Anda di halaman 1dari 3

Politisi di Negeri Kleptokrasi *

Zaki Nabiha **

Hari rabu pukul dua pagi tanggal 9 April 2008 di hotel Ritz Carlton politisi asal
Jambi diciduk sang “pemburu korupsi”. Al Amin Nasution namanya. Suami penyanyi
dangdut ternama, Kristina. Rekan-rekan sejawat dibuat terkaget-kaget. “Orangnya sopan
namun tidak dominan di tengah Komisi IV DPR”, testimoni Ishartanto (Ketua Komisi
IV DPR-RI) mengenai sosok Al Amin yang ditangkap dengan dugaan menerima suap
terkait alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, Kepri. (detik.com 10/04/2008). Beliau
ditangkap bersama Azirwan (Sekda Kabupaten Bintan) dan seorang perempuan.
Terlepas dari benar atau tidaknya Al Amin menerima suap. Peristiwa rabu dini hari di
Ritz Carlton Hotel semakin menambah volume nada minor tentang perilaku warga
senayan. Dari sayup-sayup menjadi terdengar jelas.

Perilaku suap dan korupsi jamak ditemukan di negara-negara berkembang


termasuk di negeri ini, dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja. Dari mulai yang
recehan sampai yang triliyunan. Karena korupsi yang begitu membiak di Indonesia
maka tak heran Indonesia disebuat sebagai negara “kleptokrasi”. Kleptokrasi berasal
dari bahasa Latin, kleptein dan cracy, yang berarti mencuri atau mengambil paksa
sesuatu yang bukan menjadi hak (merampok/mencuri). Amich Alhumami (2005)
menegaskan, dalam negara kleptokrasi terdapat empat aktor kunci yang menyuburkan
persekongkolan dan korupsi, yaitu pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen
(demi perlindungan politik) dan sektor swasta atau pelaku bisnis. Relasi kuasa di antara
keempat aktor tersebut menggunakan patron-client relationships dengan komitmen:
memberi keuntungan mutualistik.

Harus diakui bahwa iklim politik kita masih kental dengan nuansa economic
market activity. Dalam sebuah disertasinya, Akbar tanjung menyentil para politisi
dengan mengatakan para elit politik terlalu berorientasi pada kekuasaan. Maka
mengelindinglah polemik tentang politik saudagar (pengusaha) atau saudagar yang

1
berpolitik demi ambisi kekuasaan. Bukan rahasia umum bahwasannya uang (kekuatan
modal) masih menjadi kebutuhan dan simbol kekuasaan. Tidak mungkin partai politik
berjalan tanpa dukungan keuangan yang kuat. Arena politk baru yang dalam wujud
’pasar’ telah terbentuk yang daya penetrasinya telah memasuki wilayah politik dan para
elit. Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana
pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Ketika sikap pragmatisme para
politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia
politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
Faktor determinan perilaku korup sebenarnya tidak berakar pada harta dan uang,
tetapi pada pikiran dan kecintaan pada harta dan uang itu sendiri. "Dijadikan indah pada
pandangan wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia;
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”(QS. 3:14). Korupsi adalah sikap
penolakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan menegakkan hukum adalah bentuk
perlawanan terhadap tindak perilaku korupsi. Namun para the have apakah itu politisi,
pejabat dan konglomerat punya segalanya. Mereka selalu punya jalan tikus dari jerat
korupsi. Mereka isi celah-celah kosong dalam hukum sambil mengupayakan
pembenaran diri, psikolog menyebutnya sebagai rasionlaisasi dan kaum awam
menyebutnya pemutarbalikan fakta. Dalam hal ini Juergen Habermas pernah
menyatakan, die Normativitaet des Faktischen. Dalam kehidupan politisi sering
melahirkan kecenderungan membolak-balik fakta dan norma. Terdapat kecenderungan
agar suatu kenyataan faktual bisa membenarkan dirinya secara normatif, dan bukannya
benar dalam pengertian norma-norma yang berlaku

Para politisi dalam agenda-agenda politiknya seyogyanya menjalankan


apa yang dinamakan, meminjam istilah Amien Rais, high politic (politik kualitas-tinggi).
Politik kualitas-tinggi yaitu politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran
para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah manifestasi dari amanah
masyarakat yang membutuhkan accountability (pertanggugjawaban) dan diorientasikan
untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan.

2
Ditengah maraknya anomali perilaku para politisi, partai politik dan badan
legislatif semestinya memfungsikan dirinya sebagai arena perjuangan kepentingan
rakyat. Oleh karena itu partai politik sebagai lembaga yang memproduksi para elite di
negeri ini selayaknya berada di barisan terdepan dalam pemberantasan korupsi. Bukan
sebagai sarang koruptor. Karena hasil catatan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas
Gajah Mada sepanjang tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 143 kasus korupsi, 69
orang pelaku utamanya adalah kepala daerah, baik yang masih berstatus saksi,
tersangka, terdakwa, ataupun terdakwa. Sementara itu pejabat daerah dengan jumlah 31
orang dan anggota DPRD 27 orang. Melihat fakta diatas timbul pertanyaan, apakah
memang apa yang dinamakan ”berhala modern” dalam wujud Tahta, Harta, dan Wanita
sekarang sudah menjadi sesembahan mereka.? " Akan datang suatu zaman kepada
umatku. Di mana semangat hidup mereka adalah perut-perut mereka, kiblat hidup
mereka adalah para wanita mereka, kemuliaan hidup adalah harta-harta mereka,
agama mereka adalah dinar dan dirham. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi
Allah SWT. (HR:Nasai)

* Tulisan ini dimuat di Radar Banten Tanggal 14 April 2008


**Aktivis Kelompok Studi Komunitas Jambualas (KoJA)

Anda mungkin juga menyukai