Anda di halaman 1dari 15

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Abses Perianal
Abses periananal mengindikasikan adanya infeksi pada jaringan lunak yang mengelilingi
kanal anal, dengan formasi kavitas/rongga yang diskrete. Tingkat keparahan dan kedalaman
dari abses bervariasi, dan rongga abses sering berasosiasi dengan adanya sebuah fistula.
Sebuah abses perianal yang berasal dari infeksi bermula dari epitel kriptoglandular yang
melapisi kanal anal. Sdingter ani interna dipercaya sebagai barier utama yang mencegah
infeksi dari lumen pencernaan ke jaringan perirektal yang dalam. Barier ini dapat dilanggar
oleh kripta morgagni, yang dapat mempenetrasi sfingter interna ke dalam ruangan
intersfingter. Sekali sebuah infeksi mendapatkan akases ke ruangan antar sfingter, maka
infeksi tersebut dapat menginvasi ke struktur di sekitar perirektal. Ekstensi dari infeksi
tersebut dapat berkaitan dengan ruang antar sfingter, bagian ischiorectal, atau bahkan bagian
supralevator. Pada beberapa kasus, abses tetap berada pada bagian intersfingter.

Epidemiologi
Puncak insidens dari abses anorektal adalah pada dekade ketiga dan keempat. Pria lebih
banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1 sampai 3:1. Kira-kira
30% pasien dengan abses anorektal mempunyai riwayat yang mirip, baik abses tersebut
sembuh sendiri ataupun memerlukan intervensi surgikal. Terdapat perkiraan bahwa
pembentukan abses anoektal berhubungan langsung dengan diare yang sering, masalah
pencernaan, dan kebersihan yang kurang, namun belum terbukti. Kejadian abses anorektal
pada balita juga cukup sering, tetapi mekanisme pasti belum diketahui, diperkirakan karena
konstipasi.

Etiologi
Abses perirektal dan fistula menandakan adanya kelainan anorektal yang berkembang dari
adanya obstruksi dari kripta anal. Infeksi dari sekresi glandular statis ini akan menghasilkan
supurasi dan formasi abses pada kelenjar anal. Biasanya abses perianal terbentuk pada ruang
intersfingter yang kemudian berkembang ke jaringan/bagian sekitar yang berpotensial.
Salah satu penyebab umum dari abses perianal
- Infeksi dari fisura anal
- Kelenjar anal yang tersumbat
- Infeksi menular seksual
Beberapa faktor dankondisi yang bisa menyebabkan abses perianal atau meningkatkan risiko
antara lain:
- Konstipasi kronik
- Sistem imun yang melemah
- Diabetes
- Inflammatory bowel diseases seperti Crohn's disease dan ulcerative colitis

Patofisiologi
Abses perirektal dan fistula berkembang dari adanya obstruksi dari kripta anal. Anatomi
normal menunjukkan terdapat 4-10 kelenjar anal yang didrainase oleh kripta pada level linea
dentata. Kelenjar anal biasanya berfungsi untuk melubrikasi kanal anal. Obstruksi dari kripta
anal mengakibatkan stasis dari sekresi glandular, yang kemudian terinfeksi dan menghasilkan
supurasi serta abses yang pada umumnya terbentuk di ruang intersfingter, dan bisa menyebar
ke ruang potensial lainnya.

Mikroorganisme yang banyak ditemui pada abses perianal adalah Escherichia coli,
Enterococcus Sp, dan Bacteroides Sp, tetapi tidak terdapat bakteri yang spesifik
menyebabkan abses yang unik. Penyebab abses anorektal yang lebih jarang ditemui harus
dipertimbangkan menjadi diagnosis banding termasuk tuberkulosis, karsinoma sel skuamosa,
actinomikosis, lymphogranuloma venereum, Crohn's disease, trauma, leukemia, dan
lymphoma. Ini mungkin dapat dikenali dari adanya fistula-in-ano atipikal atau fistula yang
berkomplikasi dan gagal respon terhadap tatalaksana surgikal konvensional.
Lokasi abses anorektal berdasarkan kekerapannya meliputi 60% perianal, 20% ischiorektal,
5% intersfingterik, 4% supralevator, dan 1% submukosal. Manifestasi klinis berkaitan dengan
lokkasi dari abses.
Gambar 1. Ilustrasi Lokasi Abses Anorektal

Manifestasi klinis
Pasien dengan abses perianal biasanya mengeluh adanya rasa nyeri tumpul dan pruritus.
Nyeri di sekitar perianal biasanya dieksaserbasi karena gerakan dan peningkatan tekanan
karena duduk atau defekasi. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan adanya massa
subkutaneus yang eritematosa, berbatas tegas, kecil dan berfluktuasi di dekan orifisium anal.
Manifestasi klinis lainnya termasuk:
- Konstipasi
- Tidak dapat duduk dengan baik
- Demam
- Lemas
- Keringat malam
- Retensi urin
-
Klasifikasi abses anorektal
Abses anorektal diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis. Yang paling sering adalah
perianal disusul dengan ischiorectal, intersfingter, dan supraelevator. Perianal abses
merupakan abses yang terseringdi[perkirakan 60% kasus. Abses supraelevator merupakan
akibat dari penyakit primer di pelvis ataupun hasil supurasi ekstensi dari arah kranial, yaitu
ruang intersfingter. Abses ischiorektal berasal dari supurasi antara sfingter ani interna dan
eksterna.

“Goodsall rule” untuk fistula perianal


Goodsall rule menyatakan bahwa adanya hubungan eksternaldari saluran fistulayang
berlokasi anterior ke garis transversal yang melewati batas anal diasosiasikan dengan saluran
radial lurus dari fistula ke dalam rektum. Sebaliknya, adanya hubungan eksternal posterior
akan membuat saluran yang melengkung ke lumen rektum.Aturan ini penting dalam hal
perencanaan bedah.

Diagram illustrating the Goodsall rule for anorectal fistulas. Fistulas that exit in the
posterior half of the rectum generally follow a curved course toward the posterior
midline, while those that exit in the anterior half of the rectum usually follow a radial
course to the dentate line.
Illustration of the Goodsall rule for anorectal fistulas. Note the curved nature of the posterior fistulas and
the radial (straight) orientation of the anterior fistulas.

Pemeriksaan laboratorium dan imaging


 Tidak terdapat pemeriksaan lab yang spesifik yang diindikasikan untuk mengevaluasi
pasien dengan abses perianal.
 Pada pasien tertentu, seperti individu dengan diabetes dan imunokompromis yang
berisiko tinggi bakteremia, kemungkinan sepsis. Olehkarena itu dibetuhkan
pemeriksaan lab lengkap.
 Pemeriksaan imaging jarang diperlukan untuk mengevaluasi pasien dengan abses
anorektal, tetapi diagnosis abses intersphincteric atau supralevator mungkin
mememrlukan konfirmasi daro CT scan, MRI, atau anal ultrasonography.

Terapi
Terapi medikamentosa
Pada sebagian besar pasien dengan abses anorektal, tidak diperlukan terapi medikamentosa
dengan antibiotik. Akan tetapi, adanya diabetes, pasien imunosupresif atau respon inflamasi
sistemik mengindikasikan penggunaan antibiotik.
Terapi bedah
Adanya kecurigaan klinis adanya abses anorektal harus dilakukan identifikasi agresif dan
drainase surgikal, jika tidak, maka akan terjadi destruksi jaringan kronik, fibrosis, dan striktur
yang mungkin dapat mempengaruhi kontinensia anal. Penundaan terhadap insisi dan drainase
abses anorektal dikontraindikasikan.

Komplikasi
Fistula Anorectal
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal. Fistula Anorectal
muncul sebagai akibat obstruksi dari kripta anal dan atau kelenjar anal, yang teridentifikasi
dengan adanya drainase dari kanal anal atau dari kulit disekitar perianal. Penyebab lainnya
dari fistula perianal merupakan multi faktor, termasuk penyakit divertikular, imflammatory
bowel disease, keganasan dan infeksi yang kompleks, seperti tuberkulosis dan actinomikosis.
Klasifikasi Parks mendefinisi 4 tipe fistula anorektal mayor sesuai dnegan tingkat
kekerapannya: intersphincteric (70%), transsphincteric (23%), extrasphincteric (5%), dan
suprasphincteric (2%). Fistula intersphincteric fistula ditemukan antara sfingter internal dan
eksternal. Fistula transsphincteric fistula berjalan melalui sfingter eksternal menuju ke fossa
ischiorectal. Fistula extrasphincteric berjalan dari rektum menuju ke kulit melalui levator ani.
Ynag terakhir, fistula suprasphincterik berjalan dari intersphincteric plane ke muskulus
puborektalis, keluar ke kulit setelah menyeberangi levator ani.

Prognosis
Diperkirakan duapertiga pasien dengan abses rektal yang ditatalaksana dengan insisi dan
drainase akan berkembang menjadi fistula kronik. Bila dilakukan fistulotomi, tingkat
rekurensinya adalah 1,5%. Insidens adanya inkontinensia nai setelah tatalaksana bedah pada
fistula suprasfingter diperkirakan mencapai 7%.

Hemoroid

Frekuensi
Di Amerika 1/3 dari 10 juta penduduk amerika dengan hemoroid mencari pertolongan medis.
Hemoroid bisa terjadi pada siapa saja, namun paling sering terjadi pada umur 46-65 tahun.

Etiologi
Hemoroid biasanya tidak berhubungan dengan kondisi medis lain atau penyakit lainnya.
Namun pasien dengan penyakit berikut memeiliki kecenderungan untuk mengalami
hemoroid:
 Inflammatory bowel disease
 Kolitis ulseratif dan Crohn disease

Patofisiologi
Hemoroid biasanya menyebabkan gejala ketika mereka menjadi membesar, terinflamasi,
trombosis, atau terjadi prolaps.
Kebanyakan klinisi setuju bahwa diet rendah serat yang menghasilkan feses ukuran kecil
yang menyebabkan peregangan selama defekasi. Terjadi peningkatan tekanan yang
menyebabkan pembesaran dari hemoroid sehingga mengganggu venous return. Kehamilan
dan tensi yang tinggi dari otot sfingter ani interna dapat menyebabkan hemoroid juga,
mungkin dengan mekanisme yang sama. Penurunan aliran balik vena dipikirkan menjadi
mekanismenya. Terlalu banyak duduk di toilet dapat menyebabkan gangguan aliran balik
vena yang menyebabkan pembesaran hemoroid. Penuaan membuat struktur penopang
menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya prolaps.
Peregangan atau mengedan dan konstipasi diperkirakan menjadi biang keladi dari hemoroid.
Akan tetapi hal ini mungkin tidak 100% benar. Pasien dengan hemoroid dilaporkan memiliki
tonus ampula rekti yang lebih tinggi dibandingkan orang normal. Yang lebih menarik,
ternyata setelah dilakukan hemoroidektomi tonus istirahat yang lebih rendah.
Kehamilan merupakan faktor predisposisi untuk hemoroid, namun etiologinya belum dapat
diketahui. Yang perlu dicermati adalah pasien pada umumnya kembali ke keadaan normal
setelah melahirkan. Diperkirakan hal ini terjadi karena adanya perubahan hormonal. Atau
penekanan langsung pada vena.
Hipertensi portal sering dihubungkan dengan hemoroid. Gejala hemoroid tidak lebih sering
terjadi pada pasien dengan hipertensi porta dibandingkan dengan orang normal. Varises
anorektal umum ditemui pada pasien dengan hipertensi porta. Varises terjadi pada regio
midrektum, pada hubungan antara sistem porta dan vena rektum median dan inferior.
Manifestasi Klinis
Kebanyakan praktisi memasukkan semua simtom perianal ke dalam kemungkinan hemoroid.
Tetapi perlu diperthatikan dan dieksklusi penyebab nonhemoroid, seperti abses, fisura,
fistula, dan pruritus ani.
Gejala hemoroid dibagi menjadi gejala yang berasal dari internal dan eksternal.
Hemoroid internal tidak dapat menyebabkan nyeri kutan, katena mereka berada di atas linea
dentata dan tidak diinervasi oleh saraf kutaneus. Akan tetapi hemoroid interna dapat
mengalami perdarahan, prolaps, dan sebagai iritan terhadap kulit perianal yang sensitif, maka
dapat timbul rasa gatal dan iritasi. Hemoroid internal dapat mengakibatkan nyeri perianal
dengan terjadinya prolaps dan menyebabkan spasme oleh komplex sfingter di sekitar
hemoroid.
Hemoroid interna juga dapat menyebabkan nyeri akut ketika terjepit yang berhubungan
dengan spasme kompleks sfingter. Adanya strangulasi dengan nekrosis dapat menyebabkan
rasa tidak nyaman yang amat sangat. Ketika terjadi spasme sfingter, sering dilanjutkan
dengan trombosis eksternal. Trombosis eksternal dapat menyebabkan nyeri kutaneus . Gejala-
gejala ini merupakan krisis hemoroid akut yang biasanya memerlukan tatalaksana emergensi.
Internal hemoroid dapat mengakibatkan perdarahan tanpa disertai rasa sakit sesuai dengan
pergerakan feses. Epitel yang melapisi dirusak oleh feses yang keras, sehingga vena yang
terletak dibawahnya berdarah. Jika disertai spasme yang meningkat oleh kompleks sfingter,
perdarahan vena tersebut dapat memancar.
Hemoroid eksternal dapat menyebabkan gejala melalui 2 cara. Yang pertama, trombosis akut
dari vena hemoroid eksterna. Biasanya trombosis ini terkait dengan kejadian khusus, seperti
latihan fisik, mengedan karena konstipasi, diare, atau perubahan pada diet. Gejala ini
merupakan gejala yang akut dan nyeri. Nyeri berasal dari distensi cepat saraf yang
menginervasi kulit oleh bekuan trombosis dan edema sekitar.
Nyeri ini bertahan 7-14 hari dan membaik sejalan dengan resolusi dari trombosis. Seiring
dengan resolusi, anoderm yang terenggang menjadi kulit yang berlebih. Trombosis eksternal
terkadang masuk ke dalam kulit berlebih ini dan menyebabkan perdarahan. Rekurensi terjadi
pada 40-50% kasus pada tempat yang sama. Jika terapi hana memindahkan bekuan darah saja
tanpa mengangkat hemoroid, maka menjadi predisposisi untuk terjadi rekurensi.

Anatomi
Hemoroid bukan merupakan varikositis, mereka merupakan kumpulan dari jaringan vaskular,
seperti arteriol, venul, koneksi antara arteriol-venul; otot polos, dan jaringan ikat yang ditutup
oleh epitel dari kanal anal. Berdasarkan bukti, perdarahan pada hemoroid merupakan
perdarahan arteri dan bukan vena. Hal ini didukung dengan warna darah yang merah cerah
dan pH arteri dari darah.

Klasifikasi
Hemoroid diklasifikasikan menjadi hemoroid interna dan hemoroid eksterna . Kategori ini
terpisahkan dengan linea dentata. Hemoroid eksternal adalah hemoroid yang dipisahkan
dengan epitel skuamosa, sedangkan hemoroid interna dilapisi oleh epitel kolumnar.
Hemoroid eksterna dipersarafi oleh nervus kutaneus yang juga memperdarahi bagian
perianal, termasuk nervus pudendal dan pleksus sakral. Hemoroid interna tidak dipersarafi
oleh saraf somatik sehingga tidak menyebabkan nyeri. Pada level linea dentata, hemoroid
interna ditopang oleh otot dibawahnya dengan mucosal suspensory ligament.
Hemoroid interna memiliki 3 bantalan, yang berlokasi di lateral kiri, posterior kanan, dan
anterior kanan dari area kanal. Sedangkan vena hemoroid eksterna ditemukan melingkari
anus dibawah anoderm. Mereka dapat menimbulkan gejala hemoroid pada bagian manapun
di lingkaran anus.
Hemoroid interna dibagi menjadi 4 stadium, yaitu: 
 Stadium I – hemoroid interna yang mengalami perdarahan 
 Stadium II – hemoroid interna yang mengalami perdarahan dan prolaps ketika
mengedan namun kembali ke posisi semula dengan sendirinya.
 Stadium III – hemoroid interna yagn berdarah dan prolaps dengan mengedan dan
membutuhkan usaha untuk mengembalikannya ke posisi semula (kanal anal)
 Stadium IV – hemoroid interna yang tidak kembali ke dalam kanal anal dan secara
spontan berada di luar.

Tata Laksana
Indikasi tatalaksana pasien dengan hemoroid hanya dilakukan jika pasien mengeluhkan
hemoroidnya tersebut. Tata laksana bisa meliputi tata laksana medikamentosa dan bedah.
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Identitas
Nama : Ny CK
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 57 tahun
Status : menikah
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : Koja
Tanggal masuk : 22 Oktober 2010
Nomor RM : 342-68-94

Anamnesis
Keluhan Utama:
Bengkak dan nyeri pada dubur 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sepuluh hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh diare cair, air lebih banyak dari
ampas, tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 5-6 x/hari. Pasien kemudian berobat ke
dokter. Setelah minum obat diare berhenti setelah 1hari. 8 hari sebelum masuk rumah sakit,
BAB pasien menjadi keras, dan sewaktu membersihkan dubur, kuku pasien menggaruk dan
melukai dubur, pasien merasa perih sesaat, kemudian luka dibiarkan begitu saja. 6 hari
sebelum masuk rumah sakit lpasien mulai merasa nyeri di bagian bokong dekat anus, pasien
pergi ke luar kota dan banyak duduk. Ketika itu nyeri bertambah parah. Pasien kemudian
merasakan adanya benjolan yang panas dan merah di bagian bokongnya. 3 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien pergi ke tempat dokter praktek kemudian diberikan obat oral,
namun pasien tidak membaik, malah bertambah nyeri. 2 hari sebelum masuk rumah sakit
pasien mulai batuk dahak putih, juga terdapat demam yang naik turun, pilek disangkal, tidak
terdapat sesak napas maupun nyeri dada. 1hari sebelum masuk rumah sakit, pasien kemudian
ke RS koja dan disarankan ke RSCM untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.
Gejala 3 P (+), pasien terkadang merasa kesemutan damun tidak terdapat penglihatan kabur.
BAK dirasakan normal baik frekuensi maupun jumlah.
Selama di IGD telah dilakukan insisis, dan drainase.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien memiliki penyakit diabetes melitus sejak 4 tahun yang lalu. Pasien minum
glibenklamid 1x1 dan metformin 2x1, kontrol tidak teratur. Pasien pernah dioperasi karena
mola hidatidosa pada tahun 1974. Tidak terdapat hipertensi ataupun alergi dan asma.

Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi, diabetes, sakit jantung disangkal

Riwayat Sosial
Pasien telah menikah memiliki 9 orang anak, riwayat melahirkan anak > 4kg disangkal.
Terdapat riwayat minum alkohol serta merokok.

Pemeriksaan fisik
Kesadaran compos mentis; keadaan umum tampak sakit sedang
Tanda vital : Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 76 x/menit, Frekuensi napas 20 x/menit,
Suhu 36,6
Tinggi badan 157 cm; berat badan 73 kg; BMI 29 kg/m2
Kepala :normocephal
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-)
Jantung : bunyi jantung i dan II murni, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas dasar vesikule; terdapat rhonki basah kasar di kedua
lapang paru, tidak terdapat wheezing
Abdomen : datar lemas, hepar dan limpa tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan
Elstrimitas : akral hangat, edema (-), CRT< 2”
Status Lokalis (pre insisi)
Abses perianal regiogluteal dekstra , punctum (+), fluktuasi (+), hiperemis (+)
Status vaskuler
Arteri femoralis ++/++; arteri poplitea ++/++
Arteri tibialis posterior ++/++; arteri dorsalis pedis ++/++
Ankle Brachial Index
Dextra : 1,06
Sinistra: 1,18

Laporan operasi (23/10/2010)


 Pasien posisi lateral dekubitus
 Asepsis dan antisepsis pada daerah operasi dan sekitarnya
 Insisi di atas punctum abses, menembus kutis, keluar pus 50 cc dikultur
 Dilakukan RT, tidak ditemukan adanya hubungan antara rektum dengan abses
 Luka operasi dicuci dengan H2O2 3%, betadin dan NaCl 0,9 % hingga bersih
 Dibuat drain handscoen dan dipasang di lokasi insisi
 Luka operasi ditutup dengan kasa
 Operasi selesai

Laboratorium 24 Oktober 2010


Jenis
24 Oktober 2010 Nilai normal
pemeriksaan
Hb 11,3 12-14
Ht 34,1 40-48%
Eritrosit 4-5 juta
Leukosit 14.900 5.000-10.000
Basofil 0,1 0-1 %
Eosinofil 4,2 1-3 %
Neutrofil 62,0 50-70%
Limfosit 21,9 20-40 %
Monosit 11,8 2-8 %
Trombosit 297.000 150.000-400.000
HbA1C 11,5 <6,5
MCH - 27-31
MCHC - 32-36
LED 125 32-36
PT 12,7 11-14
PT kontrol 12,8
APTT 33,2 27,3-41,0
APTT kontrol 36,8
SGOT 31 <37
SGPT 22 <40
Ureum 44 10-56
Kreatinin 1 0,5-1,5
GDS 343 70-200
(23/10/2010)
Natrium 128 135-147
Kalium 4,74 3,5-5,5
Clorida 95,7 100-106
Aseton (-)
(23/10/2010)

Jenis
pemeriksaa 23 Oktober 2010 Nilai normal
n
pH 7,466 7,35-7,45
pCO2 32,7 35-45
pO2 81,5 75-100
HCO3 23,8 21-25
Base excess -0,1 -2,5-2,5
O2 sat 97,3 95-98

Kurva gula darah harian (pukul 6-pukul12-pukul 18):


24 oktober: 231-343-246
25 oktober: 234-339-332
26 oktober: 374-328-307
27 oktober: 234

Diagnosis

1. Abses gluteal sinistra DM post insisi dan drainase

2. DM tipe 2 dengan gula darah yang belum terkontrol

3. CAP dd TB paru

Terapi

1. rawat luka terbuka

2. ceftazidime 2x1 g

3. metronidazole 3x500 mg
4. ketorolac 3x30 mg

5. diet DM 1500 kkal

6. Levemir 10 unit; novorapid 14-14-12


BAB III
PEMBAHASAN

Ny CS, 57 tahun datang dengan keluhan bengkak dan nyeri pada bagian dubur sejak 6 hari
yang lalu. Dari riwayat perjalanan penyakit, didapatkan adanya riwayat trauma di dekat
dubur. Trauma ini merupakan salah satu penyebab terjadinya abses perianal. Selain itu pasien
juga mengeluhkan bengkak dan nyeri yang bertambah parah. Selain bengkak, pasien merasa
bagian duburnya lebih panas dan merah. Diagnosis abses perianal juga didukung adanya
riwayat pasien yang banyak duduk selama pergi ke luar kota. Selain itu pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya massa yang keras dengan fluktuasi, hiperemis dan terdapat punctum.
Hemoroid dapat disingkirkan sebagai diagnosis banding, karena pada pemeriksaan tidak
terdapat masa yang keluar dri dubur, tidak dijumpai perdarahan, ataupun tidak ditemukan
“daging” di sekitar rektum. Dengan diagnosis kerja abses perianal, maka perlu dilakukan
insisi dan drainase segera untuk menghindari adanya komplikasi. Dari insisi dan drainase
didapatkan pus sebanyak 50 cc. Pasien kemudian direncanakan perawatan luka terbuka dan
diberikan antibiotik broadspektrum yaitu sefalosporin generasi ke III, ceftazidim, serta
antibiotik anaerob, metronidazole. Sebenarnya pada pasien abses perianal pada umumnya
tidak perlu diberikan antibiotik. Namun pada pasien seperti diabetes dan imunokompromais,
pemberian antibiotik dianjurkan. Oleh karena itu pada pasien ini diberikan antibiotik. Selain
itu duapertiga pasien dengan abses anorektal dapat terjadi fistula sebagai komplikasinya.
Oleh karena itu, setelah dilakukan insisi, pada pasien ini dilakukan pemeriksaan RT untuk
mengetahui terdapat fitula tau tidak. Selain itu dapat dilakukan fistulografi untuk memastikan
apakah terdapat fistula yang berhubungan dengan rektum. Selain itu masalah yang perlu
diperhatikan pada pasien ini adalah gula darahnya yang belum terkontrol dengan insuli.
Regulasi gula darah yang baik diperlukan agar infeksi pasien dengan diabetes memiliki
proses penyembuhan yang baik dan cepat.

Daftar Pustaka
1. Andre Hebra. Perianal Abscess. Updated: Jul 14, 2010. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/191975-overview (26 Oktober 2010)
2. Scott C Thornton. Hemorrhoids. Updated: Mar 16, 2010, diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/195401-followup. (26 Oktober 2010)

Anda mungkin juga menyukai