Anda di halaman 1dari 31

A.

Pendahuluan
Tema kerukunan hidup umat beragama, khususnya di tanah air ini,
merupakan tema klasik dan usang. Realitas yang bisa dijadikan referensi –yang
menjadi penguat argumentasi tersebut-- adalah bahwa kerukunan yang sering
didengung-dengungkan terkenal berwatak formalistik, karena terkesan hanya
mementingkan aspek penampakan luar, tanpa pernah menyentuh aspek substansi.
Selain itu kerukunan yang ada selama ini, memiliki kecenderungan berkelamin
birokratis-mekanistik, karena idiom "kerukunan" yang berlaku merupakan paket
dari pemerintah dan harus berproses dalam tatanan yang baku, sesuai dengan
kemauan, dan pesan sponsor dari pemegang kekuasaan.1
Hal tersebut menyebabkan kehidupan beragama di Indonesia –khususnya
dalam kurun waktu 30 tahun terkahir—mengalami pasang surut dengan corak
yang beragam. Hal tersebut sangat terkait erat dengan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah orde baru terhadap eksistensi agama-agama. Pada awal masa
orde baru –kurang lebih sekitar tahun 70-an sampai awal tahun 80-an—
pemerintah sangat membatasi aspirasi dan ruang gerak umat beragama, khususnya
ruang gerak umat Islam. Pembatasan tersebut terutama ditujukan kepada golongan
Islam politik, yang dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kekuasaan. Namun
sejak akhir tahun 1980-an, pemerintah berubah sikap dan cenderung lebih
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Perubahan sikap pemerintah tersebut
setidaknya disebabkan oleh tiga faktor yaitu, Pertama, adanya kebijakan de-
politisasi Islam dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi
politik maupun organisasi keagamaan-kemasyarakat. Ke-dua, perubahan orientasi
politik umat Islam. Perubahan ini nampak dari artikulasi yang dilakukan oleh
umat Islam, dengan menyatakan bahwa PPP bukan satu-satunya partai yang

1
Menurut insider kekuasaan, aturan-aturan formalis yang digunakan dalam rangka
menggalang kerukunan antar agama di Indonesia tersebut memiliki tujuan untuk meminimalisir
konflik. Dengan begitu akan tercipta stabilitas kehidupan keagamaan, yang merupakan salah satu
syarat mutlak lancarnya putaran roda pembangunan. Lihat, Mursyid Ali, Sekilas Tentang
Kerukunan Hidup Beragama; Sebuah Pengantar, Dalam, Mursyid Ali, ed., Dinamika Hidup
Beragama Menurut Penpektif Agama-agama, (Jakarta: Litbang DEPAG R.1., 1999), hal. 12.

1
2

mewadahi aspirasi mereka. Ketiga, Meningkatnya jumlah kuantitas umat Islam


yang terdidik, yang dikenal dengan istilah masyarakat Muslim perkotaan.2
Di samping hal-hal di atas, ada kenyataan lain yang juga harus
diperhatikan dalam rangka memperlebar wacana publik tentang kerukunan hidup
antar umat beragama, yakni adanya standar normatif yang dimiliki oleh masing-
masing agama. Norma-norma agama tersebut ---bila dipandang sekilas---, hanya
sebatas ajaran universal serta nilai-nilai keagamaan yang terbuka bagi konsensus,
demi terciptanya kerukunan. Namun bila ditinjau lebih lanjut, dalam agama-
agama juga terdapat norma agama yang bersifat parsial-spesifik, seperti doktrin
politik dan sistem berfikir, yang tentunya sulit diupayakan terjadinya kerukunan.
Hal ini didasarkan pada realitas bahwa segala sesuatu yang bersifat doktrinal pasti
diikuti dengan penafsiran, dan pada gilirannya akan memunculkan fanatisme
keagamaan di kalangan umatnya.3 Hal tersebut juga didukung oleh adanya
heteroginitas, yang sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan referensi dan adanya
klaim validitas. Atas kenyataan ini, maka dapat dipastikan bahwa konflik lintas
doktrin agama di kalangan para pemeluk suatu agama akan terus berlangsung.
Hal itu tidak berarti bahwa teologi bersifat ekslusif, melainkan sebaliknya
–bersifat inklusif--. Justru karena mengakui identitasnya yang terbatas dan
dinamis, dengan segala kerendahan hati teologi dapat bersikap terbuka dan
diperkaya serta memperkaya mitra bicaranya, baik umat lain melalui kajian lintas
teologi, maupun ilmu-ilmu lain melalui kajian lintas ilmu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Van Der Ven, yang membuat distingsi multidisciplinarity,
interdisciplinarity, dan intradisciplinarity.4
2
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 56.
Bandingkan dengan, Robert W. Hefner, Islam Pasar keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan
Demokrasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal. xi.
3
Arnold Tyonbee, sebagaimana dikutip oleh Djam’annuri, menyatakan bahwa tiga agama
wahyu, yakni Islam, Masehi –Kristen-- dan Yahudi, memiliki kecenderungan ke arah
Ekslusivisme dan Intoleran. Masing-masing menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran yang
absolut. Untuk lebih jelasnya lihat, Djam’annuri, (ed.), Agama Kita, Perspektif Sejarah Agama-
agama; Sebuah pengantar, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta & LESFI, 2002), cet. II, hal. 25.
4
Johanes Van Der Ven, Practical Theology; An Empirical Approach, (Kampen: Kok
Pharos Publishing House, 1993), hal. 112. Lihat juga pendapat Kockelmans, yang membuat
distingsi disciplinary work, multidisciplinary education, pluridisciplinary work, interdisciplinary
work, crossdisciplinary work, dan transdicliplinary work. Lihat, Joseph J. Kockelmans, Why
3

Lepas dari wilayah konflik lintas agama tersebut, bagaimana peran bangsa
–sebagai pemersatu manusia di dalamnya—menciptakan suasana kondusif bagi
kehidupan rakyatnya tanpa ada diskriminasi terhadap satu golongan tertentu, yang
pada akhirnya akan memunculkan konflik berbau SARA, yang kebetulan belum
lama ini isu tersebut kembali menjadi topik hangat di negeri ini.
Jika benar demikian persoalannya, maka pertanyaan yang perlu segera di
jawab adalah bagaimana perilaku saling ‘menyetankan’ itu bisa diakhiri, atau
setidaknya diminimalisir secara terus-menerus, dan segala upaya ke arah
perdamaian ditopang dan digalakkan ? Bagaimana para agamawan membangun
jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat
disistematisasikan dan diagendakan ? dan, bagaimana peran negara –lebih
tepatnya pemerintah—mewujudkan budaya pluralisme5 di Indonesia ? mengingat
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila –sebagai landasan negara republik
Indonesia—dibangun berdasarkan nilai-nilai dan semangat pluralisme.
Dengan berpijak pada realitas di atas, makalah ini bermaksud menawarkan
alternatif pedoman, dalam kaitannya dengan pluralisme agama serta relasi antara
negara dan agama, yang relevan dengan realitas ke-Indonesiaan. Mengingat
selama ini suasana demokratis dan plural belum terwujud di negeri yang plural
ini, menurut hemat penulis hal ini diakibatkan oleh lemahnya pemerintah dalam
menegakkan nilai-nilai Pancasila –yang sudah jelas di dalamnya menekankan
adanya kebersamaan, perdamaian, dialog dan sebagainya—yang telah disepakati

Interdisciplinarity?, dalam, Joseph J. Kockelmans, ed., Interdisiplinarity and High Education,


(t.k.: The pennsylvania State University Press, 1979), hal. 127-129.
5
Istilah pluralisme berasal dari kata plural, yang berarti sesuatu atau bentuk yang lebih
dari satu. Berdasarkan segi bahasanya, pluralisme memiliki pengertian: (1) Keberadaan sejumlah
kelompok orang dalam satu masyarakat yang berasal dari ras, pilihan politik, dan kepercayaan
agama yang berbeda-beda; (2) yang bisa hidup bersama secara damai dalam satu masyarakat.
Dalam Hornby, A.S. (ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University
Press, 1989), hlm. 953. Pengertian pluralisme sering disamakan dengan pluralitas (plurality),
sebagai ciri dari realitas keberagamaan. Akan tetapi, Anselm Kyongsuk Min membedakan arti
kedua istilah tersebut. Pluralitas adalah suatu realitas nyata, sedangkan pluralisme adalah bentuk
kesadaran atas realitas tersebut. Dikutip dalam Abu Du Wahid, Ahmad Wahib: Pergulatan,
Doktrin, dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm.20. Begitu juga R. Panikkar
yang membedakan keduanya, bahwa: Pluralitas adalah keberagaman yang tidak saling menyapa
dan berhubungan serta merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Sedang pluralisme berdiri di
antara pluralitas dan kesatuan monolitik ini. R. Panikkar, Dialog Intra Religius, terje. Kelompok
Studi Filsafat Drijarkara, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 33-34.
4

bersama. Dan atau, adanya kemungkinan, pembelaan negara terhadap salahsatu


agama, sehingga memunculkan keberangan dan kecemburuan pada agama lain,
meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan, keagamaan yang berselingkuh dengan
kekuasaan atau diselingkuhkan oleh kekuasaan.6 Dan akhirnya bukan hal yang
mustahil jika berimplikasi pada munculnya ‘perang agama’.
Maka dari itu, untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang terkandung dalam
Pancasila, sudah seharusnya para umat beragama –seluruh elemen masyarakat
Indonesia pada umumnya— menjunjung dan mengejawantahkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila demi mewujudkan sebuah tatanan yang demokratis.
Demikian juga negara –sebagai wadah pemersatu seluruh elemen masyarakat—
bukan berarti bebas berkehendak, namun sebaliknya, harus konsisten menjadi
pelopor sekaligus penindak bagi pelanggar nilai-nilai Pancasila.
Simpulan sementara yang dapat diambil, untuk mewujudkan sistem yang
demokratis perlu akan adanya landasan, ketentuan dan batasan-batasan yang baku
mengenai konsep hubungan agama, negara dan masyarakat di Indonesia. Maka
dari itu diperlukan adanya reinterpretasi tepatnya rekontekstualisasi Pancasila,
yang dapat memungkinkan adanya suasana yang demokratis, inklusif dan plural di
negara ini.

B. Wajah Kemajemukan (Pluralisme) di Indonesia


Secara garis besar pluralisme dalam sejarah bangsa Indonesia muncul
dalam dua pengelompokan. Di antaranya adalah, pertama, pluralisme vertikal,
terjadi pada masa kolonial yang mana masing-masing kelompok masyarakat yang
berdiri sendiri-sendirisekaligus merefleksikan adanya peran politik antara
penguasa dan rakyat, kelompok kaya dan miskin dalam dataran kemampuan
ekonomi dan perbedaan tingkat pendidikan antara terpelajar dan masyarakat
awam. Lapisan-lapisan tersebut kemudian terbagi pula menurut kategori rasnya.
Lapisan pertama, yaitu orang-orang Belanda dan ras kulit putih lainnya dari
bangsa-bangsa Eropa yang merupakan kelompok minoritas yang menduduki
puncak kekuasaan politik dan sekaligus menguasai sumber-sumber daya ekonomi

6
Abdul Munir Mulkhan, Harian Kompas, Jumat, 30 April 1999.
5

dalam skala besar, seperti industri, pertambangan, dan perkebunan. Lapisan


kedua, yang juga merupakan kelompok minoritas, adalah orang-orang yang
berasal dari ras timur Asing, yaitu Cina, Arab, dan India. Mereka pada umumnya
bermata pencaharian sebagai pedagang perantara, dan tidak atau kurang memiliki
akses dan kontrol pada kekuasaan poolitik. Lapisan ketiga, adalah golongan
pribumi, yaitu orang-orang Indonesia yang pada umumnya secara horizontal
ditandai oleh perbedaan suku bangsa, bahasa, agama dan kedaerahan. Dan dalam
hal mata pencahariannya, sebagai besar bertumpu pada sektor pertanian.7
Kemajemukan model ini menurut Clifferd Geertz masih terbawa sampai
ke masa pasca kemerdekaan Indonesia. Hanya saja Geertz tidak lagi melihat
pluralisme masyarakat tidak lagi bersifat vertikal, yang kesemuanya itu
disebabkan oleh situasi dan kondisi politik yang telah berubah. Di mana kolonial
Belanda tetap menjaga status quo kemajemukan secara vertikal masyarakat
Indonesia yang telah hancur bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II.8
Kedua, pasca merdeka bangsa ini dihadapkan pada bentuk pluralisme
yang baru, yang disebut dengan pluralisme horisontal, yakni pengelompokan yang
lebih banyak diikat oleh ikatan-ikatan primordial, seperti ikatan ras, agama, suku,
daerah asal maupun kekerabatan. Primordialisme model ini merupakan pengikat
asli masyarakat Indonesia sekaligus sebagai dasar tumbuhnya pengelompokan-
pengelompokan yang terjadi di masyarakat Indonesia. Baik itu dalam asosiasi-
asosiasi, organisasi massa, pemerintahan, partai politik maupun organisasi-
organisasi ekonomi.9
Menurut Furnivall dan konsepsi Geertz, kemajemukan ini mempunyai
sebuah potensi konflik yang sangat berpengaruh terhadap proses kemajuan bangsa
Indonesia, sebab, konflik golongan ini –yang saat ini disebut dengan SARA—
mampu meruntuhkan keutuhan negara bangsa atau lebih tepatnya proses
disintegrasi bangsa--. Sedangkan menurut Geertz, pengelompokan yang terjadi
7
J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1944), hlm. 446-449.
8
Clifford Geertz, “The Integrative Revolution,” dalam Clifford Geertz (ed.), Old
Societies and New Nations, (Illinois: The Free Press, 1963).
9
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981).
6

berdasarkan ikatan primordial akan menyulitkan dalam komunikasi satu sama


lain, sebab masing-masing kelompok dalam berinteraksi cenderung menggunakan
kerangka budaya mereka sendiri, sehingga sulit mengalami sebuah perubahan.10
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikemukakan bahwa
kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa akan menjadi permasalahan krusial
dalam proses integrasi nasional bila kemajemukan itu dipandang sebagai sesuatu
yang statis, atau bila suatu kebudayaan diletakkan sebagai sesuatu yang given,
yang sudah jadi, final, tertutup, dan tidak mungkin berubah. Dalam konteks
pandangan yang tertutup itulah pendekatan Furnivall dan Geertz dalam melihat
kemajemukan masyarakat bisa diletakkan.11
Meskipun begitu, yang tetap dan harus disadari adalah bahwa pluralitas
masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan dan sekaligus peluang yang
jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia. Tantangan, karena keragaman
etnis, golongan, suku dan agama dapat menjadi sumber bagi lahirnya konflik yang
sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan juga beragama.
Bawaan nilai-nilai moral, etis, adat kebiasaan, dan spiritual yang sudah inheren
dalam masing-masing golongan dapat menjadi pemicu terciptanya konflik-konflik
tersebut. Peluang, bila kemajemukan masyarakat Indonesia tersebut bisa
tertangani secara tepat, kemungkinan konflik itu bisa berubah menjadi dukungan
kekuatan, moral, etis, dan spiritual yang positif bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dan beragama.
Akhirnya, pengalaman Indonesia bisa menjadi suatu sumbangan yang
sangat dibutuhkan oleh manusia masa kini, karena dunia kita juga adalah dunia
yang heterogen. Untuk itu, apabila penyelesaian terhadap heterogenitas
masyarakat Indonesia dapat dianalisis berdasarkan suatu refleksi sosiologis-
teologis, maka penanganan heterogenitas itu bukan hanya kebutuhan internal
Indonesia sendiri, melainkan juga sesuatu yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa

10
Clifford Geertz, The Interpretation of Culture: Selected Essays, (London: Huchinson &
Co. Publishers Ltd., 1973), Bab I sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kebudayaan
dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
11
Budi Rajab, “Pluralitas Masyarakat Indonesia: Suatu Tinjauan Umum,” dalam Prisma,
No. 6 Tahun 1996, hlm. 3-13. Lihat juga Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
(Jakarta: LP3ES, 1987), Bab 7.
7

lain yang sampai saat ini masih terperangkap oleh perbedaan-perbedaan sosial,
politik, kebudayaan, dan agama.

C. Indonesia; Pluralisme Agama


Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya
menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisa
dipahami sekadar sebagai kebaikan negatif, yang hanya dilihat dari kegunaannya
untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian
sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Karena pluralisme kini
membawa persoalan eksistensial yang serius, yakni bagaimana kita bisa hidup
secara berarti di tengah demikian banyaknya pendapat tentang hidup, manusia,
dan dunia.12
Lebih spesifik mengenai pluralitas agama, perlu disadari bahwa pluralitas
agama ini berkaitan dengan masalah yang sangat peka. Sebab, agama merupakan
keyakinan tentang sesuatu yang absolut benar, sesuatu yang menyangkut
keselamatan hidup manusia, bukan hanya di dunia tetapi juga setelah ‘kematian’.
Keyakinan agama itu diaktualisasikan dalam keberagamaan dalam wujud
keyakinan teologis, dan juga dalam bentuk kegiatan yang secara langsung atau
tidak bernuansa bahkan berdampak sosial.
Indonesia adalah sebuah melting pot dan sekaligus sebagai “supermarket”
yang ramai bagi pengaruh agama-agama dunia. Agama-agama dunia datang silih
berganti. Satu menggantikan yang lain. Akan tetapi, dalam arti tertentu juga, ada
semacam pola amalgamasi, baik dengan sesama agama yang datang dari luar,
maupun antara agama impor dengan tradisi agama lokal.
Seorang tokoh yang mencoba untuk memaparkan tentang pluralisme
adalah T.H. Sumartana, Sumartana membagi pluralisme agama di Indonesia
menjadi tiga periode:
1. Pluralisme awal, pada masa ini pluralisme masih relatif stabil dan masih
berada dalam dataran yang statis. Hal ini ditandai dengan masuknya
12
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
(Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 31-54.
8

agama Hindu dan Buddha, meskipun terjadi konflik, namun konflik


tersebut berskala kecil. Malah terjadi proses sintesis atau dikenal dengan
istilah Sinkretisme yang mampu menciptakan harmoni kehidupan baik
dari segi agama maupun politik –Sriwijaya, Mataram Tua dan Majapahit.
2. Pluralisme yang bersifat terbuka atau pluralisme yang melahirkan
persaingan antara beberapa kubu umat beragama. Fase ini ditandai ketika
agama Islam mulai berkembang di Indonesia. Pada waktu itu konflik dan
peperangan terjadi antara kerajaan Islam dan sisa kekuatan Majapahit,
yang terus berlanjut sampai pada sejarah kontemporer.
3. Dan yang ketiga, pluralisme modern atau pluralisme yang bercorak
organik, ditandai dengan adanya puncak dominasi Belanda atas wilayah
Nusantara dengan didirikannya “negara” Nederland Indie. Waktu itu
kemajemukan terfragmentasi demi kepentingan pemerintah kolonial.13
Pluralisme awal adalah pluralisme yang relatif stabil, karena kemajemukan
suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Unsur-unsur
agama di masyarakat itu masih bercorak self-sufficient belum bergantung satu
sama lain. Agama-agama suku hidup dalam klaim dan domain yang terbatas, tidak
berhubungan satu sama lain. Keadaan semacam ini tidak berubah sampai
kedatangan pengaruh agama besar yaitu agama Hindu dan Buddha dari India.
Munculnya kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha dengan tingkat peradabannya
masing-masing dalam catatan sejarah tidak menimbulkan konflik yang berarti,
bahkan malah terjadi proses sintesis atau sinkretisme yang mampu menciptakan
harmoni kehidupan baik dari segi agama maupun politik, seperti yang terjadi di
zaman Sriwijaya, Mataram Tua, dan kerajaan Majapahit.14
Kedua adalah pluralisme kompetitif. Pluralisme ini kira-kira berawal sejak
abad ke-13 ketika agama Islam mulai berkembang di Indonesia. Pada waktu itu,
13
Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan
Antaragama di Indonesia,” dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei, 2001), hlm. 81-82.
14
Tentang kedatangan agama-agama besar awal di Indonesia, lihat beberapa tulisan
dalam Th. Sumartana, dkk., Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta: Interfidei,
2003). Juga N.J. Krom, Zaman Hindu, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1956), hlm. 41-80; serta lihat
Parakitri T. Simbolon, “Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara di Indonesia,” dalam Bentara
Kompas, No. 9 Tahun I, 6 Oktober 2000, hlm. 29.
9

konflik dan peperangan mulai terjadi antara kerajaan Islam di pesisir dengan sisa-
sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Pola konflik ini terus berlanjut
sampai pada sejarah kontemporer, yang percabangannya antara lain berwujud
dalam ketegangan dan konflik (politik) antara golongan abangan dan santri.
Kemudian pada abad 15 dan 16 disusul dengan kedatangan armada dagang
kerajaan Portugis dan kerajaan Belanda dengan membawa tiga misi, yaitu misi
dagang, penaklukan wilayah dan agama (God, Gold, dan Glory). Adapun agama
yang diemban adalah Kristen (Katolik dan Protestan). Selanjutnya, persaingan dan
konflik antara Islam dan Kristen berjalan terus sampai akhir abad ke-19 dengan
intensitas dan keragaman yang semakin tinggi. Persaingan dan trauma konflik ini
juga tersimpan dalam memori kolektif yang sering diteguhkan menjadi semacam
keyakinan teologis bagi penganut agama masing-masing.15
Pluralisme ketiga, pluralisme yang bercorak organik. Pluralisme ini
berawal ketika adanya puncak dominasi Belanda atas wilayah Nusantara dengan
didirikannya “negara” Nederland Indie. Fase baru ini berimplikasi besar pada
format pluralisme di Indonesia, di mana segala bentuk dan unsur-unsur
kepelbagaian yang ada dirajut menjadi satu jaringan yang disebut Negara
Nederland Indie. Negara ini sudah merupakan bentuk persatuan yang berhasil
mewadahi seluruh kemajemukan masyarakat menjadi satu unit yang merangkum
satu dengan yang lain. Pluralisme SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan)
diperlemah, disegregasikan, dan dibuat terfragmentasi demi kepentingan
pemerintah kolonial. Namun, unsur-unsur SARA tersebut tidak dibiarkan untuk
memisahkan diri dan mengurus dirinya sendiri secara merdeka. Kedudukan
pluralisme tetap sebagai onderdaan (bagian) dari hegemoni kolonial.16
Awal-awal memasuki abad 20, gerakan nasional Indonesia merupakan
reaksi terhadap struktur kolonial yang monolitik tersebut. Oleh sebab itu —
menurut T.H. Sumartana— dapat dikatakan bahwa pada dasarnya gerakan

15
Onghokham, “Pluralisme, Agama dalam Perspektif Sejarah,” dalam Elga Sarapung,
dkk. (ed.), Dialog, Kritik, dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Interfidei, 2004), hlm. 189-203.
Lihat juga H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta: Graffiti,
2003).
16
Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog,” hlm. 83. Juga G.M.T. Kahin,
“Nasionalisme,” hlm. 170-200.
10

sumpah pemuda 1928 maupun proklamasi kemerdekaan 1945 adalah sebuah


gejala emansipasi SARA. Pada masa ini, tercapailah suatu bentuk kesatuan baru
bagi pluralisme SARA di Indonesia. Idealisme dan tujuan yang terkandung
didalamnya bertolak belakang dengan seluruh tujuan dari negara kolonial, tetapi
dalam praktik ada begitu banyak kesamaan baik dalam bidang politik maupun
ekonomi, di mana piramida kekuasaan tergenggam pada elite kekuasaan di
Batavia/Jakarta. Akibatnya, rakyat kehilangan kendali kontrol terhadap kekuasaan
yang semakin hari semakin monolitik, sentralistik, dan semakin meminggirkan
kepentingan rakyat, terutama di luar Jawa.17 Agama-agama, khususnya selama
masa Orde Baru, ternyata tidak mampu melakukan kontrol yang bermakna atas
nama umat dan rakyatnya, bahkan agama-agama sendiri masuk dalam
“perangkap” dan dijadikan “alat” oleh penguasa.

D. Pancasila Pasca Orde Baru


Pasca lengsernya Soeharto, yang sering disebut sebagai era Reformasi,
yang mengandung nilai-nilai kebebasan dan pemenuhan hak-hak asasi —termasuk
dalam bidang agama— telah menciptakan momentum bagi kelompok-kelompok
umat beragama tertentu untuk mendapatkan pengakuan. Kenyataan ini terlihat
jelas, misalnya, dari para penganut agama Konghucu yang kebetulan adalah etnis
Cina. Tuntutan terhadap pengakuan itu mengandung penolakan terhadap
pengakuan pemerintah selama ini yang hanya terbatas pada lima agama, yaitu:
Islam Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha.18
Dan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, akhirnya Konghucu
diakui sebagai agama resmi di Indonesia dengan dikeluarkannya Keppres No. 6
Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang pelarangan
agama Khong Hu Chu di Indonesia. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut,
maka warga etnis Tionghoa bebas mengembangkan ritual agama, kepercayaan,
dan adat istiadatnya.
17
Th. Sumartana, “Pluralisme, Agama di Tengah Krisis Orde Baru,” dalam Th.
Sumartana, dkk., Pluralisme, hlm. 89-97.
18
Hairus Salim, Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan, dalam Basis, Januari-Februari, 2004.
dan Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antar Umat
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 198.
11

Fenomena Konghucu tersebut juga datang dari kelompok agama-agama


lain, seperti Baha’i dan juga kelompok-kelompok sempalan serta aliran-aliran
kepercayaan di antaranya aliran Sapta Darma dan Pangestu di Jawa, Kaharingan
di Kalimantan, Mandailing di Medan, Islam Lokal Model Kajang (Makasar),
Islam Sasak (Lombok), yang sampai sekarang belum dikabulkan,19 bahkan
terkesan dipandang “sebelah” mata oleh pemerintah. Akibatnya, mereka tidak
mendapatkan ruang mengekspresikan diri secara sah. Di sini negara
mendefinisikan agama menurut kepentingannya, tanpa menyadari tindakan seperti
itu telah membawa persoalan serius hubungan antaragama maupun agama dengan
tradisi lokalnya ke depan.
Dari perspektif HAM, jelas bahwa suku “asli” dan “terbelakang” memiliki
hak-hak keagamaan seutuhnya sebagaimana umat dan kelompok-kelompok
agama lainnya.20 Tetapi harus disadari bahwa persoalan tersebut bukan hanya
sekadar persoalan HAM belaka, tetapi ini menyangkut pula persoalan-persoalan
yang lain, yaitu persoalan sosio-politis, yang justru sering lebih dominan. Menurut
Azyumardi Azra, setidaknya faktor sosio-politis tersebut berkaitan dengan dua
hal: pertama, adanya keberatan dari pihak agama-agama besar atau institusi
agama yang mapan untuk merekomendasikan pengakuan-pengakuan terhadap
“agama” dan “tradisi spiritualitas” di kalangan suku-suku “asli” dan
“terbelakang”. Ini dilakukan karena akan mendatangkan dua kerugian, yaitu
berkurangnya pengaruh agama dominan, dan terjadinya “penyempitan” terhadap
wilayah dakwah dan misi penyebaran keagamaan. Kedua, adanya kenyataan
internal suku-suku “asli” dan “terbelakang” yang tidak memiliki kemampuan
teologis, sosiologis, dan politis yang memadai untuk menolak upaya-upaya keras
merekrut mereka ke dalam sistem keagamaan universal.21
Akibat dari hal itu, suku-suku “asli” dan “terbelakang” berada dalam
posisi yang sangat defensif. Karena itu, yang diperlukan adalah “affirmative
19
Djohan Effendi, “Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di Indonesia,”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (ed.), Passing Over: Melintas Batas-Batas
Agama, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 111-134.
20
Seputar HAM dalam kebebasan beragama lihat Al Andang L. Binawan, Penyempitan
Kebebasan Beragama, dalam Basis, No. 01-02, Tahun ke-53, 2004, hlm. 24-31.
21
Azyumardi Azra, Reposisi ......, hlm. 199-204.
12

action” untuk melindungi mereka dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Inilah
pekerjaan rumah dan tantangan Pancasila ke depan, yakni pada abad ke-21. Kalau
hal ini bisa dijawab, maka dengan sendirinya Pancasila juga menyelesaikan
problem multikulturalisme dan akan menjadi dasar orientasi pembentukan civil
society, dan kalau hal itu bisa terwujud, maka benar-benar terbukti kalimat yang
mengatakan, “Pancasila adalah sebuah ideologi modern, tapi juga, lebih-lebih
lagi, karena ia ditampilkan oleh sekelompok orang dengan wawasan modern,
yaitu para bapak pendiri Republik Indonesia, dan dimaksudkan untuk memberi
landasan filosofis bersama dari sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu
masyarakat Indonesia”.

E. Kembali pada Pancasila; sebagai Landasan Pluralisme Di Indonesia


Keberadaan Pancasila sebagai pedoman bangsa ini sangat tepat. Sebab,
pada awalnya Pancasila diharapkan mampu menyatukan semua kemajemukan
atau tepatnya perbedaan yang ada di negeri ini. Berawal dari perdebatan yang
terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, yakni perdebatan antara
golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler dalam menentukan falsafah
dasar negara, yang kemudian dicapai kesepakatan bahwa Pancasila sebagai
penengah dari keinginan dua golongan tersebut. Untuk itu kiranya perlu dilacak
tentang arti pentingnya Pancasila.
a. Menerawang Pentingnya Pancasila bagi Indonesia
Tercatat dalam sejarah, bahwa menjelang dan sesudah Indonesia
merdeka telah terjadi perdebatan sengit antara golongan nasionalis Muslim
dan nasionalis sekuler tentang dua permasalahan pokok. Kelompok yang
pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam
atau Islam harus menjadi dasar negara. Sedangkan kelompok kedua
mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana masalah-
masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama. Para pendiri
republik menyadari pekanya masalah itu. Akhirnya dibutuhkan jalan tengah
dan Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara di sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945. Kemudian pada sidang BPUPKI tahap kedua, dan
13

menjelang rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, para wakil dari
kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler terlibat dalam perbedaan
mengenai apakah Islam atau Pancasila yang akan digunakan sebagai dasar
falsafah negara Indonesia. Setelah melalui perdebatan panjang dan
melelahkan, kedua faksi sama-sama dapat menerima Pancasila untuk
digunakan sebagai tujuan tersebut.22
Kesepakatan itu, dalam acuan paling dasar hubungan agama dan
negara di Indonesia, bisa diambil maksudnya yaitu bahwa Pancasila berfungsi
mengatur hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa. Sedangkan
agama memberikan kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan atau social
purpose. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa
kita hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan cita pemikiran dan
kecenderungan naluri alamiah belaka.23 Atau dengan bahasa lain, meminjam
istilah Kuntowijoyo, Pancasila tidak sekuler tapi juga bukan agama, Pancasila
adalah objektivikasi dari agama-agama. Ini berarti bahwa unsur-unsur objektif
agama-agama ada dalam Pancasila.24 Dengan demikian, Pancasila mendapat
dukungan ganda: ia adalah ideologi dengan categorical imperative25 dan
melalui proses internalisasi ia dapat masuk dalam wilayah agama. Di samping
itu, juga dapat dikatakan bahwa antara agama dan Pancasila terdapat
hubungan simbiotik, yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain.
Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa bukannya hanya sekadar ideologi negara belaka.
22
B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Graffiti Press, 1985),
hlm. 21-23. Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Graffiti Press,
1997), hlm. 65-66. Juga Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila: Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 11-21.
23
Kacung Marijan dan Makmun Murod, (ed.), Abdurrahman Wahid: Mengurai
Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grassindo, 1999), hlm. 102.
24
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
25
Categorical Imperative, sebuah istilah dari Immanuel Kant untuk suatu kebaikan yang
tidak bersumber dari ajaran agama, tetapi dari hati nurani yang semua orang memilikinya, seperti:
disiplin, setia kawan, kedermawanan, kejujuran, kesetiaan, keadilan, kerja keras, dan lain-lain,
dapat bertumpu padanya. Dalam categorical imperative pun terdapat rasa benar-salah, dan sanksi
yang inheren adalah rasa bersalah itu. Kalau agama segala perbuatan tergantung dari iman
seseorang dengan sanksi surga-neraka, maka dalam categorical imperative ada disiplin dari dalam
dan perlu sanksi luar berupa paksaan hukum (Law Enforcement), lihat Ibid.
14

Lebih jauh lagi, Onghokham menyatakan bahwa Pancasila kalau


dilihat dari proses kelahirannya jelas sekali ia merupakan suatu dokumen
politik dalam proses pembentukan negara baru, yang biasanya merupakan
sebuah kontrak sosial. Artinya, persetujuan atau kompromi antara sesama
warga negara tentang asas-asas negara itu, sehingga bila prinsip-prinsip yang
terkandung dalam kontrak sosial itu dilanggar maka pada hakikatnya terjadi
pembubaran negara. Begitu pula sebenarnya dengan perubahan-perubahan
terhadap Pancasila mensyaratkan pembubaran negara lebih dahulu.26 Hal
senada juga dikemukakan oleh John Titaley bahwa Pancasila dan Indonesia
adalah ibarat satu mata uang. Kedua sisinya tidak bisa dipisahkan,
pemisahannya hanya akan mengakibatkan tidak bermaknanya Pancasila dan
Indonesia sendiri. Pancasila dalam hal ini adalah realitas ideal dari suatu
kondisi material yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang keragaman sosial
budayanya yang bernama Indonesia. Dari sudut pemahaman seperti ini
Pancasila dapat dilihat sebagai puncak konsensus manusia Indonesia.27
Lebih khusus lagi, Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
menunjukkan adanya kekayaan dan pluralitas agama. Kekayaan agama ini
bisa berkembang dengan baik apabila pengembangannya terjadi dalam
konteks keindonesiaan. Oleh sebab itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari
Pancasila menjadi sangat menentukan. Salah satu cara untuk memahami
Pancasila, terutama terhadap sila pertama, adalah dengan menempatkan
Pancasila sebagai bagian dari seluruh naskah pembukaan UUD 1945. Di
antara beberapa gagasan yang ada dalam naskah pembukaan adalah gagasan
kemerdekaan Indonesia dan gagasan keberagamaan (religiositas) Indonesia,
yang keduanya saling berkaitan. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan
bukanlah sekadar hak asasi setiap bangsa, tetapi juga merupakan rahmat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari pernyataan seperti itu, tampak bahwa bagi
bangsa Indonesia sesuatu yang asasi pun dilihat dalam perspektif
26
Onghokham, “Pancasila Sebagai Kontrak Sosial,” dalam Opini Kompas, Kamis 6
Desember 2001, hlm. 4
27
John A. Titaley, “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia: Suatu Refleksi Teologis,”
dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia
Religionum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 202.
15

keberagamaannya. Yang asasi itu bukan sekadar hak asasi manusia semata.
Yang asasi bisa menjadi hak manusia, karena dimungkinkan oleh rahmat
Tuhan. Dengan pernyataan demikian, maka bangsa Indonesia telah
menyatakan bahwa dalam kepelbagaian rasa menghayati agamanya, ia
mempunyai satu religiositas yang sama, yaitu adanya pengakuan bersama
terhadap Ketuhanan Yang Maha Kuasa, dan ketuhanannya itu adalah Yang
Maha Esa. Pemahaman terhadap ketuhanan yang demikian ini harus dimulai
dari titik tolak keberadaan bangsa Indonesia sendiri. Kalau pemahaman ini
harus dimulai dengan titik tolak yang lain, maka yang terjadi adalah
pengingkaran terhadap keberadaan bangsa Indonesia sendiri.28
Di samping itu, Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga
dimaksudkan sebagai welstanchauung (kata yang sering digunakan oleh Bung
Karno) yang merupakan sesuatu yang umum, yang masih perlu diisi dengan
rumusan-rumusan yang jelas dan terang. Yang merumuskan pengisian ini
adalah kelompok-kelompok agama sendiri dengan akidahnya atau dengan
dogmanya. Dalam hal ini, negara tidak boleh campur tangan, karena bukan
negara yang berteologi, tapi umat beragamalah yang berteologi. Meskipun
begitu, negara tetap mewakili tingkat persatuan (sila ketiga), sedangkan
agama mewakili tingkat kebinekaan. Hal ini terlihat dalam pengalimatan, di
mana istilah ketuhanan merupakan istilah yang sangat abstrak bukan “Tuhan”,
melainkan “ketuhanan”, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan
sendiri. Jadi, dengan rumusan tersebut, sila ketuhanan diberikan ruangan yang
luas sekaligus dilindungi oleh negara agar agama-agama yang ada dapat
menguraikan dan mengembangkan pemahaman mereka masing-masing
mengenai Tuhan itu.29 Oleh karena itu, dapat dimengerti pernyataan yang
mengatakan bahwa “Pancasila merupakan dasar filosofi bagi pluralisme
Indonesia”.30
28
Ibid., hlm. 206. dan Idem, Nilai-Nilai Dasar yang Terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999).
29
Olaf Schumann, “Kehidupan Bersama Umat Kristiani dan Umat Muslim di Indonesia
Pada Masa Depan,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas, hlm. 80.
30
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia,” Kata Pengantar dalam
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish
16

Dari pemaparan tersebut di atas, akhirnya dapat diambil benang merah


bahwa pada batas-batas tertentu, Pancasila telah berhasil menyediakan
jawaban-jawaban persoalan pokok yang dihadapi masyarakat Indonesia. Ia
telah menjadi suatu identitas yang mampu menjawab tantangan-tantangan
yang ada dan yang akan datang di mana Pancasila mampu melahirkan suatu
“aturan permainan” yang dapat mencegah potensi-potensi perpecahan menjadi
kenyataan dengan tetap berpegang pada warisan tradisi budaya Indonesia. Di
samping itu, melalui pendekatannya yang inklusif, Pancasila memberikan
suatu kerangka kepada semua kelompok masyarakat yang dapat hidup dan
bekerja bersama di dalam suatu dialog yang terus menerus guna membangun
masa depan bersama dengan bertolak dari kepercayaan dan keyakinannya
masing-masing.
Pancasila sendiri tidak merumuskan masa depan itu, tetapi
membiarkan masa depan itu terbuka untuk ditentukan dan dibangun secara
bersama-sama oleh semua anggota masyarakat Indonesia, khususnya bagi
agama-agama yang tentunya juga mempunyai harapan dan cita-cita yang sama
akan bangsa ini, yakni sebuah perdamaian dan iklim yang demokratis.

b. Pancasila sebagai ‘The Social Contract’ Ala Rousseau


Perhatian menyeluruh Rousseau dalam sosial contract adalah
bermaksud untuk mengidentifikasi suatu pemerintah yang efektif namun tidak
lalim (despotik), suatu kendaraan untuk mengemukakan keinginan umum.
Dalam bagian akhir buku tersebut, ia mendiskusikan bermacam-macam sarana
untuk "memperkuat pembentukan negara", dan dalam konteks inilah ia
memperkenalkan konsep civil religion, sebuah bantuan dalam melaksanakan
pemerintahan.31
Rousseau sangat memperhatikan civil religion ini, ia membelanya, dan
menciptakan istilah baru baginya merupakan suatu hal yang banyak
bermanfaat. Setidaknya ada dua alasan bagi Rousseau mengenai hal ini.
Madjid, (Jakarta: Murai Kencana, 2004), hlm. ix-xxviii.
31
Robert N Bellah dan Philip E Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco:
Harper and Row, 1980), hlm. 43.
17

Pertama, untuk memberikan suatu sistem kepercayaan pengganti bagi mereka


yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan
(Aufklarung) di Eropa barat, zaman di mana agama (Kristen) dihujani kritik
bertubi-tubi tentang ajaran dan peranan agama yang terlalu mendominasi
masyarakat. Dengan meningkatnya diferensiasi masyarakat, agama Kristen
sebagai institusi yang berpengaruh makin menghilang dan pudar khususnya
dalam bidang politik di Eropa pada pertengahan abad ke-18. Rousseau melihat
perlunya suatu agama umum (agama rakyat) yang dapat menjadi dasar
integritas masyarakat. Kedua, untuk menyelaraskan agama dan politik.32
Rousseau mencatat tiga bentuk keberagamaan dalam hubungannya
dengan masyarakat yang masing-masing memiliki kelebihan, namun lebih
banyak memuat kelemahan. Pertama, adalah apa yang ia namakan religion of
man yaitu agama pribadi yang hanya berkaitan dengan hubungan antar
manusia dengan Tuhan, dan agama Kristen Bibel termasuk dalam kelompok
ini. Jenis keberagamaan seperti ini tidak berguna bagi pembangunan
masyarakat sipil karena tidak perduli dengan urusan dunia. Kedua, religion of
the Citizen, yaitu agama masyarakat kuno yang hanya terbatas kepada bangsa
atau negaranya sendiri. Agama jenis ini memiliki kelemahan karena selalu
mengganggap orang-orang di luar wilayahnya, karena tidak terkena cakupan
aturan agamanya, sebagai orang kafir yang sesat, dan yang ketiga, adalah
religion of the priest, yang memisahkan antara kekuasan negara dan
kekuasaan agama, karena itu menciptakan keterbelahan sosial dan tidak
berguna bagi pembangunan masyarakat sipil seperti agama lama di Tibet,
agama Jepang, dan Katolik Roma.33
Sebagai alternatif dari ketiga bentuk tersebut, Rousseau mengusulkan
sebuah bentuk keberagamaan murni sipil, yaitu civil religion, dengan
menyebut "sipil" dalam berbagai hal Rousseau menginginkan bebas dari
dominasi gereja, dan dengan menyebutnya "agama" ia tampaknya juga

32
Ibid, hlm. 42. Lihat juga, Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog Agama dan
Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 54.
33
J.J. Rousseau, Social Contract…, hlm. 81.
18

menginginkannya bebas dari rezim yang berkuasa.34 Kedua sifat ini membuat
setiap rakyat memiliki landasan moral untuk mengabdi dan mencintai
masyarakat dan negaranya tanpa dominasi insitusi agama dan negara.
Civil religion adalah religious mengingat pentingnya masyarakat
untuk diarahkan kepada ""rasa cinta terhadap kewajiban-kewajibannya", dan
civil karena sentimen-sentimen pembentukannya adalah sosiabilitas, yang
tampaknya mereka tidak mungkin menjadi seorang waga negara yang baik
atau seorang manusia yang penuh percaya diri, oleh karena itu menurut
Rousseau ajaran-ajaran civil religion seharusnya sederhana, sedikit
jumlahnya, benar-benar pasti, dan tanpa disertai penjelasan atau penafsiran.
Adanya Tuhan yang berkuasa, bijaksana, dan penuh kebaikan, yang
meramalkan dan memberikan kehidupan yang akan datang, kebahagian yang
adil, hukuman bagi yang jahat, kesucian kontrak sosial dan hukum merupakan
ajaran-ajaran positifnya. Ajaran-ajaran negatifnya dibatasi hanya satu,
intoleransi yang hanya cocok dengan pemujaan yang telah Rousseau
singkirkan.35
Demikian yang Rousseau maksud dengan civil religion yaitu suatu
bentuk kesetiaan kepada masyarakat atau negara dengan nuansa religious.
Agama ini meskipun tidak mengharuskan dan juga tidak bisa memaksa orang
untuk mempercayainya, namun memiliki hak untuk menghukum orang yang
tidak mengikutinya -bukan sebagai orang yang tidak saleh, tetapi sebagai
orang yang anti sosial- karena dalam agama ini yang religius adalah yang
sosial.
Berdasarkan pada pemaknaan terhadap Pancasila dan pembacaan
terhadap konsep civil religion-nya Rousseau, dalam konteks Indonesia
sebenarnya sudah terdapat konsep yang cukup jelas mengenai kontrak sosial
tersebut yakni Pancasila. Pada awalnya memang Pancasila tidak dimaksudkan
menjadi semacam civil religion, tetapi dari fungsi dan tempatnya dalam
mayarakat pluralis seperti Indonesia, ia mengandung potensi-potensi civil

34
Ibid, hlm. 42.
35
J.J. Rousseau, Social Contract…, hlm. 84.
19

religion-nya Rousseau, dan memuat nilai-nilai kontraktual. Dan hal ini telah
terbukti dari beberapa peristiwa dalam sejarah Republik Indonesia, bagaimana
fungsi integratif-legitimatif ini berperan secara efektif pada saat-saat
kemerdekaan dan sebagai dasar kuat untuk perlawanan bersama pada tahun-
tahun berikutnya dalam perselisihan politis dan militeristis dengan penjajah
yang kembali hendak berkuasa, yaitu Belanda (1949), dan juga terhadap
pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, juga PRRI/Permesta.36

F. Sebuah Jalan Tengah; Pancasila sebagai Agama Perdamaian


Mencermati paparan kondisi pluralisme agama di Indonesia yang belum
tertata dengan baik, serta tendensiusnya pemaknaan dan penerapan Pancasila
sebagai dasar negara dari berbagai pihak, khususnya penguasa, memperkuat
anggapan bahwa kita sebagai bangsa sebenarnya belum pernah melaksanakan
Pancasila secara semestinya. Kita belum pernah mempunyai kesepakatan nilai-
nilai, belum pernah mempunyai masyarakat pancasilais, bahkan sekarang kita
harus bertanya, masyarakat Pancasila seperti apa yang sedang kita bangun ini?
Karena itu, jawabannya adalah kita harus membangun sistem berbangsa dan
bernegara sekali lagi yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Pancasila dengan memperhatikan kekeliruan-kekeliruan yang selama ini kita
lakukan. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta situasi kondusif untuk
mewujudkan suatu nilai bersama, khususnya dalam hal etika sosial yang
transenden, sebagai bekal menghadapi tantangan kemajemukan yang
multikultural. Ada beberapa cara yang diajukan di sini untuk menciptakan
Pancasila sebagai agama di Indonesia dengan Pancasila sebagai rujukan
utamanya.
Pertama, dalam cara memandang Pancasila. Cara ini bermaksud
menempatkan Pancasila pada nilai kesejatiannya sehingga tercipta pemahaman
tentang arti penting Pancasila bagi masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang
Maha Esa. Kiat ini terdiri dari:

36
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi..., hlm. 75.
20

1) Proses kelahiran Pancasila. Hendaknya Pancasila dipahami sebagai


kontrak sosial berbangsa. Artinya, dalam melakukan kontrak sosial,
seseorang akan kehilangan sebagian kebebasan individu (egoisme,
fanatisme, eksklusivisme pribadi atau golongan), dan memperoleh
kebebasan sipil yang dijamin oleh general will. Dalam pemahaman
Rousseau, general will itu mempresentasikan tujuan tertinggi dari kontrak
sosial,37 yaitu tujuan untuk kebaikan semua anggota sekaligus
keseluruhannya. Dan kalau dikontekstualkan pada bangsa-negara
Indonesia, general will itu tidak lain adalah Pancasila, terutama sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai aspek transendennya. Hal ini
berkorelasi erat sekali dengan konsep civil religion, karena dimensi
religius dari kontrak sosial adalah civil religion, dan itu ada dalam
Pancasila.
2) Hendaknya memahami Pancasila sebagai objektivikasi agama-agama.
Maksudnya adalah bahwa unsur-unsur objektif agama-agama ada dalam
Pancasila, atau dengan kata lain, Pancasila berfungsi mengatur hidup kita
sebagai kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan
kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose). Di
samping itu, juga dapat dikatakan bahwa antara agama dan Pancasila
terdapat hubungan simbiotik, yang satu sama lain tidak dapat hidup di
Indonesia tanpa ada yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang
memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya
hanya sekadar ideologi negara semata. Dengan pemahaman seperti itu,
diharapkan tidak ada lagi yang mempertentangkan antara agama dan
Pancasila, sebagaimana yang dilakukan sekelompok kecil umat Islam
sampai sekarang.38 Dengan demikian, akan tercipta saling pengertian dan
37
J.J. Rousseau, Social Contract, hlm. 16. Bandingkan dengan Franz Magnis-Suseno,
Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm.
250. Juga Heriyanto, “Masyarakat Politis Legitim Menurut Rousseau,” dalam Jurnal Filsafat
Driyarkara, Edisi XXVI, No. 2, hlm. 54-64.
38
Pembahasan menarik tentang hal ini lihat Th. Sumartana, “Pemberlakuan Syariat Islam
di Indonesia: Sebuah Telaah Etis-Apresiatif,” dalam Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam
Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 131-140. Juga beberapa tulisan adlam
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA. (ed.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No, (Jakarta:
21

menghargai di antara agama-agama, serta antara agama-agama dengan


negara dalam bingkai nilai-nilai Pancasila. Di sinilah akhirnya civil
religion akan terbentuk.
3) Memahami Pancasila sebagai ideologi rasional dan terbuka dan tidak
memahaminya sebagai mitos. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Kalau sejarah kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 (ketika
Soekarno pertama kali mengusulkannya dalam sidang BPUPKI) atau 18
Agustus 1945 (ketika dicantumkan dalam UUD 1945), jelas tempat dan
waktunya. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, Pancasila
kemudian jadi kesadaran sosial, yang mengatasi tempat dan waktu, dan
kita (sebagai bangsa) cenderung mengeramatkannya. Ada Hari Kesaktian
Pancasila, yang lebih dipandang sebagai mitos daripada sebagai sejarah.
Mistifikasi Pancasila pun tidak terhindarkan lagi, seolah-olah Pancasila itu
makhluk sakti mandraguna yang mempunyai kehidupan sendiri lepas dari
bangsa Indonesia yang melahirkan dan mendukungnya.39 Pemahaman
seperti ini, baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, telah membuat
kelalaian dan kesalahan yang sama. Mereka merasionalkan persatuan (sila
ketiga) yang bersifat mistis menjadi suatu nasionalisme, tanpa
mewujudkan kemistisan persatuan tersebut secara empiris, yakni dengan
memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok, agama, etnis,
suku, dan lain sebagainya, dalam mengekspresikan kemerdekaannya.
Akibatnya, seperti Soekarno, Soeharto pun terjungkal ketika ia tidak bisa
lagi memainkan karakternya, karena monster nasionalisme yang ia
pelihara semakin menghisap sumber-sumber kekayaan milik rakyatnya
sendiri. Identitas manusia pejabat Orde Baru hampir semuanya terpecah
antara pengayom moral bangsa dan juga tamak yang luar biasa. Identitas
yang mereka bangun itulah yang agaknya membuat bangsa ini pun sakit
berat. Mitos kesatuan sebagai “monster nasionalisme” Orde Baru itu tiba-

Paramadina, 2001).
39
Kuntowijoyo, Identitas, hlm. 80.
22

tiba membuat negeri ini sepertinya harus berjuang mulai dari awal lagi.40
Untuk itu, dalam menghadapi era industrialisasi ke depan, tidak ada
pilihan lain bagi bangsa Indonesia yang plural ini untuk mengembalikan
dan menjadikan Pancasila secara rasional dengan mengubah cara
pemasyarakatannya. Ini berarti alam pikiran mitos yang selama ini kita
pakai dalam memasyarakatkan Pancasila harus diganti dengan alam
pikiran sejarah, sehingga kita bisa memahami Pancasila pada nilai
kesejatiannya, yang pada akhirnya nanti bisa dijadikan acuan dalam hidup
bersama dalam masyarakat yang plural.
Kedua, adanya kondisi-kondisi luar yang mendukung untuk tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai civil religion yang ada dalam Pancasila. Kondisi-
kondisi tersebut adalah:
1) Kesadaran pluralitas keagamaan. Pluralisme agama di negeri ini
merupakan suatu keniscayaan dan realitas empiris yang tidak bisa
dipungkiri. Pluralisme sejak dulu telah dikenal sebagai potensi berbangsa
dan bernegara, sehingga para founding father menetapkan negara ini
bukan sebagai negara agama atau negara sekuler, namun tepat berada di
tengah-tengah keduanya. Pilihan tersebut bisa dibilang cukup tepat, untuk
tidak mengatakan mutlak adanya, karena bisa saja berubah seiring
perkembangan dan tuntutan zaman. Pilihan untuk menjadi negara non-
agama ketika itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa
ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian dan menjunjung
tinggi perbedaan. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi negara sekuler
jelas membuktikan bahwa negeri ini rakyatnya bisa dibilang religious
society, masyarakat yang bertuhan. Kecerdasan dan kecermatan para
founding father merumuskan dengan baik apa yang menjadi kebutuhan
bersama tersebut harus disyukuri, dipahami, dan diteladani, kalau kita
masih mengaku sebagai bagian dari bangsa ini. Permasalahannya sekarang
adalah bagaimana konteks pluralitas agama ini bisa dikelola secara kreatif,
40
Tommy F. Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia,” dalam
Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global, (Jakarta:
Kompas, 2000), hlm. 505-514.
23

sehingga dimensi konfliknya bisa diminimalisasi sambil mengembangkan


aspek-aspek positifnya. Dalam rangka seperti inilah diskursus pluralisme
agama perlu dikembangkan, yang meliputi di antaranya adalah isu-isu
kebenaran, keselamatan, toleransi, kesatuan transenden agama-agama,
serta isu-isu sosiologis yang terkait dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
(HAM), demokrasi, dan kebebasan.41 Akhirnya, apabila pluralisme itu
dikelola dengan baik, maka akan mendorong munculnya wawasan baru
dan perkembangan agama. Sebagaimana dikatakan Bellah dan Hammond,
bahwa semakin masyarakat itu bersifat plural, maka civil religion semakin
berfungsi. Artinya, fungsi dan simbolisme civil religion itu harus
digariskan dalam masing-masing situasi sendiri, sesuai dengan konteks
masyarakatnya.
2) Adanya supremasi hukum di Indonesia. Diskursus hukum tidak
bisa dipisahkan dari konteks sosial politik (negara) di mana hukum itu
diciptakan, atau dengan kata lain, konteks politik hukumnya.42 Kalau
begitu adanya, maka hukum itu sesungguhnya ibarat pisau bermata dua.
Di satu pihak hukum bisa menjadi hukum yang menindas, tetapi di lain
pihak hukum pun bisa membantu ke arah perubahan yang baik. Pada masa
Orde Lama, sudah terjadi intervensi politik atas hukum, yaitu sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, di mana Soekarno telah melakukan tindakan sepihak
untuk membangun Indonesia menurut pandangannya sendiri. Begitu juga
pada Orde Baru, hukum tidak lagi mampu menjamin tegaknya keadilan
dan ketertiban di dalam masyarakat, dan hukum cenderung menjadi alat
pembenar bagi setiap kehendak pemegang kekuasaan politik yang
dominan.43 Hal ini berdampak juga pada kebijakan keberagamaan di
Indonesia, di mana UU dan peraturan-peraturan yang mengatur
41
I. Bambang Sugiharto, “Pluralisme Agama dan Keutuhan Manusia,” dalam I. Bambang
Sugiharto dan Agus Rahmat W. (ed.), Wajah Baru Etika dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), hlm. 145.
42
Moh. Mahfud MD., Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi dalam Ilmu Hukum pada
UGM Yogyakarta, tidak diterbitkan.
43
Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum Baru Menuju Supremasi Hukum: Sebuah Antaran
Akademis,” dalam M.AS. Hikam dan Mulyana W. Kusumah (ed.), Wacana, hlm. xvii-xxxix.
24

keberagamaan berujung pada permasalahan yang sensitif dan


kontroversial, karena membuat perbedaan antara yang mayoritas dengan
yang minoritas. Yang mayoritas diistimewakan, sedang yang minoritas
diawasi oleh negara agar tidak mengganggu yang mayoritas. Oleh sebab
itu, yang menjadi penting di sini —khususnya yang berkenaan dengan
peraturan dan UU keberagamaan— adalah mutu konsepsi untuk suatu
masyarakat yang beradab, maju dn modern, yang pada akhirnya disepakati
bersama apabila sistem atau kaidah-kaidah etika dan yuridis itu hendak
disebut sebagai civil religion. Religion di sini bukan religion dalam paham
tradisional, tapi maknanya harus inklusif dan tidak bertolak dari suatu
agama tertentu serta menafikan yang lain, sehingga ditawarkanlah
rumusan: “Sistem yang memberikan orientasi dan makna bagi kehidupan
manusia, dan yang bersumber pada yang transendental.” Dengan
demikian, civil religion adalah suatu hasil pergumulan bersama atau
“dialog” sosial-keagamaan, yang diwujudkan oleh manusia yang masing-
masing berakar dalam agamanya, dan bertekad untuk mendasarkan
masyarakat mereka atas kaidah-kaidah luhur yang dapat mereka setujui
bersama.44
3) Adanya pendidikan agama dan kewargaan. Bidang pendidikan —
apalagi yang berkaitan dengan agama dan kewargaan— dianggap sebagai
infrastruktur yang memungkinkan. Ini karena pendidikan sering
dipandang sebagai instrumen perubahan, khususnya yang berkaitan
dengan nilai dan sikap mental. Akan tetapi, sebagaimana yang telah
disinggung di depan, wajah pendidikan kita, khususnya pendidikan agama
dan kewargaan, sangat memprihatinkan dengan terbukti telah
menghasilkan konflik horizontal yang luar biasa dahsyatnya yang
dilakukan oleh anak-anak bangsa. Itu semua karena Pancasila —
khususnya pada era Soeharto— menjadi a-historis: Ketuhanan akhirnya
menjadi kewajiban berlima agama; keadilan menjadi program instruksi
presiden (Inpres); dan persatuan nasional menjadi keseragaman dengan
44
Philip E. Hammond, “Pluralism and Law in The Formation of American Civil
Religion,” dalam Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varieties, hlm. 146-160.
25

ujung-ujungnya kekerasan,45 dan juga adanya Program “Pemaksaan”


Pendidikan Pancasila (P4) yang cuma menjadi simbol belaka. Bagaimana
membenahi pendidikan kewargaan ke depan?. Pendidikan kewargaan
harus dihindarkan dari indoktrinasi dan brainwashing,46 karena
pendidikan ini memberikan kemungkinan pencarian sendiri jenis
artikulasinya di dalam perjalanan hidup politik sehari-hari. Karena itu,
pendidikan kewargaan adalah suatu pendidikan yang menuntut kerja sama
antarwarga, partnership, hidup bersama dengan orang lain dan hidup
untuk orang lain. Dengan hal itu, seorang bisa menghidupi dirinya sendiri,
karena dirinya akan semakin kaya dengan memberikan semakin banyak
kepada orang lain. Pendidikan ini juga berfungsi sebagai pendidikan etis
pribadi dan pendidikan nurani. Di samping itu, harus juga diperkenalkan
tentang konflik, kritik, dan kemampuan memberikan kritik terhadap
politik dan ekonomi, juga penyadaran tentang emansipasi, serta
menanamkan suatu sikap anti-otoriter di satu pihak dan pengolahan
rasionalitas terkendali di pihak lain.47 Pendidikan model ini hendaknya
tidak hanya diberikan kepada warga, tetapi yang lebih penting lagi adalah
kepada pemegang pemerintahan. Dengan demikian, diharapkan
pendidikan akan mengantarkan kita —sebagai bangsa—kepada arti
berbangsa, bermasyarakat, beragama dan bernegara di tengah masyarakat
yang plural.
4) Mempertegas independensi agama. Independensi agama di
hadapan negara meniscayakan beberapa hal: pertama, negara dan agama
harus berada dalam posisinya masing-masing. Tidak ada intervensi antara
satu dengan yang lain, kecuali melalui proses objektivikasi (sebagaimana
tersebut di atas). Hal ini penting untuk menghindari dua kemungkinan
45
Daniel Dhakidae, “Sistem Sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga dan Pergulatan
Demokrasi,” dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut
70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 3-29.
46
Pembahasan menarik tentang Indoktrinasi dan brainwashing ini, lihat Daniel Dhakidae,
Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 702-708.
47
Daniel Dhakidae, “Sistem....,” hlm. idem. Dan lihat juga M. Aiskal Salim, dkk.
(penyunting), Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000).
26

yang sama buruknya, yaitu “politisasi agama” untuk kepentingan politik


tertentu atau “agamasisasi politik” yang berarti menjadikan politik yang
mestinya berada di dalam wilayah publik menjadi wilayah privat.
Keduanya sering terjadi terutama pada masa Orde Baru. Kedua,
masyarakat harus mampu mengubah cara pandangnya terhadap negara, di
mana negara harus dipandang sebagai entitas yang dilahirkan guna
membantu masyarakat untuk memperoleh kebahagiaan. Negara yang
dikelola dalam pemerintahan adalah abdi rakyat, bukan rakyat yang
mengabdi kepada negara dan pemerintah.48 Upaya tersebut sangat perlu
dilakukan, terutama dalam situasi kehidupan dewasa ini yang demikian
plural, di mana agama dan politik bukan hanya saling menjaga untuk
menghadirkan kedamaian, tapi juga saling menghindari provokasi agar
kekacauan tidak tercipta. Agama dan politik harus diletakkan dalam posisi
yang sejajar. Posisi ini tidak terlalu jauh agar dapat saling bekerja sama,
namun juga tidak terlalu dekat sehingga tidak saling mengkooptasi.
Karena pada dasarnya, pemisahan yang keras (unfriendly) antara agama
dan negara merupakan hal yang mustahil, karena kehidupan keagamaan
selalu memiliki dimensi sosial, dan dengan demikian bersentuhan dengan
aspek hukum yang menjadi wewenang.

F. Simpulan
Dengan merujuk kepada pemaknaan awal proses “kelahirannya”, terdapat
makna tersirat yang dapat diambil dari Pancasila sebagai dasar pluralisme, yakni;
Pertama, Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia dengan kepelbagaian cara menghayati agamanya, ia
mempunyai satu religiositas yang sama, yaitu adanya pengakuan bersama
terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau dengan bahasa lain, ia menjadi titik
temu atau landasan filosofis bersama (common philosphical ground) bangsa
Indonesia.
48
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 224. Juga Mochtar Pabottinggi, “Di Antara Dua Jalan Lurus,”
dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga, hlm. 248-277.
27

Kedua, Pancasila dalam acuan paling dasar hubungan agama dan negara
di Indonesia, bisa diambil maksudnya, yaitu bahwa Pancasila berfungsi mengatur
hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama
memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose),
atau dengan bahasa lain, Pancasila adalah objektivikasi agama-agama. Dengan
demikian.
Ketiga, Pancasila berfungsi sebagai kontraktual berbangsa. Artinya,
persetujuan atau kompromi antara sesama warga negara tentang asas-asas negara
baru, sehingga bila prinsip-prinsip yang terkandung dalam kontrak sosial itu
dilanggar, maka pada hakikatnya terjadi pembubaran negara.
Keempat, Pancasila sebagai ideologi terbuka dan rasional, sehingga dari
segi pengembangan prinsip-prinsipnya mempunyai sifat dinamis, tidak statis,
menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan
berkembang. Oleh karena itu, tidak mungkin Pancasila dibiarkan mendapat
tafsiran sekali jadi untuk selamanya.
Dalam kaitannya dengan agama-agama dan negara, nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila di antaranya; Pertama, adanya kesadaran dan
pengelolaan pluralitas keagamaan dengan baik, sehingga mendorong munculnya
wawasan baru dan perkembangan agama-agama. Kedua, adanya supremasi
hukum bersifat inklusif dan tidak bertolak dari satu agama tertentu, dan juga tidak
menafikkan agama lain. Ketiga, adanya pendidikan agama dan kewargaan yang
indoktrinatif. Keempat, agama dan negara harus berada pada posisi masing-
masing, tidak saling intervensi melainkan bersinergi.
28

Ali, Mursyid, “Sekilas Tentang Kerukunan Hidup Beragama; Sebuah Pengantar”,


Dalam Mursyid Ali, ed., 1999, Dinamika Hidup Beragama Menurut
Penpektif Agama- agama, Jakarta: Litbang DEPAG R.1.
Abdillah, Masykuri, 1999, Demokrasi Di persimpangan Makna, Respon
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993),
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hefner, Robert W., 2000, Islam Pasar keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme
dan Demokrasi, Yogyakarta: LkiS.
Djam’annuri, (ed.), 2002, Agama Kita, Perspektif Sejarah Agama-agama;
Sebuah pengantar, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta & LESFI.
Van Der Ven, Johanes, 1993, Practical Theology; An Empirical Approach,
Kampen: Kok Pharos Publishing House.
Kockelmans, Joseph J., “Why Interdisciplinarity?”, dalam, Joseph J. Kockelmans,
ed., 1979, Interdisiplinarity and High Education, t.k.: The pennsylvania
State University Press.
A.S., Hornby, (ed.), 1989, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford:
Oxford University Press.
Wahid, Abu Du, 2004, Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin, dan Realitas Sosial,
Yogyakarta: Resist Book.
Panikkar, R., 1994, Dialog Intra Religius, terj. Kelompok Studi Filsafat
Drijarkara, Yogyakarta: Kanisius.
Mulkhan, Abdul Munir, Harian Kompas, Jumat, 30 April 1999.
Furnivall, J.S., 1944, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge:
Cambridge University Press.
Geertz, Clifford, 1963, “The Integrative Revolution,” dalam Clifford Geertz (ed.),
Old Societies and New Nations, Illinois: The Free Press.
29

g, 1981, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka
Jaya.
g, 1973, The Interpretation of Culture: Selected Essays, London: Huchinson &
Co. Publishers Ltd..
Rajab, Budi, “Pluralitas Masyarakat Indonesia: Suatu Tinjauan Umum,” dalam
Prisma, No. 6 Tahun 1996.
Kleden, Ignas, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES.
Munawar-Rachman, Budhy, 2001, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Jakarta: Paramadina.
Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan
Antaragama di Indonesia,” dalam Th. Sumartana, dkk., 2001, Pluralisme,
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei.
T, 2003, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, Yogyakarta: Interfidei.
Krom, N.J., 1956, Zaman Hindu, Jakarta: PT. Pembangunan.
Simbolon, Parakitri T., 2000 “Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia,” dalam Bentara Kompas, No. 9 Tahun I, 6 Oktober 2000.
Onghokham, “Pluralisme, Agama dalam Perspektif Sejarah,” dalam Elga
Sarapung, dkk. (ed.), 2004, Dialog, Kritik, dan Identitas Agama,
Yogyakarta: Interfidei.
Graaf, H.J. de, dan Th. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
Graffiti.
Salim, Hairus, Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan, dalam Basis, edisi Januari-
Februari 2004.
Azra, Azyumardi, 2002, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut
Kerukunan Antar Umat, Jakarta: Kompas.
Effendi, Djohan “Jaminan Konstitusional bagi Kebebasan Beragama di
Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (ed.), 1998
Passing Over: Melintas Batas-Batas Agama, Jakarta: Gramedia.
Al Andang L. Binawan, Penyempitan Kebebasan Beragama, dalam Basis, No.
01-02, Tahun ke-53.
Boland, B.J., 1985, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Graffiti
Press.
Simanjuntak, Marsilam, 1997, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Graffiti
Press.
Hatta, Mohammad, 1989, Pengertian Pancasila: Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila Tanggal 1 Juni 1977, Jakarta: Haji Masagung.
Marijan, Kacung, dan Makmun Murod, (ed.), 1999, Abdurrahman Wahid:
Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grassindo.
30

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85.
Onghokham, “Pancasila Sebagai Kontrak Sosial,” dalam Opini Kompas, Kamis 6
Desember 2001, hlm. 4
John A. Titaley, “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia: Suatu Refleksi
Teologis,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-
agama di Indonesia: Theologia Religionum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), hlm. 202.
Olaf Schumann, “Kehidupan Bersama Umat Kristiani dan Umat Muslim di
Indonesia Pada Masa Depan,” dalam Tim Balitbang PGI, Meretas, hlm.
80.
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia,” Kata Pengantar dalam
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis
Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Murai Kencana, 2004),
hlm. ix-xxviii.
Robert N Bellah dan Philip E Hammond, Varieties of Civil Religion (San
Fransisco: Harper and Row, 1980), hlm. 43.
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog Agama dan Edukasi: Keluarga
Kristen dalam Masyarakat (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 54.
Nieke Kristiana Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi: Keluarga Kristen dalam
Masyarakat, (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hlm. 75.
J.J. Rousseau, Social Contract, hlm. 16. Bandingkan dengan Franz Magnis-
Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 250.
Heriyanto, “Masyarakat Politis Legitim Menurut Rousseau,” dalam Jurnal
Filsafat Driyarkara, Edisi XXVI, No. 2, hlm. 54-64.
Th. Sumartana, “Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Telaah Etis-
Apresiatif,” dalam Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam Konteks
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 131-140.
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA. (ed.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No,
(Jakarta: Paramadina, 2001).
Tommy F. Awuy, “Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia Indonesia,”
dalam Ninok Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan
Perubahan Global, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 505-514.
I. Bambang Sugiharto, “Pluralisme Agama dan Keutuhan Manusia,” dalam I.
Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W. (ed.), Wajah Baru Etika dan
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 145.
Moh. Mahfud MD., Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi dalam
Ilmu Hukum pada UGM Yogyakarta, tidak diterbitkan.
31

Moh. Mahfud MD., “Politik Hukum Baru Menuju Supremasi Hukum: Sebuah
Antaran Akademis,” dalam M.AS. Hikam dan Mulyana W. Kusumah
(ed.), Wacana, hlm. xvii-xxxix.
Philip E. Hammond, “Pluralism and Law in The Formation of American Civil
Religion,” dalam Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varieties,
hlm. 146-160.
Daniel Dhakidae, “Sistem Sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga dan Pergulatan
Demokrasi,” dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan
Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas,
2001), hlm. 3-29.
Pembahasan menarik tentang Indoktrinasi dan brainwashing ini, lihat Daniel
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
(Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 702-708.
M. Aiskal Salim, dkk. (penyunting), Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press,
2000).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 224. Juga Mochtar Pabottinggi,
“Di Antara Dua Jalan Lurus,” dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga,
hlm. 248-277.

Anda mungkin juga menyukai