Secara garis besar sidang-sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kali sidang (29 Mei - I
Juni 1945 dan 10 - 17 Juli 1945). Secara khusus sidang pertama BPUPKI membahas
tentang dasar negara. Sejak tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 telah tampil 46 pembicara,
namun yang banyak kita kenal adalah tiga tokoh, yakni Mr. Moh Yamin, Mr. Supomo,
dan Ir. Soekarno. Moh. Yamin membahas sekitar dasar negara terdiri lima dasar negara
kebangsaan Indonesia, yakni; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pada tanggal 30 Mei 1945 Moh. Hatta juga
tampil berpidato, mengajukan Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin,
Musyawarah, dan Keadilan rakyat.
Tanggal 1 Juni 1945 giliran Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya dengan mengajukan
lima asas yang disebut dengan Pancasila. Menurut Ir. Sockamo, nama Pancasila itu atas
petunjuk seorang teman ahli bahasa. Pidato Ir. Soekarno tanggal I Juni 1945 sering
disebut dengan pidato lahirnya Pancasila. Sila-sila yang diusulkan Ir. Soekarno adalah
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau
demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tanggal 1 Juni 1945 Sidang BPUPKI I berakhir, namun belum ada kesimpulan dan
keputusan yang diambil. Panitia kecil (Panitia Sembilan) dibentuk diketuai Soekarno
yang anggota-anggotanya adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. Ahmad Subarjo,
Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wakhidd Hasyim, H. Agus Salim, dan
Abikusno Cokrosuyoso. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan melahirkan rumusan
yang berkaitan dengan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka.
Rumusan ini terkenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rumusan tersebut
sebagai berikut. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/perwakilan. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945 mulai sidang BPUPKI II guna membahas UUD bagi negara
Indonesia. Tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD secara bulat menerima Piagam
Jakarta sebagai Pembukaan UUD. Untuk menyempurnakan UUD dengan segala pasal-
pasalnya, diserahkan kepada Panitia Kecil. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Panitia
Penghalus Bahasa yang anggotanya Husein Jayadiningrat, Agus Salim, dan Supomo.
Tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan sidang untuk menerima laporan dari Panitia
Perancang UUD. Tiga hal penting yang dilaporkan oleh Ir. Soekarno selaku ketua Panitia
Perancang UUD yang berisi : Pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan UUD (diambil
dari Piagam Jakarta), dan batang tubuh UUD. Pada tanggal 16 Juli 1945 sidang
menyetujui tiga hal yang dilaporkan oleh Ir. Soekarno tersebut.
Keadaan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya kian terjepit. Pada 6 Agustus 1945, kota
penting di Jepang, Hirosima dibom atom oleh Amerika Serikat. Jepang tidak dapat
berkutik. Setelah Jepang kalah, terjadi kekosongan kekuasaan (Vacuum of Power)
ditanah Nusantara. Kejatuhan Jepang yang menyerah pada kekuatan sekutu menjadi
momentum yang sangat berarti bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Kondisi itu ternyata
tidak luput dari pembacaan para aktivis pergerakan nasional, dan kemudian dengan cepat
dimanfaatkan oleh para pejuang kemerdekaan.
Oleh karena itu, pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui
pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiaipan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Tugasnya melanjutkan pekerjaan BPUPKI dan untuk mempersiapkan
Kemerdekaan Indonesia. Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno, sedangkan wakilnya Drs.
Moh. Hatta. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan
Mohammat Hatta sebagai wakil ketua mengadakan rapat.
Pertemuan ini rencananya dimulai pada jam 09.30, akan tetapi belum juga dimulai hingga
sampai jam 11.30.19. Jeda waktu selama dua jam tersebut ternyata masa yang teramat
penting bagi sejarah Indonesia khususnya dalam kaitan konstitusi Indonesia. Waktu yang
singkat itu digunakan oleh Muhammad Hatta untuk mengadakan loby dengan beberapa
anggota PPKI mengenai konsep perubahan pada Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-
Undang Dasar. Pimpinan Angkatan Perang Jepang yang berkedudukan di Saigon, yakni
Jonderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil Soekarno, Moh. Hatta, dan
Rajiman Widyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon, guna merencanakan penyerahan
kemerdekaan kepada Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, Soekarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Widyodiningrat pulang
kembali ke Jakarta. Sementara Jepang sudah dalam keadaan lumpuh sebab tanggal 9
Agustus 1945 kota Nagasaki juga dibom atom oleh Amerika Serikat. Dengan demikian
Jepang benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Akhimya pada tanggal 15 Agustus 1945,
Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Kepulangan pimpinan PPKI ke
Indonesia bersamaan dengan perubahan besar revolusi kemerdekaan.
Sekenario kemerdekaan yang dibuat PPKI dan Jepang tidak menjadi kenyataan. Para
pemuda berhasil mendorong terjadinya jalan lain proklamasi kemerdekaan. Akhirnya,
pada tanggal 17 agustus 1945, Soekarno-Hatta yang sebetulnya masih ragu-ragu, berhasil
dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Sebagai negara merdeka, Indonesia memerlukan kelengkapan-kelengkapan negara.
Sebelumnya sore hari 17 Agustus 1945, didatangi seorang opsir Jepang yang
menyampaikan pesan dari golongan Protestan dan Katolik terutama dari Indonesia Timur
agar menghilangkan tujuh kata pada Pembukaan Undang Undang Dasar. Mereka
mengancam akan keluar dari Republik Indonesia apabila usul itu tidak diterima. Usul
inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Muhammad Hatta mengajukan usul
perubahan sebagai berikut: Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata ‘Pembukaan”.
Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak-kalimat : “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah
menjadi ”berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata” dan
beragama Islam” dicoret. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29
ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai
pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Usul perubahan yang diajukan Muhammad Hatta ini, nampaknya disetujui oleh rapat
PPKI, meskipun melalui beberapa usul namun tidak mendapat pembahasan yang begitu
berarti. Untuk kepentingan itu, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan
sidang dan berhasil menyetujui dan mengesahkan UUD (Undang-UndangDasar). Hanya
beberapa jam kemudian, yakni jam 13,45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks
perubahan Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan
batang-tubuh Undang-Undang dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai
‘Undang-Undang Dasar 1945”.
Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang teramat penting dan
kontroversial itu, akhirnya berbuntut pada sebuah pertanyaan besar yang sulit dijawab.
Kejadian yang mengejutkan ini, tentu saja sangat mengecewakan bangsa Indonesia yang
beragama Islam. Kekhawatiran akan terjadinya perpecahan jika keputusan tidak diubah,
dianggap dapat dihindari dengan mengorbankan modus vivendi atau gentleman’s
agreement antara pihak Islam dengan pihak kebangsaan. Bahaya pertama dianggap lebih
berat daripada bahaya dikecewakannya golongan Islam.
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi
sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang
Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem
pendidikan yang tidak kalah mutunya. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari tujuan
negara atau pemerintah. Pada masa kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya
menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan
disesuaikan dengan tujuan negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena
dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara,
maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara.
Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem
kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini
didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada
zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum
berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada
Orde Lama.
Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu
mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih
memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan
tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan
UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan
keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi
mulai terjadi.
Agresi Militer Belanda I dan II yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB),
disertai dengan pemberontakan kemerdekaan RI di beberapa daerah mengakibatkan
negara harus mengambil tindakan untuk menasionalisasi aset-aset asing. Pendidikan
sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai
penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi,
merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara.
Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah
mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP dan
SMA. Sosialisme Indonesia merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran tersebut.
Pendidikan sosialisme Indonesia didapat melewati akal dan pengalaman empiris (dalam
pendidikan Islam ditambah dengan intuisi), materinya meliputi aspek ekonomi, sosial,
politik (terdapat juga dalam pendidikan Islam), metode pengajarannya dengan
indoktrinasi (dalam pendidikan islam, untuk materi ketauhidan), evaluasinya lebih pada
aspek psikomotor (yaitu pembentukan kepribadian), dan tujuannya sesuai dengan
kepentingan pemerintah (pendidikan Islam dilaksanakan untuk kepentingan agama).
Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), merupakan negara yang sarat dengan cita-cita
sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta
Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan
UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah
kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana
salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong
sosialisme pendidikan Indonesia.
Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi
masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia
bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa
ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk
mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan
tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh
negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona
pekerjaan bagi rakyat.
Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” merupakan satu jargon
yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut.
Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang
diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal
pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di
perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti
dilakukan kolonial Belanda).
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan saja sebuah pengorbanan umat
Islam yang bertujuan memelihara keutuhan negara Indonesia, tetapi berbuah pada
hilangnya ligetimasi berlakunya hukum Islam dalam tatanan hukum nasional.
Dengan tidak dicantumkannya kata kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi
pemeluknya pada UUD 1945, apakah pemberlakuan hukum Islam atau syari’at Islam
telah benar-benar kehilangan hukum dasar. Sehingga untuk memberlakukan hukum Islam
dalam sistem hukum Nasional harus diatur dan sesuai dengan tata hukum Indonesia.
Ataukah masih ada celah yang dapat dipahami untuk menampik asumsi itu, atau
barangkali hukum Islam harus benar-benar terpisah dengan persoalan bernegara.
Adalah penomena yang sangat wajar apabila ada tuntutan yang deras dari pihak Islam
untuk memasukkan hukum Islam dalam tatanan hukum Nasional. Kewajaran itu cukup
beralasan, karena kemerdekaan Indonesia banyak diandili oleh Islam. Andil besar itu
terbukti dengan keterlibatan umat Islam dalam perang perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia, maupun pada saat penyusunan awal konsep negara Indonesia. Sejauhmanakah
upaya-upaya itu ditanggapi atau bahkan mendapat tantangan dari pihak lain. Tulisan ini
mencoba menguraikan tentang keberadaan sistem hukum Islam ditengah-tengah
pergolakan sistem hukum nasional. Pembicaraan dimulai dari sejarah awal pembentukan
dasar hukum hingga lahirnya UUD 1945 yang mengungkap besarnya peranan Islam
dalam proses itu. Kemudian dilanjutkan dengan upaya amandemen, dan beberapa
pertimbangan sehingga amandemen tidak mengubah isi pasal 29 UUD 1945. Bagian lain
adalah pembahasan tentang legalitas hukum Islam dalam negara Indonesia.
Buah pemikiran Soekarno yang sangat dikenal adalah faham Marhaenisme. Soekarno
mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan
terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah
sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme
masyarakat, yaitu nasionalisme dengan kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-
nasionalisme menolak setiap tindakan borjuisme yang menjadi sebab kepincangan
masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan
ekonomi – suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan
negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi
adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah
nasionalisme yang berperikemanusiaan atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai
oleh perasaan cinta kepada sesama. Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi yang
menuju kepada kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan
seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41; Pataniari, 2002, 116).
Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai karier politik yang sesungguhnya pada
tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun kemudian berhasil mendirikan PPPKI
tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan dia selalu memikirkan rakyat dalam
objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai pemikiran yang anti elitisme, anti
imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan soal-soal ekonomi dan lebih suka
berpikir sosial demokrat. Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan
konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Soekarno yang lulus ELS tahun
1921, sejak masa mudanya dekat dengan tokoh HOS Cokroaminoto.
Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran
Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang
berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara
berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak
jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan
utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu
kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang
keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.
Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme
erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh
sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi
keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-
segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa
memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan
mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme
mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme
atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.
Soekarno mengibaratkan imperialisme sebagai “Nyai Blorong” alias ular naga. Kepala
naga itu, menurut dia, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara
terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan
tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme merupakan
tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan.
Dalam usaha untuk mencapai Indonesia merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada
para pemimpin organisasi pergerakan, hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih
dulu dalam suatu organisasi rakyat umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum
peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan
untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak mempunyai
persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi bola permainan negeri-negeri yang
berperang saja.
Keadaan berubah 180 derajat pada bulan September 1963, ketika pemerintah Inggris
menyatakan Malaysia sebagai bagian federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih dahulu.
Soekarno melihat pernyataan tersebut adalah upaya untuk menggangu stabiltas kawasan
Asia Tenggara terutama karena Malaysia secara geografis sangat dekat dengan Indonesia,
selain itu Soekarno juga melihat hal ini dipicu karena Indonesia menasionalisasi
perusahaan-perusahaan Inggris . Insiden ini berimbas terhadap hubungan Indonesia
dengan IMF, sesepakatan sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh Soekarno.
Kekalahan Indonesia memperjuangkan permasalahan ini di tingkat internasional karena
PBB mengakui eksistensi negara Malaysia menyebabkan Soekarno memutuskan untuk
keluar dari kenggotaan PBB. Kondisi perekonomian Indonesia setelah itu berada dalam
kondisi yang memprihatinkan, utang yang diterima dari Soviet dan negara barat
digunakan untuk untuk kebutuhan konsumtif , pembangunan proyek mercusuar dan
membeli senjata.
Dalam hal ini meskipun Soekarno berhasil mempertahankan harga diri bangsanya namun
ia gagal untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk,
ekonomi Indonesia yang tergantung pada pihak luar, mengalami pukulan keras ketika
harga bahan baku di tingkat internasional menurun drastis (harga karet turun drastis),
sementara pengeluaran untuk kebutuhan publik yang luar biasa besar mendorong inflasi
mencapai 600%. Ketika perang dingin mencapai titik klimaksnya, Soekarno memancing
kemarahan Washington dengan menasionalisasi semua perusahaan asing (kecuali
perusahaan minyak). Kemudian Sukarno mengumandangkan “go to hell with your aid”
sebagai kata talak untuk perceraian dengan IMF serta Bank Dunia pada Agustus 1965
dan memutuskan membangun Indonesia secara mandiri.
Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang menandakan dimulainya rezim orde
baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru memang
dekat dengan kepentingan Amerika, namun meskipun demikian pemerintah Amerika
tidak ingin memberikan utang secara langsung lewat mekanisme bilateral, mereka
“menitipkan” kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dana
bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966, IMF
membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan
cepat melaksanakan kebijakan seperti yang diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi
kembali menjadi anggota IMF.
Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, menimbulkan reaksi
negara-negara barat. Mereka segera memberikan hibah sebesar US$174 million dengan
tujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, disusul dengan
restrukturisasi utang karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk membayar cicilan
pokok dan bunga utang. Tanpa rescheduling utang ini maka tidak dimungkinkan negara-
negara barat memberi utang utang baru, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya
rescheduling merupakan cara agar negara-negara barat bisa mengucurkan utang baru ke
Indonesia. Pada Desember 1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club yang menyepakati
moratorium utang sampai tahun 1971untuk pembayaran cicilan pokok utang jangka
panjang yang disepakati sebelum tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika inisiatif
moratorium ini tidak akan terjadi.
Resep generik yang diberikan IMF pada semua pasiennya yaitu program penyesuaian
struktural atau Structural Ajusment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Kebijakan
penyesuaian struktural mengharuskan negara untuk meliberalisasi impor dan pelaksanaan
aliran sumber-sumber keuangan secara bebas, devaluasi, pelaksanaan kebijakan moneter
dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga
yang relatif tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan tarif pajak, peningkatan barang
pokok masyarakat dan menekan tuntutan kenaikan upah buruh sedangkan yang terakhir
pemasukan investasi asing yang lebih lancar.
Pendidikan Elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang
tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok
orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang
lain, terutama rakyat kebanyakan.
Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang
ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau
dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga
memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang
mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap
demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.
Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur
bahasa Jawa yang dengan pola “kromo” dan “ngoko”-nya mendukung adanya stratifikasi
sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi
demikian itu, dalam rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921,
Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan
keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam
rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses
perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak
dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk
memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada
peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum
Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan
menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan
suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme
“menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari
kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya
berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi
Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,”
dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan
terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi,
akan mampu mengubah dunia.”
Dasar garis politik Persatuan Nasional telah dilukiskan Bung Karno pada tahun 1926
dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian garis politik persatuan
nasional tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni 1945. Dan ketika Bung Karno
memegang kendali pemerintahan setelah Dekret Presiden Juli 1959 garis politik
persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama,
Komunis. (sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim). Seperti kita
ketahui sejak Nopember 1945 sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan
sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara saja.
Dalam sejarah telah terbukti bahwa dengan persatuan nasional kita berhasil mencapai
kemerdekaan, menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya pembrontakan-
pemberontakan dan disintegrasi, Irian Barat berhasil direbut kembali dari cengkeraman
penjajah.
Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang diambil oleh
Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu rupa-rupanya memiliki dampak yang
luas. Ketika pada tahun 1933-1934 Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan
diasingkan oleh Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa
adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak dalam
perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul kembali ketika para
pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh Belanda saat mereka terancam oleh
kedatangan balatentara Jepang.
Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang
ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat
kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai
pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan
bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi
revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di
tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, “merupakan faktor utama bagi
gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi
terwujudnya tujuan-tujuan revolusi.”
Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara.
Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI-meskipun pada tahun 1948
ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun-dalam waktu singkat berkembang pesat
pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI banyak rakyat merasakan bahwa justru
dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu
kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan
berhasil memperoleh suara terbanyak keempat.
Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada zaman pasca-
Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar. Meskipun sejak naiknya Orde
Baru pada akhir 1960-an akses para elite kepada rakyat kebanyakan telah terbuka
semakin luas-antara lain dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-
sarana komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya termanfaatkan. Di
bawah orde yang katanya “baru” itu tetap saja rakyat menjadi komponen massal yang
dalam proses bernegara, berada di bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu
hampir semua kebijakan yang ada.
Tak jarang bahwa upaya-upaya untuk mendorong partisipasi rakyat lebih luas justru
harus berhadapan dengan tindakan militer yang keras. Meminjam istilahnya Benedict
Anderson, bisa dikatakan bahwa society-nya boleh baru, tetapi state (baca: elite)-nya
tetap yang lama. Tak kalah sayangnya tentu saja adalah bahwa tumbangnya sistem
pemerintahan militeristik masa Orde Baru tidak disusul dengan tumbuh suburnya
demokrasi, melainkan dengan kaotiknya kehidupan politik, yang konon justru dimulai
dari kalangan elitenya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini di lapisan bawah
rakyat merasa semakin kecewa terhadap perilaku, komentar-komentar, serta percekcokan
yang lahir di antara kelompok elite politik yang ada.
Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi
masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia
bahkan mampu mengekspor guru ke negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa
ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk
mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan
tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh
negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona
pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata”
yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa
organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah
lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat
membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis
yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi
dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda). Ketika pada
tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya Soekarno dan lima puluh
enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang
salah satu akarnya adalah keterpisahan antara elite dengan rakyatnya.
Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil
yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama
warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang
menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.
Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan
fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas
beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat,
memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik
dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasi
mahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era
keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Karakteristik kebijakan luar negeri Indonesia pada awal terbentuknya sangat ditentukan
oleh kondisi bangsa yang masih prematur. Pemikiran- pemikiran politik Soekarno yang
cenderung nasionalis radikal ( Munawar Ahmad, 2007: 21) dan anti-kolonialis. Semangat
anti-kolonialnya yang sangat militan di satu pihak memang menguntungkan posisinya
sebagai presiden. Baginya, isu-isu anti kekuatan asing juga membantunya dalam
mengidentifikasi kawan dan lawan. Dengan sendirinya, Soekarno, sebagai pemain
sentral, menjadikan isu-isu tersebut untuk mengelola konflik dalam negeri ( Bambang
Cipto: 2007: 90).
Kompetisi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berbeda ideologi telah merambah
kawasan Asia Tenggara sehingga sebagai pemain utama di Kawasan tersebut Indonesia
dengan pemain sentral, Soekarno, mencoba mengambil manfaat dalam upaya
membangun negaranya yang masih seumur jagung. Analisa kritis tentu dapat membantu
kita untuk tidak terlalu mendiskreditkan Orde Lama dengan kebijakannya yang terlalu
condong ke Timur. Dalam perumusan politik luar negeri suatu negara, tentu intrik dan
”penipuan’ merupakan hal wajar. Dan kejatuhan Soekarno yang lebih diakibatkan begitu
kuatnya aliran romantisme dan kurangnya kapabilitas dia dalam mengurus rumah tangga
negara setidaknya tetap merupan bukti bahwa naik dan turunnya dia dari tampuk
pemerintahan adalah bagian dari proses dialektika ideologi besar dunia.
Yang menarik selama pemerintahan Orde Lama adalah pergeserannya arah kebijakan
politik eksternalnya yang tiba-tiba. Setelah memerdekakan Indonesia, Soekarno lebih
condong ke Barat tapi berubah drastis saat mengetahui kenyataan Barat (dalam hal ini
Amerika Serikat) tidak mendukung upaya diplomasi RI dalam mengembalikan Irian
Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Akibatnya, Soekarno mengubah haluan politik
eksternalnya ke Blok Timur yang dikenal sebagai lawan sentral Barat. Ini dibuktikan
adanya kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet dan China serta dibukanya Poros Jakarta-
Peking.
Politik konfrontatifnya amat kentara saat mendapati realita pembentukan negara Federasi
Malaya oleh Inggris. Ia memandang hal tersebut sebagai upaya Barat, terutama Inggris,
untuk membentuk alat dalam melestarikan kehadiran dan pengaruhnya di Asia Tenggara,
khususnya Malaysia dan Indonesia ( Mohammad Hatta, 1965: 140). Perumusan kebijakan
saat Orde Lama berkuasa juga sangat ditentukan oleh eskalasi politik internal Indonesia
yang sedang bergejolak dalam menghadapi disintegrasi bangsa. Banyak pergolakan
politik baik nasional maupun daerah yang terjadi saat itu. Pemberontakan PKI di Madiun
1948, pemberontakan bersenjata PERMESTA di Sulawesi Selatan, PRRI di Sumatra,
Darul Islam Di Jawa Barat (Bambang Cipto, 2007: 89) benar-benar menguras energi
politik, ekonomi dan birokrasi pemerintahan Soekarno.
Pada kasus PRRI maupun Irian Barat secara tidak langsung dianggap pula sebagai
campur tangan asing dalam ranah politik domestik Indonesia. Ini terbukti dengan
keterlibatan Belanda dan Amerika Serikat melalui CIA-nya ( Dwight King dalam
Indonesia”s Foreign Policy). Hal ini diperparah dengan kegagalan Indonesia dalam
banyak upaya diplomasi terutama dalam mengembalikan Irian Barat sehingga Soekarno
seakan mendapat legitimasi untuk pemikirannya yang anti-kolonial.
Untuk menggalang kekuatan baru Soekarno mendirikan NEFOS ( New Emerging Forces)
yang notabene beraliran komunis-sosialis dan beranggotakan negara-negara yang baru
berkembang. Perhatiannya yang juga begitu besar dalam usaha membangun Indonesia
sebagai sebuah entitas politik yang kuat dan mandiri ( state building) memang telah
membuat Soekarno kurang memperhatikan aspek pembangunan ekonomi domestik yang
semakin memburuk. Krisis politik-ekonomi ini justru terkesan diabaikan oleh Soekarno
dengan pembentukan NASAKOM (Feith dan Castles, 1988) yang semakin memperkuat
jurang pemisah antara kelompok anti-komunis (muslim dan militer) dan PKI ( sekutu
dekat Soekarno).
Secara politik, Soekarno banyak ditinggalkan oleh kolega seperjuangannya saat mereka
mengetahui Soekarno begitu dekat dengan komunis yang cenderung atheis. Mereka
beranggapan bahwa komunis tidak cocok dengan Indonesia. Kelompok yang paling keras
perlawanannya adalah kaum muslim yang dipimpin Mohammad Natsir melalui
Masyuminya. Bahkan melalui analisa Feith dan Castles, kita dapat mengetahui adanya
”friksi-friksi” politis dalam tubuh Orde Lama yang pada akhirnya nantinya menjadi salah
satu dari sekian penyebab runtuhnya era Soekarno. Secara umum, era pemerintahan
Soekarno yang begitu konfrontatif di satu sisi dan terkesan ”netral” lebih dikarenakan
adanya pertarungan dua ideologi besar dunia saat itu.
Pidatonya pada tanggal 5 Juli 1959 menegaskan bahwa Indonesia kembali kepada UUD
1945 dan Pancasila, dan badan konstituante dinyatakan bubar. Ide kembali ke pangkuan
Pancasila sebagai dasar negara ternyata mengalami penyelewengan. Hal ini erat
berhubungan dengan masalah kekuasaan. Isu-isu politik yang muncul pasca dekrit
presiden, mengharuskan Soekarno membuat satu kebijakan khusus. Tiga kekuatan politik
besar yang ada saat itu bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani
secara benar. Dan kebijakan Soekarno itu tertuang dalam gagasannya tentang
NASAKOM (Nasionalis, Agamis,dan Komunis). Gagasan ini adalah upaya untuk
meredam gejolak politik tersebut. Dengan menampung ketiganya dalam satu payung,
Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik ini. Namun, dengan adanya upaya
ini maka implikasinya, ada muncul semacam penghianatan Soekarno terhadap Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan
golongan, termasuk umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa
semua agama itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup
manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali berhasil
“menjinakkan” dan mementahkan perjuangan politik Islam yang kemudian berimbas ke
pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi
umat Islam dengan alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh
kongkretnya adalah menghapus tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” dalam UUD 45 “ .
Kegagalan konstituante dalam merumuskan dasar negara, membuat Presiden Soekarno
bertindak.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika
Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi
dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan
menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika
mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin,
tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke
perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.
Terjadi kemajuan sumber daya manusia, yang mana dapat kita lihat dari banyaknya
tenaga terdidik Indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Selain
itu juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah di
Indonesia. Secara yuridis, pemikuran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalam
undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan
dalam UU no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-
dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia (lembaran Negara
tahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550).
Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.
Pasal 3:
“Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan
warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air”
Pasal 4:
“Pendidikan dan pengajaran erdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila,
UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.
Dalam prakteknya, pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai emdia untuk
mempertahnakan kekuasaan rezim Soekarno. Menurut H.A.R Tilaar sebagaimana dikutip
oleh Paul Suparno, pada zaman pra Orde Baru tampak jelas bahwa pendidikan diarahkan
kepada kepentingan politik Negara, yaitu membangun nasionalisme, persatuan, dan
penggalangan kekuatan bangsa. Dalam konteks ini system pendidikan lebih diarahkan
untuk menolak segala pengaruh asing. Tidak ada kebebasan berfikir, semua diarahkan ke
nasionalisme sempit itu.
Rezim Orde Lama tumbang seiring adanya gejolak di Jakarta pada akhir bulan September
dan awal Oktober 1965. Demonstrasi besar-besaran terjadi dengan tiga tuntutan: (a)
hapuskan cabinet dari unsure PKI, (b) bubarkan PKI (c) turunkan harga-harga.
Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, konsep pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada
tahun 1965 terjadi pembumihangusan gerakan kiri di Indonesia yang dilakukan oleh
kekuatan militer dibawah pimpinan Soeharto dibantu oleh AS dan sekutunya.
Soekarno yang sangat kenyang sekali dengan trend pendidikan kolonial, kebijakannya
lebih mengedepankan model pendidikan yang merata untuk memberantas buta huruf di
seantero Nusantara. Hal itu dilakukan tentunya sebagai antitesa terhadap politik
kebijakan pendidikan Belanda yang kental dengan anasir dikotomisnya terhadap
masyarakat pribumi. Tanggal 2 Mei merupakan hari bersejarah bagi Pendidikan
Nasional. Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap
pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum
penjajah, sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan
kepentingan mereka.
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun
menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan
usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia.
Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
: Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(BP 7 Pusat, 1990:1).
Soekarno, Hatta, Sjahrir menginginkan supaya setelah merdeka, anak-anak Indonesia,
sekolahannya seperti sekolah-sekolah yang mereka hayati. Soekarno, Hatta, Sjahrir
dididik bukan lewat sekolah desa, tapi sekolahnya untuk orang belanda, agus salim juga.
Anggaran sekolah untuk orang Belanda itu 10 kali dari anggaran sekolah desa. Gaji Guru
HIS itu dulu 90 goulden, guru desa itu 9 goulden. Yang saya amati sekarang, sekolah kita
umunya (di daerah2 itu) masih sekolah desa tadi. Yang masih dibiayai 1/10 dari
seharusnya. (Prof. Soedirjanto, 2009). Zaman soekarno hatta masih menjadi pemimpin
kita, semua uniersitas negeri itu, disediakan rumah dosen, asrama mahasiswa putri dan
putra, calon guru diberikan ikatan dinas dan diasramakan.
Pada tahun 1965, Pendidikan Nasional telah memiliki pondasi atau identitasnya, yaitu
Pancasila, ketika terkait dengan fungsinya sebagai transformasi sosial. Namun jauh
sebelum penegasannya, pendidikan sebagai transformasi sosial sendiri sebenarnya
dimulai pada tahun 1959, ketika Soekarno memberikan penegasan mengenai ideologi
bangsa yang berdasarkan budaya dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dan
kemudian menempatkan pendidikan untuk mewujudkan ideologi bangsa.
Bung Hatta juga memberikan penegasan yang sama di dalam memaknai identitas
pendidikan nasional. Menurut Hatta, pendidikan nasional bersifat kebangsaan.
Kebangsaan berarti pendidikan harus turut serta di dalam mewujudkan kemajuan bangsa
yang berdasarkan cita-cita bangsa (ideologi). Hal itu berarti pendidikan dengan cita-cita
bangsa tidak dapat dipisahkan. Kebangsaan menyangkut pengalaman sejarah dan juga
budaya bangsa Indonesia (baca: multikultural), sehingga ideologi bangsa Indonesia yang
menjadi pondasi dari pendidikan nasional sifatnya aspirasi, dan bukan deskriptif.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada
falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana
bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam
kurikulum pendidikan bangsa tersebut.
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.