Pendahuluan
Tema kerukunan hidup umat beragama, khususnya di tanah air ini,
merupakan tema klasik dan usang. Realitas yang bisa dijadikan referensi –yang
menjadi penguat argumentasi tersebut-- adalah bahwa kerukunan yang sering
didengung-dengungkan terkenal berwatak formalistik, karena terkesan hanya
mementingkan aspek penampakan luar, tanpa pernah menyentuh aspek substansi.
Selain itu kerukunan yang ada selama ini, memiliki kecenderungan berkelamin
birokratis-mekanistik, karena idiom "kerukunan" yang berlaku merupakan paket
dari pemerintah dan harus berproses dalam tatanan yang baku, sesuai dengan
kemauan, dan pesan sponsor dari pemegang kekuasaan.1
Hal tersebut menyebabkan kehidupan beragama di Indonesia –khususnya
dalam kurun waktu 30 tahun terkahir—mengalami pasang surut dengan corak
yang beragam. Hal tersebut sangat terkait erat dengan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah orde baru terhadap eksistensi agama-agama. Pada awal masa
orde baru –kurang lebih sekitar tahun 70-an sampai awal tahun 80-an—
pemerintah sangat membatasi aspirasi dan ruang gerak umat beragama, khususnya
ruang gerak umat Islam. Pembatasan tersebut terutama ditujukan kepada golongan
Islam politik, yang dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kekuasaan. Namun
sejak akhir tahun 1980-an, pemerintah berubah sikap dan cenderung lebih
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Perubahan sikap pemerintah tersebut
setidaknya disebabkan oleh tiga faktor yaitu, Pertama, adanya kebijakan de-
politisasi Islam dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi
politik maupun organisasi keagamaan-kemasyarakat. Ke-dua, perubahan orientasi
politik umat Islam. Perubahan ini nampak dari artikulasi yang dilakukan oleh
umat Islam, dengan menyatakan bahwa PPP bukan satu-satunya partai yang
1
Menurut insider kekuasaan, aturan-aturan formalis yang digunakan dalam rangka
menggalang kerukunan antar agama di Indonesia tersebut memiliki tujuan untuk meminimalisir
konflik. Dengan begitu akan tercipta stabilitas kehidupan keagamaan, yang merupakan salah satu
syarat mutlak lancarnya putaran roda pembangunan. Lihat, Mursyid Ali, Sekilas Tentang
Kerukunan Hidup Beragama; Sebuah Pengantar, Dalam, Mursyid Ali, ed., Dinamika Hidup
Beragama Menurut Penpektif Agama-agama, (Jakarta: Litbang DEPAG R.1., 1999), hal. 12.
1
2
Lepas dari wilayah konflik lintas agama tersebut, bagaimana peran bangsa
–sebagai pemersatu manusia di dalamnya—menciptakan suasana kondusif bagi
kehidupan rakyatnya tanpa ada diskriminasi terhadap satu golongan tertentu, yang
pada akhirnya akan memunculkan konflik berbau SARA, yang kebetulan belum
lama ini isu tersebut kembali menjadi topik hangat di negeri ini.
Jika benar demikian persoalannya, maka pertanyaan yang perlu segera di
jawab adalah bagaimana perilaku saling ‘menyetankan’ itu bisa diakhiri, atau
setidaknya diminimalisir secara terus-menerus, dan segala upaya ke arah
perdamaian ditopang dan digalakkan ? Bagaimana para agamawan membangun
jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat
disistematisasikan dan diagendakan ? dan, bagaimana peran negara –lebih
tepatnya pemerintah—mewujudkan budaya pluralisme5 di Indonesia ? mengingat
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila –sebagai landasan negara republik
Indonesia—dibangun berdasarkan nilai-nilai dan semangat pluralisme.
Dengan berpijak pada realitas di atas, makalah ini bermaksud menawarkan
alternatif pedoman, dalam kaitannya dengan pluralisme agama serta relasi antara
negara dan agama, yang relevan dengan realitas ke-Indonesiaan. Mengingat
selama ini suasana demokratis dan plural belum terwujud di negeri yang plural
ini, menurut hemat penulis hal ini diakibatkan oleh lemahnya pemerintah dalam
menegakkan nilai-nilai Pancasila –yang sudah jelas di dalamnya menekankan
adanya kebersamaan, perdamaian, dialog dan sebagainya—yang telah disepakati
6
Abdul Munir Mulkhan, Harian Kompas, Jumat, 30 April 1999.
5
10
Clifford Geertz, The Interpretation of Culture: Selected Essays, (London: Huchinson &
Co. Publishers Ltd., 1973), Bab I sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kebudayaan
dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
11
Budi Rajab, “Pluralitas Masyarakat Indonesia: Suatu Tinjauan Umum,” dalam Prisma,
No. 6 Tahun 1996, hlm. 3-13. Lihat juga Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
(Jakarta: LP3ES, 1987), Bab 7.
7
lain yang sampai saat ini masih terperangkap oleh perbedaan-perbedaan sosial,
politik, kebudayaan, dan agama.
konflik dan peperangan mulai terjadi antara kerajaan Islam di pesisir dengan sisa-
sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Pola konflik ini terus berlanjut
sampai pada sejarah kontemporer, yang percabangannya antara lain berwujud
dalam ketegangan dan konflik (politik) antara golongan abangan dan santri.
Kemudian pada abad 15 dan 16 disusul dengan kedatangan armada dagang
kerajaan Portugis dan kerajaan Belanda dengan membawa tiga misi, yaitu misi
dagang, penaklukan wilayah dan agama (God, Gold, dan Glory). Adapun agama
yang diemban adalah Kristen (Katolik dan Protestan). Selanjutnya, persaingan dan
konflik antara Islam dan Kristen berjalan terus sampai akhir abad ke-19 dengan
intensitas dan keragaman yang semakin tinggi. Persaingan dan trauma konflik ini
juga tersimpan dalam memori kolektif yang sering diteguhkan menjadi semacam
keyakinan teologis bagi penganut agama masing-masing.15
Pluralisme ketiga, pluralisme yang bercorak organik. Pluralisme ini
berawal ketika adanya puncak dominasi Belanda atas wilayah Nusantara dengan
didirikannya “negara” Nederland Indie. Fase baru ini berimplikasi besar pada
format pluralisme di Indonesia, di mana segala bentuk dan unsur-unsur
kepelbagaian yang ada dirajut menjadi satu jaringan yang disebut Negara
Nederland Indie. Negara ini sudah merupakan bentuk persatuan yang berhasil
mewadahi seluruh kemajemukan masyarakat menjadi satu unit yang merangkum
satu dengan yang lain. Pluralisme SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan)
diperlemah, disegregasikan, dan dibuat terfragmentasi demi kepentingan
pemerintah kolonial. Namun, unsur-unsur SARA tersebut tidak dibiarkan untuk
memisahkan diri dan mengurus dirinya sendiri secara merdeka. Kedudukan
pluralisme tetap sebagai onderdaan (bagian) dari hegemoni kolonial.16
Awal-awal memasuki abad 20, gerakan nasional Indonesia merupakan
reaksi terhadap struktur kolonial yang monolitik tersebut. Oleh sebab itu —
menurut T.H. Sumartana— dapat dikatakan bahwa pada dasarnya gerakan
15
Onghokham, “Pluralisme, Agama dalam Perspektif Sejarah,” dalam Elga Sarapung,
dkk. (ed.), Dialog, Kritik, dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Interfidei, 2004), hlm. 189-203.
Lihat juga H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta: Graffiti,
2003).
16
Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog,” hlm. 83. Juga G.M.T. Kahin,
“Nasionalisme,” hlm. 170-200.
10
action” untuk melindungi mereka dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Inilah
pekerjaan rumah dan tantangan Pancasila ke depan, yakni pada abad ke-21. Kalau
hal ini bisa dijawab, maka dengan sendirinya Pancasila juga menyelesaikan
problem multikulturalisme dan akan menjadi dasar orientasi pembentukan civil
society, dan kalau hal itu bisa terwujud, maka benar-benar terbukti kalimat yang
mengatakan, “Pancasila adalah sebuah ideologi modern, tapi juga, lebih-lebih
lagi, karena ia ditampilkan oleh sekelompok orang dengan wawasan modern,
yaitu para bapak pendiri Republik Indonesia, dan dimaksudkan untuk memberi
landasan filosofis bersama dari sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu
masyarakat Indonesia”.
menjelang rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, para wakil dari
kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler terlibat dalam perbedaan
mengenai apakah Islam atau Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar
falsafah negara Indonesia. Setelah melalui perdebatan panjang dan
melelahkan, kedua faksi sama-sama dapat menerima Pancasila untuk
digunakan sebagai tujuan tersebut.22
Kesepakatan itu, dalam acuan paling dasar hubungan agama dan
negara di Indonesia, bisa diambil maksudnya yaitu bahwa Pancasila berfungsi
mengatur hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa. Sedangkan
agama memberikan kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan atau social
purpose. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa
kita hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan cita pemikiran dan
kecenderungan naluri alamiah belaka.23 Atau dengan bahasa lain, meminjam
istilah Kuntowijoyo, Pancasila tidak sekuler tapi juga bukan agama, Pancasila
adalah objektivikasi dari agama-agama. Ini berarti bahwa unsur-unsur objektif
agama-agama ada dalam Pancasila.24 Dengan demikian, Pancasila mendapat
dukungan ganda: ia adalah ideologi dengan categorical imperative25 dan
melalui proses internalisasi ia dapat masuk dalam wilayah agama. Di samping
itu, juga dapat dikatakan bahwa antara agama dan Pancasila terdapat
hubungan simbiotik, yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain.
Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa bukannya hanya sekadar ideologi negara belaka.
22
B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Graffiti Press, 1985),
hlm. 21-23. Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Graffiti Press,
1997), hlm. 65-66. Juga Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila: Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 11-21.
23
Kacung Marijan dan Makmun Murod, (ed.), Abdurrahman Wahid: Mengurai
Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grassindo, 1999), hlm. 102.
24
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
25
Categorical Imperative, sebuah istilah dari Immanuel Kant untuk suatu kebaikan yang
tidak bersumber dari ajaran agama, tetapi dari hati nurani yang semua orang memilikinya, seperti:
disiplin, setia kawan, kedermawanan, kejujuran, kesetiaan, keadilan, kerja keras, dan lain-lain,
dapat bertumpu padanya. Dalam categorical imperative pun terdapat rasa benar-salah, dan sanksi
yang inheren adalah rasa bersalah itu. Kalau agama segala perbuatan tergantung dari iman
seseorang dengan sanksi surga-neraka, maka dalam categorical imperative ada disiplin dari dalam
dan perlu sanksi luar berupa paksaan hukum (Law Enforcement), lihat Ibid.
14
keberagamaannya. Yang asasi itu bukan sekadar hak asasi manusia semata.
Yang asasi bisa menjadi hak manusia, karena dimungkinkan oleh rahmat
Tuhan. Dengan pernyataan demikian, maka bangsa Indonesia telah
menyatakan bahwa dalam kepelbagaian rasa menghayati agamanya, ia
mempunyai satu religiositas yang sama, yaitu adanya pengakuan bersama
terhadap Ketuhanan Yang Maha Kuasa, dan ketuhanannya itu adalah Yang
Maha Esa. Pemahaman terhadap ketuhanan yang demikian ini harus dimulai
dari titik tolak keberadaan bangsa Indonesia sendiri. Kalau pemahaman ini
harus dimulai dengan titik tolak yang lain, maka yang terjadi adalah
pengingkaran terhadap keberadaan bangsa Indonesia sendiri.28
Di samping itu, Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga
dimaksudkan sebagai welstanchauung (kata yang sering digunakan oleh Bung
Karno) yang merupakan sesuatu yang umum, yang masih perlu diisi dengan
rumusan-rumusan yang jelas dan terang. Yang merumuskan pengisian ini
adalah kelompok-kelompok agama sendiri dengan akidahnya atau dengan
dogmanya. Dalam hal ini, negara tidak boleh campur tangan, karena bukan
negara yang berteologi, tapi umat beragamalah yang berteologi. Meskipun
begitu, negara tetap mewakili tingkat persatuan (sila ketiga), sedangkan
agama mewakili tingkat kebinekaan. Hal ini terlihat dalam pengalimatan, di
mana istilah ketuhanan merupakan istilah yang sangat abstrak bukan “Tuhan”,
melainkan “ketuhanan”, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan
sendiri. Jadi, dengan rumusan tersebut, sila ketuhanan diberikan ruangan yang
luas sekaligus dilindungi oleh negara agar agama-agama yang ada dapat
menguraikan dan mengembangkan pemahaman mereka masing-masing
mengenai Tuhan itu.29 Oleh karena itu, dapat dimengerti pernyataan yang
mengatakan bahwa “Pancasila merupakan dasar filosofi bagi pluralisme
Indonesia”.30
28
Ibid., hlm. 206. dan Idem, Nilai-Nilai Dasar yang Terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999).
29
Olaf Schumann, “Kehidupan Bersama Umat Kristiani dan Umat Muslim di Indonesia
Pada Masa Depan,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas, hlm. 80.
30
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia,” Kata Pengantar dalam
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish
16
32
Ibid, hlm. 42. Lihat juga, Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog Agama dan
Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 54.
33
J.J. Rousseau, Social Contract…, hlm. 81.
18
menginginkannya bebas dari rezim yang berkuasa.34 Kedua sifat ini membuat
setiap rakyat memiliki landasan moral untuk mengabdi dan mencintai
masyarakat dan negaranya tanpa dominasi insitusi agama dan negara.
Civil religion adalah religious mengingat pentingnya masyarakat
untuk diarahkan kepada ""rasa cinta terhadap kewajiban-kewajibannya", dan
civil karena sentimen-sentimen pembentukannya adalah sosiabilitas, yang
tampaknya mereka tidak mungkin menjadi seorang waga negara yang baik
atau seorang manusia yang penuh percaya diri, oleh karena itu menurut
Rousseau ajaran-ajaran civil religion seharusnya sederhana, sedikit
jumlahnya, benar-benar pasti, dan tanpa disertai penjelasan atau penafsiran.
Adanya Tuhan yang berkuasa, bijaksana, dan penuh kebaikan, yang
meramalkan dan memberikan kehidupan yang akan datang, kebahagian yang
adil, hukuman bagi yang jahat, kesucian kontrak sosial dan hukum merupakan
ajaran-ajaran positifnya. Ajaran-ajaran negatifnya dibatasi hanya satu,
intoleransi yang hanya cocok dengan pemujaan yang telah Rousseau
singkirkan.35
Demikian yang Rousseau maksud dengan civil religion yaitu suatu
bentuk kesetiaan kepada masyarakat atau negara dengan nuansa religious.
Agama ini meskipun tidak mengharuskan dan juga tidak bisa memaksa orang
untuk mempercayainya, namun memiliki hak untuk menghukum orang yang
tidak mengikutinya -bukan sebagai orang yang tidak saleh, tetapi sebagai
orang yang anti sosial- karena dalam agama ini yang religius adalah yang
sosial.
Berdasarkan pada pemaknaan terhadap Pancasila dan pembacaan
terhadap konsep civil religion-nya Rousseau, dalam konteks Indonesia
sebenarnya sudah terdapat konsep yang cukup jelas mengenai kontrak sosial
tersebut yakni Pancasila. Pada awalnya memang Pancasila tidak dimaksudkan
menjadi semacam civil religion, tetapi dari fungsi dan tempatnya dalam
mayarakat pluralis seperti Indonesia, ia mengandung potensi-potensi civil
34
Ibid, hlm. 42.
35
J.J. Rousseau, Social Contract…, hlm. 84.
19
religion-nya Rousseau, dan memuat nilai-nilai kontraktual. Dan hal ini telah
terbukti dari beberapa peristiwa dalam sejarah Republik Indonesia, bagaimana
fungsi integratif-legitimatif ini berperan secara efektif pada saat-saat
kemerdekaan dan sebagai dasar kuat untuk perlawanan bersama pada tahun-
tahun berikutnya dalam perselisihan politis dan militeristis dengan penjajah
yang kembali hendak berkuasa, yaitu Belanda (1949), dan juga terhadap
pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, juga PRRI/Permesta.36
36
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi..., hlm. 75.
20
Paramadina, 2001).
39
Kuntowijoyo, Identitas, hlm. 80.
22
tiba membuat negeri ini sepertinya harus berjuang mulai dari awal lagi.40
Untuk itu, dalam menghadapi era industrialisasi ke depan, tidak ada
pilihan lain bagi bangsa Indonesia yang plural ini untuk mengembalikan
dan menjadikan Pancasila secara rasional dengan mengubah cara
pemasyarakatannya. Ini berarti alam pikiran mitos yang selama ini kita
pakai dalam memasyarakatkan Pancasila harus diganti dengan alam
pikiran sejarah, sehingga kita bisa memahami Pancasila pada nilai
kesejatiannya, yang pada akhirnya nanti bisa dijadikan acuan dalam hidup
bersama dalam masyarakat yang plural.
Kedua, adanya kondisi-kondisi luar yang mendukung untuk tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai civil religion yang ada dalam Pancasila. Kondisi-
kondisi tersebut adalah:
1) Kesadaran pluralitas keagamaan. Pluralisme agama di negeri ini
merupakan suatu keniscayaan dan realitas empiris yang tidak bisa
dipungkiri. Pluralisme sejak dulu telah dikenal sebagai potensi berbangsa
dan bernegara, sehingga para founding father menetapkan negara ini
bukan sebagai negara agama atau negara sekuler, namun tepat berada di
tengah-tengah keduanya. Pilihan tersebut bisa dibilang cukup tepat, untuk
tidak mengatakan mutlak adanya, karena bisa saja berubah seiring
perkembangan dan tuntutan zaman. Pilihan untuk menjadi negara non-
agama ketika itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa
ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian dan menjunjung
tinggi perbedaan. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi negara sekuler
jelas membuktikan bahwa negeri ini rakyatnya bisa dibilang religious
society, masyarakat yang bertuhan. Kecerdasan dan kecermatan para
founding father merumuskan dengan baik apa yang menjadi kebutuhan
bersama tersebut harus disyukuri, dipahami, dan diteladani, kalau kita
masih mengaku sebagai bagian dari bangsa ini. Permasalahannya sekarang
adalah bagaimana konteks pluralitas agama ini bisa dikelola secara kreatif,
40
Tommy F. Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia,” dalam
Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global, (Jakarta:
Kompas, 2000), hlm. 505-514.
23
F. Simpulan
Dengan merujuk kepada pemaknaan awal proses “kelahirannya”, terdapat
makna tersirat yang dapat diambil dari Pancasila sebagai dasar pluralisme, yakni;
Pertama, Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia dengan kepelbagaian cara menghayati agamanya, ia
mempunyai satu religiositas yang sama, yaitu adanya pengakuan bersama
terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau dengan bahasa lain, ia menjadi titik
temu atau landasan filosofis bersama (common philosphical ground) bangsa
Indonesia.
48
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 224. Juga Mochtar Pabottinggi, “Di Antara Dua Jalan Lurus,”
dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga, hlm. 248-277.
27
Kedua, Pancasila dalam acuan paling dasar hubungan agama dan negara
di Indonesia, bisa diambil maksudnya, yaitu bahwa Pancasila berfungsi mengatur
hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama
memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose),
atau dengan bahasa lain, Pancasila adalah objektivikasi agama-agama. Dengan
demikian.
Ketiga, Pancasila berfungsi sebagai kontraktual berbangsa. Artinya,
persetujuan atau kompromi antara sesama warga negara tentang asas-asas negara
baru, sehingga bila prinsip-prinsip yang terkandung dalam kontrak sosial itu
dilanggar, maka pada hakikatnya terjadi pembubaran negara.
Keempat, Pancasila sebagai ideologi terbuka dan rasional, sehingga dari
segi pengembangan prinsip-prinsipnya mempunyai sifat dinamis, tidak statis,
menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan
berkembang. Oleh karena itu, tidak mungkin Pancasila dibiarkan mendapat
tafsiran sekali jadi untuk selamanya.
Dalam kaitannya dengan agama-agama dan negara, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila di antaranya; Pertama, adanya kesadaran dan
pengelolaan pluralitas keagamaan dengan baik, sehingga mendorong munculnya
wawasan baru dan perkembangan agama-agama. Kedua, adanya supremasi
hukum bersifat inklusif dan tidak bertolak dari satu agama tertentu, dan juga tidak
menafikkan agama lain. Ketiga, adanya pendidikan agama dan kewargaan yang
indoktrinatif. Keempat, agama dan negara harus berada pada posisi masing-
masing, tidak saling intervensi melainkan bersinergi.
28
g, 1981, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka
Jaya.
g, 1973, The Interpretation of Culture: Selected Essays, London: Huchinson &
Co. Publishers Ltd..
Rajab, Budi, “Pluralitas Masyarakat Indonesia: Suatu Tinjauan Umum,” dalam
Prisma, No. 6 Tahun 1996.
Kleden, Ignas, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.
Munawar-Rachman, Budhy, 2001, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Jakarta: Paramadina.
Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan
Antaragama di Indonesia,” dalam Th. Sumartana, dkk., 2001, Pluralisme,
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.
T, 2003, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, Yogyakarta: Interfidei.
Krom, N.J., 1956, Zaman Hindu, Jakarta: PT. Pembangunan.
Simbolon, Parakitri T., 2000 “Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia,” dalam Bentara Kompas, No. 9 Tahun I, 6 Oktober 2000.
Onghokham, “Pluralisme, Agama dalam Perspektif Sejarah,” dalam Elga
Sarapung, dkk. (ed.), 2004, Dialog, Kritik, dan Identitas Agama,
Yogyakarta: Interfidei.
Graaf, H.J. de, dan Th. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
Graffiti.
Salim, Hairus, Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan, dalam Basis, edisi Januari-
Februari 2004.
Azra, Azyumardi, 2002, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut
Kerukunan Antar Umat, Jakarta: Kompas.
Effendi, Djohan “Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di
Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (ed.), 1998
Passing Over: Melintas Batas-Batas Agama, Jakarta: Gramedia.
Al Andang L. Binawan, Penyempitan Kebebasan Beragama, dalam Basis, No.
01-02, Tahun ke-53.
Boland, B.J., 1985, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Graffiti
Press.
Simanjuntak, Marsilam, 1997, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Graffiti
Press.
Hatta, Mohammad, 1989, Pengertian Pancasila: Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977, Jakarta: Haji Masagung.
Marijan, Kacung, dan Makmun Murod, (ed.), 1999, Abdurrahman Wahid:
Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grassindo.
30
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
Onghokham, “Pancasila Sebagai Kontrak Sosial,” dalam Opini Kompas, Kamis 6
Desember 2001, hlm. 4
John A. Titaley, “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia: Suatu Refleksi
Teologis,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-
agama di Indonesia: Theologia Religionum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), hlm. 202.
Olaf Schumann, “Kehidupan Bersama Umat Kristiani dan Umat Muslim di
Indonesia Pada Masa Depan,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas, hlm.
80.
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia,” Kata Pengantar dalam
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis
Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Murai Kencana, 2004),
hlm. ix-xxviii.
Robert N Bellah dan Philip E Hammond, Varieties of Civil Religion (San
Fransisco: Harper and Row, 1980), hlm. 43.
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog Agama dan Edukasi: Keluarga
Kristen dalam Masyarakat (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 54.
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi: Keluarga Kristen dalam
Masyarakat, (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 75.
J.J. Rousseau, Social Contract, hlm. 16. Bandingkan dengan Franz Magnis-
Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 250.
Heriyanto, “Masyarakat Politis Legitim Menurut Rousseau,” dalam Jurnal
Filsafat Driyarkara, Edisi XXVI, No. 2, hlm. 54-64.
Th. Sumartana, “Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Telaah Etis-
Apresiatif,” dalam Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam Konteks
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 131-140.
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA. (ed.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No,
(Jakarta: Paramadina, 2001).
Tommy F. Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia,”
dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan
Perubahan Global, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 505-514.
I. Bambang Sugiharto, “Pluralisme Agama dan Keutuhan Manusia,” dalam I.
Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W. (ed.), Wajah Baru Etika dan
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 145.
Moh. Mahfud MD., Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi dalam
Ilmu Hukum pada UGM Yogyakarta, tidak diterbitkan.
31
Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum Baru Menuju Supremasi Hukum: Sebuah
Antaran Akademis,” dalam M.AS. Hikam dan Mulyana W. Kusumah
(ed.), Wacana, hlm. xvii-xxxix.
Philip E. Hammond, “Pluralism and Law in The Formation of American Civil
Religion,” dalam Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varieties,
hlm. 146-160.
Daniel Dhakidae, “Sistem Sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga dan Pergulatan
Demokrasi,” dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan
Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas,
2001), hlm. 3-29.
Pembahasan menarik tentang Indoktrinasi dan brainwashing ini, lihat Daniel
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
(Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 702-708.
M. Aiskal Salim, dkk. (penyunting), Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press,
2000).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 224. Juga Mochtar Pabottinggi,
“Di Antara Dua Jalan Lurus,” dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga,
hlm. 248-277.