Anda di halaman 1dari 6

Menyembukan Luka Sejarah

Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965

Dari Dongeng Masa Kecil Sampai Ode untuk Selembar KTP

Rangkuman
Pada mulanya adalah perkenalan di masa kecil. Lewat cerita tentang rumah yang dibakar dan
penghuninya dibunuh, film propaganda pemerintah mengenai Peristiwa 65, buku-buku sejarah
dan “monolog” guru di sekolah yang hanya menceritakan sejarah dari sisi tunggal—seolah-olah
memang itu satu-satunya rekaman peristiwa tersebut—yang tak tergugat. Kemudian, seiring
berjalannya waktu, saya pun mengenal sejarah Peristiwa 65 dalam versi yang lain. Bagi saya,
pengalaman-pengalaman di masa kecil itu adalah potret bagaimana masyarakat Indonesia
kebanyakan sampai hari ini memandang PKI. Khususnya di wilayah-wilayah dimana perjuangan
para intelektual untuk meluruskan sejarah tak kedengaran. Apabila keadaan terus demikian, saya
anggap, membayangkan rekonsiliasi adalah sesuatu yang mustahil. Banyak hal yang harus kita
lakukan untuk menyembuhkan luka sejarah. Dan generasi muda, sebagai bagian dari pelaku kerja
besar tersebut, menurut saya, sudah waktunya menggugat negara ini dengan pertanyaan kritis:
“Apa rupanya yang salah dengan komunisme?”

1
Dari Dongeng Masa Kecil Sampai Ode untuk Selembar KTP

Suatu siang, sekitar dua belas atau tiga belas tahun yang lalu, saya tertegun-tegun melihat
sebuah bekas rumah yang agak terpisah dari yang lainnya di desa tempat tinggal keluarga kami.
Fondasinya tak lagi utuh, sebagian tanahnya hitam bekas terbakar dan suasana di sekitar rumah
tersebut seperti menyimpan kesakitan yang tak terjelaskan.
Tujuh tahun usia saya kala itu. Dan saya ingat persis, itulah kali pertama dan terakhir saya
menanyakan tentang rumah di ujung kampung itu kepada orang dewasa. Dengan rasa penasaran
kanak-kanak yang lazim, saya bertanya: “Apa yang terjadi pada rumah itu, Paman? mengapa
letaknya terpisah dari rumah yang lain?” lalu orang yang saya tanyai menjawab dengan datar:
“Dulu, PKI yang tinggal di rumah itu. Kata orang, rumah itu dibakar dan penghuninya dibunuh.”
“Mengapa PKI dibunuh dan rumahnya dibakar?” tanya saya lagi. “Ya, karena mereka PKI.
Mereka tidak bertuhan, meresahkan masyarakat.”
Waktu itu, saya tidak mengerti apa yang ia maksud dengan PKI. Dan apa yang ia maksud
dengan “PKI itu tak bertuhan serta meresahkan masyarakat.” Tapi saya tak sempat bertanya lebih
jauh, sebab orang tersebut menyuruh saya pulang sambil berpesan: “kalau bermain, lebih baik
jangan dekat-dekat ‘Rumah Hantu’ itu, Nak. Tidak baik.”
Perkenalan yang kurang menyenangkan.
30 September. Malam hari. Sebuah film berjudul “Pemberontakan G30S/PKI” diputar
oleh kanal televisi milik pemerintah. Saya lupa berapa usia saya kala pertama kali mendengar
judul film tersebut. Ya, hanya mendengar judulnya. Sebab, saban tahun, ayah dan ibu selalu
melarang saya menontonnya dengan alasan film tersebut tidak baik bagi perkembangan mental.
Pertemuan kedua yang tidak lebih baik.
Mata pelajaran sejarah. Mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas, selalu
menyimpan sedikitnya sebuah monolog tentang “kekejian” Partai Komunis Indonesia. Menurut
guru dan buku ajar, pada tanggal 30 September 1965, PKI berusaha melakukan kup terhadap
presiden Soekarno, namun berhasil digulung oleh militer yang bersetia kepada Indonesia dan
Pancasila.
Pertemuan ketiga. Pertemuan yang sangat tidak menyenangkan. Demikian pertemuan
demi pertemuan itu terjadi, sejarah hanya ditulis dan diceritakan lewat satu sisi.

2
Saya membayangkan, seandainya saya tak pernah merantau ke Yogyakarta, dimana suara-
suara kaum intelektual jauh lebih kedengaran. Saya, sebagaimana banyak orang Indonesia lain di
pedalaman, pastilah akan terus menerima dongeng yang diciptakan Orde Baru itu sebagai satu-
satunya rekam sejarah. Yang tunggal dan tak tergugat. Bahwa PKI adalah jerawat besar yang
pernah merusak wajah Indonesia.
Selama di Yogyakarta, pertemuan demi pertemuan lanjutan terus terjadi. Baik lewat buku-
buku maupun perbincangan-perbincangan. Dan pelan-pelan, versi yang berseberangan dengan
“sejarah” yang saya dengar di masa kecil mulai menampakkan dirinya. Salah satunya datang dari
dunia sastra.
Adalah Martin Aleida, seorang pengarang yang konsisten menuturkan sejarah Peristiwa
65 dalam versi yang sama sekali berlainan dengan yang selama beberapa dasawarsa mencekam
pikiran rakyat Indonesia. Bagi saya, seturut Katrin Bandel dalam catatan penutup sebuah buku
kumpulan cerita pendek Martin Aleida—Mati Baik-baik, Kawan (2009), yang dilakukan oleh
Martin bukan sekadar memperdengarkan perspektif yang berbeda, tapi juga berusaha melawan
manipulasi sejarah dengan memberikan sejumlah fakta yang tidak diketahui secara umum oleh
masyarakat Indonesia.
Martin Aleida adalah salah seorang survivor dari Peristiwa 65. Ia, bersama banyak rakyat
Indonesia lain yang secara paksa dibebankan tanggungjawab atas kekacauan politis yang
mengakhiri kekuasaan Soekarno sekaligus fajar bagi rezim Soeharto itu, dikirim dari penjara ke
penjara, dihukum di kamp-kamp konsentrasi dan dinistakan harkat kemanusiaannya. Tanpa tahu
kesalahan apa yang telah mereka lakukan.
Tetapi, usahlah saya ikut menakik kisah mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada
tanggal 30 September itu. Buku-buku sejarah selepas Orde Baru telah berbicara banyak.
Ketimbang menghakimi pelaku dan atau menjadikan korban sebagai objek penderita, ada hal
yang lebih penting dan esensial untuk diteruskan lewat tulisan semacam ini, saya kira. Yakni
sebagaimana yang telah dilakukan Martin lewat cerpen-cerpennya: memunculkan empati dan
simpati bagi kemanusiaan.
Iramani namanya. Seorang perempuan tua. Suatu pagi ia terbangun dengan perasaan amat
riang. Sesuatu yang telah absen dari dirinya selama kurang lebih empat puluh tahun. Kebahagiaan
yang ia rasakan pagi itu hanya bisa ditandingi dengan saat melahirkan anak bungsunya, pikirnya.
Ia mengenakan pakaian terbaik, lalu duduk di beranda menikmati naiknya matahari. Apa

3
sesungguhnya yang terjadi pada perempuan tua itu? Apa yang membuatnya sedemikian bahagia?
Kartu tanda penduduk baru dari kantor kelurahan!
Dalam cerpen “Ode untuk Selembar KTP,” dikisahkan seorang ibu rumah tangga yang
suaminya dibunuh karena dianggap komunis. Sementara ia dijebloskan ke penjara bersama anak-
anaknya yang belum disapih. Setelah bebas dan hidup hingga usia tua dengan label ET (Eks
Tapol), suatu ketika ia berhasil menghapus rajah yang merendahkan kemanusiaannya itu. Dengan
uang yang dikumpulkan sekian lama, Iramani menyogok pegawai pemerintah demi
mengenyahkan dua huruf jahat di pojok KTP-nya tersebut.
Tak puas-puas Iramani memandangi KTP barunya. Dibayangkannya, seluruh noda yang
melekat pada dirinya telah dihanyutkan bersama perahu perlambang dosa dan dikaramkan di laut
yang jauh. “Tak dapat dibayangkan,” katanya, “Betapa tertekannya perasaan karena dipencilkan
seperti itu.” Pintu kehidupan yang wajar tak pernah terbuka untuk keluarganya karena huruf E &
T di sudut selembar kartu. Lebih dari dua puluh tahun ia mengantongi hukuman itu. Hanya
karena ia seorang istri yang memegangi tangga ketika suaminya menjangkau buku di rak yang
tinggi, meminjamkan peniti untuk mencongkel daki pada mesin tik dan menunggui suaminya
menulis editorial koran. Dan tak ubah Iramani, ada banyak lagi perempuan Indonesia yang
mengalami nasib demikian sebagai akibat dari kekisruhan politik bernama Peristiwa 65:
menerima hukuman atas kesalahan yang tak mereka lakukan, dan tanpa melalui prosedur hukum
yang semestinya.
Hal semacam inilah. Hal semacam inilah yang bagi saya, tidak memungkinkan terjadinya
rekonsiliasi, apabila tak diselesaikan terlebih dahulu. Bagaimana mungkin rekonsiliasi
dibayangkan, sementara stigma atas PKI dan komunisme belum sepenuhnya dibersihkan?
Bahkan di tahun-tahun belakangan ini, masih bertebaran slogan-slogan semacam “Awas Bahaya
Laten Kebangkitan Komunisme” dan sebagainya. Pernah, memang, Abdurrahman Wahid,
sewaktu menjabat Presiden RI meminta maaf kepada korban Peristiwa 65. Sekalipun
permohonan maaf tersebut bisa disebut sebagai i’tikad baik Indonesia untuk menebus dosa
terhadap anak-anaknya sendiri, permohonan maaf saja tidaklah cukup. Sangat tidak cukup. Kita
perlu melakukan kerja ekstra: pelurusan sejarah; pembersihan stigma yang melekat pada PKI dan
komunisme di seluruh Indonesia sebagaimana dulu stigma itu ditancapkan dalam-dalam serta
pengembalian harkat kemanusiaan dan kebebasan korban Peristiwa 65 berikut keturunannya.
Memang sebuah kerja besar. Sebesar mimpi bernama rekonsiliasi.

4
Lalu apakah yang dapat dilakukan generasi muda? Tentu saja meneruskan perjuangan
para intelektual-peduli-sejarah yang hingga sekarang melakukan upaya-upaya di atas. Sudah
waktunya generasi muda menggugat negara ini dengan pertanyaan “Apa rupanya yang salah
dengan komunisme?” Sekalipun mesti berhadapan dengan pembubaran diskusi dan pembakaran
buku oleh para die-hard warisan Orde Baru.
Jika tidak demikian, tak perlu ada rekonsiliasi. Sebagaimana jawaban Pramoedya Ananta
Toer ketika seseorang memintanya untuk jadi pemaaf seperti Nelson Mandela. “Saya bukan
Nelson Mandela,” Ujar Pramoedya. Tegas.

5
LEMBAR PERNYATAAN
ORISINALITAS KARYA

Judul Naskah Esai : Dari Dongeng Masa Kecil Sampai Ode untuk Selembar KTP
Nama Penulis/Peserta : Dea Anugrah
Tempat & Tanggal Lahir : Pangkalpinang, 27 Juni 1991
Pekerjaan : Mahasiswa
Domisili : Jl. Gejayan/Affandi, Gg. Endra no. 26, Sleman, Yogyakarta
Alamat Email : deaanugrah91@yahoo.co.id
Ponsel : 0878 384 69520
Dengan ini saya menyatakan bahwa tulisan/naskah yang saya ikutkan adalah karya saya sendiri
dan belum pernah diikutkan dalam segala bentuk perlombaan serta belum pernah dimuat di
manapun. Apabila dikemudian hari terbukti tulisan/naskah saya tidak sesuai dengan tersebut di
atas, maka serta-merta tulisan saya dianggap gugur. Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai