiswa untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak
mampu, maka sistem ini tidak dapat diindikasikan dengan isu ketidakadilan dan
dehumanisasi.

Bukankah untuk memberikan beasiswa kepada siswa memang diperlukan data tentang
prestasi akademis dan nonakademis siswa. Ketika negara masih memiliki anggaran yang
terbatas, maka beasiswa tersebut hanya akan diberikan bagi mereka yang memiliki
kemampuan ekonomi yang rendah, supaya tidak mengalami DO. Sementara siswa yang
berasal dari keluarga yang mampu dinilai telah dapat meneruskan pelajarannya sesuai
dengan tingkat kemandiriannya.

Pendidikan di Persimpangan : perlunya keseimbangan dan pengawasan


Dalam situasi pendidikan yang tengah berada di persimpangan jalan itu, maka paling
kurang perlu dua hal (Abuddin Nata, 2009). Pertama, pendidikan seharusnya tidak
didominasi oleh salah satu kekuatan dari kekuatan-kekuatan tersebut di atas. Pendidikan
perlu mempertimbangkan seluruh kepentingan secara seimbang. Kepentingan filsafat,
agama, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, bisnis dan sebagainya harus
diberi porsi secara wajar dan seimbang, mengingat semua hal tersebut dibutuhkan oleh
manusia. Pendidikan yang hanya memperhatikan salah satu kepentingan saja, adalah
pendidikan yang akan menghasilkan manusia yang tidak utuh, atau manusia yang
terkotak-kotak. Manusia yang demikian adalah manusia yang rapuh, dan tidak memiliki
daya tahan dalam menghadapi berbagai problema kehidupan.

Kedua, perlu ada semacam badan pemeriksa dan pengawas pendidikan, yang tugasnya
antara lain melakukan pengawasan dan merevieuw terhadap seluruh kebijakan dalam
bidang pendidikan secara utuh dan konprehensif, sehingga pendidikan tidak terjebak
kepada salah satu tarikan yang merugikan. Melalui badan pemeriksa dan pengawas ini,
maka pendidikan akan diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
pendidikan yang bukan hanya ada dalam rumusan konsep, tetapi juga dalam praktek.
Dengan cara itulah, pendidikan tidak akan tersesat di persimpangan jalan. Kalau kita
merunut beberapa tahun kebelakang, maka akan ditemukan beberapa hal yang menjadi
penyebabnya.

Di tengah euforia Reformasi 1998, lahir suatu wacana tentang Otonomi Kampus yang
dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada perguruan-perguruan tinggi dalam
melaksanakan mimbar akademik. Lahirnya PP No. 61 tahun 1999 justru mengaburkan itu
semua. Logika yang dipakai pemerintah merupakan suatu pembebanan biaya pendidikan
kepada PTN yang sebenarnya adalah tanggung jawab negara. Maka kemudian diubahnya
PTN menjadi BHMN merupakan awal dari malapetaka pendidikan tinggi. Ada empat
PTN di Indonesia telah menjadi BHMN, yaitu UI, IPB, ITB,UGM dan UNAIR (yang
secara resmi ditetapkan melalui PP No. 153 tahun 2000). Pemerintah, dengan demikian
mulai melepaskan subsidi pendidikan secara bertahap, sehingga konsekuenisinya setiap
institusi pendidikan harus mengusahakan sendiri biaya untuk pendidikan.

Lahirnya beberapa produk peraturan pemerintah yang sangat pro terhadap modal tidak
bisa dilepaskan dari peran serta intelektual dan instituasi pendidikan yang menjadi agen
intelektual untuk melegitimasi kebijakan tersebut, sebut saja beberapa rentetan lahirnya
produk peraturan pemerintah seperti: undang-Undang Privatisasi yang kemudian
dibarengi degan lahirnya undang-undang lainnya yang pro modal seperti : UU Migas, UU
SDA, UU Sisdiknas, UU Ketenagakerjaan, Perpres 36 tentang pertanahan-semua menjadi
cerminan atas kebobrokan kaum intelektual serta institusi pendidikan yang telah menjadi
alat dari kapitalisme internasional dan kekuasaan untuk menindas rakyat.

Paradigma pendidikan nasional yang kapitalistik ini mendapat legitimasinya, saat UU-
BHP di syahkan 2007. Penataan pilot proyek liberalisasi Indonesia alias penataan
industrialisasi Perguruan Tinggi pasca reformasi sudah disiapkan secara sistematis
melalui payung PP No/60/1999 Tentang Perguruan tinggi, PP No/61/1999 Tentang
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP
No/151/2000, PP No/152/2000, PP No/153/2000, PP No/154/2000 dan PP No/06/2004.
Itulah kelengkapan legal untuk menata empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia,
yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB, yang kemudian diikuti oleh USU, UPI dan terakhir
UNAIR, menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Keempat perguruan
tinggi pertama tersebut dijadikan percontohan penerapan otonomi perguruan tinggi. Ciri
khas suatu PT-BHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara
mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. Pemerintah tidak lebih hanya bertindak
sebagai fasilitator asing alias kaki tanganya saja.

Di samping itu, pemerintah tidak berwenang untuk menunjuk rektor karena peran
tersebut sudah diambil oleh Majelis Wali Amanat (WMA). Dalam RUU BHP juga
disebutkan bahwa BHP dapat melakukan Investasi yang mengasilkan pendapatan tetap
dibawah kontrol MWA. Dari situ sangat jelas bahwa kewenangan MWA dapat berperan
sebagaimana layaknya Dewan komisaris dan Dewan Direksi, sebagai pemegang kontrol
tertinggi atas kehidupan BHP-nya. Karena secara prisnsip MWA hanya memikirkan
keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan nasional
secara umum.

Bekerjanya MWA yang Profit oriented itu, memang tidak bisa dilepaskan dengan
komposisi isi dari MWA itu sendiri, yang 2/3-nya bukan dari perwakilan satuan
pendidikan namun dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene memiliki
kepentingan besar dalam mengembangkan investasi-nya dalam bisnis di bidang jasa
pendidikan. Selain itu dalam pasal 28 ayat 1 juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan
penggabungan atau merger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran
pendidikan yang akan datang, kampus atau Universitas termasuk Institut dan yang
setingkatnya yang tidak memiliki kecukupan modal dalam mengelola BHP maka secara
otomatis gulung tikar kalau tidak mau melakukan merger dan akuisisi dengan BHP yang
lebih kuat modalnya. Disamping itu BHP juga bisa membentuk unit lain diluar MWA
yang menunjang aktivitasnya.

Karakter kampus yang elitis akhirnya hanya mampu menghasilkan intelektual-intelektual


gadungan yang menopang sistem kekuasaan. Apa yang tercantum dalam UUD 1945
ternyata jauh dari kenyataan, karena tidak semua warga negara dapat menikmati
pendidikan dengan layak. Pasalnya, biaya pendidikan dinaikan begitu saja tanpa adanya
pertimbangan terhadap kondisi ekonomi sebagian besar rakyat, yang sampai hari ini
belum juga membaik. Data yang ada menunjukan bahwa hanya sekitar 12% lulusan
sekolah menengah yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan sebagian
besar sisanya tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi karena masalah ekonomi.
Sehingga, dengan logika yang sederhana pun kita dapat menyimpulkan bahwa seleksi ke
perguruan tinggi lebih ditentukan oleh seleksi ekonomi dari pada akademis.

Kebijakan Pendidikan Perspektif Bank Dunia: pendekatan fungsi produksi


Selama setengah abad terakhir, pemberian bantuan didorong oleh aspek ideologis. Ini
dapat dilihat dalam program bantuan utang Amerika kepada Eropa usai perang dunia II.
Program Marshall Plan dibuat bukan hanya untuk membangun kembali eropa yang
hancur pasca perang, tapi lebih penting dari itu ialah untuk membuka pasar bagi produk
Amerika. Sesungguhnya utang luar negeri untuk pembiayaan proyek-proyek adalah cara
yang paling berbahaya terhadap eksistensi suatu negara dalam hal ini adalah negara
berkembang terlebih lagi adalah negeri-negeri Muslim. Kita masih ingat bagaimana
Inggris bisa melakukan penjajahan terhadap Mesir, yakni dengan cara jeratan utang.
Begitu pula dengan negara Perancis berhasil menjajah Tunisia dengan menjeratnya
melalui utang. Bahkan, salah satu cara negara-negara Barat dalam meruntuhkan
negara Utsmaniyah di Turki adalah dengan menjeratnya melalui utang.

Di bidang pendidikan kebijakan Bank dunia senantiasa bertumpu pada the Production
Function Approach, Pendekatan Fungsi Produksi. Pendekatan ini mendeskripsikan bahwa
mutu pendidikan merupakan hasil dari proses yang merupakan fungsi dari input, baik raw
input maupun instrumental input. Karena proses merupakan kotak Pandora, the black box
yang tidak teridentifikasi, maka pendekatan fungsi produksi di dunia pendidikan menjadi
output merupakan fungsi dari input. Berdasarkan fungsi ini dapat dijelaskan bahwa out
put secara langsung dan linier ditentukan oleh input. Oleh karena itu, upaya peningkatan
mutu harus dilakukan dengan peningkatan kualitas input.

Input pendidikan dapat diidentifikasi secara jelas. Yakni, kurikulum, guru dan tenaga
kependidikan yang lain, pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku.
Peningkatan mutu sekolah merupakan upaya dan kegiatan untuk meningkatkan berbagai
input tersebut, termasuk raw input, yakni siswa. Variabel pertama dan utama yang
menurut Bank Dunia adalah kualitas pembelajaran. Oleh karena itu peningkatan kualitas
guru sebagai instrumental input merupakan suatu keharusan, termasuk keberadaan
pendidikan dan pelatihan guru yang relevan dan memadai. Peningkatan kualitas
pembelajaran disamping ditentukan oleh kualitas guru juga ditentukan oleh keberadaan
teknologi informasi dan komunikasi modern dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, teknologi informasi dan komunikasi sebagai fasilitas pembelajaran harus
dipersiapkan. Siswa sebagai input juga perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu anak-
anak semenjak dini harus mendapatkan pendidikan taman kanak-kanak. Dengan
mendapatakn pendidikan TK inilah anak-anak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke
jenjang sekolah dasar. Disamping itu, kurikulum baik dalam arti isi maupun delivery and
instructional system serta evaluasi perlu dipersiapkan, bahkan perlu distandarisasi. Oleh
karena itu bagi Bank Dunia reformasi kurikulum amat diperlukan dalam peningkatan
mutu sekolah. Bank dunia juga menekankan reformasi manajemen pendidikan sebagai
salah satu upaya dalam peningkatan kualitas sekolah, termasuk diantaranya perlu
peningkatan kualitas kepemimpinan kepala sekolah.

Sebagai lembaga multinasional, Bank Dunia bergerak di hampir semua negara. Dengan
pendekatan fungsi produksi diatas, Bank Dunia memiliki kecenderungan berasumsi,
kebijakan yang dilaksanakan dan berhasil meningkatkan mutu pendidikan di suatu negara
akan berhasil pula manakala diaplikasikan di negara lain. Misalnya, metoda CBSA telah
berhasil dilaksanakan di negara-negara di Amerika Latin, dibawa dan diaplikasikan di
Indonesia. Ternyata, asumsi tersebut tidak selamanya benar.

Kebijakan pragmatisme yang ditempuh bank dunia, jelas terkait dengan misi world Bank
sebagai lembaga kreditur yang membantu pendanaan dunia ketiga. Proyek-proyek yang
dibiayai world bank yang memiliki persyaratan-persyaratan yang harus ditaati oleh
debitur. Baik proyek infrastruktur maupun suprastruktur suatu Negara.

Seandainya kita mau berpikir sejenak, niscaya kita akan mudah memahami hakikat dari
utang luar negeri. Negara-negara maju tidak akan meminjamkan sekeping uang pun,
kecuali bila mereka yakin bahwa hasilnya tidak akan memberi manfaat apa pun bagi
negara peminjam. Negara-negara berkembang yang terus berada di bawah pengaruh
mereka tidak akan pernah menjadi apa pun selain konsumen dari perbagai produk yang
mereka buat, dan tidak akan pernah menjadi kompetitor handal dalam pasar
dunia. Pinjaman yang mereka berikan hanya ditujukan untuk proyek-proyek yang tidak
produktif, seperti perbaikan jalan, pembangunan jembatan, hotel untuk pariwisata, dan
proyek-proyek yang sama sekali tidak bernilai apa pun.

Hal ini diakui oleh salah seorang peraih hadiah nobel dan ketua tim ekonomi Bank
Dunia periode 1996 hingga november 1999, Joseph Stiglitz. Ia mengatakan “kebijakan
yang dibuat oleh Washington dan Bank-Bank Internasional selama tahun 1990-an sama
dengan menggunakan Flamethrower (alat yang bisa menyemprotkan api) untuk
menghilangkan permukaan cat rumah, dan kemudian menyesal bahwa Anda tidak dapat
menyelesaikan pengecatan karena rumah itu sudah hangus terbakar”. Hampir senada
dengan ucapan Stiglitz di atas, Perdana Menteri Malaysia pernah mengatakan dalam
menanggapi bahaya dari utang luar negeri, “meskipun Jepang memberikan bantuan, tapi
Jepang mengambil kembali dengan cara lain, seperti sihir, hampir dua kali lipat dari
yang mereka berikan”.

Oleh karena itu, berdasarkan bukti-bukti yang ada, sesungguhnya apa yang dikatakan
dengan bantuan atau utang luar negeri adalah suatu bentuk penipuan dari negara-negara
donor atau lembaga-lembaga Internasional terhadap negara yang menerima bantuan.
Sejak 1997 Indonesia menjadi ‘pasien’ agen dana Internasional seperti IMF, World Bank
dan ADB. Sebagai penerima donor kita harus mau ‘tunduk’ dan menelan obat yang
mereka resepkan. Tetapi syaratnya sangat mahal: kita harus merestrukturisasi sistem
pemerintahan yang tidak efektif - misalnya melalui pemberian otonomi kepada daerah,
mengubah praktek negara dari birokrasi otoriter (authoritarian bureaucratic state) menjadi
lebih demokrasi dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan,
yang lebih penting, kita harus komit dengan program structural adjustment (perubahan
structural) yang mereka agendakan.

Bantuan yang ditawarkan ke Indonesia setelah krisis ekonomi Asia 1997-1998,


misalnya, ternyata malah meningkatkan angka kemiskinan secara signifikan. Untuk
mendapatkan dana bantuan darurat, pemerintah Indonesia harus menyetujui privatisasi
layanan publik, merestrukturisasi perbankan nasional, memangkas anggaran sosial
dan mencabut subsidi BBM, listrik dan pangan. Pada mei 1998, karena kesepakatan
antara IMF dan Soeharto, pemerintah mencabut subsidi bahan pokok, dan menaikkan
harga minyak dan listrik. Kebijakan ini menyulut penolakan keras dari rakyat dan tak
lama kemudian, suharto jatuh.

Post Program Monitoring : kepanjangan neoliberalisme


Hubungan mesra IMF dan Indonesia terus berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I
sampai dengan IV. Sejak tahun 1997 sampai tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa,
tepatnya pada agustus 2003 pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM).
Pilihan Pemerintah ini menimbulkan konsekwensi yang tidak jauh beda dengan pada saat
melakukan program kerjasama. Karena IMF masih dapat terus mendikte kebijakan
ekonomi Indonesia Karena pemerintah masih harus mengkonsultasikan setiap kebijakan
ekonomi yang akan diambil. Masa pemandoran IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun
2003 yang sering disebut inpres “white paper” .Inpres tersebut adalah produk kebijakan
negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan
ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun
dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Konsep tentang neoliberal saat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati.
Setidaknya ada dua alasan. Pertama, wacana publik tentang neoliberal menjadi komoditas
politik yang sedang memanas dan menarik saat ini. Kedua, konsep neoliberal dalam
prakteknya di Indonesia telah dilakukan sejak era presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati dan SBY, terutama dalam kebijakan privatisasi BUMN. Kebijakan ekonomi
dalam inpres yang direstui IMF tersebut terbagi dalam tiga bagian : pertama, stabilitas
makro ekonomi, Restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dan yang terakhir
peningkatan Investasi.inpres tersebut tetap berlaku meskipun telah terjadi pergantian
pemerintahan pada tahun 2004, perpres tersebut merupakan alat legitmasi secara hukum
untuk melakukan liberalisasi ekonomi pasca hubungan dengan IMF.

Apa yang salah dengan neoliberal menjadi pertanyaan menarik dengan melihat sejarah
konsep pemikiran neoliberal. Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton
Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang berpendapat
bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi, yang melindungi hidup
warganya. Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari
rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk
jika negara berusaha mengatasinya. Agar gagasan tersebut dapat terwujud maka harus
dibentuk tatanan global yang diikuti oleh negara-negara di dunia. Amerika dan Inggris
yang semenjak terjadi “Revolusi Konservatif” di masa Reagen dan Thacher menjadi
pelopor perubahan tatanan global menuju neoliberalisme itu. Lembaga-lembaga
multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan bank-bank pembangunan regional, seperti
Asian Development Bank (ADB) dijadikan sebagai kepanjangan tangan untuk keperluan
transformsi tersebut. Negara-negara sedang berkembang yang memperoleh dukungan
pinjaman dana dari lembaga-lembaga tersebut harus terlebih dahulu menandatangani
perjanjian yang memuat prinsip-prinsip yang dikenal dengan the Washington Consensus.

Posisi utang luar negeri pemerintah sampai dengan akhir September 2006 mencapai US$
77,347 Juta, jumlah ini belum ditambah dengan utang swasta yang mencapai US$51,022
Juta sehingga total utang Indonesia pada triwulan ketiga 2006 sebesar US$128,369 Juta.
Jumlah ini relatif berkurang jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada
tahun 2005 saja total utang Indonesia sebesar US$ 130,652 Juta. Negara kreditor dan
lembaga internasional yang memberikan utang pada pemerintah Indonesia tergabung
dalam Consultative Groups on Indonesia (CGI) yang dalam sidang CGI tahun 2006
menyepakati jumlah utang yang disanggupi (pledge) sebesar US$2,920 Juta untuk Utang
Billateral dan US$2,202 Juta Utang Multilateral.
Pemerintah Indonesia mengumumkan akan membayar utang pada IMF yang masih
tersisa, senilai total US$ 7,8 billion, dalam waktu 2 tahun. Jumlah tersebut adalah sisa
dari utang Indonesia pada IMF sebesar US$ 25 Million saat krisis, secara politik
keputusan tersebut tepat, sebagai langkah untuk melepaskan diri dari pemandoran dan
intervensi kebijakan ekonomi yang terus berlangsung sejak krisis 1997. pembayaran
utang tersebut dilakukan dua tahap, pada bulan juni 2006 sebesar US$ 3,75 miliar dan
sisanya sebesar US$ 3,2 miliar dilunasi pada bulan Oktober.

Namun pelunasan utang pemerintah ke IMF hanya mengurangi sedikit sekali total beban
utang luar negeri pemerintah karena selain IMF pemerintah juga mendapat utang
multilateral lain Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia disamping itu pemerintah juga
mendapat utang yang sifatnya bilateral dari negara-negara kreditor utama Indonesia
antara lain Amerika, Jepang, kanada dan Jerman.

Dari jumlah utang tersebut meskipun telah dikurangi utang pemerintah pada IMF, dalam
APBN-P 2006 cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah
mencapai US$ 2,510 M atau 30% dari total pengeluaran pemerintah. Maka yang harus
dilakukan pemerintah setelah membayar lunas utang IMF adalah dengan membatalkan
seluruh peraturan perundangan termasuk inpres white paper yang muncul karena tekanan
IMF, dan melakukan keputusan progresif untuk melakukan penghapusan utang demi
kesejahteraan rakyat.

Pokok-pokok ajaran neoliberal tergambar pada: pertama biarkan pasar bekerja, kedua
kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif
seperti subsidi pelayanan sosial, ketiga lakukan deregulasi ekonomi, keempat keyakinan
terhadap privatisasi, kelima keyakinan pada tanggung jawab individual. Lebih jauh
paham Neoliberal percaya bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi individu,
khususnya dunia usaha (pasar), kebebasan dan hak-hak kepemilikan. Di luar ini peranan
negara harus minimal, karena itu negara harus melakukan privatisasi. Dengan privatisasi
atau swastanisasi dimaksudkan adalah tindakan untuk mengurangi peran pemerintah atau
meningkatkan peranan dari sektor swasta dalam kegiatan atau pun dalam pemilikan harta
kekayaan (Savas, 1987). Privatisasi menurut paham ini merupakan kunci untuk
pemerintahan yang lebih baik.

Ide neoliberal sejak penemuannya kali pertama hingga sekarang seakan menjadi jargon
utama bagi perkembangan negara-negara di dunia. Bahkan Fakih (2003) menyatakan
bahwa neoliberalisme telah menjadi semacam “agama baru” bagi banyak masyarakat
negara-negara di dunia. Privatisasi BUMN sebagai bagian dari doktrin neoliberal pada
intinya adalah pemindahan pengelolaan dari sektor publik ke sektor swasta. Gagasan
utama di belakang proyek privatisasi adalah kredo private is good, public is bad, sehingga
dibutuhkan pendefinisian ulang peran negara dalam pasar.
Konsep privatisasi dalam sejarahnya menandai awal terjadinya pergeseran pendulum
ekonomi dunia dari model liberal kepada bentuk kapitalisme terbaru yaitu model
neoliberal, bersamaan dengan itu agenda globalisasi di bidang ekonomi dan
demokratisasi di bidang politik tengah mendapatkan simpati masyarakat dunia.
Setidaknya terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap privatisasi
BUMN. Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan
efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan
perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap
pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri.
Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international.
Dalam praktiknya privatisasi BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru
sampai saat ini. Hal ini terjadi, misalnya, di era Soeharto, pemerintah menjual 35%
saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994) dan 35 % saham PT
Aneka Tambang (1997). Pada era presiden Habibie, privatisasi dilakukan terhadap 12
BUMN, termasuk privatisasi PT Semen Gresik pada 1998 yang menimbulkan
kontroversi. Sementara di era Megawati privatisasi dilakukan, misalnya tergadap PT
Indosat (2002) dan pada era presiden Susilo Bambang Yudoyono tetap melanjutkan
program privatisasi BUMN.

Namun demikian, dalam implementasi kebijakan privatisasi BUMN telah mengundang


pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN
adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah,
walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Sementara itu, ada sebagian
masyarakat berpikir secara realistis. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu
sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan
manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia. Bukti empiris
menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi di negara sedang berkembang, termasuk di
Indonesia lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh IMF
dan Bank Dunia.

Gagasan privatisasi yang bersumber di negara-negara maju dicangkokkan mentah-mentah


tanpa melihat perbedaan yang ada dalam struktur sosial, ekonomi, maupun politik antara
negara berkembang dan negara maju. Sehingga terjadilah penyimpangan yang kemudian
menimbulkan banyak kontroversi. Penyimpangan ini terjadi misalnya dalam kebijakan
privatisasi PT. Semen Gresik dan PT Indosat. Proses divestasinya yang tidak transparan
menimbulkaan dugaan penyalahgunaan hasil penjualan sebagai sumber pendanaan bagi
kepentingan partai politik dan para elite politik tertentu yang memegang kekuasaan pada
waktu itu. Privatisasi juga banyak dikecam karena dipandang merugikan negara triliunan
rupiah akibat harga jualnya yang terlalu murah.
Keputusan pemerintah pada waktu itu untuk menjual PT Semen Gresik dan PT Indosat
sebagai cara cepat untuk mendapatkan dana segar guna menutupi defisit APBN
cenderung tidak menunjukkan langkah strategis ke depan yang ingin dicapai pemerintah
dalam konteks perencanaan pembangunan, khususnya di sektor industri. Privatisasi
tersebut juga sangat elitis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam hal
kepemilikan saham. Padahal, justru kepemilikan saham oleh masyarakat luaslah
(terutama karyawan perusahaan) yang berusaha dicapai dalam privatisasi yang ideal di
negara maju.
Kontroversi ini sebagian besarnya menyangkut masalah habisnya wewenang pemerintah
dalam mengontrol pengelolaan perusahaan. Pemerintah tidak lagi punya otoritas untuk
turut berpartisipasi menentukan strategi dan sasaran ke depan yang ingin ditempuh
perusahaan. Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan pengelola
swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi publik. Dalam hal ini,
pemerintah tidak berdaya untuk turut mengontrol berjalannya fungsi pelayanan, distribusi
dan keadilan berkonsumsi. Padahal di negara maju sendiri, peran pemerintah tetap
dipertahankan lewat kepemilikan golden share.

Paham ini juga diterapkan secara internasional dalam bentuk implementasi perdagangan
dan pasar bebas. Paham Neoliberal sangat percaya bahwa mekanisme pasar adalah cara
optimal dalam mengorganisir barang dan jasa. Perdagangan dan pasar bebas
membebaskan potensi-potensi kreatif dan kewiraswastaan dan karena itu menuju kearah
kebebasan individu dan kesejahteraan serta efisiensi dalam alokasi sumber daya.
Menurut paham Neoliberal ekonomi moneter mendominasi makro ekonomi dan
intervensi ekonomi negara tidak diharapkan, karena akan mengganggu logika pasar dan
mengurangi efesiensi ekonomi. Paham ini juga mendukung perdagangan bebas secara
internasional. Sebagai hasil dari implementasi dari paham ini kekayaan dan kekuasaan
tidak lagi berada di tangan pemerintah yang dipilih oleh rakyat melainkan pada
kelompok-kelompok elite bisnis dan perusahaan-perusahaan multinasional.
Kesimpulannya, prinsip utama dalam ekonomi neoliberal adalah free market dan free
trade.

Kebijakan-kebijakan ini jelas tidak sesuai dengan kebutuhan dasar mayoritas rakyat
Indonesia. Hasilnya, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan berlipat ganda
dan upah riil selama periode itu jatuh sebanyak 30%, jutaan orang mengalami malnutrisi
kriminalitas meningkat tajam sebesar 1000%, 4,5 juta anak putus sekolah, dan belasan
juta orang kehilangan pekerjaan. Dampak ketundukan kepada syarat2 agen dana
Internasional ini jelas. Kita mulai ‘memprivatisasi’ sistem pendidikan (PT dan sekolah
dibebaskan menarik uang kuliah/sekolah langsung), pengurangan public spending
(memotong subsidi, menaikan pajak, memprioritaskan pembayaran utang) dan
melakukan proyek2 desentralisasi dibawah petunjuk, arahan dan ‘biaya’ agen asing/
Internasional.

Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang dana anggaran
untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 % dari total APBN),
angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 % dari total
APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun,
dimana angka tersebut jauh lebih sedikit dibanding beban pembayaran utang luar negri.
Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar
negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika
ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 % dari total belanja
negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan
negara sebesar 29,33%.
Seharusnya tidak begitu keadaannya pendidikan kita jika diingat bahwa letak geografis
Indonesia sangat menguntungkan bagi kemakmuran rakyatnya, karena kita memiliki
kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri
pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan
laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 Billion atau Rp3.723 trilyun serta Chevron di
tahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 Billion atau Rp 171 trilliyun.
Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk
keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari
hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Tidak
seharusnya negeri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu.

Komersialisasi Pendidikan : tarikan logika bisnis


Dalam pidato yang disiarkan metro TV tanggal 07 April 2010 Jam 13. 10 WIB, Presiden
SBY mengumumkan dibatalkannya UU BHP oleh MK sebagai penggantinya akan dicari
format terbaik yang lain untuk kemajuan pendidikan. Pembatalan ini merupakan
pelajaran untuk melihat kondisi pendidikan yang selama ini telah terjadi. Persoalannya
kemudian adalah momentum komersialisasi tersebut dapatkah dihentikan oleh
pemerintah dengan mengumumkan pembatalan tersebut. Jika menarik pelajaran kita tidak
akan bisa menurunkan harga jika sudah terjadi.

Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin


mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat
kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmaningtyas (2005), menjadikan
pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia
pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi
justru menjadi ajang mengeruk keuntungan finansial. Menyembah kepada pasar,
mengakibatkan dunia pendidikan menjadi salah satu sarana rekolonialisasi dan
reimprealisasi neoliberal dalam menghegemoni seluruh ruang gerak manusia.

Gerak laju dunia pendidikan akhirnya terjebak dalam statistik yang penuh rentetan data
sebagai bahan laporan bagi lembaga yang disetir dunia pasar. Data-data itu kemudian
menjadi bahan dasar 'pengelola pasar' dalam monitoring laku-tidaknya aksentuasi
formalitas pendidikan dalam pertarungan dunia industri global. Dalam tataran demikian,
siswa dan mahasiswa dijebak dalam jerat permainan industri global.

Pendidikan di Indonesia saat ini tengah menghadapi tarikan logika bisnis yang amat kuat.
Munculnya PP No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, kebijakan
tentang pendidikan bertarap internasional, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008
tentang Pendidikan Profesi Keguruan, Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Mendiknas No. 26 Tahun 2007 tentang kerjasama
Perguruan Tinggi dengan pihak asing, dan lain sebagainya, menunjukkan kuatnya
pengaruh dunia perdagangan dalam pendidikan.

Lahirnya UU BHP merupakan amanat dari bagian pembukaan (menimbang point C)


Sisdiknas berbunyi, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Untuk itu pemerintah perlu melakukan
perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai tingkat Dasar guna mencapai tujuan di
atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki kredibilitas dan akuntabilitas dimata public.
Untuk itu maka satuan pendidikan perlu berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-
undang tersendiri.

Pendidikan dengan logika bisnis juga membutuhkan sistem dan infra-struktur yang kuat
dan handal, yang memungkinkan mengantarkan situasi orang yang menggunakannya
akan mencapai tujuannya dengan hasil yang memuaskan. Dalam konteks pendidikan,
Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan
oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya,
ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan
pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak
lain merupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan
kapital. UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan.
Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen
memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan
untuk mengeruk keuntungan finansial.

Perubahan proporsi kebijakan ini tidak didasari cara berpikir integral, bukan hanya
tentang keberlanjutan kompetensi akademis, tetapi juga pemahaman akan fungsi evaluasi
itu sendiri. Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak
SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik
sesuai kompetensi yang dibutuhkan, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah dan
hanya menguntungkan perusahaan swasta karena mereka tak perlu membiayai ongkos
pelatihan untuk perekrutan karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung
negara.

Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian tugas Ditjen Pendidikan


Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat akademi merupakan
bagian kinerja Ditjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini harus bekerja sama
menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK
memiliki kesempatan melanjutkan ke politeknik atau akademi yang setingkat dengan PT.
Melulu membangun SMK tanpa dibarengi pengembangan politeknik dan akademi hanya
akan melahirkan tenaga kerja murah.
Guru besar bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak
kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam
membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada
pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah
jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi
swasta. “Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana
pemerintah. Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti
perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan
usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan
mutu lembaga pendidikan itu,” katanya.

Komersialisasi Sekolah : memutus benang kusut


Untuk melaksanakan konsep-konsep di atas tidaklah mudah, Kadang terjadi distorsi yang
tidak kecil antara penerjemahan konsep ke hal yang lebih teknis. Lagi pula untuk
melakukan itu semua harus diawali oleh seorang pemimpin bangsa yang berani. Dan di
ikuti oleh segenap elemen bangsa yang memiliki satu tekat keberpihakan kepada rakyat
kecil. Gerakan sosial untuk mengusung pendidikan murah dan berkualitas harus di
hidupkan. Guru dan dosen sudah waktunya mempelopori untuk memperjuangkan
kepentingannya dan peserta didiknya. Guru, dosen dan orang tua peserta didik akan
menjadi kekuatan politik mandiri jika bisa melakukan persekutuan taktis.

Di Unair , bagi calon mahasiswa yang diterima, baik melalui jalur SPMB maupun
melalui PMDK-UNAIR harus merogoh kocek minimal Rp 5 juta untuk SPMA. Masih
ada lagi “jalur khusus” yang mensyaratkan nominal puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Seakan belum cukup, mahalnya biaya pendidikan ini masih ditambah dengan SPP,
IKOMA dan yang sebentar lagi akan diberlakukan melalui SK Rektor adalah dinaikannya
biaya SKS. Namun fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di UNAIR, tapi juga di
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lain di Indonesia, terutama yang menjadi BHMN (Badan
Hukum Milik Negara).
Memasuki dunia pendidikan, maka mindsetnya dicetak dalam bingkai laku-tidaknya
dalam dunia pasar. Terbukti, jurusan-jurusan yang menjadi favorit mesti jurusan yang
selalu 'laku keras' dalam arus industri global. Jurusan yang tidak laku, maka akan
ditinggalkan, bahkan kalau perlu 'dimuseumkan', sehingga tidak lagi menjadi incaran
peminat.

Menggiring mindset siswa dalam logika pasar inilah yang sedang berlangsung sangat
kolosal dalam alur dunia pendidikan di Indonesia. Misi dunia pendidikan dalam upaya
memanusiakan manusia jadi terganggu. Sekolah sekarang mencetak siswa-siswa yang
segera layak jual di dunia industri. Guru-guru dan seluruh insan dunia pendidikan
kemudian sibuk dengan agenda birokratisasi 'proyek yang sedang ramai' setiap tahun
ajaran baru menggelinding. Atau setiap babakan momentum penting yang terjadi, maka
akan selalu dimanfaatkan untuk mensukseskan sekian proyek kapitalisasi yang
mendatangkan keuntungan finansial tinggi.

Tragedi komersialisasi sekolah telah menghadirkan duka sejarah yang berulang-ulang.


Setiap tahun ajaran baru, tragedi itu terus diulang-ulang. Bukannya disudahi, tetapi justru
prakyek komersialisasi semakin merajalela. Jurus-jurus komersialisasi juga semakin
canggih, sehingga sulit diendus publik. Sampai titik ini, institusi pendidikan sejatinya
sedang dalam gawat darurat. Peserta didik akan menjadi manusia robot, yang seluruh
gerak langkahnya ditentukan oleh mesin produksi pasar. Jadilah mereka menjadi sosok
yang saklek, monoton, dan tak berkreasi mencipta hal baru yang inspirasional. Terjebak
dalam instanisme dan pragmatisme. Kaku dalam bertindak, miskin gagasan mencipta
visi.

Maka, sudah saatnya sekarang semua pihak harus berupaya memutus benang kusut
proyek komersialisasi sekolah. Sekolah harus dikembalikan kepada hakikatnya sebagai
proses memanusiakan manusia. Proses belajar-mengajar adalah proses agung dalam
mentransfer tata nilai kehidupan dan tata nilai gagasan. Tahun ajaran baru harus
dikembalikan sebagai ritus suci mencipta manusia baru yang berjuang demi membela
hakekat kemanusiaan dan kehidupan.

Tahun 2005 adalah tahun pahit bagi guru dan dosen swasta. Betapa tidak, UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tak satupun pasal dan ayat yang ada dalam
konsideransnya mengatur tentang kesejahteraan guru/dosen swasta. Posisi guru/dosen
swasta penting untuk dipersoalkan disini karena sejak dulu hingga kini, posisi guru/dosen
swasta secara hukum tak pernah jelas, terutama jika ditinjau dari segi aspek kesejahteraan
dan kelayakan profesi. Dari sisi yuridis, respon berbagai pihak terhadap UU 14/2005
tersebut minimal diarahkan pada dua pertanyaan berikut: pertama, apakah layak profesi
guru dan dosen di atur bersama dalam satu UU. Kedua, mengapa UU 14/2005 tidak
mengatur secara rinci posisi hukum guru/dosen swasta yang bekerja di bawah payung
hukum yayasan.

Guru, dosen dan masyarakat harus merumuskan program pembaharuan sosial melalui
terbentuknya sekolah murah. Gerakan ini niscaya akan mendapat dukungan yang massif
karena orientasi keperpihakannya yang tegas. Gerakan sosial sekolah murah ini di
harapkan dapat melakukan penolakannya pada komersialisasi pendidikan apapun
modelnya. Gerakan ini hendaknya juga bisa melakukan advokasi pada guru, dosen,
maupun murid yang dirugikan oleh sistem pendidikan. Sementara jika ditinjau dari sisi
kuantitas, guru/dosen swasta jelas jumlahnya lebih banyak dibanding guru/dosen negeri.
Anehnya, dari segi yuridis, posisi ketenagakerjaan guru/dosen swasta hingga turunnya
UU 14/2005 tetap dianggap sebagai isu non-negara. Jika dilihat dari segi UU
Kepegawaian juga tidak relevan, karena para guru dan dosen yang bekerja di lembaga
pendidikan swasta bukanlah PNS.
Dicakup dari segi UU Ketenagakerjaan kurang mengena karena guru/dosen tidak dapat
dikategorikan begitu saja sebagai pekerja/buruh perusahaan. Karena yayasan
penyelenggara sekolah/PTS (yang menaungi mempekerjakan guru/dosen swasta) juga
tidak dapat digolongkan sebagai perusahaan. Posisi yang tak jelas ini mengakibatkan
payung hukum ketenagakerjaan (termasuk didalamnya program pembinaan) guru/dosen
swasta sebagai tenaga kependidikan menjadi tak jelas ada dalam kewenangan atau
tanggung jawab siapa.
Untuk menaikan kesejahteraannya sudah waktunya guru, dan dosen ikut dalam
perjuangan ini. Kisah guru-guru yang tergabung dalam PGRI baik dari jawa timur, jawa
tengah, dan jawa barat akhir juni 2007 lalu yang melakukan aksi tuntutan pemenuhan
anggaran pendidikan 20% dari APBN dan kesejahteraan guru ke istana negara harus terus
di hidupkan. Guru dan dosen sudah saatnya menjadi kekuatan politik yang bergerak
memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak kepada rakyat.

Rendahnya Mutu Buku Pelajaran : Pemborosan Biaya Buku


Setiap kali kenaikan kelas, orang tua murid selalu gundah mencari tambahan biaya untuk
membeli buku paket pelajaran baru dari sekolah. Ditengah-tengah keresahan orang tua
siswa tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, melontarkan
gagasan pemberlakuan buku pelajaran minimal 5 tahun. Gagasan ini muncul merespon
ramainya keluhan para orang tua siswa yang harus menanggung lebih banyak biaya untuk
buku paket pelajaran. Meskipun seorang siswa memiliki kakak yang duduk di kelas lebih
tinggi, ia harus membeli buku pelajaran baru. Fenomena ini seringkali dilukiskan dengan
jargon ”ganti tahun ganti buku pelajaran”.

Menindaklanjuti gagasan Menko Kesra ini, akhirnya kebijakan tentang perbukuan tingkat
SD sampai dengan SLTA dimasukkan sebagai target wajib belajar pendidikan 9 tahun
dalam Program 100 Hari SBY. Untuk ini akan diterbitkan Peraturan Presiden yang
mengatur buku pelajaran.

Substansi peraturan ini antara lain adalah buku pelajaran dibatasi masa pakainya minimal
lima tahun. Penerbit dilarang langsung berjualan buku ke sekolah dan ada sanksi
administrasi bagi pelanggarnya. Hal ini terutama untuk menghindari praktik percaloan
buku di sekolah yang ujung-ujungnya hanya akan memberatkan beban orang tua siswa.

Kebijakan pembatasan buku pelajaran ini sekilas nampak sebagai kebijakan populis.
Artinya pemerintah dengan kebijakan ini ingin mencitrakan keberpihakannya pada rakyat
banyak. Pasalnya dengan mematok buku pelajaran berlaku minimal selama lima tahun,
masyarakat tak perlu harus membeli buku pelajaran baru. Siswa memiliki pilihan untuk
memakai buku pelajaran kakak kelasnya, sehingga siswa miskin tak lagi perlu
mengeluarkan biaya.

Namun demikian, Perpres pembatasan buku pelajaran sekolah ini apabila tidak dikaji
secara serius sebenarnya mengandung dampak negatif menghambat pembaharuan
informasi bagi anak didik. Untuk menghindari ”salah kebijakan” yang dapat berakibat
buruk bagi mutu pendidikan di Indonesia sebaiknya pemerintah SBY-Kalla memilah
persoalan yang ada. Dalam hal buku paket sekolah ini, sebenarnya ada dua akar persoalan
yang membutuhkan penyelesaian berbeda.

Persoalan pertama, mutu buku paket pelajaran. Mutu buku sekolah saat ini masih sangat
rendah. Hal ini paling tidak tercermin dari studi Sri Redjeki pada tahun 1997. Dari sekitar
300 buku teks biologi SD-SMA yang ia teliti, ternyata isi buku-buku teks Biologi yang
digunakan di sekolah-sekolah Indonesia ketinggalan 50 tahun (Supriadi, Dedi 2000: 27).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pembatasan masa berlaku buku
pelajaran saja buku-buku ilmu pengetahuan Indonesia tertinggal jauh. Apalagi kalau di
adakan pembatasan sebagaimana yang dilontarkan oleh pemerintah.

Ilmu pengetahuan dan informasi berkembang sangat cepat, apabila buku pelajaran
dipatok berlaku selama minimal 5 tahun akan menghambat perkembangan pengetahuan
anak didik. Apalagi perubahan isi buku tidak hanya menyangkut substansi atau isi, tetapi
juga metodologi dan cara penyampaian. Persoalan menjadi lebih parah karena
masyarakat Indonesia saat ini masih amat bergantung kepada buku pelajaran dan belum
terbiasa dengan media lain seperti internet, sementara guru tidak memiliki motivasi
mencari alternatif informasi, hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Oleh karena itu kebijakan pembatasan masa pakai buku pelajaran ini ditakutkan justru
akan lebih menurunkan kualitas pendidikan siswa Indonesia. Melihat kondisi ini
semestinya pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperbaharui secara
kontinyu buku paket pelajaran siswa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang ada.

Persoalan kedua, mencegah beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua siswa. Buku
sekolah saat ini memegang peranan yang sangat dominan di sekolah. Studi yang
dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan
siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil
belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (Supriyadi 1997 dalam
Supriyadi 2000: 46). Semakin banyak buku yang dimiliki dan dibaca oleh siswa semakin
baik prestasi belajarnya.

Meskipun buku memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar
siswa, namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini
masih miskin. Jangankan membeli banyak buku pelajaran sekolah, biaya pokok sekolah
saja masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Saat ini mayoritas masyarakat
menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal.

Ditengah persoalan semacam ini, praktek percaloan buku di sekolah sudah menjadi
rahasia umum. Pihak guru atau sekolah mengharuskan siswa untuk membeli buku-buku
paket pelajaran melalui mereka, sehingga muncul semacam praktek monopoli yang
merugikan. Keharusan membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran baru membuat
beban orang tua menjadi lebih berat.

Kebijakan pemerintah yang diambil semestinya mengatasi dua hal tersebut. Publik
membutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi beban orang tua tanpa mengorbankan
kualitas pendidikan siswa. Kualitas pendidikan siswa dapat dijaga dengan menerbitkan
kebijakan yang ketat terhadap pembaharuan isi dan metodologi buku pelajaran. Selain itu
juga memperbesar akses siswa terhadap buku pelajaran. Salah satu caranya tentu saja
dengan diterbitkannya banyak jenis buku paket gratis dan buku murah.
Mahkfiuddin Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), menyarankan agar
kebijakan yang ditempuh bukannya mematok masa pakai buku pelajaran namun
memperketat pengawasan agar tidak terjadi monopoli perdagangan buku di sekolah.
Selain itu ia juga mengusulkan adanya pembenahan subsidi pada buku pejaran, buku
pelajaran dapat dibebaskan dari pajak sehingga harganya lebih murah.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

Anda mungkin juga menyukai