Anda di halaman 1dari 10

Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik

Tulisan ini hendak membahas sebuah konsep yang sekarang menjadi mode, yaitu demokrasi
deliberatif. Istilah ini tampak baru, namun bila direnungkan isinya, masyarakat kita telah
memilikinya.
Deliberatif yang berasal dari kata deliberation, atau deliberatio dalam Bahasa Latin, adalah
musyawarah, omong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang lain,
berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang. Sebagai ilustrasi, kalau kita berpikir apakah
mau menikah atau tidak, itu berarti kita sedang melakukan deliberation. Itu adalah forum
internal kita dalam kepala. Tetapi kalau kita mulai omong dengan orang lain, misalnya
dengan pasangan kita, apakah jadi menikah atau tidak, itu adalah forum eksternal. Itu pun
merupakan bentuk deliberasi. Jadi, akar dari deliberasi sebenarnya adalah perbincangan dan
komunikasi.

Oleh karena itu, demokrasi deliberatif tidak asing bagi masyarakat kita yang suka berbicara
dan bermusyawarah. Kalau memang sudah biasa, mengapa demokrasi deliberatif itu harus
dipelajari? Memang itu adalah hal biasa, tetapi ada yang tidak biasa dalam demokrasi
deliberatif, yaitu bentuk komunikasi macam apa yang dituntut secara perfeksionis dari teori
demokrasi deliberatif sehingga para aktivis yang bergerak untuk membangun forum warga
misalnya juga bisa melihat bahwa proses komunikasi ada prosedurnya, pola, tatanan, dan
pencapaian yang harus bisa diikuti prosesnya.

Dengan kata lain, apa yang mau disajikan dalam teori demokrasi deliberatif adalah suatu
pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk
berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mempengaruhi
pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Mengingat sistem politik
menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, maka level-level komunikasi ini
harus dipahami. Apa yang menurut masyarakat sipil itu merupakan aspirasi kalau tidak
dikemas dengan bahasa sistem, maka ia tidak bisa dimengerti oleh sistem politik.
Teori demokrasi deliberatif sedikit banyak menjelaskan level-level bagaimana proses
pembentukan opini, karier opini—dari mana opini dan menuju ke mana—penyaringan
komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, saya hendak
membagi uraian ini pada tiga hal, yaitu teori, prinsip, dan praktik.

Seputar Teori Demokrasi Deliberatif

Adalah Jürgen Habermas, seorang pemikir yang pada 60-an dekat dengan gerakan Marxis
Kiri dan banyak menginspirasi gerakan mahasiswa tahun 1968. Pengaruhnya juga cukup
besar di Amerika. Gagasan Habermas baru masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, dan ini
juga mewarnai gerakan-gerakan sosial di tanah air.

Habermas, dengan runtuhnya komunisme, mengubah cara berpikirnya. Dia tidak lagi
membuat kritik terhadap kapitalisme, melainkan membuat buku-buku yang isinya
menganalisa proses demokrasi dalam era pasca komunisme. Teori demokrasi deliberatif
adalah salah satunya, dan Jürgen Habermas salah satu tokohnya. Ada tokoh-tokoh lain,
seperti Cohen dan John Rawls yang juga diacu sebagai orang-orang yang menyumbangkan
pemikiran mengenai proses deliberasi. Di tangan Habermas, teori demokrasi delibe¬ratif
menjadi cukup matang. Buku ‘Filsafat dalam Masa Teror’ yang berisi wawancara
dengan Habermas, menunjukkan bahwa di tahun 2000-an, Habermas masih konsisten
berbicara mengenai proses deliberasi.

Habermas termasyhur dengan apa yang disebut dengan teori diskursus. Sederhananya,
diskursus adalah perbincangan, wacana. Kata diskursus berbeda dengan speech atau saying.
Discourse adalah suatu bentuk komunikasi yang tidak sehari-hari. Dalam komunikasi sehari-
hari, di pasar misalnya, kita membeli cabe dan kita membayarnya, itu bukan diskursus.
Tetapi, begitu kita bertanya mengapa harganya sekian dan kemarin sekian, terjadilah apa
yang disebut diskursus. Ketika ada problem dan tematisasi problem, terjadilah diskursus
dalam bentuk yang sederhana. Jadi, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang
mentematisasi sebuah problem tertentu. Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu
komunikasi sehari-hari dan diskursus.

Dalam setiap komunikasi, ada beberapa hal yang berperan. Lebenswelt di antaranya.
Lebenswelt (Jerman), lifeworld (Inggris), atau dunia kehidupan adalah latar belakang
komunikasi yang diandaikan begitu saja dan sifatnya pra-reflektif, bahkan pra-sadar, tapi
nyata-nyata menuntun komunikasi kita membuat tendisensi. Tendensi itu tidak selalu buruk,
tapi memungkinkan kita berkomunikasi. Tanpa lebenswelt, tidak akan ada komunikasi yang
berarti.

Ada sebuah ilustrasi menyangkut lebenswelt. Suatu ketika saya menyampaikan ceramah di
sebuah forum. Oleh moderator, saya diminta berhenti karena ada suara adzan. Saya bertanya,
“Mengapa harus berhenti?” Saya disadarkan bahwa dalam Islam, ketika
dikumandangkan adzan, ada keharusan untuk berhenti sejenak hingga adzan itu usai. Bagi
saya yang tidak paham, tentu saya bertanya-tanya. Ini salah satu contoh bahwa ritual pun
adalah lebenswelt. Begitu saya mempertanyakan kenapa harus berhenti, terjadilah apa yang
disebut diskursus. Diskursus itu membuat problem menjadi semakin jelas dan semakin
rasional. Akibat diskursus, lebenswelt itu dibedah pelan-pelan, mulai ditematisasi, sehingga
makin jelas. Sehingga para peserta komunikasi semakin sadar tentang kebudayaannya dan
masyarakatnya secara reflektif.

Ketika kita membuat diskursus, bukan hanya lebenswelt yang berperan, tapi juga apa yang
disebut klaim-klaim kesahihan. Contohnya, ketika kita berbincang-bincang tentang adzan
misalnya, dan saya mempersoalkan, kenapa saya harus berhenti berbicara, bukankah ini
hanya berlaku untuk pemeluk agama tertentu? Ketika bertanya begitu, dalam pernyataan saya
implisit sebuah klaim kebenaran tertentu. Artinya, di balik kata-kata itu, saya sebenarnya
sedang meneguhkan klaim kebenaran bahwa tidaklah bermasalah bila orang yang bukan
pemeluk Islam berbicara terus meskipun adzan sedang berkumandang. Klaim kesahihan ini
diam-diam ada ketika saya menyoal kenapa saya harus berhenti ketika adzan. Klaim
semacam itu banyak dijumpai dalam komunikasi. Jika kita memperhatikan dan semakin sadar
tentang klaim itu, maka akan terjadi diskurus yang membuat komunikasi semakin cerdas.
Diskursus selalu bergerak dalam masyarakat, dan setiap upaya tematisasi akan selalu keluar
dari lebenswelt: komunikasi sehari-hari yang taken for granted.

Dalam komunikasi sehari-hari, ada beragam tipe diskursus: diskursus teoretis, diskursus
praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut
persoalan-persoalan yang faktual. Misalnya, harga cabe 20 ribu/kg. Si pembeli membatah,
bahwa harga cabe masih 19 ribu/kg berdasarkan laporan media dan informasi lainnya. Jadi,
ada upaya untuk mengecek fakta. Inilah yang disebut diskursus teoretis. Di sini ada klaim
kesahihan menyangkut kesahihan harga cabe. Jadi, diskursus ini mengacu pada fakta yang
kita temukan, entah dari laporan pedagang yang lain atau sumber-sumber berita resmi dari
media, dll.

Berbeda dengan diskursus teoretis, diskursus praktis terjadi kalau yang menjadi problem itu
adalah norma. Misalnya, apakah orang yang berbicara terus selama adzan dikumandangkan
itu melanggar sopan-santun atau tidak. Kalau berbicara terus, kita tidak tahu bagaimana
perasaan publik kita. Singkatnya, dalam diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah
norma.

Terakhir, kritik. Kalau dalam diskursus itu harus ada konsensus, dalam kritik tidak perlu.
Kritikus itu memberikan tilikan. Ada dua macam kritik, yaitu kritik estetis dan kritik
terapoitis. Ketika ada kritikus sastra atau kritikus seni melihat karya seni apakah karya
se¬ni itu indah atau tidak, lalu terjadi diskusi, maka itu bisa disebut sebagai diskursus kritik
estetis. Sementara kritik terapoitis adalah bentuk pembicaraan yang mengkritik. Misalnya,
marxisme mengkritisi pencemaran lingkungan, bahwa pencemaran lingkungan itu dibiarkan
begitu saja karena ada kolaborasi politis antara pemerintah dan pengusaha. Ini disebut kritik
terapoitis. Disebut terapoitis—asal katanya terapi—karena berupaya untuk menyembuhkan
masyarakat dari penindasan. Banyak contoh lain yang—misalnya—dilakukan oleh para
analis kritik sosial.

Dari empat macam bentuk komunikasi di atas, terkadang dalam komunikasi orang
memproblematisir semuanya secara komprehensif. Ini juga disebut diskursus, diskursus
tentang komprehensifilitas.

Mari kita mengamati apa yang terjadi pada masyarakat. Kalau kita melihat negara modern,
Indonesia misalnya, dan menganalisanya sebagai keseluruhan, setidaknya ada tiga komponen
di dalamnya: negara/birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas).

Ada dua unsur dalam bagan ini. Unsur atas adalah negara dan pasar. Ini yang disebut sistem;
dan unsur bawah yaitu masyarakat. Ini yang disebut lebenswelt. Pembedaan itu bukan
semata-mata terjadi karena pembedaan analisa, tetapi juga pembedaan bentuk komunikasi.
Misalnya, kalau kita bertemu dengan seseorang dan bertegur sapa, “Apa kabar, main-main
ke rumahku, wah, saya mau hutang uang dan mau dibayar minggu depan”, itu adalah
bentuk komunikasi sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi, mungkin Anda jengkel
karena hutangnya tidak dibayar setelah ditagih berkali-kali. Lalu Anda mengundang
pengacara untuk memperkarakannya di pengadilan. Komunikasi ini tidak lagi berada pada
level sehari-hari, melainkan masuk dalam sistem. Singkatnya, orang yang sama bisa mewakili
bentuk komunikasi yang berbeda.
Habermas melihat bahwa perkembangan masyarakat menurut pola gambar di atas. Ketika
masyarakat masih sederhana, masyarakat tradisional misalnya, sistem itu kecil. Sebagai
ilustrasi, di desa, birokrasi sangat lemah, interaksi lebih berbentuk interaksi kultural. Artinya
sistem—birokrasi dan pasar—dalam masyarakat tradisional masih kecil, pengaruhnya
sangat terbatas. Seolah-olah menjadi subsistem dari lebenswelt. Sementara lebenswelt besar.
Masyarakat pun berkembang. Melalui proses modernisasi, terjadi perubahan. Sistem mulai
membesar, sementara lebenswelt terdesak, mengecil. Lalu belalai-belalai kapitalisme mulai
masuk dan mengatur komunikasi. Di satu sisi, komunikasi bisa reflektif, proble-matis, di
mana orang bisa semakin pandai bicara dan semakin bisa memproblematisasikan. Di pihak
yang lain, karena lebenswelt semakin kecil, maka komunikasi tidak lagi taken for granted,
kurang santai, bahkan tegang dan sarat konflik.
Menurut Habermas, dalam kapitalisme, yang terjadi dewasa ini adalah membesarnya sistem
dan lebenswelt mengecil. Birokrasi mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, sementara
kebudayaan semakin terdesak. Sebagai ilustrasi, kalau kita hendak meng-adakan seminar
untuk menyukseskan pemilu, mobilisasi dana demikian mudah. Berbeda ketika kita hendak
mengadakan seminar kebudayaan, mencari dana demikian sulitnya. Ini artinya, dalam
konteks kapitalisme, menggunakan bahasa sistem lebih mudah dipahami ketimbang bahasa
lebenswelt.

Menyaksikan perkembangan yang sedemikan rupa, apakah ini suatu malapetaka bagi
eksistensi masyarakat? Habermas menyatakan bahwa saat ini, masyarakat modern yang
majemuk itu masih ber¬tahan dan tidak bubar. Kenapa? Padahal sistem besar sekali,
sementara yang membuat integritas sosial adalah lebenswelt. Sistem bisa mencabik-cabik
lebenswelt. Tapi mengapa masyarakat modern yang sistemnya besar dan kuat itu masih
bertahan.

Menurut Habermas, itu terjadi berkat hukum. Dalam konteks ini, apa keistimewaan hukum?
Hukum memiliki wajah ganda. Di satu pihak, wajah hukum bersifat instrumental strategis.
Artinya, bahasa hukum bisa dipakai sebagai alat. Di lain pihak, wajah hukum bersifat
komunikatif. Ini terjadi karena sebenarnya produk hukum itu harus disetujui, legitimed, dan
sahih. Karena harus disetujui, sahih, dan legitimed, maka hukum harus dikomunikasikan
sehingga terjadi konsensus.

Dengan demikian, hukum memiliki wajah ganda. Kalau Anda tidak puas dengan permainan
hukum, Anda bisa menuntut dan mempersoalkan hukum dengan hukum itu sendiri. Artinya,
hukum bukan kata akhir. Hukum adalah produk komunikasi. Kata akhir adalah komunikasi,
tapi komunikasi tidak pernah berakhir. Hukum tidak pernah menjadi kata akhir, karena masih
bisa dipersoalkan dalam komunikasi.

Lalu bagaimana proses menyepakati produk hukum? Ini sebenarnya inti dari deliberasi.
Setiap proses komunikasi, termasuk juga menyepakati produk semisal hukum UU Sisdiknas,
UU tentang Air, dll, apa yang disebut asas atau prinsip-prinsip teori diskursus itu berlaku
dalam proses demokrasi. Ketika kita mau mencapai sebuah produk UU tertentu, ada prinsip
yang berbunyi: keputusan/kesepakatan/produk hukum yang sahih atau mengkalaim kesahihan
itu hanyalah produk hukum yang disepakati secara universal oleh setiap subyek atau orang
yang terkena oleh produk hukum itu. Misalnya, ketika Pemda DKI hendak mengundangkan
daerah bebas becak, maka sebelum UU itu diputuskan, ada prinsip yang tidak bisa ditolak:
mengikutsertakan pihak-pihak yang terkena peraturan itu. Mereka adalah tukang becak,
pemilik becak, masyarakat pengguna becak, pengguna jalan, masyarakat yang peduli becak,
dan semua yang terkena aturan itu harus diandaikan menerima peraturan itu secara universal.
Kalau ada satu dari mereka tidak sepakat, maka hukum itu tidak sahih.

Tentu saja ini ideal, karena prinsip memang harus ideal. Dalam kenyataan, hal ini tidak
pernah dicapai. Tetapi, kalau tidak ada prinsip, maka kita permisif dengan produk undang-
undang. Jika kita terlalu permisif, maka produk UU hanya menjadi kompromi politik. Tetapi
kalau kita menggunakan prinsip itu, kita bisa mempersoalkan, bahkan mempersoalkan
kompromi dan kepentingan menjadi sesuatu yang ideal, apakah benar UU itu mencerminkan
aspirasi publik.

Dengan prinsip tadi, hukum dalam masyarakat majemuk menjadi engsel (medium) antara
sistem dan lebenswelt, yaitu antara birokrasi dan ekonomi kapitalis dengan masyarakat. Jadi,
hukum ini yang menjembatani sehingga kedua-duanya bisa berkomunikasi.
Ada sebuah pertanyaan yang perlu dicamkan; yakinkah kalau Anda mengajak masyarakat
untuk berkomunikasi, Anda sedang menjadi generator kekuasaan tertentu atau meminjam
istilah Hannah Arendt sedang mereproduksi kekuasaan? Menurut Arendt, kekuasaan tidak
terletak pada kemampuan orang untuk memaksa orang lain. Karena itu bukanlah kekuasaan,
melainkan paksaan, dan paksaan adalah kekerasan. Misalnya, Anda meminta menandatangani
dokumen tertentu sambil Anda menginjak kaki atau menyerahkan uang. Ini bukan kekuasaan,
melainkan manipulasi (menyogok) dan represi (menginjak kaki sebagai wujud ancaman).

Berbeda jika kita hendak menyepakati suatu persoalan. Kita membincang dan mendiskusikan,
dan lalu terjadi persetujuan, dan persetujuan itu terjadi atas dasar komunikasi bebas. Dengan
persetujuan itu, orang lain juga menyetujui dan akhirnya ada gerakan. Jadi, kekuasaan itu ada
ketika orang berbicara dan bertindak bersama tanpa paksaan, solider, untuk melaksanakan
aksi bersama. Kekuasaan seperti ini disebut kekuasaan komunikatif. Kekuasaan komunikatif
inilah yang seharusnya ditumbuhkan dalam forum-forum deliberatif.
Habermas melihat bahwa dalam masyarakat modern, tugas kita adalah memperbesar
lebenswelt dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power), dengan
menciptakan forum inisiatif warga. Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa kekuasaan
komunikatif ini ada ketika ada kekuasaan jaringan, jaringan komunikasi yang tumbuh, baik
dalam bidang sosial, budaya, dll.

Prinsip-Prinsip Demokrasi Deliberatif

Saya berpikir bahwa era demagog telah berakhir dan seharusnya berakhir. Adalah bukan
zamannya Anda berperan sebagai penggerak massa. Anda adalah disseminator atau penebar
partisipasi publik. Dalam konteks ini, saya hendak membedakan dua kategori tindakan
kolektif: massa dan gerakan civil society. Sebagai massa, Si A dan Si B itu sama: sama-sama
mendapat duit, sama-sama ditunggangi, dan sama-sama tidak sadar apa yang terjadi di antara
mereka. Tetapi, sebagai civil soceity, Si A dan Si B adalah warga negara, mereka adalah
individu. Dalam proses deliberasi, individualitas sangat ditekankan.

Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses
deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam
masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa
mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi
komunikatif. Orang dibiarkan pasif. Tugas dari forum deliberasi adalah membangun
kompetensi komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri,
memberikan ruang perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan
pendapat itu menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak
perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu
tidak menakutkan, tetapi memperkaya.

Sekarang, kita menghadapi proses yang menakutkan, dalam arti bahwa berbeda pendapat
sering kali menakutkan karena disertai dengan ancaman. Itu bukan komunikasi. Untuk
meredam kekerasan dalam komunikasi, maka kematangan sangat penting perannya.
Fasilitator harus terdiri dari orang yang sangat matang, yang mampu membuka wawasan dan
cukup partisipatif, stimulatif, dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga subyek yang paling
lemah dalam forum deliberatif itu mampu mengemukakan suaranya, karena suara yang paling
bodoh sekalipun adalah suara yang memiliki hak dalam deliberasi.
Implikasinya, diperlukan proses yang sangat panjang. Ketika Indonesia berubah menjadi
demokrasi, orang Eropa mengatakan kepada saya, “Indonesia adalah negara kepulauan,
dan paling cocok dipimpin secara diktator. Kalau ia mau berubah menjadi demokrasi,
dibutuhkan waktu paling lambat 10 tahun.”

Bagi saya, mereka berhak mengatakan demikian. Tapi sebenarnya mereka tidak melihat ke
dalam Indonesia. Kalau melihat ke dalam, sebetulnya masyarakat kita punya potensi
deliberatif yang tinggi yang dalam masyarakat tradisional ada pada apa yang disebut gotong-
royong dan musyawarah. Dengan musyawarah yang bebas, non-diskriminatif, non-
manipulatif, sebenarnya kita telah memiliki ruang-ruang dalam masyarakat kita untuk
deliberasi. Jadi tugas kita menghidupkan dan menvitalisasi potensi itu menjadi suatu gerakan.

Tipologi Diskursus Politik

Diskursus politik adalah derivasi dari diskursus praktis. Dalam konteks ini, Habermas
menspesifikasi kembali diskursus praktis. Menurut Habermas, setidaknya ada tiga diskursus
dalam politik, dalam arti bahwa diskursus itu terjadi dalam forum warga, media massa,
parlemen, eksekutif, dan dalam komunikasi politik pada umumnya. Ketiga diskursus praktis
itu adalah diskursus pragmatis, diskurus etis-politis, dan diskursus moral.

Diskursus pragmatis dapat diilustrasikan dengan, misalnya, kalau pemerintah berbicara


mengenai kenaikan harga BBM dan yang diproblematisir adalah kelangkaan sumber-sumber
minyak yang itu terkait dengan sumber ekonomi, APBN, dll. Diskursus semacam ini
mempersoalkan teknis, untuk itu diperlukan pengetahuan expert. Dalam konteks ini, seorang
pastur atau ulama—walaupun dipuja oleh umatnya—tidak berwenang masuk dalam diskusi
itu. Karena dia bukan akuntan, bukan ahli manajemen, dan bukan ahli perminyakan. Alih-alih
menyelesaikan persoalan, yang terjadi malah merunyamkan persoalan. Diskursus pragmatis
ini diskursus para ahli untuk menyelesaikan kasus itu (katakanlah kenaikan harga BBM) dari
segi pengetahuan ekonomis, teknologis, dan semacamnya.

Dalam diskursus ini sudah ada suatu value yang tidak diproblematisir. Yaitu
bahwa—katakanlah—value-nya adalah kepenti¬ngan publik. Publik yang dimaksud
adalah pemakai kendaraan bermotor. Ketika mulai mempersoalkan masalah value, maka
diskursus pragmatis sampai pada kesimpulan bahwa dari segi teknis mustahil untuk
mempertahankan harga BBM, karena akibatnya negara bisa bangkrut. Tetapi berbeda kalau
yang dipersoalkan menyangkut persepsi masyarakat dalam arti bahwa kalau harga BBM
dinaikkan, apakah itu bisa diterima oleh masyarakat, apakah tidak menyu-sahkan masyarakat,
bagaimana implikasinya pada pendidikan, kebudayaan, seni, dan politik pada umumnya. Jadi,
kalau sudah masuk pada value, rel diskursus beralih menjadi diskursus etis-politis. Dalam
diskursus etis-politis, aktornya sudah meluas tidak saja expert, tetapi juga warga negara
secara keseluruhan.

Karena diskursus etis politis bisa terjadi dalam perspektif sektarian tertentu dalam arti bisa
terjadi dari nilai kebudayaan dan etnis tertentu, maka diskursus etis politis paling banter
menghasilkan diskursus yang disepakati oleh kelompok kultural atau kelompok sosial
tertentu. Misalnya, diskursus tentang pelarangan Ahmadiyah melalui fatwa MUI. Pelarangan
ini bagi kalangan muslim merupakan persoalan internal. Tetapi kalau kita lihat klaim-klaim
yang ada di sana, itu menyangkut etis-politis. Yaitu menyangkut apakah klaim-klaim itu bisa
disepakati secara universal, tetapi hasilnya adalah suatu konsensus partikular karena ada
kelompok yang tidak setuju dengan fatwa itu. Jika demikian, kualitas diskursif yang ada
dalam konteks pelarangan Ahmadiyah adalah etis politik. Apa yang bisa disepakati oleh
kelompok yang pro pelarangan tidak bisa disepakati oleh orang yang anti pelarangan
misalnya. Ia menjadi kesepakatan partikular yang terbatas pada horison kelompok tertentu.
Nah, tujuan dalam deliberasi adalah, diskursus etis-politik itu di¬tingkatkan tarafnya ke
diskursus moral.

Diskursus moral itu memproblematisasi konsensus etis. Misal¬nya, bila fatwa MUI tadi
lalu dipertanyakan validitasnya dalam konteks masyarakat majemuk, atau diskursus dalam
media massa tentang mengapa keputusan itu bertentangan dengan norma-norma masyarakat
majemuk, maka problem-problem itu memuat kualitas diskursus moral. Karena, para
partisipan mencapai suatu konsensus di dalam horison kemanusiaan, bukan horison
kelompok. Yang dibela bukanlah nilai-nilai sektarian, melainkan nilai-nilai universal.

Apa yang saya gambarkan di atas adalah teori. Tetapi apa yang terjadi jika itu muncul dalam
praktik politik? Dalam konteks ini, saya menyampaikan kritik pada Ha¬bermas. Dalam
praktik, apa yang disebut diskursus moral adalah sangat normatif. Diskursus moral hanyalah
suatu idealisasi yang harus didekati. Sebenarnya yang selalu terjadi adalah diskursus etis
politis.

Lalu apa artinya ada diskursus moral? Habermas memberikan jawaban bahwa para anggota
deliberasi, forum warga, harus mempunyai intensi (tujuan) untuk melakukan diskursus moral.
Forum warga yang kuat harus mempunyai kekuasaan. Dan kekuasaan dimiliki legislatif. Jadi,
DPR harus menjadi teman, karena ia merupakan forum warga. Secara normatif, seharusnya
mereka (DPR) memihak kita. Sebelum masuk dalam pro¬ses deliberasi, mereka (DPR)
harus mempunyai intensi untuk melakukan diskursus moral. Kalau intensinya hanya sampai
pada diskursus etis-politis, lagi-lagi yang dicapai adalah suatu konsensus parsial, yaitu hanya
kepentingan kelompok atau partainya saja.

Prinsip Negara Hukum

Teori demokrasi deliberatif tidak mengakui revolusi, tetapi reformasi. Revolusi—dan itu
selalu dengan kekerasan—tidak membiakkan partisipasi, bahkan mematikan partisipasi.
Forum warga itu berupaya membangun partisipasi, dan ini hanya mungkin melalui reformasi,
bukan revolusi.

Oleh karena itu, negara hukum dan konstitusi harus tetap ada sebagaimana adanya. Tetapi
dalam teori demokrasi deliberatif, kanal-kanal komunikasi dalam negara hukum harus
dibuka, sumbatan-sumbatan dihilangkan, akses dibuka, parlemen diharapkan semakin
mendengar, koran berbicara keras mengontrol penyimpangan. Ini semua merupakan upaya-
upaya untuk menarik perhatian pada sistem politik supaya kanal-kanal komunikasi dibuka,
tetapi negara hukum tetap ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum harus tetap
ada. Yaitu harus ada pembedaan antara state dan society. Batas-batas antara negara dan
masyarakat harus dihormati. Betapapun busuknya negara, menurut teori deliberasi, negara
harus ada. Karena tanpa negara, ongkos politiknya akan sangat besar, terjadi tirani massa dan
keuntungan akan diambil oleh para demagog dan provokator.

Teori ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Nazi merupakan gambaran di
mana negara hukum macet. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar. Itu
hanya separoh kebenaran. Kebenaran yang lain adalah bahwa Nazi mencerminkan peranan
kelompok masyarakat yang kuat atas ke¬lompok yang lain. Negara hanyalah tunggangan
dari kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum diubah-ubah seenaknya oleh Hitler. Hitler itu
patuh pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk
menggolkan maksud-maksudnya.

Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batas-batasnya. Demokrasi yang
diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya,
produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan berarti publik mendikte
pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol, maka akan terjadi
tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga negara. Artinya,
bahwa dewasa ini, kalau kita amati, media massa dimasuki belalai-belalai pemerintah.
Pemerintah misalnya mengatur agar media massa itu jangan melaporkan hal ini dan itu.
Sebenarnya, hal semacam ini menyalahi prinsip negara hukum. Media memiliki otonomi, dan
oleh karena itu tidak boleh dikendalikan oleh modal dan birokrasi. Kalau mereka masih
dikendalikan, tugas forum warga mendeteksi proses semacam itu dan menentang keras-keras
se-hingga mereka merasa tidak nyaman.

Dalam politik, bahkan politik demokrasi, ada upaya untuk membeli suara publik. Memang,
suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli kalau ditelanjangi
oleh publik sebagai suara yang dibeli, itu tidak bisa mempunyai kualitas publik lagi. Jadi, kita
jangan terlalu pesimis bahwa forum deliberatif itu sia-sia dan hanya berlelah-lelah, dan kita
hanya ngomong tanpa ada hasilnya. Karena kalau kita berbicara tajam dan bisa menelanjangi
manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak
di permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Kaitannya dengan ini, relevan menjelaskan tentang volante generale (kedaulatan rakyat).
Ke¬daulatan rakyat sebenarnya adalah konsep yang sangat kabur, konsep plastis yang bisa
dipakai di sana-sini. Dalam demokrasi, ada yang disebut kedaulatan rakyat. Jean Jaques
Rousseau, penggagas konsep ini, mengatakan bahwa rakyat itu berdaulat kalau mereka
berkumpul. Konsep ini cukup berbahaya, karena konsep ini sebenarnya konsep demagog.
Seorang demagog bisa mengumpulkan orang dan mengatakan inilah kedau-latan rakyat.

Dalam teori demokrasi deliberatif terjadi apa yang disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat.
Kata prosedur yang dipakai Haber¬mas, bahkan John Rawls, berarti proses. Proseduralisasi
kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi.
Kapan rakyat berdaulat? Menurut teori deliberasi, kedaulatan terjadi bukan karena orang
berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga
harus ada komunikasi publik.
Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan dengan sudut pandang yang
berbeda. Yaitu mencoba melihat bahwa peranan komunikasi publik itu harus semakin besar.
Jadi, kedaulatan rakyat terjadi bukan saja ketika rakyat berkumpul, tetapi juga ketika media
massa memihak publik. Semakin suatu koran mempunyai kualitas yang berwibawa dan
mampu mendesakkan aspirasi publik, maka ada kedaulatan rakyat. Tidak cukup dengan peran
media, tetapi juga sebuah diskusi di antara warga negara yang peduli, misal¬nya terhadap
pencemaran lingkungan, itu juga kedaulatan rakyat. Begitu juga obrolan yang kritis di
warung-warung yang bersifat politis dan sangat peduli de¬ngan problem sekitarnya juga
disebut kedaulatan rakyat. Jadi, kedaulatan rakyat itu jangan dilihat sebagai substansi
melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui aliran
anonim komunikasi. Ini proseduralisasi dari kedaulatan rakyat menurut Habermas.

Praktik Demokrasi Deliberatif


Semua teori akan selalu ber¬hadapan dengan datum (data) sosiologis. Apa yang terjadi
dalam masyarakat? Yang kita lihat adalah kekuasaan modal, kekuasaan birokrasi,
ketidakberdayaan rakyat. Kenyataan yang terjadi tentu saja tidak seindah dalam teori. Nah,
bagaimana teori demokrasi deliberatif dipraktikkan dalam konteks masyarakat seperti
Indonesia yang majemuk?
Untuk tahap permulaan, kalau negara baru bergerak dari otoritarianisme ke demokrasi, pasti
terjadi kegagapan-kegagapan atau dalam psikologi politik ada sindrom anak kehilangan
bapak. Tahap ini harus dilampaui, dan ini tidak mungkin dilampaui kalau partisipasi warga
lemah. Tugas para penggerak, termasuk juga forum warga, adalah mencoba mendiseminasi
partisipasi publik. Sehingga perlahan tapi pasti, tiran-tiran kecil itu merasa tidak nyaman.
Kalau tahap itu dilampaui karena cukup banyak mata yang mengontrol kekuasaan dan cukup
banyak komunitas yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan, maka kita masuk ke tahap
berikutnya: tahap yang lebih deliberatif. Tahap ini sedang diusahakan, dan masih belum
terjadi.

Sebenarnya, konsep civil society adalah konsep tua dalam teori politik. Konsep ini sudah
dikenal dalam pemikiran John Lock, Thomas Hobbes, dan matang dalam pemikiran
Immanuel Kant. Buku Immanuel Kant, Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis
(Mizan: 2005), menjadi dasar dari teori-teori demokrasi, termasuk teori Habermas itu sendiri.
Sebenarnya Habermas itu Kantian. Dari buku ini dipahami bahwa civil society adalah suatu
masyarakat atau kelompok yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara.
Dia memiliki hak dan ruang yang boleh menentukan nasib nya sendiri.

Menurut penafsiran Kant, civil society itu terjadi kalau ada ke¬bebasan berekspresi di
dalam warga negara. Sebagai ilustrasi, kalau saya dan Anda berbeda kepentingan, dan dengan
kewenangan saya memaksa Anda dan Anda dengan kewenangannya memaksa saya, nanti
kewenangan Anda akan bertemu dengan kewena¬ngan saya. Titik tengah dari pertemuan
itu adalah kekebasan bersama.

Civil society itu terbentuk kalau, pertama, terjadi benturan kepentingan, dan kedua,
kebebasan atas benturan kepentingan. Jangan sampai benturan kepentingan itu menjadi
sesuatu yang saru (tabu). Jadi wajar jika masing-masing orang memiliki kepentingan yang
berbeda.

Ada satu model untuk praktik yang dikemukakan Habermas, yaitu model bendungan; adanya
aliran komunikasi dari forum-forum warga (civil society) menuju ke sistem politik (state).
Sebenarnya model ini diambil dari teoretikus lain. Kalau kita lihat, civil society berbeda
dengan ruang publik. Civil society adalah aktor dari ruang publik. Ruang publik (public
sphare) adalah ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua orang atau lebih menjalankan
proses komunikasi. Apa yang terjadi dalam komunikasi? Dalam proses komunikasi ini yang
terjadi adalah penyingkapan. Dengan demikian, ruang publik adalah ruang penyingkapan.

Apa yang terjadi di ruang publik? Habermas mengatakan bahwa apa saja bisa terjadi. Ruang
publik itu anarki, segala tema bisa dijadikan problem dalam ruang publik. Tidak ada yang
bisa melarang. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi tema ruang publik. Tapi,
menurut Habermas, mesikpun anarkis, tidak berarti ruang publik itu tidak ada aturannya dan
tidak ada prinsipnya. Ruang publik ada aturan dan prinsipnya. Dia mengatakan, ada prinsip
yang terkait dengan rasio dan akal kita sendiri. Habermas percaya akal mempunyai
mekanisme seleksi apakah opini tersebut memiliki kualitas publik atau tidak. Ketika opini
semakin rasional dan semakin menyangkut kepentingan umum, maka kualitas
diskursif¬nya akan masuk diskursus moral. Opini yang terjadi di ruang publik itu akan
masuk pada filter. Filter itu adalah sistem hukum.

Apa yang dimaksud ruang publik itu bisa dibayangkan se¬bagai sistem saraf dalam negara
hukum. Seharusnya, yang membayangkan adalah parlemen ataupun eksekutif. Kalau
syarafnya peka, berarti ruang publik juga peka. Akibatnya, ini akan menolong proses
deliberasi level atas. Tetapi, sebuah republik di mana DPR-nya tuli, maka ia akan membuat
sumbatan-sumbatan pada filter itu, hukum yang menjadi filter tidak adil, ruang publik kacau
balau, maka hancurlah semua. Tetapi andaikata ruang publik sudah begitu kritis, tapi filternya
menghambat dan hukumnya tidak adil; atau DPR-nya mulai peka, tetapi proses demokrasi
tidak berjalan, maka yang terjadi adalah keterasingan antara produk hukum dan
kepenti¬ngan publik. Tapi andaikata sistemnya menghambat dan DPR-nya juga
menghambat, berarti ini sudah kronis. Jika demikian, kata Habermas, rakyat bisa-bisa
me¬lakukan civil disobedience (pembangkangan sipil), mereka mengorganisasi diri untuk
tidak patuh pada undang-undang. Kan tidak ada aturannya? Itu berdasarkan intuisi dan sense
of justice (rasa keadilan masyarakat) dari ma¬syarakat akan membimbing rasio¬nalitas
komunikatif untuk sampai pada suatu momen di mana ma¬syarakat tidak tahan lagi dengan
undang-undang ini, dan sekarang mereka akan mogok dengan UU tersebut. Lalu gerakan itu,
bukan gerakan kekerasan, bukan gerakan untuk mengubah konstitusi, melainkan untuk
menafsirkan konstitusi secara baru, jadi masih dalam bingkai negara hukum. Jadi ini mungkin
terjadi dalam model bendungan ini.

Sumber : http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/79/demokrasi-deliberatif-teori-prinsip-dan-praktik

Anda mungkin juga menyukai