Anda di halaman 1dari 7

Senin Pon, 14 Juni 2010

Beranda  Mini  Pesan   Toko  Shalat 


 
Pagi, pembaca
»login«
 
Rubrik
Kajian Ustadz

Fiqih Hambali: Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu

Wudhu harus tetap ada saat kita melaksanakan shalat atau ibadah lain yang mewajibkan
wudhu. Maka wudhu kita tidak batal. Dan kita perlu mengetahui hal-hal yang membuat batal
wudhu kita yaitu keluarnya sesuatu dari dua jalan, Hilang akal, Tidur, Menyentuh kemaluan,
menyentuh kulit perempuan, murtad.

Hal-hal yang membatalkan wudhu ada tujuh.

Pertama adalah keluarnya sesuatu dari dua jalan, baik sedikit atau banyak. Hal ini ada dua
macam, yaitu yang biasa keluar seperti air kencing dan tinja, maka hal ini membatalkan tanpa
ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama'', sebagaimana dikatakan Ibnu Abdil Bar.
Allah berfirman:

"Atau jika kamu kembali dari tempat buang air." (QS. An-Nisa'': 43)

Kedua: Keluarnya langka seperti cacing, rambut atau batu kerikil, maka hukumnya juga
membatalkan wudhu berdasarkan sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang
mengeluarkan darah istihadhah: "Berwudhulah untuk setiap shalat." (HR. Abu Daud). Dan
darah istihadhah itu darah tidak biasa keluar, Juga karena darah itu keluar dari dua jalan maka
hukumnya sama dengan yang biasa keluar.

Kedua adalah Keluarnya najis dari anggota badan. Hal ini juga ada dua macam yaitu pertama
tinja dan air kencing. Maka keluarnya tinja atau air kencing dapat membatalkan wudhu baik
sedikit atau banyak, karena keduanya masuk dalam kategori teks "anggota badan" yang telah
disebutkan. Kedua: Darah dan nanah. Maka darah atau nanah dengan kadar yang banyak,
akan membatalkan wudhu. Apabila kadarnya tidak banyak, maka tidak membatalkan wudhu.
Rasulullah berkata kepada Fatimah: "Itu adalah darah, maka wudhulah setiap kamu mau
shalat." (HR. Tirmidzi). Alasannya adalah karena ia juga termasuk benda najis yang keluar
dari anggota badan, dengan demikian ia menyerupai benda yang keluar dari dua jalan
kotoran, namun apabila jumlahnya hanya sedikit, maka tidak membatalkan, berdasarkan apa
yang dikatakan Ibnu Abbas tentang darah: "Jika kadarnya banyak, maka ia wajib mengulang
wudhunya." Imam Ahmad mengatakan: "Sejumlah sahabat membicarakan masalah darah ini.
Ibnu Umar pernah memencet jerawat, keluarlah darah, lalu beliau shalat tanpa wudhu lagi.
Sedangkan Ibnu Abi Aufa pernah memecahkan bisul, dan beliau tidak berwudhu ketika ingin
mengerjakan shalat. Ibnu Abbas berkata: Jika kadarnya banyak, maka dapat membatalkan
wudhu. Ibnu Musayyib pernah memasukkan jarinya ke hidung, ketika beliau keluarkan
jarinya itu, ternyata jarinya itu ada darahnya, padahal beliau sedang shalat, ternyata beliau
tidak membatalkan shalatnya. Dan hal ini tidak ada yang menentangnya, dengan demikian
hukum ini menjadi ijma''.

Ketiga: Hilang akal. Masalah ini juga ada dua macam. Macam pertama Tidur. Berdasarkan
sabda Rasulullah saw., "dua mata adalah tempatnya terlena. Barangsiapa yang tidur,
hendaknya berwudhu." (HR. Abu Daud). Shafwan berkata: "tetapi karena buang air kecil,
buang air besar dan tidur."

Sesungguhnya tidur itu saat-saat memungkinkan hadats, maka tidur sama halnya dengan
hadats yang lain.

Tidur memiliki empat posisi:

Tidur terlentang, yaitu tidur di bagian sebelah badannya, duduk selonjor, berebah, bersandar
pada sesuatu, maka tidur semacam ini dapat membatalkan wudhu, baik sebentar atau lama
berdasarkan hadits tentang tidur di atas. Pendapat lain dari Imam Ahmad yang disebutkan
dalam kitab Musnadnya bahwa yang membatalkan adalah "jika tidurnya banyak." Dengan
kata lain, berarti kalau tidurnya sedikit maka tidak membatalkan wudhu sebagaimana hal ini
dikatakan oleh Qadhi dari dua sisi. Tidur dengan cara duduk tidak bersandar kepada suatu
apapun. Jadi kalau tidurnya hanya sedikit, maka tidak membatalkan wudhu, berdasarkan
riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat Nabi pernah menungu-nunggu shalat Isya'',
merekapun tidur dalam keadaan duduk, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu." (HR.
Muslim) Tidur tersebut tidak membatalkan, dikarenakan adanya kesulitan untuk
menghindarinya dan sangat sering terjadi pada orang-orang yang menunggu shalat, maka hal
ini dimaafkan. Jika tidurnya lama, maka wudhunya batal, karena ia tidak mengetahui
keluarnya sesuatu dari tubuhnya karena sulitnya dapat merasakan ada yang keluar atau tidak.
Tidur sambil berdiri. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: Menyamakan
hukumnya dengan hukum tidur dengan cara duduk karena ada kesamaan. Pendapat kedua:
Tidur semacam itu membatalkan wudhu baik tidurnya sebentar atau lama, karena ia tidak
dapat menjaga anggota badannya sebagaimana yang ada pada tidur pada posisi duduk. Tidur
dalam keadaan rukuk dan sujud. Dalam hal ini juga ada dua pendapat. Pendapat pertama:
Disamakan dengan tidur terlentang, karena kemungkinan hadatsnya besar sekali sehingga
tidak dapat menjaga keluarnya sesuatu dari anus, maka disamakan dengan tidur terlentang.
Pendapat kedua: Disamakan dengan tidur sambil duduk, karena posisi tersebut adalah posisi
shalat seperti halnya duduk juga salah satu posisi shalat. Sedangkan masalah lama atau
sebentar kembali kepada tradisi setempat.

Macam kedua dari hilangnya akal adalah gila, pingsan atau mabuk. Semuanya dapat
membatalkan wudhu. Karena ketika teks dalilnya itu mengutarakan tentang tidur, maka hal
itu mengisyaratkan adanya batalnya wudhu dikarena hal-hal tersebut, karena gila, pingsan
dan mabuk itu lebih berat hilang akalnya. Di sini tidak dibedakan antara posisi duduk atau
lainnya, juga antara lama atau sebentar, karena orang mengalami hal ini tidak menyadari apa-
apa, berbeda dengan tidur, orang tidur kalau dibangunkan, dia langsung bangun dan tersadar.

 
Keempat: Menyentuh kemaluan dengan tangan. Dalam hal ini ada tiga pendapat.

Pendapat pertama: Tidak membatalkan, berdasarkan riwayat Qais bin Thalq dari ayahnya
bahwa Nabi saw. Pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika
beliau berada dalam keadaan shalat, maka beliau menjawab: "Ia tidak lain adalah bagian
dari tubuh kalian." (HR. Abu Daud). Hadits ini dikategorikan hadits shahih oleh Imam
Thahawi, sedangkan Imam Syafii dan Imam Ahmad mengkategorikannya hadits dhaif. Abu
Zar''ah berkata: Riwayat tersebut tidak dapat dipakai dalil, dan ada yang mengatakan hukum
yang ada dalam hadits itu sudah dimansukh. Pendapat kedua: Membatalkan, berdasarkan
riwayat Basrah binti Shafwan bahwa Nabi saw. Bersabada: "Barangsiapa yang menyentuh
kemaluannya maka ia harus berwudhu." (HR. Abu Daud). Imam Ahmad mengatakan hadits
ini adalah hadits shahih. Abu Hurairah meriwayatkan hadits serupa dengan hadits di atas, dan
hadits beliau lebih akhir dibandingkan dengan hadits Thalq. Karena dalam hadits Thalq
diceritakan bahwa dia datang ke Madinah pada saat kaum muslimin membangun masjid.
Sedangkan Abu Hurairah datang ke Madinah ketika penaklukan benteng Khaibar, maka
hadits Abu Hurairah menghapus hukum yang ada pada hadits Thalq, baik menyentuh
kemaluannya dengan telapak tangan bagian dalam atau bagian luar. Abu Hurairah juga
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian
menuntaskan air kencing pada kemaluannya dengan tangannya, tanpa menggunakan
penghalang sama sekali, maka ia wajib wudhu." (HR. Ahmad). Tangan di sini umum,
meliputi telapak tangan sampai pergelangan, karena ketika Allah berfirman: "Potonglah
tangannya" (QS. Al-Maidah: 38) dalam bab pemotongan tangan pencuri, maka tangan yang
dimaksud untuk dipotong itu adalah telapak tangan hingga pergelangan.
Dengan demikian, menyentuh kemaluan dengan lengan tidak membatalkan wudhu karena
lengan tidak termasuk bagian dari yang dimaksud dengan tangan di sini. Pendapat ketiga
adalah Jika menyentuhnya dengan sengaja, maka membatalkan. Jika tidak sengaja maka tidak
membatalkan, karena kegiatannya di sini menyentuh, oleh karena itu menyentuh kemaluan
dengan tidak sengaja, tidak membatalkan seperti halnya menyentuh wanita.

Kelima: Kulitnya menyentuh kulit perempuan. Dalam masalah ini ada tiga pendapat.

Pendapat pertama: Membatalkan wudhu, berdasarkan firman Allah:


"atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih)." (QS. Al-Maidah: 6) Pendapat kedua: Tidak membatalkan wudhu,
berdasarkan riwayat Aisyah bahwa Nabi saw. Pernah mencium Aisyah kemudian beliau
shalat dan tidak wudhu. (HR. Abu Daud) Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini adalah
hadits Mursal, karena hadits ini diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha''i dari Aisyah, dan
Ibrahim tidak pernah mendengar hadits dari Aisyah. Aisyah berkata: "(pada saat tidur) Saya
pernah kehilangan Nabi saw., kemudian saya mencarinya, tiba-tiba tangan saya menyentuh
kedua kaki beliau yang sedang bersujud." (HR. Muslim). Apabila wudhunya batal, maka
shalatnya juga batal. Pendapat ketiga dan ini adalah pendapat yang diikuti madzhab
HAMBALI: bahwa menyentuh kulit wanita itu membatalkan jika disertai dengan dorongan
syahwat, sedangkan apabila tidak disertai dengan dorongan syahwat, maka tidak
membatalkan. Pendapat ini untuk mengkompromikan antara ayat dengan hadits. Jadi
bersentuhan itu tidak hadats tetapi ia mengundang hadats, maka yang mendapat hukum
hadats adalah kondisi yang mengundang kepada hadats yaitu apabila disertai dengan
dorongan syahwat, seperti tidur. Dan tidak ada perbedaan antara menyentuh wanita yang
masih kecil atau yang sudah besar, antara yang mahram atau yang bukan mahram, karena
berdasarkan dalil yang umum.

Keenam: Keluar dari islam. Yaitu mengucapkan kalimat kufur atau meyakini kalimat kufur
tersebut atau adanya keraguan-raguan yang mengeluarkannya dari Islam, maka batal
wudhunya, berdasarkan firman Allah: "Jika kamu syirik, maka terhapuslah amalanmu." (QS.
Az-Zumar: 65). Dan bersuci adalah termasuk amalan.

Juga karena murtad itu hadats, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas: Hadats itu ada dua
macam. Hadats yang paling berat adalah hadats lisan, dengan demikian ia masuk dalam dalil
yang disabdakan Rasulullah: "Allah tidak menerima shalat seseorang, jika ia hadats, hingga
ia berwudhu." (Muttafaq alaih). Alasan yang lain adalah karena wudhu itu bersuci dari hadats
maka ia batal gara-gara murtad seperti hukum tayammum.

Ketujuh: Makan daging unta. Berdasarkan riwayat dari Jabir bin Samurah bahwa ada
seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah: "Apakah kami harus berwudhu karena
makan daging kambing?" Beliau menjawab: "Jika kamu mau, berwudhulah. Jika kamu tidak
mau berwudhu, maka jangan berwudhu." Lalu dia bertanya lagi: "Apakah kami harus
berwudhu karena makan daging unta?" Beliau menjawab: "ya, berwudhulah karena kalian
telah makan daging unta." (HR. Muslim). Imam Ahmad berkata: "Dua hadits tersebut sama-
sama shahih dari Nabi saw., yaitu hadits Barra'' bin ''Azib dan hadits Jabir bin Samurah.

Hukum orang yang ragu-ragu

Barangsiapa yang yakin suci dan meragukan hadats, atau ia yakin terhadap hadats dan ragu-
ragu sudah bersuci, maka ia harus mengikuti yang ia yakini. Sebagaimana yang diriwayatkan
dari Nabi, beliau bersabda: "jika ada di antara kalian yang mendapati sesuatu dalam perutnya,
sedangkan dia sulit memastikannya, apakah ada ayang keluar darinya atau tidak, maka ia
tidak perlu keluar masjid, sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya."
(Muttafaq alaih). Karena kaidah fiqih mengatakan "sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan
dengan yang meragukan."

58 pembaca
PENULIS : Maftuh Asmuni, Lc

 
kembali
 
Iklan Gratis Member

Aksesoris
MenjadiCantik.com Pusatnya belanja mutiara air tawar asli dengan harga terjangkau.
Kunjungi www.menjadicantik.com

  
Konsultasi
Blog
Rubrik
Member
BMKG
Copyright © 2009-2010
Mata Dunia developed by D-One

Kita dapat membagi pembahasan ini menjadi tiga topik bahasan: [1] Darah haidh, [2] Darah
manusia, dan [3] Darah hewan yang halal dimakan.

[1] Darah Haid

Untuk darah haidh sudah dijelaskan bahwa darah tersebut adalah darah yang najis. Dalil yang
menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Di antara kami ada yang
bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah.
Kemudian shalatlah dengannya.” [1]

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik
darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[2] Hal ini pun telah disepakati oleh
para ulama.[3]

[2] Darah manusia

Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat  perbedaan pendapat di antara para ulama.
Mayoritas ulama madzhab menganggapnya najis. Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,

ٌ ‫وحا أَ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِزي ٍر فَإِنَّهُ ِر ْج‬


‫س‬ ْ ‫اع ٍم يَ ْط َع ُمهُ إِال أَنْ يَ ُكونَ َم ْيتَةً أَ ْو َد ًما َم‬
ً ُ‫سف‬ ِ ُ‫قُ ْل ال أَ ِج ُد فِي َما أ‬
ِ َ‫وح َي إِلَ َّي ُم َح َّر ًما َعلَى ط‬

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS.
Al An’am: 145). Para ulama tersebut menyatakan bahwa karena dalam ayat ini disebut darah
itu haram, maka konsekuensinya darah itu najis.

Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani[4] dan muridnya Shidiq Hasan Khon[5],
Syaikh Al Albani[6] dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahumullah
menyatakan bahwa darah itu suci. Alasan bahwa darah itu suci sebagai berikut.
Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya najis. Dan
tidak diketahui jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membersihkan darah
selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang
berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
memerintahkan untuk membersihkannya.[7]

Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaukani
rahimahullah[8].

Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka yang berlumuran
darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa ada perintah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk membersihkan darah-darah tersebut.

Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan seorang Anshor. Ketika itu ia
sedang shalat malam, kemudian orang-orang musyrik memanahnya. Ia pun mencabut panah
tadi dan membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga kalinya. Namun ketika itu ia
masih terus ruku’ dan sujud padahal ia dalam shalatnya berlumuran darah.[9]

Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan, “Riwayat ini
dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sangat mustahil
kalau hal ini tidak diperhatikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya darah
yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak
diperbolehkan, sebagaimana hal ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.”[10]

Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan Al Bashri mengatakan,

‫احاتِ ِه ْم‬ [َ ُّ‫صل‬


َ ‫ون فِى ِج َر‬ ْ ‫َما َزا َل ا ْل ُم‬
َ ُ‫سلِ ُمونَ ي‬

“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.”[11]

Dalam Muwatho’ disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin Makhromah, ia
menceritakan bahwa ia pernah menemui ‘Umar bin Al Khottob pada malam hari saat ‘Umar
ditusuk. Ketika tiba waktu Shubuh, ia pun membangunkan ‘Umar untuk shalat Shubuh.
‘Umar mengatakan,

َ‫صاَل ة‬ ْ ِ ‫َواَل َحظَّ فِي اإْل‬


َّ ‫ساَل ِم لِ َمنْ ت ََركَ ال‬

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat
dalam keadaan darah yang masih mengalir.[12]

Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah manusia itu suci baik
sedikit maupun banyak. Namun kita tetap menghormati pendapat mayoritas ulama yang
menyatakan bahwa darah itu najis. Wallahu a’lam bish showab.

[3] Darah dari hewan yang halal dimakan

Darah dari hewan yang halal dimakan di sini seperti darah hasil sembelihan kambing, unta
atau sapi. Pembahasan darah jenis ini sama dengan pembahasan darah manusia di atas, yaitu
sebenarnya tidak ada dalil yang menyatakan bahwa darah tersebut najis. Maka kita kembali
ke hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.

Ada riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan bahwa darah dari hewan yang halal dimakan
itu suci. Riwayat tersebut,

[ْ‫ضأ‬ ٌ ‫س ُع ْو ٍد َو َعلَى بَ ْطنِ ِه فَ ْر‬


َّ ‫ث َو َد ٌّم ِمن َج ْز ِر نَ ْح ِرهَا َولَ ْم يَت ََو‬ ْ ‫صلَّى بْنُ َم‬
َ

“Ibnu Mas’ud pernah shalat dan di bawah perutnya terdapat kotoran (hewan ternak) dan
terdapat darah unta yang disembelih, namun beliau tidak mengulangi wudhunya.”[13]

Ada pula riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat di sisi Ka’bah. Sedangkan Abu Jahl dan sahabat-sahabatnya sedang duduk-
duduk ketika itu. Sebagian mereka mengatakan pada yang lainnya, “Coba kalian pergi ke
tempat penyembelihan si fulan”. Lalu Abu Jahl mendapati kotoran hewan, darah sembelihan
dan sisa-sisa lainnya, kemudian ia perlahan-lahan meletakkannya pada pundak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
merasa kesulitan dalam shalatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, Abu
Jahl kembali meletakkan kotoran dan darah tadi di antara pundaknya. Beliau tetap sujud,
sedangkan Abu Jahl dan sahabatnya dalam keadaan tertawa.”[14]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun darah selain darah haidh, maka dalil yang
menjelaskan mengenai hal ini beraneka ragam dan mengalami keguncangan. Sikap yang
benar adalah kembali ke hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil khusus yang
lebih kuat atau sama kuatnya yang menyatakan bahwa darah itu najis.”[15]

Demikian pembahasan kami mengenai darah apakah najis ataukah tidak. Masalah ini adalah
masalah yang masih ada ruang ijtihad sehingga kami pun menghargai pendapat lainnya.
Nantikan pembahasan kami selanjutnya mengenai najisnya khomr. Semoga Allah mudahkan.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 5 Rabi’ul Awwal 1431 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Anda mungkin juga menyukai