Anda di halaman 1dari 6

Nama : Amin Wahyudi

Nim : 076.012

Prodi : Bahasa dan Sastra Indonesia/2007 (make-up)

e-mail : amine_kerchak@yahoo.co.id

Awal Mula Dusun GENUKWATU

Desa Modongan merupakan salah satu desa di kecamatan Sooko

kabupaten Mojokerto, memiliki lima Dusun. Antara lain: Dusun Modongan,

Gambuhan, Sasap, Genukwatu, Dan Tangkil. Salah satu dusun yang mayoritas

warganya seorang petani adalah Dusun Genukwatu dengan luas wilayah ± 239,67

Ha. Hal itu dikarenakan batas wilayah dusun sebelah barat adalah lahan

persawahan yang merupakan batas dengan Dusun Modongan. Sebelah timur

dusun juga lahan persawahan milik warga dusun yang juga sebgai batas wilayah

dengan Desa Sambiroto. Sebelah utara berbatasan tepat dengan Dusun Tangkil

yang dibatasi dengan lahan milik warga kedua dusun tersebut. Sedanngkan,

sebelah selatan berbatasan dengan tanaman bamboo yang dimilik oleh warga desa

Jarsono. Jumlah warga dusun ± 135 jiwa dengan 50 kepala keluarga. Jarak dari

Dusun utama dengan Dusun Genukwatu ± 2 Km dengan melewati rute jalan

membelah area persawahan sekitar 10 menit. Sedangkan jarak Dusun dengan kota

± 7 Km. Namun sebagian besar warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

dengan membeli di pasar Brangkal yang jaraknya 4 Km. Tepatnya sebelah selatan

Dusun.
Genukwatu memiliki tempat ibadah berupa sebuah masjid dan lima

Musola yang tersebar di tiap RT. Namun ketika melaksanakan sholat Jum’at

biasanya warga pergi ke masjid Tangkil ataupun Jarsono karena tidak muat

ataupun hal lain. Dusun ini tidak memiliki tempat pendidikan sehingga warga

desa mensekolahkan anak-anaknya di sekolah dasar ataupun SMP di desa

Modongan dan SMAnya di kota atau kabupaten. Selain sebagai petani warga desa

juga bekerja membuat sepatu. Namun tidak membuat sepatu jadi melainkan hanya

menjahit sepatu kemudian disetorkan kepada Jeragan/Pemilik untuk kemudian

dijadikan sepatu jadi. Sebelumnya Genukwatu tidak seperti ini, dulu hanya

sebagai petani tapi dengan kemajuan zaman semua itu berubah ke arah yang lebih

baik. Sebelum kejadian dimana nama Dusun ini lahir hanya sebuah lahan

persawahan. Namun karena keputusan kepala desa waktu itu maka Genukwatu

lahir sebagai Dusun baru di Desa Modongan.

Dahulu Desa Modongan memiliki seorang kepala desa bernama Sukiman

yang adil dan bijaksan. Warga desa sangat menghormati beliau. Setiap ada

kegiatan beliau selalu ikut dan berbaur dengan warga desa. Namun ada saja orang

yang iri terhadap kepala desa Sukiman. Dia adalah Wak Bongso salah satu orang

kaya di desa Modongan. Wak Bongso ingin menjadi kepala desa karena dengan

mejadi kepala desa di Modongan akan mendapat beberapa lahan persawahan

sebagai kompensasinya. Segala usaha pun dilakukan oleh Wak Bongso, baik itu

yang baik ataupun yang kotor. Namun lebih sering dengan casra yang kotor untuk

menjatuhkan kepala desa.


Dengan bantuan Pai’man sebagai perangkat desa yang dipercaya oleh Pak

Sukiman menjalankan roda pemerintahannya dengan lancar. Semua kegiatan,

pembukuan, dan lain-lain yang berhubungan dengan warga sesuai dengan harapan

warga desa. Namun, Wak Bongso dengan akal liciknya membuat seolah-olah

kepala desa melkukan kecurangan dengan mensabotase lumbung padi desa.

Kemudian Wak Bongso mulai mengahsut para warga desa bahwa kepala desa

yang mereka hormati dan kagumi melakukan tindak korusi terhadap persediaan

padi desa. Tetapi warga desa tidak percaya dengan mudah pada apa yang

dikatakan oleh Wak Bongso. Mereka menganggap Wak Bongso hanya iri

terhadap kepala desa Sukiman.

Wak Bongso tak habis akal untuk menjatuhkan kepala desa Sukiman. Ia

menyuruh anak buahnya melakukan tindakan untuk mencemarkan nama baik

kepala desa Sukiman. Beberapa orang suruhan Wak Bongso mendatangi lumbung

padi desa kemudian membakarnya. Warga desa yang sedang jaga malam melihat

asap yang mengepul dari arah lumbung padi desa. Mereka berteriak kebakaran

dan berlari ke arah lumbung padi desa. Berhubung jarak dari desa ke lumbung

padi lumayan jauh sehingga sudah habis hangus terbakar ketika warga samapi di

tempat kejadian yang tersisa hanya abu padi yang tersipan di dalamnya.

Paginya warga berkumpul di balai desa menemuai kepala desa Sukiman.

Mereka merasa apa yang dikatakan oleh Wak Bongso benar bahwa kepala desa

mereka melakukan korupsi dan menghilangkan bukti tindakkanya dengan

membakar habis lumbung padi. Tapi pak Sukiman merasa tidak melakukan

tindakan tersebut. Warga makin marah dan meminta kepala desa mundur dari
jabatannya. Untungnya Pai’man meredakan amarah warga dan berusaha untuk

menyelidikinya bersama perangkat desa yang lain.

Wak Bongso yang merasa senang atas apa yang di alami oleh kepala desa

Sukiman ingin menambah penderitaannya dengan datang ke seorang Dukun.

Dengan diantar oleh anak buahnya Wak Bongso mendatangi dukun yang kata

salah satu anak buahnya sakti bukan main. Setelah sampai di tepat sang dukun,

Wak Bongso meminta sang dukun untuk menyantet kepala desa Sukiman. Tapi

ada hal yang harus dipenuhi terlebihah dahulu oleh Wak Bongso, yaitu

mengambil sesuatu yang berhubungan dengan kepala desa Sukiman, baik itu

potongan kuku atau rambut asalkan milik kepala desa Sukiman serta ayam hitam

dan genuk yang terbuat dari batu (biasanya terbuat dari tanah liat).

Tampa banyak waktu Wak Bongso menyanggupinya. Ketika kepala desa

Sukiman potong rambut anak buah Wak Bongso mengambil sedikit rambutnya.

Kemudian rambut tersebut diberikan kepada Wak Bongso, dimaksukannya

rambut kepala desa Sukiman kedalam genuk watu yang sudah disiapkan bersama

darah ayam hitam. Lalu Wak Bongso memberikan genuk watu pada sang dukun.

Dukun pun memulai ritual santetnya. Di rumah kepala desa terjadi sesuatu pada

pak Sukiman merasa gatal-gatal pada sekujur tubuhnya. Karena digaruk terus

menerus tubuh pak Sukiman menjadi luka. Pihak keluarga bingung dan ketakutan

atas apa yang terjadi memanggil Pai’man. Pai’man yang mendengar beriata

tersebut langsung datang ke rumah kepala desa, sesampainya di sana tubuh pak

Sukiman dipebuhi oleh darah dan nanah akibat digaruk tampa henti.
Merasa kasihan dengan apa yanag di derita oleh kepala desa, Pai’man

bergegas memanggil haji Jainuddin. Wak Bongso kemudian mendengar kabar

bahwa kepala desa Sukiman menderita penyakit yang aneh merasa senang atas

penderitaan kepala desa Sukiman. Di rumah kepala desa Sukiman, haji Jainuddin

mulai mengumandangkan do’a dan berusaha mengobati luka lurah pak Sukiman.

Setelah mengobati, beliau tahu penyebab yang mengakibatkan pak Sukiman

menderita seperti itu. Teryata ada yang menyantet pak Sukiman. Pak Sukiman

dapat sembuh asalkan dapat menemukan sebuah tepat yang menjadi wadah

penyakit yang diderita oleh kepala desa Sukiman.

Haji Jainuddin menanyakan pada pak Pai’man sipa yang tega melakukan

hal tersebut pada pak lurah. Pak Pai’man pun mengingat-ingat siapakah orang

yang tidak suka dengan pak lurah. Yang terbesit di dalam pikirannya hanya ada

nama Wak Bongso. Haji Jainuddin dan yang lain termasuk Pak Pai’man

mendatangi kediaman Wak Bongso mencoba menanyakan barangkali tahu apa

penyebab penyakit yang di alami oleh pak lurah Sukiman. Wak Bongso malah

marah-marah atas tuduhan yang dilayangkan oleh Pai’man, padahal Pai’man

hanya bertanya tapi dikira oleh Wak Bongso menuduhnya. Haji Jainuddin

mencoba menengahi agar tidak terjadi keributan, tapi beliau melihat suatu benda

berbentuk genuk dari batu yang aneh. Beliau bertanya pada Wak Bongso kenapa

benda itu di taruh di dalam rumah. Wak Bongso bingung mau menjawab apa

malah marah-marah tidak karuan.

Tampa pikir panjang haji Jainuddin memecahkan genuk tersebut dengan

selendangnya. Ternyata darah segar keluar dengan bauu busuk yang menyengat.
Kini semua orang tahu siapa dalang dibalik terbakarnya lumbung padi desa dan

penyakit yang di derita oleh kepal desa Sukiman. Mata warga menjadi merah dan

mencoba untuk memukuli Wak Bongso beserta anak buahnya tapi dapat dicegah

oleh haji Jainuddin dan pak Pai’man. Keesokan harinya tubuh pak Sukiman

berangsur-angsur sebuh dan mulai dapat bekerja lagi di balai desa. Warga yang

dipimpin langsung oleh kepala desa memperbaiki lumbung padi yang terbakar.

Namun kini disekitar lumbung padi didirikan pula rumah yang awalnya hanya

beberapa untuk menjaga lumbung padi agar tidak dirusak atau dicuri orang malah

bertambah menjadi banyak rumah yang berdiri di tempat tersebut. Banyaknya

rumah berdiri karena berdekatan dengan sawah perairan sehingga memudahkan

warga memantau sawahnya dan menggarap sawah.

Oleh karena itu, kepala desa Sukiman mulai meresmikan tempat tersebut

sebagai dusun baru di desa Modongan dengan nama dusun Genukwatu mengingat

apa yang terjadi selama ini yang menimpa desa dan diri pribadi pak Sukiman

karena sebuah genuk. Pak lurah memilih nama tersebut bukan tampa alasan,

genuk diibaratkan sebagai tempat menyimpan beras selain di lumbung padi dan

watu(batu) diibaratkan sebagai semangat warga yang tak dapat pecah seperti batu

dalam bekerja sama meskipun banyak yang menghalingi terciptanya kebersamaan

tersebut.

Selesai…

Anda mungkin juga menyukai