Anda di halaman 1dari 21

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh
dikatakan bahwa setiap orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga
Pendidikan Agama Islam ( PAI ). Masyarakat awam mempersepsikan
pendidikan itu identik dengan sekolah , pemberian pelajaran, melatih anak
dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya memiliki persepsi bahwa
pendidikan itu menyangkut berbagai aspek yang sangat luas,termasuk semua
pengalaman yang diperoleh anak dalam pembetukan dan pematangan
pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.
Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.

Pendidikan sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan


konferensi internasional pertama tentang pendidikan Muslim ( 1977 ) , seperti
yang dikemukakan oleh Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum
berhasil menyusun suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para
ahli pendidikan secara bulat .

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” .

Sedangkan definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum


2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan
MI adalah :

“Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam


menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,
mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam
dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.”

Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha


sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam ( knowing ),
terampil melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam ( doing ), dan
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari ( being ).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama


Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam,
keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran
Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan
bahwa tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu
menjadi seorang Muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh
kesungguhan dan didasari oleh keimanan yang kuat.

Upaya untuk mewujudkan sosok manusia seperti yang tertuang dalam


definisi pendidikan di atas tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu
harus melalui proses pendidikan dan kehidupan, khususnya pendidikan
agama dan kehidupan beragama. Proses itu berlangsung seumur hidup, di
lingkungan keluarga , sekolah dan lingkungan masyarakat.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan agama Islam saat
ini, adalah bagaimana cara penyampaian materi pelajaran agama tersebut
kepada peserta didik sehingga memperoleh hasil semaksimal mungkin.

Apabila kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan Agama


Islam, salah satu kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan
pendidikan agama ialah masalah metodologi. Metode merupakan bagian yang
sangat penting dan tidak terpisahkan dari semua komponen pendidikan
lainnya, seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi dan lain-lain. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan suatu pengetahuan
tentang metodologi Pendidikan Agama, dengan tujuan agar setiap pendidik
agama dapat memperoleh pengertian dan kemampuan sebagai pendidik yang
profesional

Guru-guru Pendidikan Agama Islam masih kurang mempergunakan


beberapa metode secara terpadu. Kebanyakan guru lebih senang dan terbiasa
menerapkan metode ceramah saja yang dalam penyampaiannya sering
menjemukan peserta didik. Hal ini disebabkan guru-guru tersebut tidak
menguasai atau enggan menggunakan metode yang tepat, sehingga
pembelajaran agama tidak menyentuh aspek-aspek paedagogis dan
psikologis.

Setiap guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki pengetahuan yang


cukup mengenai berbagai metode yang dapat digunakan dalam situasi
tertentu secara tepat. Guru harus mampu menciptakan suatu situasi yang
dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Menciptakan situasi
berarti memberikan motivasi agar dapat menarik minat siswa terhadap
pendidikan agama yang disampaikan oleh guru. Karena yang harus mencapai
tujuan itu siswa, maka ia harus berminat untuk mencapai tujuan tersebut.
Untuk menarik minat itulah seorang guru harus menguasai dan menerapkan
metodologi pembelajaran yang sesuai.

Metodologi merupakan upaya sistematis untuk mencapai tujuan, oleh karena


itu diperlukan pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Tujuan harus
dirumuskan dengan sejelas-jelasnya sebelum seseorang menentukan dan
memilih metode pembelajaran yang akan dipergunakan. Karena kekaburan
dalam tujuan yang akan dicapai, menyebabkan kesulitan dalam memilih dan
menentukan metode yang tepat.

Setiap mata pelajaran memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dalam


bahan atau materi pelajaran, baik sifat maupun tujuan, sehingga metode
yang digunakan pun berlainan antara satu mata pelajaran dengan mata
pelajaran lainnya.

Misalnya dari segi tujuan dan sifat pelajaran tawhid yang membicarakan
tentang masalah keimaman, tentu lebih bersifat filosofis, dari pada pelajaran
fiqih, seperti tentang shalat umpamanya yang bersifat praktis dan
menekankan pada aspek keterampilan. Oleh karena itu, cara penyajiannya
atau metode yang dipakai harus berbeda.

Selain dari kekhususan sifat dan tujuan materi pelajaran yang dapat
membedakan dalam penggunaan metode, juga faktor tingkat usia, tingkat
kemampuan berpikir, jenis lembaga pendidikan, perbedaan pribadi serta
kemampuan guru , dan sarana atau fasilitas yang berbeda baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini semua sangat mempengaruhi guru
dalam memilih metode yang tepat dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan.

LintasBerita.Com | InfoGue.Com
Tujuan Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang
berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh
umat manusia melalui Syariat Islam, termasuk tentang tujuan pendidikan agama Islam. Para ahli
mengemukakan pendapatnya tentang tujuan pendidikan agama Islam sebagai berikut : 1) Imam
al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membina insan paripurna
yang bertaqarrub kepada Allah, bahagia di dunia dan di akhirat. Tidak dapat dilupakan pula
bahwa orang yang megikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang dipelajarinya dan
kelezatan ini pula yang dapat mengantarkannya kepada pembentukan insan paripurna. 2) M
Athiyah al-Abrasy, mengemukakan bahwa tujuan Pendidikan dan pengajaran adalah sebagai
berikut : a) Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. b) Pendidikan dan pengajaran
bukanlah sekedar memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), c)
membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu
kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur. d) Persiapan untuk kehidupan dunia dan
akhirat. e) Pendidikan Islam memiliki dua orientasi yang seimbang, yaitu memberi persiapan
bagi anak didik untuk dapat menjalani kehidupannya di dunia dan juga kehidupannya di akhirat.
f) Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. g) Pendidikan Agama
Islam tidak bersifat spiritual, ia juga memperhatikan kemanfaatan duniawi yang dapat diambil
oleh siswa dari pendidikannya. h) Menumbuhkan roh ilmiah ( scientific spirit ) pada pelajar dan
memuaskan keinginan hati untuk mengetahui ( curiosity ) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu
sebagai sekedar ilmu. Dengan demikan, Pendidikan Agama Islam tidak hanya memperhatikan
pendidikan agama dan akhlak, tapi juga memupuk perhatian kepada sains, sastra, seni, dan lain
sebagainya, meskipun tanpa unsur-unsur keagamaan didalamnya. i) Menyiapkan pelajar dari segi
profesinal, tekhnis, dan dunia kerja supaya ia dapat menguasai profesi tertentu. 3) Drs. Ahmad
D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. a)
Tujuan sementara. Yaitu sasaran sementara yang harus dicapai oleh umat Islam yang
melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan sementara artinya tercapainya berbagai kemampuan
seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis, dan ilmu-ilmu lainnya. b) Tujuan
akhir. Yaitu terwujudnya kepribadian muslim yang mencakup aspek-aspeknya untuk
merealisasikan atau menceminkan ajaran agama Islam. 4) Zakiah Darajat membagi tujuan
Pendidikan Agama Islam menjadi 4 (empat) macam, yaitu : a) Tujuan umum. Tujuan umum
adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran
atau dengan cara lain. b) Tujuan akhir. Tujuan akhir adalah tercapainya wujud kamil, yaitu orang
yang telah mencapai ketakwaan dan menghadap Allah dalam ketakwaannya. c) Tujuan
sementara. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak diberi sejumlah
pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. d) Tujuan
operasional. Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah
kegiatan pendidikan tertentu. 5) Tujuan Pendidikan Agama Islam yang merupakan sebuah
Rumusan dari Kongres Pendidikan Islam se Dunia di Islamabad tahun 1980 dan hasil keputusan
seminar Pendidikan Islam se Indonesia taggal 07 sampai 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor. a)
Rumusan yang di tetapkan dalam kongres se Dunia tentang Pendidikan Islam sebagai berikut :
“Education should aim at the balanced growth of total personality of man through the training of
man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should there for cater
for the growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific,
linguistic, both individually and collectively, and motivate, all these aspect toward goodness and
attainment perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of individual. The community and humanity at larga.” b)
Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tanggal 07 sampai dengan 11
mei 1960 di Cipayung, Bogor. “Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak
serta menegakan kebenaran dalam rangka membentuk manusia berpribadi dan berbudi luhur
menurut ajaran Islam.” Dari uraian diatas dapatlah di simpulkan bahwa pendidikan Islam
mempunyai tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia sebagai
makhluk individu dan sebagai makhluk sosial yang menghamba kepada khaliknya dengan
dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan untuk
menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan kecerdasan otak,
penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam
semua aspek, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, maupun aspek ilmiah, (secara
perorangan maupun secara berkelompok). Dan pendidikan ini mendorong aspek tersebut ke arah
keutamaan serta pencapaia kesempurnaan hidup. Tujuan ini merupakan cerminan dan realisasi
dari sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat,
maupun sebagai umat manusia keseluruhannya. Sebagai hamba Allah yang berserah diri kepada
Khaliknya, ia adalah hamba-Nya yang berilmu pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai
kehendak pencipta-Nya untuk merealisikan cita-cita yang terkandung dalam firman Allah SWT,
Qs. Al-Anam: 162  ≅  % •β ∈) ∈ Α ξ | ≠ ⊕ 5⇑ ϒ  Σ υ ρ
ψ ∃υ  τ ξ Χ υ ρ ∈Α∃ψϑ τ Β υ ρ ←! ⊃ β > υ τ  ∉Η σ>≈ψ   9∃#
∩⊇∉⊄∪ Artinya: “Katakanlah, sesungguhnya salatku dan ibadahku dan hidupku serta matiku
hanya untuk Allah, Pendidikan sekalian alam.”
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM DI SEKOLAH
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi,
standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan
prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di
satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri
Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan
keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang
diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional,
dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum
adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama
Islam tingkat satuan pendidikan.

Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi
harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan
pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini semua mengacu pada
usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama
Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di
sekolah, peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran
pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu
sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau pendidikan itu
bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya
sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan
(stakeholder) termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di
sekolah masih banyak hal yang belum memenuhi harapan. Misalnya kalau guru memberikan
pendidikan agama Islam kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta
didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik
yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam
pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan
keterampilan peserta didik. Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa
dikatakan telah berhasil jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya,
jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa dikatakan
pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi harapan dan keinginan kita.
Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya bisa
membaca Al Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah agar peserta
didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama Islam di sekolah, bisa mengerti dan
mampu melaksanakan pokok-pokok ajaran agama atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti
syarat dan rukun shalat. Maka sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena
terbatasnya waktu alokasi atau jam pelajaran di sekolah.

Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal
penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang
bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya
memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa
melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi
juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kota-
kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya
sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama Islam. Jadi
guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan agama Islam di sekolah, keislaman mereka
ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang
hanya mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra
kurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik mengandalkan pendidikan
agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada
madrasah diniyah atau pesantren mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah tidak terlalu
banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar agama Islam di
diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai.
Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama
Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan
mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan
agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain.
Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan
dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam
Undang-Undang disebut pembinaan akhlak mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan
pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2
jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi
ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai
implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada
kurikulum agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah
pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan tidak hanya
pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di
mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam
pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru,
tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk
menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama
yang baik antara guru dengan orang tua.

Gambaran umum tentang mutu pendikan pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi
harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi
agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga
faktor, yaitu pertama sumber daya guru, kedua pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan ketiga
terkait dengan kegiatan evaluasi dan pengujian tentang pendidikan agama Islam di sekolah.

1. Sumber daya manusia berupa guru.

Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan dilaksanakan dengan mengacu
pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama
Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan pula
pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian bea peserta
didik Strata 1 (S – 1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru
pendidikan agama Islam.

Guru pendidikan agama Islam di sekolah dilihat dari segi latar belakang pendidikan kira-kira
60% khususnya sudah mencapai S – 1 dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Namun lulusan
S1 ini belum mejadikan guru yang bermutu dalam menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh
karena itu guru perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal
dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan kemampuannya,
karena peningkatan kemampuan itu harus dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang
hayat, minal mahdi ilallahdi. Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat
pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. Di MGMP digunakan
sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal melalui upaya diskusi kelompok atau
belajar kelompok.

Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum mencapai gelar S –
1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa
banyak meninggalkan tugas-tugas di sekolah yaitu dengan merancang suatu program pendidikan
dualmode system. Dualmode system adalah dua modus belajar yaitu menggunakan modul
sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat yang
sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya. Dualmode system itu
hakekatnya sama dengan Universitas Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun
berbeda dengan kelas jauh dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi
membuka kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas
pembelajaran dan kualitas lulusannya. Program belajar jarak jauh belajarnya menggunakan
sarana atau alat, dengan alat utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai
bahan kuliah. Di dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang harus dicapai setelah
menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang diajarkannya kemudian langsung
dilengkapi dengan format evaluasinya. Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan
sendiri. Tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di
suatu tempat yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan respons, tanya
jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut. Begitu pula
ujiannya diisi langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap
muka.
Dengan demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu sekolah, tetapi tetap harus
datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk kuliah tatap muka. Secara Undang-Undang
pun kegiatan ini legal, karena ada pasal atau Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ
(Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih spesifik mengizinkan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara
Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi,
misalnya dengan memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning atau
e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh perguruan tinggi yang
tidak ditugasi, jadi harus dikendalikan atau dikoordinasikan.

Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya jalur
resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan
agama Islam di sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat.
Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini
lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi,
dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka harus ada upaya-upaya
untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa
jadilah kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-
duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar,
tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus selalu meningkatkan kualitas
dirinya.

2. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar
Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode
pmbelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses
pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang


memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari
segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan
waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan
mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta
didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu
sendiri adalah guru dituntut untuk melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses
pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Yang jadi persoalan adalah kalau seorang guru
agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di
satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan
guru adalah 18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas yang
diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak memperoleh
tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban mengajarnya belum memenuhi syarat yang
sudah ditentukan oleh pemerintah. Tuntutan itu harus benar-benar diperhitungkan karena
pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan bukan hanya gaji kepada guru yang
melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan.
Mulai tahun 2009 ini sekurang-kurangnya gaji guru ini bisa memperoleh penghasilan 4 juta
rupiah kalau sudah disertifikasi. Sehingga upaya pemerintah ini cukup bagus yaitu dengan
menaikkan kesejahteraan guru. Kemudian supaya guru-guru memenuhi tuntutan itu, maka guru
dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam. Untuk ekstra kurikuler
banyak yang bisa dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al Quran, praktek wudlu
maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui ekstrakurikuler dan dikontrol satu
persatu maka tidak akan ketemu orang yang memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang
namanya mengajar itu jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari
tuntutan minimal wajib mengajar. Jadi seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru
agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses
pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau
perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua
guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru
bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan pendidikan agama ketika
memberikan pelajaran bidang studi. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara
bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan
yang baik dan benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan
semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

3. Melakukan Evaluasi.

Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang di luar dugaan.
Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran
agama, tetapi ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang
dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi pendidikan agama
Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus dievaluasi
juga sikap, prakteknya atau keterampilan (psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru melakukan
pengamatan terhadap perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat?
Kalau dilaksanakan apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya
menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah sudah mencapai tujuan yang
ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu adalah supaya peserta didik bisa menjalankan
agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal
tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal.
Berkaitan dengan evaluasi pendidikan agama Islam, ada usulan yang kuat dari berbagai kalangan
agar pendidikan agama Islam sebaiknya masuk pada ujian nasional, sehingga menjadi bahan
untuk dipertimbangkan peserta didik lulus atau tidak lulus di suatu lembaga pendidikan.
Ujiannya jangan sekedar mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang
bersifat psikomotor, praktek dan perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut
ajaran agama Islam.

Minimum essential dalam teori kurikulum


Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa pendidikan agama dan keagamaan menjadi bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan
agama Islam merupakan pendidikan yang bertujuan memberikan bekal kemampuan yang bersifat
kognitif, afektif, dan psikomotor tentang suatu agama yang dianut peserta didik, khususnya
agama Islam, dengan memberikan kemampuan dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam sebagai
seorang muslim. Kendala yang dihadapi dalam mengajarkan pendidikan agama Islam adalah
kurang seimbangnya materi pelajaran yang diberikan dalam pendidikan agama Islam dengan
alokasi waktu yang diberikan dalam kurikulum sekolah yaitu 2 jam pelajaran per minggu.

Sungguh berat memang tantangan yang harus dihadapi dan dilaksanakan guru pendidikan agama
Islam. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan yang dalam teori kurikulum disebut minimum
essential, yaitu kemampuan-kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik terkait
dengan penguasaan agama Islam, atau memberikan bekal kemampuan yang bersifat minimum
tetapi essensial. Misalnya peserta didik lebih diprioritaskan mempelajari dan memahami pokok-
pokok cara mengerjakan shalat yang meliputi rukun, wajib, atau syarat sahnya shalat. Contoh
lainnya tentang materi zakat. Dalam pemahaman zakat akan berbeda antara yang pernah
mengenyam pendidikan di pesantren dan yang tidak pernah ikut pesantren. Jika merujuk pada
Imam Ghazali yang mengungkapkan “suatu ilmu itu wajib dipelajari ketika dia akan
melaksanakan kewajiban itu.” Jadi bagi orang yang belum akan berzakat merasa belum perlu
memahami tentang zakat. Namun ketika akan berzakat maka dia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami pokok-pokok cara-cara berzakat. Begitu pula peserta didik
yang belum wajib shalat belum wajib mempelajari tata cara shalat, tetapi ketika peserta didik itu
sudah baligh dan memiliki kewajiban melaksanakan shalat, maka dia harus mempelajari tata cara
shalat. Oleh karena itu dalam merancang pendidikan agama Islam yang harus dipilih adalah
materi-materi yang penting yang minimal harus dikuasai oleh peserta didik. Itulah pokok dari
essensial minimum dalam pengembangan kurikulum. Sehingga pembelajaran itu benar-benar
menjadi fungsional karena sesuai dengan tujuan dan kebutuhan peserta didik yang mempelajari
materi tersebut. Guru pun harus mencari model-model pembelajaran yang efektif agar materi
pelajaran yang essensial minimum itu bisa diberikan secara penuh dan dipahami peserta didik.
Guru perlu membuat kriteria-kriteria essensial minimum dari pelajaran pendidikan agama Islam
di sekolah, kemudian dibuat pendalaman atau perluasannya yang proses pembelajarannya bisa di
sekolah atau ekstra kurikuler. Sehingga ketika peserta didik ini lulus dari jenjang pendidikan
tertentu, minimal bisa menjalankan hal-hal yang minimal dikuasainya. Jangan sampai materi
pelajaran yang seharusnya belum perlu dipahami peserta didik tetapi sudah dipelajari oleh
peserta didik tersebut, padahal waktu yang tersedia sangat terbatas hanya 2 jam pelajaran per
minggu. Misalnya apakah akan terjadi kesulitan ketika mengajarkan keimanan agar dipahami
secara kuat oleh peserta didik? Apakah cukup hanya dengan menceramahinya tentang rukun
iman? Dalam mengajarkan agama banyak tantangannya, seperti pikiran peserta didik yang
pragmatis, pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan, baik lokal maupun global yang
membawa pengaruh negatif.

Orientasi model pembelajaran pendidikan agama Islam perlu memperhatikan beberapa hal,
pertama, mempertimbangkan kurikulum dengan memperhatikan materi essensial yang
memungkinan diberikan kepada peserta didik dengan tetap mengacu pada standar nasional dalam
merancang kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah. Kedua, memperhatikan proses
pembelajaran atau model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah baik di dalam kelas
(intra kurikuler) maupun ekstra kurikuler. Ketiga, sikap guru pendidikan agama Islam dalam
mengajar. Guru pendidikan agama Islam tidak hanya memikirkan tuntutan kewajiban formal
mengajar di sekolah. Namun memiliki jiwa dan semangat sebagai muslim yang mempunyai
kewajiban untuk mengajar menyampaikan ilmu pengetahuan dan mendidik peserta didik
sehingga dapat menyiarkan dan melestarikan agama Islam.

Mempertimbangkan kurikulum dengan memperhatikan materi essensial yang memungkinan


diberikan kepada peserta didik perlu memperhatikan materi pembelajaran. Materi pembelajaran
dalam kurikulum pendidikan agama Islam kurang berorientasi pada kehidupan nyata sehari-hari
peserta didik. Peserta didik lebih banyak dijejali dengan berbagai informasi dan pengetahuan.
Pendidikan agama Islam dilakukan oleh guru dengan cara seperti mengajarkan mata pelajaran
lain yang lebih menekankan aspek kognitif. Pemahaman terhadap materi pembelajaran akan
selesai setelah mengikuti pelajaran tersebut tanpa ada dampak atau pengaruhnya (nurturant
effect) terhadap peserta didik dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Sasaran pendidikan
agama Islam adalah membentuk perilaku peserta didik yang sesuai dengan ajaran agama, bukan
hanya mengetahui atau memahami suatu pengetahuan. Inilah yang seharusnya dikembangkan
dalam kurikulum pendidikan agama Islam sehingga mempunyai dampak atau pengaruh yang
nyata dalam kehidupan peserta didik, pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilannya.
Misalnya jika peserta didik mempelajari tentang ibadah bukan hanya memahami konsep tentang
ibadah saja namun juga melakukan praktek ibadah tersebut. Begitu pula ketika mengajarkan
zakat, terkadang diajarkan secara tidak realistik. Peserta didik SD sudah mendapatkan materi
pembelajaran tentang zakat yang sangat banyak dan mendalam sampai menyita waktu banyak
dan mengabaikan materi pembelajaran lainnya, padahal peserta didik usia SD belum sampai
pada kemampuan untuk berzakat. Akhirnya materi pembelajaran tidak menyentuh pada hal-hal
yang penting dari pelajaran itu. Oleh karena itu ruang lingkup dan urutan materi pendidikan
agama Islam perlu diatur dengan baik dan tepat disesuaikan dengan karakteristik dan usia peserta
didik, kemudian diatur pula alokasi waktunya yang tepat.

Madrasah yang kini sudah menjadi sekolah umum yang bercirikan Islam saja dengan kurikulum
yang 6 jam pelajaran per minggu itu belum tentu bisa membekali peserta didik memiliki
pemahaman yang baik tentang Pendidikan Agama Isalam kalau tidak mengaji dan melakukan
kegiatan pendukung lainnya yang memadai. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ada
hal yang menggembirakan yaitu disamakannya madrasah dengan jenjang sekolah, tetapi
kekhawatirannya juga ada yaitu berkurangnya jam-jam pelajaran terutama yang berkaitan dengan
keagamaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan ke depannya lulusan madrasah yang
membaca Al Quran belum benar, karena mengikuti pendidikan hanya 6 jam pelajaran per
minggu apalagi dengan mengikuti pendidikan formal.

Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah yang mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) khususnya
standar sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan
dilaksanakan melalui sejumlah kegiatan seperti penyediaan buku pedoman guru pendidikan
agama Islam, penyediakan buku teks atau buku pelajaran pendidikan agama Islam, dan
penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam.
Buku pedoman guru untuk membantu guru mencapai tujuan pengajaran yang digunakan baik
untuk menyusun silabus maupun menyusun buku yang digunakan oleh guru dalam mengajar,
sehingga ketika menyusun silabus akan terhindar dari kesalahan konsep. Buku pedoman guru
sangat penting sebagai pedoman untuk menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada buku kurikulum hanya pokok-pokok materi
pembelajaran, sehingga tugas gurulah untuk aktif dan kreatif mengembangkan materi
pembelajaran tersebut.

Buku teks atau buku pelajaran merupakan sumber bahan rujukan. Buku teks sebagai sumber
bahan belajar utama dalam penyusunan silabus, sebaiknya tidak satu jenis atau dari satu orang
pengarang. Buku teks yang digunakan hendaknya bervariasi agar mendapatkan materi
pembelajaran yang luas. Bagi guru-guru di sekolah buku pelajaran merupakan faktor yang sangat
penting untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Oleh karena itu perlu diperhatikan scope
(ruang lingkup) dan sequence (urutan) isi materinya agar mudah memudahkan dipahami baik
oleh guru maupun peserta didik. Buku pelajaran pendidikan agama Islam dalam penyusunannya
hendaknya selalu memperhatikan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia
Indonesia yang bertakwa dan berbudipeketi luhur. Selain itu, dalam kurikulum pendidikan, perlu
menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi
keagamaan dan tempat ibadah.

Penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam berkaitan dengan media pembelajaran yang
merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran seperti media cetak, media pembelajaran
elektronik, dan sebagainya. Media cetak seperti buku, bulletin, jurnal, koran, majalah, dan
sebagainya yang berkaitan langsung dengan materi pendidikan agama Islam atau materi
pelajaran yang sifatnya umum. Media elektronik adalah komputer (seperti internet), film,
televisi, VCD/DVD, radio, kaset, dan sebagainya. Dari media elektronik ini yang dimanfaatkan
adalah harda ware (perangkat keras) dan terutama soft warenya (perangkat keras) berupa
program-programnya yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam.

Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai agama dan budaya
luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini ditunjukan
antara lain dengan mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan,

DAFTAR PUSTAKA

An Nahlawi, Abdurrahman, (1996). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.


Jakarta: Gema Insani Press.

Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES
STRATEGI PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SEKOLAH UMUM
6 Maret 2009 oleh abifasya 11 Komentar

6 Votes

A. Pendahuluan

Arus globalisasi dan kemajuan teknologi tidak selamanya berdampak positif, ternyata ada juga
dampak negatifnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di mancanegara sana, saat ini bisa kita
saksikan di dalam rumah kita sendiri melalui layar televisi, internet dan fasilitas teknologi
informasi lainnya yang secara langsung atau tidak dapat mempengaruhi perkembangan jiwa
anak-anak diusia remaja yang memiliki kecenderungan untuk mencoba-coba sesuatu, tidak
sabar, mudah terbujuk dan selalu ingin menampakkan egonya.

Bila dasar-dasar agama yang dimiliki anak-anak kita sangat lemah, maka dikhawatirkan anak-
anak kita itu meniru secara total segala perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang di manca
negara sana tanpa memperhatikan baik buruknya serta manfaat dan madlaratnya. Bahkan pada
sebagaian anak remaja/pelajar hal-hal yang menurut agama tidak boleh dilakukan
(haram/berdosa) tetapi dikalangan anak-anak remaja/pelajar hal itu sudah dianggap lumrah,
misalnya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, cara berpakaian yang
mempertontonkan aurat, tawuran antar pelajar bahkan rasa hormat terhadap orang tua dan guru
sudah hampir pudar. Mereka menganggap bukanlah cinta sejati yang penuh pengorbanan bila
tidak mengumbar sex, tidaklah dikatakan moderen jika berpakaian harus menutup seluruh tubuh,
tidaklah dikatakan setia kawan jika tidak ikut tawuran bahkan lebih parah lagi jika mereka
beranggapan bahwa bila memperlakukan orang tua dan guru dengan penuh rasa hormat adalah
perilaku ortodok dan ketinggalan zaman, na’udzu billahi min dzalik.

Jika semua itu telah dilakukan oleh para pelajar maka yang akan menjadi sasaran empuk untuk
dijadikan kambing hitam adalah guru Agama. Kritik dari masyarakatpun ke luar dengan tajam :
“Pendidikan Agama Islam Gagal” atau “Pendidikan Agama Islam tidak berhasil”. Seiring
dengan kritikan yang ke luar dari masyarkat para guru Pendidikan Agama Islam pun membela
diri dengan alasan klise yang tidak menunjukan kreatifitasnya : “wajar kami gagal karena waktu
yang tersedia hanya dua jam pelajaran saja setiap minggunya”. Sementara guru yang bukan guru
Pendidikan Agama Islam terkadang mereka bersikap masa bodoh dan merasa bahwa masalah itu
hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja. Betulkah demikian ?.

Sebenarnya, sekarang sudah bukan saatnya lagi untuk saling menyalahkan dan membela diri atas
ketidak tanggapan kita dalam menghadapi permasalahan para pelajar, kini sudah saatnya kita
semua menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan Agama Islam di sekolah bukan hanya
berada pada pundak guru Pendidikan Agama Islam semata, tetapi menjadi tanggung jawab
seluruh aparat sekolah yang dikordinasikan oleh Kepala Sekolah sebagai pemegang dan
pengambil keputusan.

Untuk itu agar tidak lagi terjadi saling menyalahkan antara aparat sekolah, perlu dirumuskan
suatu strategi penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Strategi yang dirumuskan
diharapkan dapat mensiasati keterbatasan jam pelajaran yang hanya dua jam pelajaran saja
sementara materi yang harus disampaikan begitu banyak dan harus menyentuh seluruh aspek,
baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.

B. Upaya Mensiasati Keterbatasan Jam Pelajaran Sebagai Strategi Penyelenggaraan


Pendidikan Agama Islam di Sekolah.

Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi
keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita tidak pandai mensiasatinya maka informasi yang
diterima pelajar khawatir hanya akan menyentuh aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan
psikomotor tidak dapat tersentuh. Dalam masalah ahlaq mungkin saja ketika dilakukan evaluasi
tertulis (ulangan) para pelajar dapat menjawab dengan tepat bahkan bisa menyebutkan dalil
naqlinya bahwa etika makan dan minum dalam Islam diantaranya tidak boleh sambil berdiri, tapi
dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih saja makan dan minum sambil berdiri.
Dalam masalah ibadah para pelajar mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan)
dapat menjawab dengan tepat bahwa salat lima waktu itu hukumnya wajib bila ditinggalkan
berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar
tersebut masih enggan melakukan salat. Hal ini tentu tidak kita harapkan karena apa yang
dilakukan para pelajar tidak sesuai dengan apa yang telah diketahuinya, diakui atau tidak
kenyataan itu membuktikan bahwa pendidikan Agama Islam masih belum berhasil.

Upaya untuk mensiasati keterbatasan jam pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, diantaranya adalah :

1) Menyeleggarakan Bina Rohani Islam (ROHIS)

Kegiatan Bina Rohani Islam (ROHIS), dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang
wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan kegiatan ini perlu
dibuat program kerja yang matang sehingga dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan
kegiatan ekstrakurikuler lainnya, didanai dengan dana yang cukup, materi yang disampaikan
dapat menunjang materi intrakurikuler dengan menggunakan metode yang menyenangkan tapi
tetap edukatif serta memanfaatkan tenaga pengajar yang ada di lingkungan sekolah yang
memiliki komitmen tinggi terhadap Islam.
a. Waktu Penyelenggaraan Bina Rohani Islam (ROHIS)

Untuk sekolah yang menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi hari saja maka
waktu penyelenggaran kegiatan Bina Rohani Islam (Rohis) dapat dilakukan setiap hari setelah
selesai Kegiatan Belajar Mengajar dengan lama pertemuan sekitar satu jam setengah (90 menit).
Dua hari untuk kelas satu (hari Senin dan Selasa) dua hari untuk kelas dua (Rabu dan Kamis) dan
satu hari untuk kelas tiga pada hari Jum’at (Untuk puteri dilakukan setelah Kegiatan Belajar
Mengajar pada saat pelajar putra Salat Jum’at, sedangkan untuk putera dilakukan setelah salat
jum’at).

Sebagai contoh untuk memperjelas pendistribusian waktu penyelenggaraan Bina Rohani Islam
bagi sekolah-sekolah yang menyelenggarakan KBM pada pagi hari saja dan selesai kegiatan
belajar mengajar pada pukul 13.30 WIB, berikut ini akan penulis sajikan jadwal penyelenggaraan
Bina Rohani Islam yang dilakukan di SLTPN 5 Kota Bogor untuk kelas I sampai dengan kelas
III yang masing-masing tingkat terdiri dari sembilan rombongan belajar dan masing-masing
rombogan belajar mengikuti satu kali kegiatan Bina Rohani Islam dalam satu minggu.

Contoh Jadwal Penyelenggaraan Bina Rohani Islam

No Hari Kelas Waktu Keterangan


1 Senin I (A,B,C,D) 14.00-15.30

2 Selasa I (E,F,G,H,I) 14.00-15.30

3 Rabu II (A,B,C,D,E) 14.00-15.30

4 Kamis II (F,G,H,I) 14.00-15.30

5 Jum’at III (A- I Putri) 11.30-13.00

III (A- I Putra) 13.00-14.30

Sementara untuk sekolah yang menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi dan
siang hari Bina Rohani Islam dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan hari-hari yang kegiatan
belajar mengajarnya tidak penuh. Sebagai contoh untuk kelas siang para pelajar putrinya bisa
memanfaatkan hari jum’at setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas pagi ketika para
pelajar putra salat Jum’at. Sementara untuk para pelajar putra bisa memanfaatkan hari Sabtu
setalah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas pagi sebelum mereka melakukan kegiatan
belajar mengajar pada siang harinya.

Kemudian untuk para pelajar kelas pagi bisa memanfaatkan waktu siang hari setelah selesai
Kegiatan Belajar Mengajar dengan memanfaatkan kelas yang tersisa dan ruangan-ruangan lain
yang bisa di pergunakan termasuk bisa menggunakan musola, aula dan lain-lain. Bahkan jika
guru agama dan seluruh aparat sekolah mempunyai keinginan yang kuat untuk
menyelenggarakan kegiatan Bina Rohani Islam, kegiatan tersebut dapat dilakukan tanpa
memerlukan ruangan khusus, bisa saja kegiatan itu di lakukan di taman-taman sekolah, lapangan
olah raga dan tempat-tempat lainnya.

b. Sumber Dana Penyelenggaraan Bina Rohani Islam

Sumber dana bina Rohani Islam bisa disusun sejak awal tahun pelajran, dan dimasukan ke dalam
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dana tersebut dapat di
distribusikan untuk seluruh kegaiatan yang ada kaitannya dengan Bina Rohani Islam termasuk
didalamnya biaya pengganti transport para pembimbing bina rohani Islam.

c. Materi yang disajikan

Materi yang disajikan dalam bina Rohani Islam hendaknya dapat menunjang materi
intrakurikuler, dengan penekanan pada pendalaman pemahaman dan kemampuan membaca Al
Qur’an tapi tidak melupakan materi-materi lain seperti Aqidah, Ahlak, Ibadah, Tarikh dan doa-
doa pilihan. Mengapa harus demikian ?. Karena tujuan semula penyelenggaraan Bina Rohani
Islam adalah dalam rangka mensiasati keterbatasan jam mengajar di kelas.

d. Tehnik dan metode penyampaian materi.

Pada pertemuan pertama para pembimbing Bina Rohani Islam mengelompokan dan
menginventarisir pelajar yang sudah mampu membaca Al Quran dan yang belum. Pelajar yang
telah dikelompokkan tersebut untuk pertemuan selanjutnya dianjurkan membawa Al Qur’an bagi
yang sudah mampu membacanya dan membawa Buku Iqro bagi yang belum mampu membaca
Al Qur’an.

Untuk pertemuan berikutnya, pada empat puluh menit pertama dipergunakan untuk pendalaman
Baca Tulis Qur’an (BTQ). Bagi yang sudah mampu membaca Al Qur’an dianjurkan untuk
membaca Al Qur’an sendiri, lebih baik lagi bila melakukan hapalan dan bagi yang belum
mampu membaca Al Qur’an dibimbing oleh pembimbing Bina Rohani Islam untuk mempelajari
IQRO. Dan bila perlu pembimbing bisa meminta bantuan pelajar yang telah mampu membaca Al
Qur’an untuk membimbing temannya mempelajari Iqro (TUTOR SEBAYA). Kemudian Tiga
puluh menit berikutnya dipergunakan unruk penyampaian materi yang telah direncanakan dan
tersusun dalam Gris-Garis Besar Pengajaran (GBPP – ROHIS). Selanjutnya dua puluh menit
terahir dipergunakan untuk hapalan Al Qur’an surat-surat pendek dan surat-surat pilihan yang
telah direncanakan.

Metode penyampaian materi diusahakan menghindari metode satu arah (ceramah), tapi
diharapkan para pembimbing rohani Islam mampu menggunakan berbagai macam metode kreatif
dengan harapan metode tersebut bisa menumbuhkan semangat pelajar untuk belajar tanpa
menimbulkan kejenuhan. Prinsip yang harus dipegang oleh para pembimbing rohani Islam
metode tersebut dapat menyampaikan pesan ke Islaman sebanyak-banyaknya kepada para pelajar
dan dapat menimbulkan gairah untuk mengamalkan inti ajaran Islam yang diperolehnya dengan
penuh keikhlasan.

e. Tenaga Pengajar (Pembimbing Bina Rohani Islam)


Yang menjadi tenaga pengajar atau pembimbing Bina Rohani Islam tidak hanya guru Pendidikan
Agama Islam saja, jika kekurangan tenaga pengajar maka Kepala Sekolah bisa menunjuk guru
mata pelajaran lain yang memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Atau jika
perlu bisa mengadakan kerja sama dengan para ustadz/ustadzah dan lembaga-lembaga
keagamaan lain yang ada di sekitar sekolah.

2) Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan Keagamaan (Islamisasi Kampus).

Islamisasi kampus, memang terasa sangat ekstrim. Tetapi hal ini dimaksudkan agar seluruh
warga sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagain syariat Islam di
lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan sekolah tersebut.
Islamisasi kampus itu diantaranya bisa dilakukan melalui :

a. Setiap hari sebelum belajar diusahakan setiap pelajar membaca Al Qur’an antara 5 s. d 10
ayat. Siswa yang telah bisa membaca Al Qur’an diharapkan dapat membantu temannya yang
masih belum bisa membaca Al Qur’an. Sehingga saat menghadapi ujian praktek Pendidikan
Agama Islam seluruh pelajar telah dapat membaca Al Qur’an dengan baik dan benar.

b. Waktu Istirahat disesuaikan dengan waktu salat Dzuhur, sehingga seluruh aparat sekolah
dan para pelajar bisa melakukan salat tepat waktu. Dalam hal ini perlu dibuat komitmen yang
serius sehingga waktu istirahat benar-benar digunakan untuk salat.

c. Setiap hari jum’at (bagi yang memiliki Mesjid) mengadakan salat Jum’at berjamaah di
Mesjid (Musola) yang ada di lingkungan sekolah. Seluruh pelajar mewakili kelasnya bergiliran
menjadi petugas salat Jum’at seperti muadzin dan bilal. Sedangkan guru-guru yang beragama
Islam diharapkan bisa bergiliran menjadi Imam dan Khatib Jum’at.

d. Setiap hari Jum’at seluruh pelajar yang beragama Islam, guru-guru dan seluruh aparat
sekolah dianjurkan untuk memakai busana muslim baik laki-laki maupun perempuan (di tingkat
SLTP anak laki-laki memakai baju koko dan celana panjang sedangkan untuk anak perempuan
memakai kerudung dan rok panjang)

e. Setiap hari ada mata pelajaran Agama Islam seluruh pelajar yang beragama Islam
diwajibkan memakai busana Muslim baik laki-laki maupun perempuan.

f. Pihak sekolah baik pembina OSIS maupun BP/BK (di tingkat SLTP) tidak lagi
memperamasalahkan jika ada para pelajar putra yang memakai celana panjang setiap hari dan
memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menutup auratnya, mengingat aturan yang ada
baru memberikan kesempatan untuk menutup aurat bagi para pelajar putri.

g. Setiap bulan Ramadlan dan libur smester diadakan kegiatan pesantren kilat.

h. Setiap bulan Ramadlan melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pembagian zakat fitrah
dan zakat maal dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui mekanisme
pembagian zakat melalui praktek.
i. Setiap bulan Dzulhijjah menyelenggarakan kegiatan qurban di sekolah denga melibatkan
para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan ibadah qurban
dan bagaiman mekanisme pembagaian hewan daging qurban.

j. Ketika menyelenggarakan peringatan hari besar Islam (PHBI) tidak hanya diisi dengan
kegiatan ceramah tapi bisa melakukan kegiatan lain yang bisa lebih menyentuh hati dan ingatan
anak seperti melakukan bakti sosial, pemutaran film-film Islam baik yang berupa film-film
perjuangan maupun film-film dokumenter, cerdas-cermat Al Qur’an dan kegiatan-kegiatan
lainnya.

Semua hal tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik bahkan bisa menciptakan suasana
kondusif di lingkungan sekolah jika seluruh guru dan seluruh aparat sekolah mempunyai
tanggung jawab dan keinginan yang sama dalam membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.

3) Menggunakan Metode Insersi (Sisipan) dalam KBM

Metode Insersi adalah cara menyajikan bahan pelajaran degan cara ; inti sari ajaran Islam atau
jiwa agama/emosi religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum (Tayar Yusuf,
1995 : 73).

Untuk menggunaka metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain
(mata pelajaran umum) agar pesan-pesan keagaamaan bisa disampaikan melalui pelajaran
umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak terasa bahwa sesungguhnya saat itu
para pelajar sedang mendapatkan suntikan keagamaan oleh guru mata pelajaran yang bukan
pelajaran agama.

Metode insersi ini bisa dilakukan melalui seluruh mata pelajaran, sebagai contoh ketika guru
mata pelajaran ekonomi mengajarkan tentang barter dan jual beli maka bisa disisipkan jiwa
agama berupa informasi tentang perlunya ijab kabul dan perlunya pencatatan transaksi jual beli
yang tidak dengan cara tunai sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 282. Atau
contoh lain ketika melakukan praktikum IPA, guru IPA bisa mneyampaikan perlunya kejujuran,
ketelitian dan kesabaran dalam melakukan praktek, sebab tanpa semua itu hasil dari praktek tidak
akan memuaskan bahkan mungkin gagal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

C. Penutup.

Selama ada keinginan yang kuat untuk selalu menghasilkan kualitas hasil pendidikan pada hari
ini senantiasa lebih baik dari hari kemarin, maka tidak ada satupun strategi penyelenggaraan
Pendidikan Agama Islam yang dirasakan sulit untuk diwujudkan, yang terpenting adalah adanya
usaha untuk mewujudkan strategi tersebut adapun mengenai hasil dari pelaksanaan strategi
tersebut semuanya kita serahkan kepada Allah swt.

Wallahu ‘alam bishshawab.

Daftar Bacaan
1. Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama Dan Keagamaan Visi, Misi dan
Aksi, PT Gema Windu Pancaperkasa, Jakarta, 2000
2. Drs. H. Tayar Yusuf, dkk Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa
Arab,
3. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
4. M. Athiyah Al Abrasyi Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1970
5. Drs. H. Momon Herdiyanto, Mainstreaming Pendidikan Agama Islam
Pada Sekolah Umum (artikel), Media Pembinaan No. 06/XXVIII
Sepetember 2001.

• Share this:

• Facebook
• Cetak
• Email
• StumbleUpon
• Digg

Disimpan dalam Dunia Pendidikan Tagged with Islamisasi Kampus, Metode Pembelajaran,
Model Pembelajaran, Rohani Islam, Strategi Pembelajaran, Tutor Sebaya

Perihal abifasya
moal embut kalinduan moal gedag kaanginan

Anda mungkin juga menyukai