Membangun Nasionalisme Dan Pertahanan Di Perbatasan Negara

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

Membangun Nasionalisme dan Pertahanan di Perbatasan Negara1

Oleh Ananta Kusuma Wibawa, S.H.

Pendahuluan

Jika melihat berbagai definisi mengenai nasionalisme yang telah pernah dirumuskan dan
disampaikan oleh berbagai pakar dari berbagai belahan dunia, maka bisa diambil suatu
persamaan pengertian dasar bahwa yang dimaksud adalah suatu kesadaran atau
semangat atau kehendak untuk memiliki dan memelihara identitas bangsa dan negara.

Apapun susunan definisi yang dibuat oleh para pakar, maka hasil akhirnya adalah
keberadaan sebuah negara bangsa ( nation state ), yaitu suatu negara yang dibentuk
dengan berbasis pada ikatan ”rasa sebangsa dan setanah air”, walau pada akhirnya istilah
”bangsa” itu masih akan menjadi perdebatan yang Insya Allah akan langgeng sampai
pada akhir jaman.

Menurut pengamatan saya, perdebatan itu lebih banyak muncul justru bukan dari para
pakar namun pada para partisipan dan penyelenggara negara bangsa itu sendiri. Para
pakar senyatanya hanya menyampaikan hasil pengamatan yang mereka lakukan dengan
seobyektif mungkin dan para pakar itu harus dibedakan dengan para ”Ideolog” yang
nyata-nyata telah menempatkan dirinya dengan jelas pada kelompok para partisipan dan
penyelenggara negara bangsa, paling tidak sebagai pemberi dorongan atau bahkan terlibat
sebagai pimpinan penyelenggara negara. Sementara itu, perdebatan yang muncul sudah
bisa diklasifikasikan dengan jelas, yaitu lebih berkutat pada seputar komposisi suatu
bangsa, hingga muaranya pada pertanyaan, ”Siapa yang disebut bangsa itu? ”

1
Disampaikan dalam Seminar bertema “Membina Nasionalisme di Tapal Batas” yang dilaksanakan pada
tanggal 2 Februari 2010 di Universitas Bhayangkara Surabaya
2

Mengapa hal ini perlu saya kedepankan, tidak lain untuk memberikan penekanan dari
awal, mengenai jenis nasionalisme macam apa yang hendak kita bicarakan terkait dengan
pengaruh dan manfaatnya bagi penguatan pertahanan negara Indonesia di sepanjang
daerah tapal batasnya.

Nasionalisme bagi bangsa Indonesia bukanlah barang baru atau sesuatu yang asing sama
sekali. Keberadaannya muncul sebagai suatu kesadaran bersama yang timbul akibat
perasaan disakiti, dilecehkan dan diinjak-injak oleh kaum penjajah. Mungkin akan ada
sejumlah kemiripan dengan sejumlah negara bangsa lain di dunia, namun demikian
nasionalisme Indonesia memiliki sejumlah perbedaan mendasar. Dibandingkan dengan
nasionalisme Jerman Raya ( Das große Deutschland ), misalnya, baik yang dintrodusir
oleh Otto von Bismarck pada tahun 1871 lewat Gerakan Penyatuan Jerman maupun oleh
Hitler pada tahun 1919 melalui ide ”Pemurnian Ruang Hidup bagi etnis Jerman yang
memiliki ras ”Arya”. Apalagi dengan nasionalisme yang diusung oleh Ibnu Saud melalui
gerakan Penyatuan Jazirah Arab.

Bangsa Indonesia yang sejak awal terdiri dari beragam suku bangsa, kebudayaan etnis,
adat, agama dan status daerah swatantra, memiliki beban konsekuensi yang cukup
signifikan dalam menentukan aspirasi kebangsaannya lebih lanjut, yang itu semua akan
bermuara pada jenis komunikasi apa yang paling cocok dilakukan di antara elemen
bangsa hingga sistem hukum apa yang paling cocok diberlakukan dalam negara bangsa
yang akan dibentuk.

Pluralitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia tidak
mungkin hanya menyatukan aspirasi kebangsaannya dalam bentuk negara bangsa yang
berbasis satu kesatuan etnis, terlebih lagi dalam satu ikatan agama.

Poin-poin aspirasi kebangsaan yang mampu dirumuskan dengan jitu oleh para pendiri
negara ( founding fathers ), ternyata lebih berbasis pada adanya kesamaan nasib akibat
penderitaan yang dialami di bawah cengkeraman kaum penjajah serta berlakunya
3

kesamaan nilai-nilai kehidupan yang sudah diterapkan secara turun temurun di seluruh
tataran geografis Nusantara ( istilah geografis bagi wilayah yang kini dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI ).

Rumusan kebangsaan tersebut yang menjadi dasar bagi terbentuknya negara bangsa
Republik Indonesia dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Pancasila ( five principles ).
Kelima sila itu merupakan identitas dari sejumlah suku bangsa yang bernaung dalam
NKRI, yang mana identitas tersebut mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang dianut
oleh semua elemen masyarakat bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang Berke-Tuhanan
Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu dalam ikatan
kebangsaan, berjiwa kerakyatan dengan mendasarkan pada hikmah
kebijaksanaan/perwakilan serta bertujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia.

Dengan demikian, kelima prinsip identitas dan nilai kebangsaan itu menjadi dasar atas
segala bentuk pengelolaan dan perilaku dari para partisipan dan penyelenggara NKRI
dalam menjalani eksistensinya di bumi ini. Inilah nasionalisme Indonesia.

Penerapan Nasionalisme Indonesia dalam Pengelolaan Aset Kewilayahan

Salah satu unsur terbentuknya negara yaitu adanya suatu wilayah tertentu, di mana dari
wilayah tersebut dapat diidentifikasi adanya sejumlah rakyat yang beraspirasi untuk
membentuk suatu negara hingga memilih perwakilannya yang akan membentuk
pemerintahan negara yang berdaulat.

Dalam hubungan internasional, wilayah memiliki arti penting bagi filosofi kedudukan
berkuasa suatu negara, yang mana ”Semua sumber daya yang ada di wilayah tersebut
menjadi kekuasaan dari negara yang menguasainya”. Tentunya ini berkaitan erat dengan
tujuan dan kepentingan suatu negara dari segi kemakmuran internalnya. Sementara dari
segi pertahanan, ”aset wilayah” akan menimbulkan kerumitan tersendiri, terkait dengan
4

tanggung jawab untuk melindungi kedaulatan pemerintah, segenap rakyat dan keutuhan
wilayah.

Kerumitan itulah yang senantiasa dialami oleh Indonesia ( RI ) selaku salah satu negara
kepulauan terbesar di dunia, sejak berdiri pada tahun 1945 hingga sekarang.
Sebagaimana yang dilansir oleh Bappenas dalam RPJM 2004-2009, RI memiliki garis
pantai sekitar 81.900 kilometer, serta memiliki wilayah perbatasan dengan banyak
negara, baik berupa perbatasan darat ( kontinen ) maupun laut ( maritim ). Wilayah Darat
RI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea ( PNG ) dan
Timor Leste, yang mana perbatasan darat ini tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15
kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-
beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi
kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut RI
berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini ( PNG ). Wilayah
perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan
termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara
tetangga yang bahkan dapat condong kepada terjadinya konflik terbuka.

Motif dari sejumlah konflik perbatasan yang pernah dan mungkin terjadi antara RI
dengan sejumlah tetangga dekatnya, dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Konlik yang dipicu oleh faktor ideologi yang berkembang di suatu wilayah.

Bermula dari berkembangnya suatu ideologi tertentu, baik di Indonesia maupun di negara
tetangga yang berbatasan langsung, namun tidak bersifat selaras satu sama lain dan justru
saling bertentangan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya ketegangan yang dapat
berakibat ke arah konflik.
5

Sejumlah contoh populer yang pernah terjadi adalah di masa perang dingin berlangsung,
yaitu ketika ideologi menjadi motif utama konflik dunia, antara Blok Barat
( Liberalis/Kapitalis ) yang dimotori AS dan Inggris melawan Blok Timur
( Komunis/Sosialis ) yang dimotori oleh Uni Soviet dan Cina. Pertama, ketika ideologi
kiri ( baca, komunis ) begitu menguat di Indonesia pada tahun 1950-1960an, maka
semangat anti liberalisme dan kapitalisme yang direpresentasikan melalui kekuatan Barat,
senantiasa menjadi salah satu pola sikap kebijakan luar negeri RI. Ini menjadi salah satu
pendorong timbulnya konflik antara RI dengan Malaysia, yang mana RI menganggap
bahwa pembentukan Malaysia merupakan proyek kolonialisme Inggris di Asia Tenggara
guna mengimbangi pengaruh RI di kawasan tersebut. Oleh karena itu penguasaan
wilayah Malaysia oleh Indonesia menjadi faktor penting bagi terpeliharanya pengaruh
Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Kedua, ketika krisis politik pecah di Portugis pada
tahun 1974, berimbas pada munculnya ketegangan antar kekuatan politik di Negara
Koloni Timor Portugis, maka akhirnya kekuatan komunis di Timor Portugis muncul
sebagai dominator di negara koloni tersebut dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor
Leste. Hal ini menciptakan ketegangan pada sejumlah negara ASEAN yang anti komunis
seperti, RI, Malaysia, Singapura dan Thailand yang kuatir akan meluasnya pengaruh
komunis di kawasan Asia Tenggara. Situasi ini memberikan dorongan bagi RI yang
secara geografis berbatasan langsung dengan Timor Portugis dan dengan didukung oleh
mayoritas negara anti komunis, baik di Barat, maupun di kawasan Asia Tenggara, untuk
mengambil alih kekuasaan dan ketertiban di Koloni Timor Portugis dan menjadikannya
sebagai salah satu wilayah propinsi di Indonesia. Wilayah ini menjadi sangat berarti bagi
RI guna memperkuat penetrasi anti komunis di wilayah RI dan Asia Tenggara.

Di masa kini, saat perang dingin sudah berlalu lama sekali, Filipina masih memiliki
kewaspadaan tersendiri terhadap RI, khususnya terkait dengan masalah di wilayah
propinsi Mindanao, Filipina. Propinsi ini merupakan basis kekuatan Islam Moro yang
secara tradisional sering menyuarakan penentangan terhadap Kekuasaan Pemerintah
Republik Filipina yang didominasi oleh kalangan Katholik Roma. Wilayah Mindanao
sangat berdekatan dengan RI, sementara penduduk di wilayah tersebut, banyak yang
masih memiliki garis kekerabatan dengan penduduk RI yang berasal dari Sangir dan
6

Talaud. Selain itu RI adalah negara dengan populasi beragama Islam terbesar di dunia
yang dianggap oleh Filipina merupakan faktor yang harus diwaspadai, terutama pada saat
dunia digegerkan oleh gerakan teror dari para ekstrimis bersenjata yang menyatakan diri
sebagai seolah-olah ”gerakan umat Islam” melalui bendera Jama’ah Islamiyah atau Al
Qaeda. Dengan alasan solidaritas Islam, pemerintah Filipina cukup kuatir, apabila suatu
saat akan muncul alasan yang dapat dianggap cukup kuat memberi dorongan bagi RI
untuk menganeksasi wilayah Mindanao sebagai wilayah RI. Pada akhirnya Islam
senantiasa dianggap merupakan ”Topik Ideologi” penting dan relevan bagi pemerintah
Filipina dalam menyikapi posisi RI pada masalah perbatasan di kedua negara.

2. Konlik yang dipicu oleh faktor penentuan batas terluar dari yurisdiksi negara.

Keadaan semula adalah merupakan sesuatu yang wajar sehubungan dengan banyaknya
negara yang baru merdeka pasca perang dunia II di kawasan Asia Tenggara, di mana
negara-negara tersebut tadinya merupakan wilayah koloni negara-negara Barat yang
terlibat dalam perang serta memiliki sistem penerapan tersendiri terhadap yurisdiksinya.
Semenjak merdeka, negara-negara tersebut menghadapi masalah penentuan hukum baru
atas yurisdiksinya yang bisa lebih kecil atau bisa lebih luas ukuran geografisnya.

Ini tidak lepas dari sejumlah dampak yang timbul akibat perebutan wilayah kekuasaan
dan penerapan konsesi terhadap negara-negara koloni yang terpukul oleh, baik kekuatan
Axis selama perang dunia, maupun oleh kekuatan perjuangan kemerdekaan pasca perang
dunia. Hingga pada akhirnya, negara-negara yang baru merdeka itu harus menerima
warisan krisis yurisdiksi negara pendahulunya ( predecessor states ) serta harus saling
melakukan beberapa negosiasi dan perundingan baru di antara mereka sendiri, yang
sama-sama baru merdeka.

Semenjak berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut


Internasional pada tahun 1982, agenda negara-negara pantai harus ditambah dengan
upaya penyelesaian masalah batas wilayah laut yang harus menyesuaikan dengan
7

ketentuan yang tidak hanya mengatur mengenai batas laut territorial, namun juga
ketentuan zona ekonomi eksklusif ( ZEE ) yang berkaitan dengan hak pengelolaan khusus
terhadap potensi ekonomi laut yang berada di seputar wilayah teritorialnya.
Saat ini, Indonesia memiliki sejumlah persoalan perbatasan darat maupun laut territorial
dengan tetangganya, sebut saja yang terkemuka adalah persoalan batas laut territorial
dengan Timor Leste, terkait dengan kedudukan atas sebuah pulau yang tidak berpenghuni
tetap, yaitu Pulau Batek/Fatu Sinai di sebelah Utara dan secara berbarengan menghadapi
Australia yang juga mengajukan klaim atas pulau ini di sebelah Selatan. Pasca kekalahan
atas Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan Ligitan di Mahkamah Internasional pada
tahun 2002, berdampak pada konflik dengan Malaysia menyangkut posisi Karang
Unarang ( Unarang Rock ) yang juga menjadi titik untuk mengukur batas terluar wilayah
laut territorial dan ZEE Indonesia dan Malaysia, di mana pada area ini yang sering
disebut sebagai Ambang Batas Laut ( AMBALAT ), terdapat Blok Minyak Bumi yang
posisinya juga berdekatan dengan Laut Makasar. Indonesia dan Singapura juga masih
bersitegang tentang penentuan batas laut teritorial di kawasan Utara Pulau Batam dan
masih banyak lagi sederet kasus sengketa perbatasan darat dan kelautan yang lainnya.

3. Konflik yang dipicu faktor SARA.

Adanya ikatan etnis yang lebih kuat dari masyarakat di negara tetangga kita dan seputar
wilayah negara tetangga kita terhadap masyarakat di salah satu wilayah negara kita yang
berdekatan ternyata dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pola
hubungan yang berlangsung di wilayah tersebut.

Contoh popular dari bentuk konflik ini, adalah di wilayah Papua yang rawan untuk
dipengaruhi oleh Spirit Melanisianisme yang sering muncul di Kawasan Pasifik Barat.
Gerakan Ras Melanisia yang sering digaungkan dari Fiji, Samoa dan Papua New Guinea,
merupakan bahaya laten bagi negara kita yang dapat berpotensi untuk terus mendorong
semangat disintegrasi dengan saudara-saudara kita di Papua.
8

Walau para pendukung gerakan ini adalah negara-negara di Kawasan Pasifik Barat yang
rata-rata lemah dalam perekonomian dan pengelolaan sumber dayanya, namun politik ini
bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga, baik berupa negara, badan internasional maupun
individu yang ingin memancing di air keruh. Mereka justru membutuhkan adanya bahan
dasar konflik yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk menjalankan kepentingan mereka
di Pasifik Barat dan Asia Tenggara.

4. Konflik yang dipicu oleh faktor ketidakseimbangan dalam penguasaan teknologi


dan penataan kesejahteraan.

Seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu-isu pengelolaan wilayah


perbatasan negara telah menjadi problem multilateral dan bahkan internasional, dimana
kemajuan tekonologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang lintas
negara memunculkan beragam persoalan terkait perbatasan suatu negara atau aktivitas
lintas batas negara.

Sebagai contoh, saat penulis bertugas di Satgas Sebatik, Kalimantan Timur.


Pesawat telepon selular anggota satgas yang tadinya masih menggunakan operator selular
Indonesia, tanpa harus dalam keadaan non aktif bahkan tanpa konfirmasi, langsung
beralih menjadi jangkauan area ( coverage ) operator selular ”Maxis” atau ”Celcom”
milik Malaysia. Begitu masuk dalam coverage mereka, maka pesawat selular kita tidak
dapat lagi menerima layanan melalui operator selular Indonesia, baik berupa sambungan
telepon maupun layanan pesan singkat ( short message service/SMS ). Perangkat selular
anggota satgas juga langsung menerima beragam informasi melalui layanan pesan
singkat, dengan diawali sapaan "Welcome to Malaysia" atau tawaran-tawaran jasa lainnya
seperti layanan taxi dan hotel tanpa terkendali.

Kita sering tidak menyadari bahwa kemudahan penguasaan saham suatu perusahaan
nasional melalui pasar modal internasional ”international stock market” menimbulkan
konsekuensi adanya kemampuan pelaku ekonomi dari negara lain mengatur pembagian
9

tugas dan tanggung jawab pengelolaan wilayah korporasi yang notabenenya di lapangan
adalah wilayah suatu negara.

Ambil contoh, setahu kita P.T. Excelcomindo Pratama adalah perusahaan penyedia
jasa layanan cellular nasional. Namun sahamnya juga dikuasai oleh Cellcom Malaysia.
Dalam kebijakan korporasi internasional mereka, ditentukan bahwa semua akses
pengelolaan layanan di wilayah Kalimantan Timur merupakan kewenangan Cellcom dan
bukan Excelcomindo Pratama. Konsekuensi dari pembagian kewenangan korporasi ini
ternyata berdampak pada penguasaan Malaysia tidak secara fisik terhadap Indonesia,
namun dari segi pengelolaan sumber daya layanan konsumen. Dengan demikian
Malaysia tidak perlu hadir secara fisik di Indonesia, tapi mereka sudah unggul dalam
menguasai akses layanan komunikasi publik melalui peran korporasi swastanya.

Konflik semacam ini yang tidak mudah dihadapi, karena medannya bersifat kasat
mata dan tanpa batas.

Seluruh potensi konflik perbatasan itu sangat berhubungan erat dengan identitas
kebangsaan Indonesia dan dapat mengancam eksistensi NKRI di kawasan Asia Tenggara
dan dunia. Sejumlah kepentingan nasional menjadi terlibat dalam pertaruhan ini dan
dapat berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap upaya pencapaian
tujuan nasional RI. Sementara itu kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan, pada
penerapannya di lapangan, masih menggunakan pendekatan yang keliru dan jauh dari
panggang.

Secara umum, pemerintah RI pada dasarnya mulai mengubah cara pandang terhadap
upaya pengelolaan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan, namun
demikian masih banyak para oknum pelaksana kebijakan, baik di tingkat departemen
maupun daerah masih belum dapat mensinkronkan kebijakan tersebut dalam
penerapannya di lapangan.
10

Dari segi komunikasi, misalnya pemerintah RI masih belum terlalu berdaya untuk
mengubah pola pikir para pejabat, pegawai dan masyarakat tentang citra daerah
perbatasan yang dianggap masih merupakan suatu wilayah yang sangat terpencil dan jauh
dari sejahtera. Kebiasaan buruk yang masih berlaku adalah adanya pola pikir ketakutan di
antara para pejabat dan pegawai untuk ditugaskan di tempat-tempat yang dianggap
terpencil dan jauh dari sejahtera ini. Sementara masyarakat yang lainpun jadi ikut
terbentuk pola pikirnya akibat teladan yang diberikan oleh para oknum pegawai dan
pejabat semacam ini, yang jumlahnya ternyata mayoritas. Pada akhirnya dukungan bagi
pelaksanaan penugasan pemerintah di wilayah-wilayah semacam ini tidak lebih dianggap
sebagai suatu ”tour of duty” yang tidak bisa ditinggalkan dan lebih bersifat rutinitas saja.
Para pelaksana tugas itu terpaksa melakukan tugasnya, bersikap setengah hati dan
berharap segera dapat berpindah dari wilayah tugasnya, tanpa pernah berpikir upaya-
upaya kreatif untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi kemajuan di wilayah tugasnya.
Pola pikir semacam ini yang paling berpengaruh besar bagi upaya pembinaan
nasionalisme di wilayah tapal batas.

Upaya pembinaan nasionalisme di tapal batas pada praktiknya lebih banyak dilakukan
dalam bentuk indoktrinasi dan pembangunan jargon. Konsumen terbesarnya adalah
masyarakat di wilayah perbatasan, yang senantiasa dianggap belum pintar atau lebih
buruk lagi dianggap tidak memiliki nasionalisme cukup untuk mempertahankan diri
terhadap pengaruh wilayah negara tetangga yang lebih maju taraf kehidupannya, atau
pengaruh negara tetangga yang memiliki kedekatan ikatan ras lebih dalam.
Krisis identitas kebangsaan di tapal batas memang sangat rawan, namun ini bukan
disebabkan warga negara kita yang ada di wilayah itu tidak punya harga diri dan jiwa
nasionalisme yang kuat. Semua itu tidak terlepas dari pelaksanaan pendekatan
kesejahteraan yang tidak akurat. Perbatasan sering dianggap sebagai the other frontiers
yang jauh dari sejahtera dan terpencil, hingga dampaknya pemenuhan kebutuhan
masyarakat perbatasan terabaikan. Sebut saja minimnya ketersediaan infrastruktur,
pasokan barang konsumsi, layanan kesehatan dan pendidikan. Ini sangat berpengaruh
terhadap identitas kebangsaan Indonesia di wilayah-wilayah tersebut.
11

Contoh yang terjadi pulau Sebatik yang berbatasan dengan negara bagian Sabah,
Malaysia dapat menggambarkan situasi itu. Keterbatasan infrastruktur pendukung
kehidupan masyarakat di Pulau Sebatik ikut memperkuat berlangsungnya krisis tersebut,
semacam yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pasokan listrik, air bersih,
transportasi, serta sarana informasi dan komunikasi. Kekurangan ini membuat
masyarakat Pulau Sebatik tidak terlalu banyak ”berteriak-teriak” kepada Pemerintah
Pusat di Jakarta, atau paling tidak pada Pemerintah Kabupaten Nunukan di Provinsi
Kalimantan Timur. Namun mereka berusaha bertahan hidup menggunakan cara yang
paling alami sebagai manusia, yaitu menjalin hubungan sebaik mungkin dengan
masyarakat di wilayah yang kehidupannya relatif lebih baik, yaitu Tawao, yang notabene
merupakan wilayah Sabah, Malaysia bagian Timur.

Secara geografis, Pulau Sebatik memang lebih dekat ke Tawao. Perjalanan ke Tawao
hanya membutuhkan waktu ± 15 menit menggunakan speed boat berdaya 60 PK., dengan
biaya yang dikeluarkan hanya mencapai RM 15 ( lima belas ringgit ), kira-kira jika
dikurskan dengan Rupiah, di mana saat satgas sedang berada di sana, nilai 1 ringgit sama
dengan tiga ribu rupiah, maka jumlahnya setara dengan Rp. 45.000,- ( empat puluh lima
ribu rupiah ). Sementara itu, menyeberang ke Pulau Nunukan membutuhkan waktu ± 1,5
jam dengan biaya yang bisa mencapai lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah ).

Dari segi pertahanan perbatasan, pemerintah RI pada tataran pelaksanaan di lapangan,


juga masih terjebak pada upaya penjagaan militer konvensional, yang direpresentasikan
melalui penempatan kekuatan pasukan dan peralatan tempur semata. Masih belum
nampak upaya yang lebih nyata untuk melakukan upaya pendekatan pertahanan non
militer yang melibatkan potensi kemampuan dan profesi warga negara di luar militer
guna dimobilisasi untuk melakukan berbagai upaya kreatif yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan serta sekaligus
memberdayakan potensi ekonomi yang ada di sana. Padahal kebijakan pertahanan RI
sejak reformasi, sudah meletakkan pola pendekatan yang lebih baik dalam membangun
pertahanan negara, yaitu melalui pendekatan kesejahteraan dan pendekatan pertahanan itu
sendiri. Kebijakan ini sebenarnya sangat baik, karena dalam teorinya, apabila masyarakat
12

sejahtera maka otomatis pertahanan tidak lagi menjadi sekedar hak dan kewajiban,
namun lebih merupakan suatu kebutuhan. Seseorang atau badan yang mulai merasakan
kesejahteraan, walau itu kecil saja, umumnya akan mulai merasa membutuhkan akses
keselamatan dan pertahanan terhadap diri dan keberadaannya.

Kita tidak usah membayangkan atau mengharap akan berhadapan dengan kekuatan
bersenjata Malaysia di Ambalat, atau Singapura di Batam atau Australia di perairan
Banten. Pada kenyataannya produksi film kartun ”Upin dan Ipin” dari Malaysia sudah
merajai dan merasuk di benak anak-anak kita, karena teknik pembuatan yang sempurna
dan jalan cerita yang sederhana dan dapat diterima dengan cepat dalam logika berpikir
anak-anak kita membuatnya memiliki daya tarik tersendiri dan cepat populer.
Dampaknya orang akan berpikir bahwa Malaysia adalah representasi Indonesia, bahkan
lebih hebat lagi pesan ”Malaysia, The Truly Asia” masuk di Upin dan Ipin yang mampu
menghadirkan para tokoh multi etnis atau ”Tele Tubbies” yang diproduksi Inggris dan
disalurkan secara massif oleh Singapura serta memiliki kemampuan yang sama dengan
Upin dan Ipin dalam merasuki pikiran anak-anak kita, sehingga sejumlah konten dan
pesan informasi tentang kesamaan gender tanpa batas, persamaan hak hidup kaum gay
( homoseksual ), dan semangat kebebasan yang disampaikan melalui simbol-simbol
menarik dari para Tubbies mampu disampaikan dengan jelas, tenang dan tanpa gejolak
pada anak-anak kita di usia dini. Masih banyak lagi keunggulan negara-negara tetangga
kita yang berbatasan langsung dalam mengeksploitasi keunggulan non militernya untuk
menghancurkan mental dan budaya bangsa kita.

Harapan Nyata yang Bisa Dilakukan

Sudah waktunya kita mulai berpikir dan bertindak strategis mulai dari hal yang kecil
untuk mewujudkan Indonesia yang lebih peduli dan adil bagi masyarakatnya sendiri di
tapal batas.
13

Kegiatan yang digalang dan dilaksanakan oleh Menwa dan Alumni Menwa Mahasurya
dalam misi di Pulau Sebatik dapat menjadi contoh. Misi tersebut adalah memberikan
dukungan bagi penguatan proses belajar mengajar bagi anak-anak TKI di Malaysia, yang
tidak dapat lagi bersekolah setingkat SMP di Malaysia, karena tidak ingin mengubah
kewarganegaran Indonesia menjadi Malaysia. Penguatan yang diberikan adalah dalam
bentuk matrikulasi terhadap kemampuan baca, tulis, hitung agar memiliki standar yang
sama dengan sekolah-sekolah di wilayah Malaysia yang sudah berstandar Internasional.
Kegiatan ini bekerja sama dengan SMP berbasis Pesantren Mutiara Bangsa, yang
kebanyakan siswanya memang merupakan anak-anak TKI kita, alumnus sekolah dasar di
Malaysia, yang tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan di sana
karena tidak mau mengganti kewarganegaraan.

Kegiatan yang dilakukan oleh menwa dan alumni menwa tadi memang bersifat sukarela
( voluntary ) pada awalnya, karena tidak ada dukungan dana dari pemerintah. Namun dari
hasil yang telah dicapai, diharapkan dapat menarik minat dan perhatian pemerintah untuk
mulai menjadikan menwa dan alumni menwa sebagai agen pemberdayaan masyarakat di
wilayah perbatasan.

Hal yang sama bisa dilakukan oleh para mahasiswa secara umum, untuk mulai
menggalang aktifitas sejenis namun dengan obyek garap yang berbeda terhadap berbagai
aspek di seluruh sektor kehidupan masyarakat . Penggalangan ini dapat dirupakan dalam
bentuk ”Aliansi Strategis Pro Kemajuan” antara mahasiswa dan pemuda untuk menjadi
agen pemberdayaan bagi kehidupan masyarakat di perbatasan melalui kerja sama dengan
badan-badan pemerintahan tingkat departemen maupun lintas pemerintahan daerah,
bahkan dengan sektor usaha melalui alokasi dana Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan
( Corporate Social Responsibility /CSR ).

Sudah saatnya, para generasi muda terpelajar kita segera melakukan apa yang terbaik bisa
diberikan bagi kemajuan negara dan bangsa, tanpa menunggu perhatian negara.
Perbatasan menjadi lahan garap generasi muda serta tidak boleh lagi dicitrakan sebagai
14

wilayah terpencil dan jauh dari sejahtera. Namun demikian, pemberdayaan di perbatasan
harus tetap mengacu pada karakteristik daerah dan berbasis kearifan lokal.

Anda mungkin juga menyukai