Anda di halaman 1dari 16

Wala’ (Loyal) dan Ihsan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga hari kiamat.

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani
karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan
adalah firman Allah Ta’ala,

‫ار ُك ْ&م أَن تَبَرُّ وهُْ&م َوتُ ْق ِسطُوا& إِلَ ْي ِه ْم‬


ِ َ‫ال يَ ْنهَا ُك ُم هَّللا ُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الدِّي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُكم ِّمن ِدي‬
.]8:‫إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطينَ [سورة الممتحنة‬

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al
Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat
natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah
pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?

Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan
manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.

Sebab Turun Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat
di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa
ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya
–Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini
adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan


dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut,
Asma’ mengatakan,

َّ ِ‫ت النَّب‬
- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ِ ‫أَتَ ْتنِى أُ ِّمى َر‬
ُ ‫ فَ َسأ َ ْل‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اغبَةً فِى َع ْه ِد النَّبِ ِّى‬
‫آصلُهَا قَا َل « نَ َع ْم‬
ِ »
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4].
Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku
tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin
‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang
artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)”[5]

Makna Ayat
Ibnu Jarir Ath Thobari -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian
untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari
agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”. Setiap orang yang mempunyai sifat
dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang
dispesialkan dari yang lainnya.”[6]

Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan
(baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan
juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak
larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah
bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga
wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan
mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah
diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat
Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau. Allah Ta’ala berfirman,

‫َت لَ ُك ْم أُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِب َْرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َعهُ إِ ْذ قَالُوا لِقَوْ ِم ِه ْم إِنَّا ب َُراء ِمن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُ ُدونَ ِمن‬ ْ ‫قَ ْد َكان‬
ُ‫ضاء أَبَداً َحتَّى تُ ْؤ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َوحْ َده‬ َ ‫ُون هَّللا ِ َكفَرْ نَا بِ ُك ْم َوبَدَا بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةُ َو ْالبَ ْغ‬
ِ ‫د‬
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-
orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka :
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Allah saja." (QS. Al Mumtahanah: 4)

Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir
juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Ta’ala berfirman,

ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَاء بَع‬


ُ‫ْض َو َمن يَت ََولَّهُم ِّمن ُك ْم فَإِنَّه‬ ُ ‫صا َرى أَوْ لِيَاء بَ ْع‬ َ َّ‫وا ْاليَهُو َد َوالن‬ْ ‫وا الَ تَتَّ ِخ ُذ‬
ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ‫ِم ْنهُ ْم إِ َّن هّللا َ الَ يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم الظَّالِ ِمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal
(wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]
Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan
wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu
diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala’ pada
orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.

Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian


berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian
adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada
permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa
boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal
loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat


dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa
sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan
dalam firman Allah,

ُ‫ال ت َِج ُد قَوْ ًما ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر يُ َوا ُّدونَ َم ْن َحا َّد هَّللا َ َو َرسُولَه‬

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang
memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan
berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir.
Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang
tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[12]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada
Islam.

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “’Umar pernah melihat
pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada
tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan
bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar.
‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi
mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di
akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan
pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau
jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut
kepada saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]
Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non
muslim.

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku


mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci
Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin
hubungan dengannya.”[15]

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non
muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi
walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai
kerabat. Allah Ta’ala berfirman,

&‫اح ْبهُ َما فِي ال ُّد ْنيَا َم ْعرُوفًا‬


ِ ‫ص‬َ ‫ْس لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم فَال تُ ِط ْعهُ َما َو‬ َ ‫َوإِ ْن َجاهَدَاكَ عَلى أَ ْن تُ ْش ِر‬
َ ‫ك بِي َما لَي‬
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َواألرْ َحا َ&م‬

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu


saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An
Nisa: 1)

Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ َ‫الَ يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ ق‬


‫اط ُع َر ِح ٍم‬

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan
kerabat).”[16]

Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut
kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah
pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah
adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak
diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya
pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin
menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.

Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan ”Bab Tetangga
Yahudi”dan beliau membawakan riwayat berikut.
Mujahid berkata, "Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu 'Amru sedangkan
pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

&‫ارنَا ْاليَهُوْ ِدي‬ ْ


ِ ‫يا َ ُغالَ ُم! إِ َذا فَ َر ْغتَ فَا ْبدَأ بِ َج‬
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan
memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang
berkata,

َ ‫آليَهُوْ ِدي أَصْ لَ َح‬


!‫ك هللاُ؟‬

"(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi


anda.”

”Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

ُ‫ َحتَّى َخ َش ْينَا أَوْ ر ُِؤ ْينَا& أَنَّهُ َسيُوّرِّ ثُه‬،‫ار‬


ِ ‫صي بِ ْال َج‬
ِ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُو‬ َّ ِ‫ْت النَّب‬
َ ‫ي‬ ُ ‫إِنِّي َس ِمع‬

'Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap


tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris
kepadanya.”[18]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]

Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala
berfirman,

ْ‫اَل تَ ِج ُد قَوْ ما ً ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر يُ َوا ُّدونَ َم ْن َحا َّد هَّللا َ َو َرسُولَهُ َولَوْ َكانُوا آبَاءهُ ْم أَوْ أَ ْبنَاءهُ ْم أَو‬
‫إِ ْخ َوانَهُْ&م أَوْ َع ِشي َرتَهُ ْم‬

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22). Wajib bagi setiap muslim
memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-
orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang
bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik.
Cinta seperti ini dibolehkan.

Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,

‫ض قَ ْال َو ْا أَلَ ْم‬


ِ ْ‫وا ُكنَّا ُم ْستَضْ َعفِينَ فِي األَر‬ ْ ُ‫وا فِي َم ُكنتُ ْم قَال‬
ْ ُ‫إِ َّن الَّ ِذينَ ت ََوفَّاهُ ُم ْال َمآلئِ َكةُ ظَالِ ِمي أَ ْنفُ ِس ِه ْم قَال‬
َ‫إِالَّ ْال ُم ْستَضْ َعفِينَ ِمن‬,ً‫صيرا‬ِ ‫اءت َم‬ ْ ‫ك َمأْ َواهُْ&م َجهَنَّ ُم َو َس‬ َ ِ‫ُوا فِيهَا فَأُوْ لَـئ‬
&ْ ‫اس َعةً فَتُهَا ِجر‬ ِ ‫تَ ُك ْن أَرْ ضُ هّللا ِ َو‬
‫فَأُوْ لَـئِكَ َع َسى هّللا ُ أَن يَ ْعفُ َو َع ْنهُ ْم‬,ً‫َان الَ يَ ْست َِطيعُونَ ِحيلَةً َوالَ يَ ْهتَ ُدونَ َسبِيال‬ ِ ‫ال ِّر َجا ِل َوالنِّ َساء َو ْال ِو ْلد‬
ً‫َو َكانَ هّللا ُ َعفُ ّواً َغفُورا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya


diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini ?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
(Mekah)". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya.
Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 97-98)

Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:

1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak
mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan
shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia
wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan
para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali
dalam keadaan darurat.
2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan
keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi
mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir
tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang
benar.

Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada
maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan
asalkan memenuhi tiga syarat berikut:

1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.

Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan
kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan
kesepakatan para ulama (ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫َم ْن تَ َشبَّهَ بِقَوْ ٍم فَه َ&ُو ِم ْنهُ ْم‬

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka”[21]

Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang
menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot
dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.

Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti


membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para
ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,

ِ ‫اإلث ِم َو ْال ُع ْد َو‬


‫ان‬ ْ ‫َوال تَ َعا َونُوا& َعلَى‬
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al
Maidah: 2)

Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala


menceritakan mengenai sifat orang beriman,

‫ور َوإِ َذا َمرُّ وا بِاللَّ ْغ ِو َمرُّ وا ِك َرا ًما‬ ُّ َ‫َوالَّ ِذينَ اَل يَ ْشهَ ُدون‬
َ ‫الز‬
“Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan
dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur”
adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’
bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri
perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal
yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat
tercela dan termasuk ‘aib[23].

Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan
diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim  dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:

”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang
diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan,
‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat
pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang
mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari
perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama
saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib,
bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat
semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat
pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan
selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang
semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh
karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat
maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka
Allah Ta’ala.”[24]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal
atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah
haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan
selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh,
pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para
ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan
(berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal
tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.

Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama
(ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah
Ta’ala berfirman,

‫يل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما تَ َولَّى َونُصْ لِ ِه‬


ِ ِ‫ق ال َّرسُو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُدَى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر َسب‬
&ِ ِ‫َو َم ْن يُ َشاق‬
‫صيرًا‬ ْ َّ
ِ ‫َجهَن َم َو َسا َءت َم‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115).
Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada
orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak
masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan
selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang
aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau
dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama
tentang haramnya hal ini.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang
menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk
bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan
perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya
karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami
manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami
utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk
wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya
ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali
diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

Footnote:

[1] Sebagian ulama pakar tafsir (seperti Qotadah) menyatakan bahwa surat Al
Mumtahanah ayat 8 berlaku untuk semua orang kafir. Jadi kita diperintahkan untuk
berlaku baik dengan orang kafir. Namun menurut pendapat ini, ayat tersebut telah
mansukh (dihapus) dengan surat At Taubah ayat 5 yang memerintahkan untuk
memerangi orang kafir (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/19,Mawqi’ Al Islam).
Akan tetapi, pakar tafsir lainnya tetap menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat
8 adalah ayat yang tidak mansukh dan mereka berdalil dengan kisah Asma’ binti Abu
Bakr (Lihat Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 170, Maktabah
Makkah, cetakan pertama, tahun 2003 ).

[2] Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ibu Asma’ mati dalam keadaan musyrik.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ibunya mati dalam keadaan Islam. Nama ibu
Asma’ ada yang menyebut Qoylah dan ada pula yang menyebut Qotilah. (Lihat Syarh
Muslim, An Nawawi, 7/89, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi, Beirut, cetakan kedua,
1392). Qotilah adalah istri Abu Bakr yang sudah dicerai di masa Jahiliyah. (Lihat
‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Aini Al Hanafi, 20/169, Asy
Syamilah)

[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut,
cetakan ketiga, tahun 1404 H.

[4] Makna ini berdasarkan riwayat Abu Daud. Al Qodhi mengatakan bahwa makna
lain dari roghibah adalah benci dengan Islam. Jadi, ibunda Asma’ sangat benci
dengan Islam, sehingga ia pun bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
apakah masih boleh ia menjalin hubungan dengan ibunya. Lihat Syarh Muslim, An
Nawawi, 7/89.

[5] HR. Bukhari no. 5798.

[6] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muhaqqiq: Ahmad
Muhammad Syakir, 23/323, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1420 H.

[7] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad
Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.

[8] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy
Syamilah.

[9] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.

[10] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.

[11] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i,
5/233, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[12] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah
Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.

[13] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan
‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul
Bari, 5/233.

[14] HR. Bukhari no. 2619.

[15] HR. Bukhari no. 2620.

[16] HR. Muslim no. 2556.


[17] Lihat pembahasan Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani dalam Al Wala’ wal
Baro’, hal. 303, Asy Syamilah.

[18] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini
shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar.
At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]

[19] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin
‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah,
cetakan pertama, 1425 H.

[20] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy
Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.

[21] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan
bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269

[22] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.

[23] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.

[24] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan
pertama, tahun 1418 H.

[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.

[26] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu  pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa.

Setelah kami membahas berkenaan dengan ucapan selamat natal, agar tidak
disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui
bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan
kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang
hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.

Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu
bahwa orang kafir itu ada empat macam:

1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di
antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan
sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai
kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi
jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin
disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan
kemampuan mereka.[1]

Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang
diwajibkan adalah:

Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama
ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,

‫ك فَأ َ ِجرْ هُ َحتَّى يَ ْس َم َع َكال َم هَّللا ِ ثُ َّم أَ ْبلِ ْغهُ َمأْ َمنَهُ َذلِكَ بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم ال‬ َ ‫َوإِ ْن أَ َح ٌد ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ا ْست ََج‬
َ ‫ار‬
َ‫يَ ْعلَ ُمون‬
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui.”(QS. At Taubah: 6)

Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum
muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا& قَ َّوا ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَا َء بِ ْالقِ ْس ِط َوال يَجْ ِر َمنَّ ُك ْ&م َشنَآنُ قَوْ ٍم َعلَى أَال تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا‬
َ‫ه َُو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8)

Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah,
artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya.
Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan
menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit,
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia
pun masuk Islam.

Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak
kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat
ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di
dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu
melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal
Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi
tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari
rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak
tersebut dari siksa neraka.”[2]

Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk
masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

ِّ ‫ال إِ ْك َراهَ فِي الدِّي ِن قَ ْد تَبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْالغ‬


‫َي‬

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir
mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena
kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada
paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk
menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia
berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa
yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak
perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.”[3]

Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka
tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.

Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫وج ُد ِم ْن َم ِسي َر ِة أَرْ بَ ِعينَ عَا ًما‬ َ ‫ َوإِ َّن ِر‬، ‫َم ْن قَتَ َل ُم َعا ِهدًا لَ ْم يَ َرحْ َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة‬
َ ُ‫يحهَا ت‬
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal
sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”[4]

Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir
harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang
benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

ُ‫س فَأَنَا َح ِجي ُجه‬ ِ ‫ق طَاقَتِ ِه أَوْ أَ َخ َذ ِم ْنهُ َش ْيئًا بِ َغي ِْر ِطي‬
ٍ ‫ب نَ ْف‬ َ ْ‫صهُ أَوْ َكلَّفَهُ فَو‬
َ َ‫أَالَ َم ْن ظَلَ َم ُم َعا ِهدًا أَ ِو ا ْنتَق‬
‫يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬

“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya,


membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta
mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah
mematahkan orang semacam itu.”[5]

Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi)
dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim
dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama
tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,

ِ َّ‫َوقُولُوا& لِلن‬
‫اس ُح ْسنًا‬
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata
yang baik di sini umum kepada siapa saja.

Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak
mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ت أَنَّهُ َسيُ َورِّ ثُه‬ ِ ‫صينِى& ِجب ِْري ُل بِ ْال َج‬
ُ ‫ار َحتَّى ظَنَ ْن‬ ِ ‫َما َزا َل يُو‬
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai
aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.”[6]

Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun
balasannya adalah wa ‘alaikum.[7] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِ َذا َسلَّ َم َعلَ ْي ُك ْم أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬


‫ب فَقُولُوا َو َعلَ ْي ُك ْم‬

“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka
balaslah: Wa ‘alaikum.”[8]

Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka.
Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ َّ‫الَ تَ ْب َد ُءوا ْاليَهُو َد َوالن‬


‫صا َرى بِال َّسالَِ&م‬

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.”[9]

Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang
dibolehkan dan dianjurkan adalah:

Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum
muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.

Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti
memberi sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di
antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ْ ‫فِى ُك ِّل َكبِ ٍد َر‬


‫طبَ ٍة أَجْ ٌر‬

“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[10]

Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan
saudara) dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah
kami jelaskan di atas.

Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang  kafir agar membuat mereka
tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka
tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika
mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud
diundang. Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka,
maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta
pada mereka.

Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti
melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia
yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri kafir).

Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan
Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya
serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab
(seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,

َ ‫ات َوطَ َعا ُ&م الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬


َ ْ‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َعا ُم ُك ْ&م ِحلٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬
&ُ ‫صن‬
َ‫َات ِمن‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
َ ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
‫َاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم‬ &ُ ‫صن‬َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ingat,
seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan
diwajibkan atau dianjurkan.

Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik
ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala
berfirman,

‫ال ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن‬

“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)

Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk
menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan
dengan dua syarat:

1. Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
2. Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang
dibantu.

Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.

Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin


dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
‫ين َو ْال َعا ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُمؤَ لَّفَ ِة قُلُوبُهُْ&م‬
ِ ‫ات لِ ْلفُقَ َرا ِء َو ْال َم َسا ِك‬ َّ ‫إِنَّ َما ال‬
ُ َ‫ص َدق‬

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At
Taubah: 60)

Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul
perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik.
Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang
kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.

Footnote:

[1] Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234.

[2] HR. Bukhari no. 1356.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan kedua,
tahun 1420 H.

[4] HR. Bukhari no. 3166.

[5] HR. Abu Daud no. 3052. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al
Mala ‘Ala Qori, 12/284, Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.

[6] HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625, dari ‘Aisyah.

[7] Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan
salamnya itu tegas “Assalamu’’alaikum”, maka jawabannya adalah tetap semisal
dengannya yaitu: “Wa’alaikumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86). Sebagaimana hal ini
adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.

[8] HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163, dari Anas bin Malik.

[9] HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad (2/266). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.

[10] HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244.

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti
harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita
bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan
sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri
taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Semoga Allah memberi kepahaman.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Anda mungkin juga menyukai