Anda di halaman 1dari 4
PUSAT INFORMASTI KOMPAS a Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270 Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743 KOMPAS Senin, 19-08-2002. Halaman: 25 "RPA TANYAK" DAN KISAH ZAMAN PEKUPER KETIKA Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) minggu pertama Juli 2002, orang Aceh mengikuti dengan saksama pembicaraan mengenai status Darurat Militer untuk NAD. Orang-orang tua yang pernah hidup di zaman Darurat Perang tahun 1959-an pun menceritakan pengalaman suka duka di zaman Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) . Ketika itu di Aceh pecah pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) yang dipimpin Tengku Mohammad Daud Beureueh. Padahal, sama dengan keadaan di provinsi lain, rakyat Aceh baru saja merasakan suasana aman dan damai setelah perang kemerdekaan semenjak tahun 1940 melawan Belanda dan Jepang. Kehidupan rakyat, juga transportasi, perdagangan, perekonomian dan pemerintahan baru saja hendak normal, namun mendadak pecah pemberontakan DI/TIT. Bisa dibayangkan, bagaimana berat penderitaan rakyat Aceh yang hampir tidak pernah putus dilanda perang sejak zaman Kerajaan Aceh (1800-1900), hingga perjuangan merebut kemerdekaan RI. Misalnya, cerita sedih bagaimana rakyat Aceh harus menghadapi embargo sandang, pangan dan obat-obatan. Sampai-sampai kaum wanitanya mengenakan goni beras sebagai kain sarung, dan para pria menjahit celana panjang dari karung tepung. Rakyat Aceh pun sudah kenyang menderita akibat "Darurat Perang/Militer" pada tahun 1950-an. Oleh karena itu, berita-berita tentang kemungkinan akan diberlakukan keadaan Darurat Militer untuk NAD yang gencar dari radio, televisi, dan media cetak dalam sepekan terakhir ini, segera menimbulkan pertanyaan terutama bagi generasi tua yang mengalami zaman penuh derita itu. "Apa jadi darurat militernya? Apakah akan sama dengan yang berlaku dulu? Kalau sama, kita tentu harus ganti Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Pekuper?" Begitu beberapa pertanyaan yang kerap telontar di masyarakat provinsi ujung barat Indonesia itu, belakangan ini. Apalagi bagi orang-orang yang pernah merasakan suasana keadaan perang tempo dulu, saat berbagai pemberontakan meletus di Indonesia. Ada DI/ TII pimpinan Daud Beureueh di Aceh, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, Karto Suwiryo di Jawa Barat, juga pemberontiakart PRRI/Permesta. Presiden RI waktu itu, Soekarno, memutuskan memberlakukan keadaan darurat perang (SOB) di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Aceh. wee > SELAMA SOB diberlakukan di Aceh, banyak sekali cerita suka dan duka yang dialami warga selama berada dalam situasi darurat perang itu. Dari yang lucu menggelitik perut sampai yang mencekam perasaan. Semuanya masih melekat dalam ingatan orang banyak di Aceh. Misalnya tentang jam malam. Jam malam pada masa SOB tidak selalu sama. Bisa mulai pukul 20.00, pukul 10.00 atau pukul 24.00, sampai pukul 06.00. Tergantung situasi, dan biasanya diberitahukan kepada masyarakat umum melalui mobil penerangan yang menggunakan pengeras suara, atau melalui camat dan kepala-kepala desa. Di Sigli, Kabupaten Pidie, jam malam dimulai dengan membunyikan sirene panjang dari Bengkel Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Setelah itu arus listrik dalam kota putus dan semua lampu padam hingga suasana kota gelap sekali. "Ya seperti jam makan sahur atau buka puasa layaknya," tutur Mardi Ahmad (70) pensiunan PJKA. Meskipun telah diumumkan, akan tetapi ada saja warga yang karena pekerjaannya, terpaksa melanggar jam malam. Begitu mendengar sirene berbunyi, atau melihat cahaya lampu truk patroli tentara meluncur di jalan, warga pun pontang-panting masuk ke rumah atau bersembunyi ditempat yang aman. Jika tidak menghindar, niscaya aparat keamanan akan menciduk dan menginterogasinya. Kalau orangnya dikenal atau tidak mencurigakan, segera bisa pulang setelah yang bersangkutan minta maaf. Patroli tentara hampir tiap jam sekali keliling kota, dan juga mengitari desa-desa sepanjang jalan raya Banda Aceh ~ Sigli. Akan tetapi transportasi umum, misalnya bus umum Medan - Banda Aceh, tetap bisa lewat setelah melalui pemeriksaan KTP yang ketat. KTP yang berlaku bukan yang ditandatangani camat melainkan KTP khusus yang dikeluarkan oleh Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) dan ditandatangani oleh Perwira Onder Distrik Militer (PODM) yaitu pejabat militer setingkat Koramil sekarang. KTP Pekuper itu berwarna biru muda dan ukurannya 10 cm x 18 cm, berlipat dua. Jika bepergian selain harus membawa KTP Pekuper, warga sipil harus memiliki surat jalan yang juga dikeluarkan oleh perwira distrik militer yang ditunjuk. Sedangkan PNS menggunakan KTP Pekuper dan surat jalan dinas dari jawatannya sendiri. Karena ketatnya pemeriksaan KTP oleh Pekuper, jarang ada warga sipil yang berani bepergian jauh tanpa KTP dan surat jalan. DALAM razia KTP yang dilakukan tak kenal waktu, ‘baik,di kota maupun di desa, sering muncul peristiwa lucu. Kisah lucu yang dialami Apa Tanyak, yakni nama seorang pedagang sayur yang lugu dari desa Ppinggiran Sigli, misalnya, ternyata memang benar-benar terjadi. Saat melewati pemeriksaan aparat keamanan, Bpa Tanyak yang sedang mengendarai sepeda kayuh dihentikan petugas keamanan. Petugas menanyakan siapa namanya. "Apa Tanyak", tukas tukang sayur itu. Tentu saja petugas marah karena dijawab "Apa Tanyak". Untunglah kesalahpahaman itu segera berakhir, karena Apa Tanyak segera menyadari ia akan menerima amarah besar dari aparat lantaran jawabannya itu. Ia lalu menunjukkan KTP Pekupernya yang mencantumkan namanya dengan jelas: Apa Tanyak. Walhasil, selamatlah Apa Tanyak. Cerita itu kemudian menjadi cerita hiburan atau humor di tengah masyarakat NAD sampai sekarang. Di Buloh Blang Ara, Kabupaten Aceh Utara juga banyak cerita lucu seperti itu. Suatu hari aparat kemanan memeriksa KTP di tepi sebuah bukit yang sedang terbakar. Sambil memeriksa KTP petugas bertanya, “Siapa bakar gunung?" "Saya pak," jawab seorang warga, yang namanya memang Bakar Gunung. Petugas pun nyaris murka, kalau yang bersangkutan tidak segera menunjukkan KTP-nya yang mencantumkan namanya: Bakar Tengku Gunong. Seorang yang bernama Hananan, juga di Buloh Blang Ara, nyaris kena tampar petugas keamanan yang kebetulan seorang suku Aceh. Kata hananan dalam bahasa Aceh bermakna tidak ada nama. Seorang petugas menanyakan kepada seorang anak muda Buloh Blang Ara. "Sow nan kah?" "Hananan", jawab anak muda itu dengan singkat. Untunglah ada warga desa yang membantu menjelaskan duduk persoalan nama Hananan itu, karena kebetulan anak muda itu tidak pula membawa KTP- Pekupernya. Banyak sekali peristiwa lucu yang terjadi antara aparat keamanan (INI maupun Satgas Brigade Mobil) selama masa Darurat Perang tahun 1950-an. Berbagai kalangan di NAD menyebutkan, sampai sekarang dasar hukum untuk memberlakukan darurat militer itu masih menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Peperpu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. "Dasar hukum mana pun, kalau namanya keadaan darurat perang atau keadaan bahaya, pastilah tidak nyaman bagi rakyat. Orang Aceh paling lama merasakan keadaan seperti itu," ujar seorang warga NAD. Walau dilatarbelakangi oleh isu pemberlakuan Darurat Militer, kedatangan Yudhoyono ke Banda Aceh, dirasakan membawa angin sejuk. Yudhoyono menyatakan, ia datang bukan membawa misi perang, melainkan misi damai. Pernyataan itu memang sedikit menenangkan situasi yang sempat mencekam kembali. Aceh sudah bertubi-tubi menerima bermacam status operasi militer, mulai Operasi Nanggala tahun 1975, Operasi Jaring Merah, PPRM, dan terakhir ini operasi pemulihan keamanan di bawah Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) TNI-AD dan Kodam Iskandar Mada. Ulama Aceh, Prof Dr Tengku H Muhibuddin Waly mengharapkan, status darurat militer untuk NAD adalah sebagai solusi terakhir dalam penyelesaian konflik Aceh. "Namun hendaknya Pemerintah RI tidak terlalu cepat menjatuhkan Status darurat militer untuk NAD," ujarnya. Di Jakarta, Forum Bersama (Forbes) anggota DPR asal NAD menolak status darurat militer. Koordinator Forbes, Syaiful Ahmad menegaskan, darurat militer bertentangan dengan semangat Ketetapan (Tap) MPR Nomor VIII/MPR/ 2000 tentang Otonomi Khusus dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi NAD. (Basri Daham) Foto: Reuters/Tarmizy Harva DARURAT--Rakyat Aceh sudah kenyang menderita akibat perberlakuan "Darurat Perang/Militer" pada tahun 1950-an. Oleh karena itu, berita- berita tentang kemungkinan akan diberlakukan keadaan Darurat Militer untuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam sepekan terakhir, menimbulkan pertanyaan terutama bagi generasi tua yang mengalami zaman penuh derita itu. Pasukan TNI tengah berpatroli di Banda Aceh, 17 Agustus 2002.

Anda mungkin juga menyukai