Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Syari’at Islam telah menetapkan peraturan-peraturan untuk mawaris diatas sebaik-baik aturan

kekayaan, terjelas dan paling adil. Sebab, Islam mengakui pemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki

atau perempuan, melalui jalan yang dibenarkan syari’at. Sebagaimana Islam mengakui berpindahnya

sesuatu yang dimiliki seseorang ketika hidupnya kepada ahli warisnya sesudah matinya, baik ahli waris

itu laki-laki atau perempuan tanpa membedakan antara anak kecil atau orang dewasa. 1

Hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh

masayarakat yang ada.2 Masyarakat Jahiliyah berpola kesukuan, nomaden (berpindah-pindah), suka

berperang dan merampas jarahan, karena itu budaya tersebut ikut membentuk nilai-nilai, sistem hukum

dan sistem sosial yang berlaku, sehingga menjadi ukuran didalam sistem hukum warisan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas
hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta
benda. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara
syar'i.

Pengertian Peninggalan

1
Muhammad Ali Ash Shabuny, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 47
2
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 5
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi
yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada
istrinya).

Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan

1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta


miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga
mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan
berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.

2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya,
seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika
utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum
menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit
perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya
tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi
ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya.

Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu
tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan
dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih
hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya,
tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun,
bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama
manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena
bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan
pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan
ataupun tidak.

Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya
sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak
sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang
berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab
Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah.
Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris
dibagikan kepada setiap ahli waris.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh
harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan
ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun
penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai
keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka
wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a.
--pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke
baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."

4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya
sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini
dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan
jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah
(kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh
menerima bagian).

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal
secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian
melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung
hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat
tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu
saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya
dalam susunan ayat tersebut.

B. Derajat Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan.
Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:

Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.

Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian.
Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang
telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh
harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara
kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.

Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan
yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan
kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun
suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak
waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena
nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.

Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih
memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman
(saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan
cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai
ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim
dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.

Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim,
maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami
meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan
bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan
tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya.
Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.

Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang
memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak
meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk
salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang
lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai
sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau
sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk
salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan
seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.

Sebagaimana kita ketahui, yang berhak untuk mendapatkan bagian waris hanya orang tertentu
saja, sedangkan kerabat lainnya terhalang untuk mendapatkan waris. Namun, walaupun kerabat
lainnya itu terhalang, jika mereka hadir dalam acara pembagian harta warisan itu, sangat
dianjurkan agar merekapun diberi bagian tertentu dari warisan yang ada, dengan jumlah
sekedarnya, yang telah disepakati dahulu oleh orang-orang yang berhak mendapatkan warisan.
Begitu pula, jika dalam acara pembagian tersebut hadir anak yatim dan orang miskin, hendaknya
mereka diberi juga, sekedar untuk menyenangkan hati dan meringankan beban mereka. Apakah
kita akan tega, jika mereka semua melihat pembagian harta warisan itu, sedangkan mereka tidak
diberi sedikitpun dari harta warisan yang ada?

Di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an nya Sayyid Quthb disebutkan, “Mengenai ayat ini (ayat 8 surat
an-Nisaa’) terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda dari para salaf. Diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat kewarisan yang menentukan
batas-batas bagian tertentu untuk ahli waris (yakni ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’). Ada
pula yang mengatakan bahwa ayat ini muhkamat (berlaku hukumnya, tidak terhapus).
Diantaranya lagi ada yang mengatakan bahwa petunjuk ayat ini adalah wajib, dan sebagiannya
lagi berpendapat mustahab, untuk menyenangkan hati ahli waris. Akan tetapi, kami melihatnya
muhkamat dan menunjukan hukum wajib (memberi bagian kepada ulul-qurba, kerabat yang
bukan ahli waris), dalam kondisi-kondisi seperti yang kami sebutkan. Karena, melihat
kemutlakan nashnya dari satu sisi, dan melihat pengarahan Islam yang bersifat umum tentang
tanggung jawab sosial dari sisi lain. Hal ini merupakan urusan lain diluar bagian-bagian ahli
waris yang sudah ditentukan besar kecilnya dalam ayat-ayat berikut dalam kondisi apapun.”
Lalu bagaimanakah jika ada kerabat yang tidak hadir dalam acara pembagian warisan itu, namun
sebenarnya kerabat tersebut adalah orang miskin yang memerlukan pertolongan harta? Di dalam
kitab Fatwa-fatwa Mutakhir, halaman 637-642, dengan penerbit Yayasan Al-Hamidiy, beberapa
anak yang ditinggal mati ayah dan kakeknya, menyampaikan isi hatinya kepada Dr.Yusuf Al-
Qardhawi yang kemudian dijawab oleh beliau.

Berikut ini adalah curahan hati anak-anak yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan kakeknya
masih hidup: “Kepada Ustadz (Dr.Yusuf Al-Qardhawi) kami kemukakan suatu kesulitan dengan
harapan akan menemukan pemecahannya dari Ustadz. Kami tiga orang bersaudara, yang terbesar
berusia empat belas tahun. Ayah kami meninggal dunia dalam keadaan ayahnya (kakek) masih
hidup. Beberapa lama kemudian kakek kami itupun meninggal dunia. Para paman kami (saudara-
saudara lelaki ayah kami) melaksanakan pembagian harta waris peninggalan kakek. Mereka
sama sekali tidak memberikan bagian kepada kami. Mereka mengatakan: Seorang anak lelaki
jika ia meninggal dunia dalam keadaan ayahnya masih hidup, anak-anaknya yang ditinggal mati
itu tidak berhak menerima bagian dari harta peninggalan kakek yang meninggal kemudian. Ini
merupakan hukum syara’. Atas dasar itulah kami tidak memperoleh sedikitpun bagian dari harta
yang ditinggal oleh kakek kami, sedangkan paman-paman kami berbagi harta waris demikian
lahap. Padahal mereka itu orang-orang kaya, sedangkan kami anak-anak yatim, lagi miskin. Ibu
kami yang malang itu terpaksa membanting tenaga dan memeras keringat mencari nafkah untuk
membiayai penghidupan kami hingga kami besar dan dapat bersekolah. Tidak seorang pun dari
paman-paman kami membantu dan turut membiayai kami. Apakah yang mereka katakan itu
benar? Yaitu bahwa hukum syara’ tidak memberi hak kepada kami untuk mendapat dari harta
peninggalan kakek kami? Bukankah kami ini ini anak-anak keturunan dan anak lelakinya (cucu-
cucunya). Akibat dari ketentuan itu hanya ibu kami sendiri yang memikul beban membiayai
penghidupan kami. Kami mengharap jawaban secukupnya disertai penjelasan untuk
memecahkan persoalannya menurut ketentuan hukum syara’.”
Itu merupakan problem bagi seorang anak lelaki yang wafat dalam keadaan ayahnya masih
hidup, dan meninggalkan anak-anak keturunan. Pada waktu kakek mereka meninggal dunia para
paman dan para bibi mereka berbagi waris, sedangkan anak-anak yang mati ayahnya
(kemanakan-kemanakan mereka atau cucu-cucu kakeknya) tidak mendapat bagian sama sekali.

Menurut kenyataan, dipandang dari sudut hukum waris itu memang benar, yaitu bahwa cucu
tidak turut mewarisi harta peninggalan kakeknya selagi anak-anak lelaki kakeknya itu masih ada.
Sebab hukum waris ditetapkan atas dasar kaidah-kaidah tertentu, antara lain adalah: Orang yang
peringkat hubungan kekeluargaannya terdekat dengan pihak yang meninggal dunia, ia akan
menyekat (meng-hijab) peringkat hubungan kekeluargaannya yang lebih jauh dari orang yang
meninggal dunia. Dalam hal seorang ayah wafat meninggalkan beberapa orang anak lelaki dan
sejumlah cucu, maka yang berhak mewarisi harta peninggalan orang yang wafat itu adalah anak-
anak lelakinya, sedangkan cucunya tidak berhak turut mewarisinya. Sebab, anak peringkat
hubungan kekeluargaan dengan ayah mereka lebih dekat daripada cucu. Antara ayah dan anak
hanya ada satu peringkat, sedangkan antara kakek dan cucu terdapat dua peringkat, yakni ada
perantara, yaitu ayah. Dalam hal demikian itu, maka cucu tidak mempunyai hak waris atas harta
peninggalan kakeknya.

Akan tetapi apakah itu berarti cucu-cucu yang ditinggal mati kakek mereka itu sudah terjauhkan
sama sekali dari hak waris, sehingga mereka tidak akan dapat menerima bagian sedikit pun?
Problem itulah yang diatasi oleh hukum syara' dengan beberapa cara:

Cara pertama:

Sebelum wafat, kakek wajib mewasiatkan sebagian hartanya (yang tidak melebihi sepertiga harta
miliknya) untuk cucu-cucu yang ditinggal wafat ayah mereka. Wasiat demikian, menurut
sebagian ulama salaf, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka berpendapat,
bahwa wasiat merupakan suatu kewajiban (fardhu) yang tidak boleh diabaikan, dan harus
diberikan kepada sejumlah kerabat, kepada pihak-pihak yang mengamalkan kebajikan,
khususnya jika mereka itu tergolong kerabat dekat yang tidak mendapatkan hak waris. Wasiat
harus diberikan atas dasar syarat, bahwa yang diberi wasiat bukan orang yang mempunyai hak
waris. Mengenai itu Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan: "Sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada setiap orang yang berhak apa yang menjadi haknya. Karenanya tiada wasiat
untuk seorang ahli waris."

Cara kedua:

Sebagaimana telah disadari oleh hukum syara’, dirasa masih perlu diberikan cara pemecahan lain
untuk mengatasi problem seperti yang ditanyakan. Yaitu pada saat para paman anak-anak yatim
itu sedang membagi harta peninggalan ayah mereka yang telah wafat, hendaknya memberikan
sebagian, walau sedikit, harta peninggalan itu kepada kemanakan-kemanakan mereka yang tidak
berayah lagi. Demikianlah yang ditentukan dalam Al-Qur'an sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur'an: "Dan jika pada waktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak mempunyai hak waris),
anak-anak yatim dan orang-orang miskin; berilah mereka sebagian dari harta (peninggalan) itu
dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada mereka." (S. An-Nisa: 8).

Kita dapat membayangkan bagaimanakah kiranya jika pada waktu pembagian harta peninggalan
itu mereka datang dan melihat sendiri berapa banyak masing-masing menerima bagian,
sedangkan mereka tidak diberi sama sekali? Ayat suci tersebut mendahulukan kerabat, sebab
mereka itu memang berhak, apalagi anak-anak yatim kemanakan sendiri, anak-anak keturunan
saudara mereka sendiri juga! Karena itu wajarlah jika paman-paman mereka diwajibkan
memberi kepada mereka jumlah yang disetujui bersama yang kiranya dapat memenuhi
kebutuhan yang diperlukan, terutama sekali jika harta peninggalan cukup besar dan banyak.
Jika kakek itu sendiri sebelum wafat lupa atau kurang memperhatikan nasib cucu-cucunya yang
malang, maka paman-paman mereka lah yang seharusnya tidak sampai melupakan kewajiban
mengulurkan tangan mereka, sebab mereka adalah kerabat terdekat.

Cara ketiga:

Sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum syara', yakni perundang-undangan tentang


pemberian nafkah menurut Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dari agama-agama
yang lain ialah, Islam mewajibkan orang yamg hidup berkecukupan menolong kerabatnya yang
hidup serba kekurangan, terutama sekali jika kedua belah pihak itu berhak saling mewarisi
(yakni: yang satu merupakan ahli waris bagi yang lain secara timbal balik). Demikianlah
menurut madzhab Hambali. Begitu pula jika yang satu merupakan muhrim bagi yang lain,
demikian menurut madzhab Hanafi, seperti kemanakan misalnya.

Dalam hal-hal seperti itu maka memberi nafkah menjadi kewajiban pihak yang berkecukupan,
kepada pihak yang serba kekurangan dan hidup menderita. Demikian yang akan diputuskan oleh
Makamah Islam apabila problem seperti itu diajukan sebagai gugatan.

Islam tidak membiarkan seorang paman hidup berkecukupan mempunyai harta kekayaan,
sedangkan kemanakan-kemanakan nya tidak mempunyai apa-apa dan dibiarkan begitu saja tanpa
bartuan. Ibu mereka yang malang itu pun dibiarkan memeras keringat dan membanting tulang,
sedangkan ia sendiri (paman itu) kaya dan hidup serba cukup. Itu tidak boleh terjadi menurut
syariat Islam. Itulah antara lain yang membedakan Islam dari agama lain.
Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta Bersama Antara Suami Dan Istri?

Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebelum
menikah, termasuk didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya.
Sedangkan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri
selama perkawinan, termasuk pula didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari
pihak kerabatnya.

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Haram hukumnya mengambil harta
orang lain tanpa seizinnya. Firman Allah, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat 2. AL BAQARAH
- Ayat 188)

Karena itu, dalam membagi harta bawaan maupun harta bersama, harus diperhatikan agar batas-
batas kepemilikian harta tersebut diatur terlebih dahulu, bahwa harta suami ada berapa dan harta
istri ada berapa. Tidak boleh digabungkan kemudian dibagi warisannya secara sepihak.

Walaupun harta tersebut sudah didaftarkan atas nama suami atau atas nama istri, namun secara
hakikat harta bersama memiliki kepemilikan yang terpisah. Jika dalam membeli sebuah rumah
senilai 100 juta rupiah atas nama suami, dimana suami mengeluarkan 60 juta dan istri 40 juta,
maka nilai kepemilikannya adalah, suami 60% dan istri 40%. Sampai kapanpun akan tetap
demikian, walaupun kelak rumah tersebut akan bernilai tinggi, misalnya menjadi 1 milyar
rupiah. Maka dalam hal ini suami menjadi memiliki saham 600 juta dan istri 400 juta. Dengan
demikian, jika salah seorang dari suami atau istri meninggal, ia hanya boleh mewariskan harta
miliknya saja. Jika ada hukum yang menetapkan bahwa harta bersama harus dibagi secara
seimbang/sama-rata antara suami dan isteri (masing-masing 50%), walaupun mereka berpisah
sebagai akibat dari perceraian atau kematian, maka hukum ini sangat bertentangan dengan
hukum syariat Islam yang sangat menjaga kepemilikan harta antara suami dan istri, dan hukum
ini tidak boleh diikuti oleh kita yang beragama Islam.

Permasalahannya adalah, tidak semua suami dan istri menghitung secara cermat harta miliknya
sebelum dan selama perkawinan. Untuk melihat slip gaji dari pertama kali bekerja hingga
sekarang pun tidak mudah, karena bisa jadi ia sudah beberapa kali berpindah-pindah kerja, dan
bisa jadi slip gaji tersebut sudah tidak ada (hilang). Selain itu, selama pernikahan pasti ada
pengeluaran lain yang tidak termasuk harta waris.

Penghasilan suami setiap bulan selalu dikurangi dengan biaya nafkah kepada istri dan anak,
sedangkan istri tidak dikurangi dengan biaya nafkah, karena kewajiban memberi nafkah hanya
ada pada suami. Karena itu, perlu ada sikap bijaksana antara suami dan istri. Bermusyawarah,
berdiskusi dengan hati saling jujur, kemudian tentukan bagian harta suami dan istri saat ini
dengan sama-sama ridho antara kedua belah pihak.

Sebenarnya cara yang terbaik adalah dengan mencatat setiap harta yang masuk dan keluar
selama pernikahan, jadi akan jelas harta suami saat ini ada berapa, dan harta istri ada berapa.
Namun jika tidak memungkinkan, kedua belah pihak harus saling sama-sama jujur dalam
bermusyawarah dalam membagi harta masing-masing. Kedua belah pihak diharapkan sama-sama
ridho dalam hal menerima hasil pembagian yang sudah disepakati bersama.
Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?

Anak susuan tidak berhak mendapatkan warisan dari ibu susuannya atau saudara sesusuan,
kecuali jika ia termasuk kerabatnya yang memang berhak untuk mendapatkan warisan.

Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak Mendapat Warisan?

Salah satu faktor bahwa seseorang berhak mendapatkan warisan adalah karena adanya ikatan
pernikahan dan ikatan darah (kekerabatan). Karena itu, ibu tiri, ayah tiri dan anak tiri tidak
mendapatkan warisan seandainya kita meninggal. Mereka hanya bisa mendapatkan harta melalui
jual beli, hibah dan wasiat.

Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?

Sebelum membahas hal ini, harap diketahui dahulu bahwa talak itu sendiri ada yang berstatus
raj’i (sewaktu-waktu bisa kembali) dan talak ba'in (tidak dapat kembali lagi). Selain itu, ada juga
kondisi talak dalam keadaan sehat, dan talak dalam keadaan sakit keras.

Talak raj’i adalah suami yang mentalak istrinya dalam suatu pernikahan yang sah, baik yang
sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa membayar mas kawin
baru. Masa penungguan tersebut disebut juga masa ‘iddah raj’i. Talak raj’i tidak menjadi
penghalang bagi suami istri untuk saling mewarisi, baik seorang suami mentalak istrinya dalam
keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi tidak
hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya yang sedang dalam masa
‘iddah raj’i, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Demikian pula
sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dunia sebelum
masa ‘iddah raj’i-nya berakhir. Para ulama tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.

Adapun jika talaknya adalah talak ba'in (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat penalaknya dalam
keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-mewarisi. Dengan demikian, istri
yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi harta peninggalan
suaminya, menurut kesepakatan para ulama. Hak itu karena putusnya ikatan perkawinan sejak
talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi harta peninggalan istri, bila istri
meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni putusnya tali
perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.

Jika talaknya ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia tidak
bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya, maka mereka juga tidak dapat saling waris
mewarisi. Misalnya jika istri meminta khulu', kemudian suaminya mengabulkan, atau bila istri
meminta talak tiga, kemudian suaminya mengabulkan permintaan tersebut. Para ulama sepakat,
dalam kondisi yang demikian, tidak dapat saling mewarisi karena suami tidak bermaksud
menghilangkan hak mewarisi istrinya.

Jika talaknya adalah ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia
bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya terhadap harta peninggalan, dalam hal ini
terdapat empat pendapat ulama, yaitu sebagai berikut.
1. Istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak karena sebelum kematian
suami, talaknya sudah ba'in, sehingga hak mewarisi menjadi hilang, seperti halnya talak dalam
keadaan sehat. Pendapat ini adalah sahih menurut kalangan Syafi'iyyah.

2. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suaminya meninggal dunia selama ia
masih dalam masa ‘iddah-nya. Namun, jika mantan suaminya meninggal dunia sedangkan masa
‘iddah-nya sudah berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami. Sebab, dalam
masa ‘iddah, tali perkawinan masih dianggap utuh. Hal inilah yang disamakan dengan talak raj’i.
Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hanafiyyah.

3. Istri tetap dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, baik ketika suami meninggal dunia
di saat istri dalam masa ‘iddah-nya atau masa ‘iddah-nya sudah selesai, maupun selama istri
belum menikah dengan lelaki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika
suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini
tidak bisa hilang dengan berakhirnya masa ‘iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan
melawan maksudnya. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hambaliyyah.

4. Istri dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak, baik ketika suami meninggal
dunia dia masih berada dalam masa ‘iddah-nya atau sudah berakhir, maupun ketika dia sudah
menikah dengan lelaki lain atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah.

Pendapat yang diunggulkan atau yang paling kuat (rajih) dari keempat pendapat ini adalah
pendapat ulama Hambali karena sahnya landasan yang mereka kemukakan terhadap sebab hak
mewarisi bagi istri yang masih dalam masa ‘iddah dan setelah berakhirnya masa itu.
Pembatasan hak mewarisi istri dalam masa ‘iddah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan
Hanafiyyah, adalah tidak beralasan, karena akibat talak ba'in itu dapat terjadi pada masa ‘iddah
dan setelahnya. Namun, mereka memberikan hak mewarisi kepada istri sebagai imbalan
interaksinya dengan suami sebelum talak dijatuhkan dan sebagai saddudz dzara-i (menghambat
sesuatu yang menjadi sebab kerusakan).

Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia menikah dengan lelaki lain, sebagaimana
yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan seorang istri dapat mewarisi harta
peninggalan dari dua suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda dengan ijma ulama
yang berpendapat bahwa seorang istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami
sekaligus dalam satu waktu.

Sedangkan pendapat kalangan Syafi'iyyah yang berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat
mewarisi, bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya dengan Usman r.a. ketika dia
memutuskan hak mewarisi bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari Abdurrahman bin
Auf, yang telah mentalak ba'in istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah
menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya.
Riwayat lain adalah dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman berkata kepada
Abdurrahman, 'Jika Anda meninggal dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu kepada
istrimu.' Abdurrahman menjawab, 'Aku sudah tahu hal itu.'”

Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih Hidup?

Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut
sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada pembagian
harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang besarnya tidak
ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, jadi harta tersebut tidak bisa disebut sebagai
harta warisan.

Salah satu rukun waris adalah adanya ahli waris dan adanya pewaris (orang yang meninggal).
Jika belum ada orang yang meninggal, maka tidak akan ada pembagian harta warisan. Yang
dikhawatirkan adalah, bagaimana seandainya calon pewaris tersebut ternyata tidak jadi
meninggal dunia? Misalnya ia ternyata masih dikarunia umur oleh Allah beberapa tahun lagi?
Maka sungguh kasihan nasib calon pewaris tersebut, seandainya hartanya sudah habis dibagikan.

Hal ini seringkali terjadi di dalam masyarakat kita. Ini hanyalah pemberian dari seseorang
kepada kerabat-kerabatnya, yang bisa jadi dimaksudkan agar tidak terjadi keributan ketika ia
wafat nanti. Maka agar tidak terjadi keributan, hendaknya pewaris saat hidupnya mengajarkan
ilmu faraid kepada kerabat-kerabatnya, minimal yang berkaitan dengan keadaannya, tidak perlu
membahas terlalu detail. Sebab keributan itu umumnya karena mereka tidak mengetahui
ilmunya, atau bisa juga karena faktor keserakahan. Karena itu, pewaris hendaknya memberikan
pendidikan ilmu faraid ini kepada pihak-pihak yang kelak akan mendapatkan harta warisannya,
semoga mereka akan menerima dengan sepenuhnya segala ketentuan pembagian waris yang
telah ditetapkan syariat Islam.

Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?

Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris meninggal, tidak boleh
ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misal karena
rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang
banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk
sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli
warisnya, karena itu tidak boleh mengambil/menahan harta milik mereka. Segeralah ditunaikan
jika mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya
muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi
sangat membutuhkan harta tersebut.

Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris wafat masih
meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak enggan atau merasa tidak enak
untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan. Atau bisa
juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh
kerabatnya yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya
harta warisan itu memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang
yang paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka semua
agar tidak terjadi perselisihan.

Bagaimana Membagi Harta Berjalan?

Harta berjalan, seperti rumah/kamar kontrakan yang disewakan, kios/toko, asuransi, tunjangan
pensiun, perusahaan, saham, dan lain-lain milik pewaris adalah termasuk harta warisan yang juga
harus dibagikan kepada ahli warisnya. Hanya saja caranya bisa berbeda-beda. Bisa langsung
dijual, kemudian dibagikan kepada ahli warisnya sesuai syariat Islam. Atau bisa juga terus
dikelola, lalu keuntungannya dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan syariat
Islam. Satu hal yang harus dicatat, seluruh ahli waris tersebut harus sepakat/menyetujuinya.

Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa harta berjalan harus dijual terlebih dahulu,
jadi boleh para ahli warisnya mengelolanya hingga keturunannya nanti turut melestarikannya,
itupun jika mereka sepakat/menyetujuinya. Di Indonesia ini cukup banyak usaha/perusahaan
milik keluarga, dan salah satunya yang cukup besar adalah PT. Sinar Sosro.
Namun jika dikhawatirkan akan adanya khianat dan penyia-nyiaan amanah dari salah seorang
atau sebagian ahli waris terhadap harta berjalan tersebut, maka sebaiknya dijual saja, kemudian
dibagikan kepada seluruh ahli warisnya. Adapun mengenai harta diam, seperti uang, emas,
mobil, motor, rumah, dan lain-lain, harus segera dibagikan kepada para ahli warisnya, dan tidak
boleh ditahan-tahan pembagiannya kecuali jika ada alasan/sebab khusus.

Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan Undang-Undang Negara/Adat?

Bagi orang yang beragama Islam, haram hukumnya menetapkan hukum waris secara
negara/adat, jika memang ia bertentangan dengan hukum waris berdasarkan syariat Islam. Hanya
Allah saja yang berhak menetapkan pembagian harta warisan ini, tidak boleh para raja, presiden,
pemerintah, sesepuh, ataupun ketua adat menetapkan hukum waris ini jika bertentangan dengan
syariat Islam.

Firman Allah, “(Hukum-hukum mengenai pembagian waris tersebut) itu adalah ketentuan-
ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Surat 4. AN
NISAA' - Ayat 13,14)
Ayat ini disebutkan setelah membahas mengenai ayat-ayat waris, dan jika dikaji dari ayat ini,
maka dapat kita pahami bahwa kita tidak boleh menetapkan tata cara pembagian warisan tanpa
berlandaskan kepada hukum-hukum waris yang sudah Allah tetapkan tersebut.

Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?

Membagi harta selain uang, misalnya motor, akan terasa sulit jika ia masih berupa motor.
Mengapa? Karena tidak mungkin kita memotong-motong fisik motor tersebut, agar masing-
masing ahli waris mendapat bagiannya secara adil. Tentu saja hal seperti ini tidak mungkin.
Maka cara yang termudah adalah hendaknya motor tersebut dijual terlebih dahulu, lalu uangnya
dibagikan sesuai dengan hukum waris Islam.

Jika kita memiliki harta selain uang, seperti emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, maka
supaya harta tersebut dapat dibagikan dengan adil dan mudah, ia harus dijual terlebih dahulu,
karena lebih mudah membagikan harta berupa uang daripada harta diam seperti itu. Namun, jika
memang memungkinkan, misal harta tersebut berupa tanah, dan para ahli waris pun sama
sepakat untuk mendiami/membangun di tanah tersebut, maka tidak perlu dijual. Tanah tersebut
dapat diukur terlebih dahulu, lalu masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya sesuai
dengan ketetapan Islam.

Cara lainnya, jika ada sebagian atau salah seorang ahli waris ada yang menginginkan harta selain
uang tersebut, maka ia dapat membayar nilainya (membelinya), lalu uang hasil pembayaran
tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada. Dalam hal ini, tidak ada paksaan bahwa harta
tersebut harus dijual atau tidak, tergantung dengan kesepakatan para ahli warisnya, dan harap
diperhatikan pula unsur keadilan dan kemudahannya, agar tidak bertentangan dengan syariat
Islam.
Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada Surat Wasiat?

Boleh mencantumkan pembagian warisan pada surat wasiat, bahkan dianjurkan jika para ahli
waris belum memahami ilmu faraid. Misal, pada surat wasiat kita tuliskan pada point tertentu
pembagian untuk istri 1/8, untuk ayah 1/6, untuk ibu 1/6, dan sisanya untuk anak-anak kita,
dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Jika kita tidak menuliskannya,
dikhawatirkan mereka akan membagikan harta warisan bukan berdasarkan syariat Islam. Namun
jika para ahli waris sudah paham akan ilmu faraid, dan mereka memang bersungguh-sungguh
hendak melaksanakannya, tidak dituliskan juga tidak apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai