Anda di halaman 1dari 5

Aku, Kau dan Sedikit Chopin

Oleh: Dea Anugrah

“Aku, kau dan sedikit Chopin. Bisakah?”

“Tidak,” jawabnya singkat dan patah.

“Tapi aku hanya ingin kau, aku dan sedikit Chopin. Apakah kau, cintaku, tak suka
Chopin, barang sedikit saja?

“Yang tak bisa lagi adalah kau dan aku. Bukan Chopin. Lagipula, siapa dia itu?”

Aku mulai terhanyut dalam arus pikiranku sendiri, dan seolah-olah berbicara dengannya
yang tetap setia mendengarkan: “Oh, kau tak mengenalnya? Maka memang, yang tak bisa adalah
aku menaruh cinta. Mana mungkin, di dunia sekarang ini, mencintai perempuan yang tak tahu
Chopin? Mana yang lebih disuka: Ballade, Etude atau Nocturne? Jangankan berbicara sejauh itu.
Bahkan, nama orang besar itu saja kau tak tahu. Barangkali, kau kira pula itu nama perempuan
baruku. Bah.

Sebab kau tak tahu Chopin, lupakan saja permohonanku beberapa detik yang lalu.
Sekarang aku sudah berbalik dan berjalan dengan langkah-langkah besar. Ya, tataplah
punggungku yang tegap dan lebar. Bayangkan huruf-huruf putih seukuran tuts piano membentuk
kata demi kata ejekan kepadamu.

Berkubanglah dalam-dalam pada kebodohanmu. Sejak awal, harusnya aku tahu. Kau tak
ada gengsi, tak punya class, tak dimahkotai prestise. Cuma perempuan cantik, apa artinya?
Kalau buah dadamu telah turun dan dinding-dinding kuil rahasiamu sudah lapuk, mau apa lagi?
Apa artinya tanpa keluasan pengetahuan? Kau tak mengerti kan? Ya, pantas aku
meninggalkanmu. Sangat pantas, hai perempuan yang tak kenal Chopin.”
Panjang lebar juga aku menghinakannya secara imajiner. Dan sedikit banyak, karena itu,
aku jadi terbantu dalam menguasai diriku kembali. Gejolak batin tadi sebenarnya cuma terjadi
selama beberapa detik saja. Tapi penting artinya bagiku. Wajahku yang sempat memerah karena
darah yang berkumpul kini sudah berwarna wajar. Aku sudah bisa menjinakkan hati dan
menenangkan diri: bahwa aku bukan baru saja dipecundangi oleh seorang perempuan, melainkan
justru menolak perempuan tersebut karena kekurangluasan pengetahuannya. Bisa dikatakan, aku
menang. Ya. Menang dari perempuan dalam perkara cinta bukanlah soal gampang. Semua lelaki
tahu itu.

Atas nama kebanggaan pada diriku dan pada kelelakianku, aku kembali dihanyutkan
gelombang ilusi: perempuan itu menyusulku yang telah berjalan meninggalkannya. Ia merenggut
lenganku, namun kutampik. Tak sudi aku bersentuh-sentuhan dengan perempuan bodoh, kataku.
Karena putus asanya, dipeluknya badanku dari belakang sekuat-kuatnya. Menjerit dia minta
ampun, menawarkan cintanya, dan minta kuberitahu, siapa gerangan Chopin itu. Yang karena
ketidaktahuannya tadi, telah begitu saja membuatku meninggalkan gelanggang negosiasi dan
membalik kedudukan-tawar 180 derajat.

Tapi aku terlanjur patah arang. Kurenggangkan rengkuhannya padaku. Dan tanpa
mengatakan apapun kecuali: “Kau tak bisa denganku. Kau tak ada sedikit Chopin. Selamat
tinggal,” aku melenggang keluar rumahnya bagai seorang jawara berkuncir Spanyol yang sukses
mengalahkan banteng indah namun bodoh.

Sebagaimana biasa orang bermimpi tanpa tidur, batas antara ilusi dan kenyataan
demikian tipisnya. Sampai-sampai, kadang, seseorang lupa apakah ia sedang menghayal ataukan
berada dalam dunia sebenar-benarnya. Sebentar-sebentar ia ada di pelukan ilusi, kemudian balik
memijak bumi, lalu berilusi lagi. Begitu yang terjadi padaku. Kuberitahu, aku bahkan tak
beranjak seincipun dari tempat perbincangan kami tadi. Dialah yang tak lagi di depanku. Dia
sudah hilang.

Aku menoleh ke segala arah. Mencarinya. Bagaimana mungkin ia pergi tanpa bertanya
dengan penuh keterpesonaan padaku soal Chopin? Kudapati ia sedang leha-leha di sofa. Betapa!
Aku harus menariknya kembali dalam percakapan. Aku mesti memaksanya mengakui
keunggulanku: aku tahu Chopin, ia tidak.

“Apa?”

“Mari bicara lagi,” sambarku

“Sudah cukup,” ia menjawab tak kalah tangkas

“Apa? Kau merasa sudah cukup tanpa mendengar tentang Chopin?”

“Bukan. Bicara denganmu yang sudah cukup. Kita sudah tamat.”

Ini keterlaluan, perempuan itu sungguh keterlaluan. Ia tak menghargai Chopin. Benar-
benar barbar. Tapi aku tak cepat menyerah. Kutarik lengannya. Kembali ia menatapku. Dan bibir
merah itupun mendesis: “Apa? Apa lagi?”

“Chopin!” seruku.

Ia diam. Eyah! saudara-saudara. Ini kesempatanku untuk mendapat skor.

“Kau tak tahu Chopin kan? Makanya dengarkan aku.”

Hatiku melayang rasanya. Mendominasi percakapan dengannya bukan perkara banal.


Jarang terjadi. Sewaktu ia masih jadi kekasihku, hampir tak pernah ia mendengar perkataanku,
selalu ia yang berbicara. Selalu ia yang bergantung pada keagungan bulan, sementara aku
termangu-mangu bagai si tolol. Sekarang kesempatanku untuk membalas kekejiannya. Aku akan
memamerkan pengetahuanku. Tentang Chopin, saudara-saudara. Ya, Chopin yang itu.
Kurasakan cahaya keemasan berenang-renang di depan mataku.
Baiklah. Aku baru akan membuka mulut ketika dari dalam terdengar suara yang
memanggil perempuan itu. Suara ibunya. Buru-buru ia pergi menemui sang ibu. Ditinggalkannya
aku sendiri dengan suara tercekat di panggal tenggorokan. Cahaya keemasan yang tadi berenang
tak nampak lagi. Cuma lanskap ruang tamu yang biasa saja: segantung potret klise, dua sofa
panjang bermuka-muka, meja kopi dan rak kecil di sudut ruangan. Udara bergulung. Sama sekali
tak ada Chopin, barang sedikit saja.

“Keluarga apa ini?” batinku. Ibu dan anak sama kacaunya. Tak ada yang menghargai
Chopin. Ya, Chopin yang itu, saudara-saudara. Kalau dada manusia sama dengan tangki dan
kekesalan ibarat air, sudah basah lecap ruangan ini karena air yang tumpah dari rongga dadaku.
Bagaimana bisa aku tak diberi harga sama sekali macam begini? Dan tak hanya aku, Chopin juga
mereka remehkan.

Meski demikian, aku putuskan untuk menunggu. Barangkali, ia dipanggil ibunya hanya
untuk keperluan yang singkat dan segera kembali. Kemenanganku sesungguhnya tak lesap,
hanya tertunda saja munculnya. Kelak, sekali ia menyembul, tentu akan gilang gemilang. Eyah.
Gilang gemilang!

Aku menunggu dan menunggu dan menunggu. Udara masih bergulung dan ruang tamu
masih biasa-biasa saja. Lalu dari dalam terdengar bunyi tapak kaki. Aku merapikan kembali
pakaianku. Demi Chopin. Ya, dengan ini aku akan membela martabat Chopin.

“Kau tahu, Chopin itu...” tak hendak kehilangan momen, kata-kata yang tadi terbendung
kutumpaskan sederas-derasnya ketika sesosok bayang tertangkap oleh mataku.

Ternyata yang muncul bukan perempuan itu. Melainkan seorang pria paruh baya
berkumis jarang: ayahnya.

Demi mendengar ujaranku yang salah sasaran, ia tersenyum pahit. Aku tahu, ia kemari
hendak menyuruhku pulang. Malam sudah terlalu kental untuk bercengkrama dengan anak
gadisnya. Ya. Aku tahu, aku telah kalah. Segera kutinggalkan rumah itu, kumparan udara serta
ruang tamunya yang biasa-biasa saja.

“Bukan, memang bukan perkara Chopin. Tapi aku dan kau...” desisku setelah pintu
rumah itu ditutup.

/2010

Anda mungkin juga menyukai