Anda di halaman 1dari 9

Menyambut Tahun Baru 1432 H

 
Besok kita akan memasuki tanggal 1 Muharram 1432 H. Seperti kita ketahui bahwa perhitungan
awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan
Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak
di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah
dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
 
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
 
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan
salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala
berikut.
 
‫ك الدِّينُ ْالقَيِّ ُم‬ َ ِ‫ض ِم ْنهَا أَرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم َذل‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ ِ ‫ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا‬
َ َ‫ب هَّللا ِ يَوْ َم خَ ل‬ ِ ‫إِ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬
‫َظلِ ُموا فِي ِه َّن أَ ْنفُ َس ُك ْم‬ْ ‫فَاَل ت‬
 
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
 
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi,
penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan
matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari
situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun
menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
 
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
 
ٌ َ‫ ثَالَثَةٌ ُمتَ َوالِي‬، ‫ ِم ْنهَا أَرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم‬، ‫ ال َّسنَةُ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا‬، ‫ض‬
‫ات‬ َ ْ‫ت َواألَر‬ َ َ‫ال َّز َمانُ قَ ِد ا ْستَدَا َر َكهَ ْيئَتِ ِه يَوْ َم خَ ل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬
َّ
َ‫ض َر ال ِذى بَ ْينَ ُج َمادَى َو َش ْعبَان‬ ْ ْ ُ ْ ُ
َ ‫ َو َر َجبُ ُم‬، ‫ذو القَ ْع َد ِة َوذو ال ِح َّج ِة َوال ُم َح َّر ُم‬
 
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya
berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab
Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
 
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan
(4) Rajab.  Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.
 
Di Balik Bulan Haram
 
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah
mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
 
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun
meyakini demikian.
 
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan
daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu
sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
 
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai
para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan,
”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
 
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram,
dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar,
dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
 
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
 
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
 
ِ ‫صالَةُ اللَّي‬
‫ْل‬ َ ‫صالَ ِة بَ ْع َد ْالفَ ِري‬
َ ‫ض ِة‬ َ ‫ضانَ َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوأَ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫أَ ْف‬
َ ‫ض ُل الصِّ يَ ِام بَ ْع َد َر َم‬
 
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah)
yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.”[5]
 
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan
disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah
Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
 
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau
rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana
pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut
Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini
menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang
menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya
masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan
disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah
bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan,
maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada
hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram
memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan
pembuka tahun.”[7]
 
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan
Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
 
Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan
pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan
pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya
bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain
pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
 
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa
bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
 
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
 
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah
dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka
mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi
dengan perayaan atau pun amalan?
 
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi
dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru
Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama
Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
 
‫لَوْ َكانَ خَيرْ اً لَ َسبَقُوْ نَا ِإلَ ْي ِه‬
 
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita
melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera
melakukannya.[10]
 
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun
baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam
menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali
tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
 
Amalan Syar’iyah di Bulan Muharam
 
Sebagai seorang muslim kita perlu untuk sejenak menghayati beberapa hal yang terkait dengan
penanggalan Islam ini. Beberapa hal yang seyogyanya kita jadikan renungan itu adalah :
 
1. Bersyukur atas Karunia Ni’mat Alloh SWT
 
Umur adalah nikmat yang diberikan Alloh pada kita, dan jarang kita syukuri. Betapa banyak
orang yang kita kenal, baik teman, sahabat, keluarga, guru, atau siapa pun yang kita kenal, tahun
lalu masih hidup bersama kita. Bergurau, berkomunikasi, mengajar, menasehati atau melakukan
aktifitas hidup sehari-hari, namun tahun ini dia telah tiada. Dia telah wafat, menghadap Alloh
Suhanahu wa ta’ala dengan membawa amal shalehnya dan mempertanggungjawabkan
kesalahannya. Sementara kita saat ini masih diberi Alloh kesempatan untuk bertaubat,
memperbaiki kesalahan yang kita perbuat, menambah amal shaleh sebagai bekal menghadap
Alloh. Umur yang kita hitung pada diri kita seringkali kita tetapkan berdasarkan hitungan
kalender Masehi. Dan hitungan atau jumlah usia kita tentu akan lebih sedikit bila dibandingkan
dengan hitungan yang mengacu pada kalender hijriyah. Sementara, lepas dari masalah ajal yang
akan datang menjemput sewakatu-waktu, terkadang kita menganggap usia kita yang dibanding
Rasulullah saw. yang wafat pada usia 63 tahun, kita merasa masih jauh dari angka itu. Padahal
bisa jadi hitungan umur kita telah lebih banyak dari yang kita tetapkan. Karena itu sangat tidak
layak apabila seseorang yang masih diberi kesehatan, kelapangan rizki dan kesempatan untuk
beramal lalai bersyukur pada Alloh dengan mengabaikan perintah-perintahNya serta sering
melanggar larangan-laranganNya.
 
2. Muhasabah (introspeksi diri) dan istighfar.
 
Ini adalah hal yang penting dilakukan setiap muslim. Karena sebuah kepastian bahwa waktu
yang telah berlalu tidak mungkin akan kembali lagi, sementara disadari atau tidak kematian akan
datang sewaktu-waktu dan yang bermanfaat saat itu hanyalah amal shaleh. Apa yang sudah
dilakukan sebagai bentuk amal shaleh? Sudahkah tilawah al-Qur’an, sedekah dan dzikir kita
menghapuskan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan? Malam-malam yang kita lewati, lebih
sering kita gunakan untuk sujud kepada Allah, meneteskan air mata keinsyafan ataukah lebih
banyak untuk begadang menikmati tayangan-tayangan sinetron, film dan sebagainya dari
televisi? Langkah-langkah kaki kita, kemana kita gunakan? Dan sebagainya. Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini selayaknya menemani hati dan pikiran seorang muslim yang beriman
pada Alloh dan Hari Akhir, lebih-lebih dalam suasana pergantian tahun seperti sekarang ini.
Pergantian tahun bukan sekedar pergantian kalender di rumah kita, namun peringatan bagi kita
apa yang sudah kita lakukan tahun lalu, dan apa yang akan kita perbuat esok. Alloh berfirman : ((
‫ )) يا أيها الذين آمنوا اتقوا هللا ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا هللا إن هللا خبير بما تعملون‬Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Alloh, Sesungguhnya Alloh
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18).
 
Ayat ini memperingatkan kita untuk mengevaluasi perbuatan yang telah kita lakukan pada masa
lalu agar meningkat di masa datang yang pada akhirnya menjadi bekal kita pada hari kiamat
kelak.  Rasulullah saw bersabda : "Orang yang cerdas adalah orang yang menghitung-hitung
amal baik (dan selalu merasa kurang) dan beramal shaleh sebagai persiapan menghadapi
kematian". Dalam sebuah atsar yang cukup mashur dari Umar bin Khaththab ra beliau berkata :
"Hitunglah amal kalian, sebelum dihitung oleh Alloh"
 
3. Menghayati Makna Hijrah Rasulullah saw
 
Sebenarnya dalam kitab Tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah
dari Mekah ke Madinah adalah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan
Rabiul Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sedangkan penetapan Bulan Muharram sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyah adalah hasil
musyawarah pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra tatkala mencanangkan penanggalan
Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan Rabiul Awal sebagai l bulan ada pula yang
mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan
Muharram, dengan pertimbangan pada bulan ini telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk
hijrah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah, dimana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap
membela dan melindungi Rasulullah SAW, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya
bai'at ini Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan
Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Qurais senantiasa mengintai beliau.  Peristiwa
hijrah ini seyogyanya kita ambil sebagai sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan kita.
Betapapun berat menegakkan agama Alloh, tetapi seorang muslim tidak layak untuk
mengundurkan diri untuk berperan didalamnya. Rasulullah SAW, akan keluar dari rumah sudah
ditunggu orang-orang yang ingin membunuhnya. Begitu selesai melewati mereka, dan harus
bersembunyi dahulu di sebuah goa,masih juga dikejar, namun mereka tidak berhasil dan beliau
dapat meneruskan perjalanan. Namun pengejaran tetap dilakukan, tetapi Alloh menyelamatkan
beliau yang ditemani Abu Bakar hingga sampai di Madinah dengan selamat. Alloh menolong
hamba yang menolong agamaNya. Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang
pasir nan tandus dan gersang beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah
pengorbanan. Namun dibalik kesulitan ada kemudahan. Begitu tiba di Madinah, dimulailah
babak baru perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lakukan. Menyampaikan
wahyu Alloh, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus
menghadapi musuh yang tidak ingin hadirnya agama baru. Tak jarang beliau turut serta ke
medan perang untuk menyabung nyawa demi tegaknya agama Alloh, hingga Islam tegak sebagai
agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat
untuk agama kita?
 
4. Menjadikan Kalender Hijriyah sebagai Kalender Ibadah
 
Barangkali kita tidak memperhatikan bahwa ibadah yang kita lakukan seringkali berkait erat
dengan penanggalan Hijriyah. Akan tetapi hari yang istimewa bagi kebanyakan dari kita bukan
hari Jum’at, melainkan hari Minggu. Karena kalender yang kita pakai adalah Kalender Masehi.
Dan sekedar mengingatkan, hari Minggu adalah hari ibadah orang-orang Nasrani. Sementara
Rasulullah saw menyatakan bahwa hari jum’at adalah sayyidul ayyam (hari yang utama diantara
hari yang lain). Demikian pula penetapan hari raya kita, baik Idul Adha maupun Idul Fitri pun
mengacu pada hitungan kalender Hijriyah. Wukuf di Arafah yang merupakan satu rukun dalam
ibadah haji, waktunya pun berpijak pada kalender hijriah. Begitu pula awal Puasa Ramadhan,
puasa ayyamul Bidh ( tanggal 13, 14,15 tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada Penanggalan
Hijriah. Untuk itu seyogyanya bagi setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada Kalender
Islam ini.
 
Di bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu
pada tanggal sepuluh bulan ini. Asyuro berasal dari kata Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari
Asyuro ini, terdapat sebuah sunah yang diajarkan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk
melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Alloh Ta’ala. Yaitu ibadah puasa,
pada tanggal ke sembilan dan ke sepuluh.
 
Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah saw, bersabda : “ Aku berharap pada Alloh
dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim) 2. Ibnu Abbas ra berkata : "Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw, berupaya keras
untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan
bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim) 3. Ibnu Abbas ra berkata : Ketika Rasulullah saw.
tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari‚ Asyura, maka Beliau
bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab :“ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini
Alloh menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.
Rasulullah pun bersabda :  "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ Maka beliau
nerpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan Muslim) 4.Dalam
riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari asyura dan
memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini
adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun
depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (tanggal
sembilan).“ (H.R. Bukhari dan Muslim) Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Khuzaimah
dalam shahihnya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw. bersabda :
"Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah
sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ Selain hadis-hadis yang menyebutkan tentang puasa
di bulan ini, tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan Rasulullah untuk dikerjakan di bulan
Muharram ini.
 
Amalan Munkar/Sesat dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
 
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
 
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar
lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan
do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
 
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu
sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan
Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]
 
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun
 
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun
Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan
adalah berikut ini.
 
ُ‫ َوا ْفتَتَ َح ال َّسنَةُ ال ُم ْستَ ْقبِلَة‬، ‫صوْ ٍم‬ ِ ‫ َوأَ َّو ِل يَوْ ٍم ِمنَ ال ُم َحر َِّم فَقَ ْد خَ تَ َم ال َّسنَةَ ال َم‬، ‫الح َّج ِة‬
َ ِ‫اضيَةَ ب‬ ِ ‫آخ َر يَوْ ٍم ِم ْن ِذي‬ َ ‫َم ْن‬
ِ ‫صا َم‬
ً‫ َج َع َل هللاُ لَهُ َكفَا َرةٌ خَ ْم ِس ْينَ َسنَة‬، ‫صوْ ٍم‬ َ ِ‫ب‬
 
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal
dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa
dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta'ala menjadikan
kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
 
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –
Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang
pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang
meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
 
Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits
yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan
puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
 
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
 
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, menyelenggarakan dan menyaksikan
pertunjukan wayang semalam suntuk, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat
tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah,
menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para
ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi
tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas
telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
 
‫َم ْن تَ َشبَّهَ بِقَوْ ٍم فَهُ َو ِم ْنهُ ْم‬
 
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
 
Amalan keempat Memperingati Terbunuhnya Cucu Nabi Husain bin Ali radliallahu
‘anhuma
 
Pada tanggal 10 Muharram 61H, terjadilah peristiwa yang memilukan dalam sejarah Islam, yaitu
terbunuhnya Husein bin Ali radliallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah SAW di sebuah tempat yang
bernama Karbala. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan
tersebut dilakukan oleh pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki pembunuhan
tersebut. Peristiwa tersebut memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang
mengenang atau membaca kisahnya, apalagi terhadap orang yang dicintai Rasulullah ?, dan kita
tentu mencintai dan memuliakannya. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita
sangat mencintai keluarga Rasulullah ?, hal itu jangan sampai membawa kita larut dalam
kesedihan dan melakukan kegiatan- kegiatan sebagai bentuk duka dengan memukul-mukul diri,
menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah? yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga
dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok syi'ah yang mengaku
memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), padahal
kenyataanya tidak demikian (mereka justru diperangi di masa kekhalifahan Ali radliallahu ‘anhu
karena mereka menuhankan beliau).
 
Penutup
 
Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya.
Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula
kematian.
 
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun
semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
ٍ ‫َما لِى َو َما لِل ُّد ْنيَا َما أَنَا فِى ال ُّد ْنيَا إِالَّ َك َرا ِك‬
‫ب ا ْستَظَ َّل تَحْ تَ َش َج َر ٍة ثُ َّم َرا َح َوتَ َر َكهَا‬
 
“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di
dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu
meninggalkannya.”[14]
 
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa
hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
 
Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST
 
Artikel http://rumaysho.com
 
Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.
 
 
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As  Sawas,
Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.
 
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
 
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
 
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
 
[5] HR. Muslim no. 2812
 
[6] Lihat Tuhfatul  Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
 
[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.
 
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at
Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.
 
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah,
cetakan kedua, tahun 1420 H.
 
[10] Idem
 
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.
 
[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net
 
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana
dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
 
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if
Sunan At Tirmidzi
 
[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.

Anda mungkin juga menyukai