Anda di halaman 1dari 2

Cerdas Menghadapi Tantangan

Kesuksesan seseorang tidak hanya dipengaruhi kualitas intelegensinya (IQ) tapi dipengaruhi pula
oleh kecerdasannya dalam mengatasi setiap tantangan. Suatu hari Rasulullah SAW berkumpul
dengan para sahabat. Saat itu beliau bercerita tentang tiga orang yang hendak pergi ke masjid.
Ketiganya datang agak terlambat dan harus merima kenyataan bahwa masjid telah penuh.
Bagaimana reaksi ketiga orang tersebut? Orang yang pertama tanpa banyak basa-basi segera
pulang, karena menganggap dirinya tidak kebagian tempat. Orang yang kedua segera masuk
dan mendapatkan tempat duduk di barisan paling belakang. Sedang yang ketiga memaksakan
diri untuk masuk dan terus maju, hingga ia berhasil mendapatkan tempat paling depan.

Lalu Rasul bersabda, "Yang pertama itu adalah orang yang putus asa, hingga ia tidak
mendapatkan apa-apa. Yang kedua adalah tipe orang yang malu-malu, hingga ia hanya
mendapat sedikit. Dan yang ketiga adalah tipe orang yang penuh harapan, bersemangat,
pantang menyerah, hingga ia mendapat apa yang ia inginkan."

Kisah yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW ini terlihat biasa-biasa saja. Terlihat biasa karena
kita sering melihat atau bahkan mengalaminya dalam keseharian. Padahal kisah ini mengandung
makna yang dalam. Setidaknya ada dua hal penting yang ingin disampaikan Rasulullah SAW
pada kita dari kisah di atas. Pertama adalah tantangan; dan kedua, sikap orang terhadap
tantangan tersebut. Mari kita lihat. Penuhnya masjid adalah tantangan (masalah) bagi orang yang
terlambat datang. Sikap terhadap tantangan ini bermacam-macam, ada yang menyerah; ada
yang masuk untuk sekadar mendapatkan tempat duduk; dan ada pula yang masuk dan ngotot
untuk mendapatkan shaf pertama. Orang ketiga ini boleh jadi seseorang yang sadar akan
keutamaan shaf pertama. Dia layak disebut orang sukses; orang bersemangat, dan tidak
gampang berputus asa saat dihadapkan pada kesulitan.

Tiga macam pendaki


Apa yang diungkapkan Rasulullah SAW ini ternyata mendapatkan pembenaran ilmiah. Adalah
Paul G Stoltz, PhD yang "menemukan" teori ini. Dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient
(AQ) (Grasindo, Jakarta: 2000), Paul Stoltz mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak
hanya dipengaruhi kualitas intelegensinya (IQ) atau kualitas emosinya (EQ), tapi dipengaruhi
pula oleh kecerdasan atau kemampuannya dalam mengatasi setiap tantangan.

Bila Rasul menganalogikan dengan orang masuk masjid, maka Stoltz menganalogikannya
dengan perjalanan mendaki gunung. Menurutnya ada tiga tipe pendaki. Pertama adalah quitters
yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam proses pendakian. Mereka ini gampang putus asa
dan menyerah di tengah jalan. Yang kedua adalah campers (pekemah) yaitu mereka yang tidak
mencapai puncak, tetapi sudah puas dengan apa yang telah dicapai. "Ngapain capek-capek"
atau "segini juga udah cukup" adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya
sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak
potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.

Ketiga adalah climbers (pendaki sejati), yaitu mereka yang selalu optimistik, selalu melihat
harapan, dan selalu menetapkan sasaran-sasaran baru dalam kehidupan. Mereka mampu
menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan
kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak
kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan," demikian firman Allah dalam QS Alam Nasyrah (94) ayat
5-6.

Para climbers selalu berasumsi bahwa "sesuatu itu mungkin". Sehingga mereka tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan walau sekecil apapun untuk maju. Semakin tinggi ia naik, maka
semakin luas dan indah pula ia melihat pemandangan. Menurut Stoltz, semakin besar nilai AQ
(adversity quotient) seseorang akan semakin cepat ia "pulih" dari keterpurukan, mampu
mengatasi "kemalangan" yang dihadapinya, hingga akhirnya bisa fight lagi dalam menggapai
cita-cita. Tangguh dan tabah adalah karakter sekaligus sikap dasar tipe climbers.

Ada banyak contoh orang dengan kualifikasi ini. Yang sangat legendaris adalah kisah Siti Hajar
tatkala ia berlari-lari antara Shafa dan Marwah untuk mencari air. Ari Ginanjar Agustian dalam
bukunya ESQ Power (Arga Jakarta: 2003) mengungkapkan bahwa Siti Hajar adalah seorang
climber sejati, yang tentunya memiliki adversity quotient (AQ) yang sangat tinggi.

Sebagai sebuah pelajaran, Allah SWT mengabadikan perjuangan dan ketabahannya dalam
Alquran, "Sesungguhnya antara Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. Barangsiapa mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan
hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." (QS Al-
Baqarah [2]: 158). Sa'i, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, adalah syiar yang melambang
ketabahan, perjuangan, dan kekuatan mental.

Karakter kekasih Allah


Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat
ekonomi kenamaan asal Inggris-terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa
mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap
apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan, atau ambisi untuk
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk
mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai
tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses
memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut
erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan. Karena itu, Islam
memerintahkan kita untuk menjadi orang ber-AQ tinggi; menjadi para pemburu shaf pertama
dalam shalat; dan menjadi para climber yang tak gampang putus asa. "Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir," demikian Allah SWT berfirman (QS
Yusuf [12]: 87).

Lebih jauh lagi, Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa sikap optimis dan pantang menyerah
termasuk salah satu ciri kekasih Allah. Ia mengatakan, "Para kekasih Allah itu jika menempuh
perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang
mudah mereka malah khawatir". Wallahu a'lam bish-shawab. (Ems)

Anda mungkin juga menyukai