Anda di halaman 1dari 3

Imam Taufik (XII IPA 5) Absen

Tugas Sejarah No. 9

Revolusi Hijau
A. Revolusi Hijau

Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah
berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi
pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan
masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya
swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas
strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga
komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani,
penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan
infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia
dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah
umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah
negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima
tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah
menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi
Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan
petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum
Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah
timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan
pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut
sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak
ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

B. Pestisida dan Pupuk Buatan

Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan
pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan
jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida,
maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat.
Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang
kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan
menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang
bersangkutan.
Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka
tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada
mereka adalah ‘jika ada hama, pakailah pestisida merek A’. para petani juga dibanjiri impian
tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh
pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern
ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk
kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah
menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan
mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam
Imam Taufik (XII IPA 5) Absen

Tugas Sejarah No. 9

tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di


lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.

C. Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya

Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi
Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan
menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau
telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat.
Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian,
dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu,
pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia,
pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras.
Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama,
kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan
pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah

Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak
struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan
habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu.
Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko
kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat
ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan
melemahkan kegairahan bertani.

Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:


1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
2. Kesuburan tanah merosot / tandus
3. Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida
5. Keseimbangan ekosistem rusak
6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.

Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah
peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan
potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas
mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit
yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk
dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan
bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat
tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta
dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program
pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk,
pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi
Imam Taufik (XII IPA 5) Absen

Tugas Sejarah No. 9

pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru.
Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem
ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.

Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang
dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia
terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata:
“Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam
pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia
memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia.
Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi

Anda mungkin juga menyukai