Anda di halaman 1dari 6

Feminisme

Published by afemaleguest at 1:27 am under Gender

Apa yang kamu ketahui tentang ideologi feminisme?


Feminisme tidak bisa didefinisikan hanya dalam satu kata maupun satu kalimat.
Menurutku sendiri, menggunakan kata-kataku sendiri, setelah sejak tahun 2003
membentuk diri menjadi seorang feminis, pada dasarnya feminisme merupakan satu
ideologi yang memberdayakan perempuan, perempuan pun bisa menjadi subjek dalam
segala bidang, menggunakan pengalamannya sebagai perempuan, menggunakan
perspektif perempuan yang lepas dari mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak
dari sudut pandang laki-laki.
Feminisme sendiri berkembang dan mengalami beberapa fase dan tingkatan. Maka tidak
mengherankan jika feminisme pun memiliki sifat yang jamak. Kaum perempuan sedunia
kemudian dapat memilah dan memilih sudut pandang feminisme yang sesuai dengan
pengalamannya sebagai perempuan. Feminisme merupakan suatu ilmu yang selalu
berkembang dan tidak mandeg, sehingga tidak ada yang salah dalam ilmu ini, selama
suara kaum perempuan didengar sebagai titik tolak pengamatan suatu
permasalahan/pengalaman.
Dalam artikel ini, aku akan memberi sedikit gambaran mengenai jenis-jenis aliran
feminisme yang telah muncul.
FEMINISME LIBERAL.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang
sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang
bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan
mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan
hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan
mulai dibentuk untukmenentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi,
maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif
keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi
dari pengalaman feminis liberal.
FEMINISME RADIKAL
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain
tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi
kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political”
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah
privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau
pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal,
karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
FEMINISME MARXIS
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untukexchange dan
sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar.
Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan
terhadap perempuan dihapus.
FEMINISME SOSIALIS
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini
mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan
berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi
atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk
memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa
kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis
sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber
penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.
Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja
adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah
peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan
kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk
melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
FEMINISME POSKOLONIAL
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman
perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.
Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya
menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-
nilai,cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.Beverley Lindsay dalam bukunya Co
mparative Perspectives on Third WorldWomen: The Impact of Race, Sex, and Classmeny
atakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras,jenis kelamin, dan kelas seda
ng dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
Oleh teman-teman terdekatku, aku dijuluki sebagai feminis radikal. Aku setuju karena
memang aku berubah secara radikal—dari Nana si konvensional menjadi Nana si feminis
yang mengikuti teori posmodern banget, pengikut Jacques Derrida dengan teori
dekonstruksinya, yang ingin menjungkirbalikkan segala hal yang konon
sudah established, terutama yang berkenaan dengan kehidupan perempuan.
Menilik jenis-jenis feminisme yang kukemukakan di atas, memang aku bisa masuk ke
jenis feminis radikal, yang percaya bahwa segala penindasan yang terjadi kepada kaum
perempuan dikarenakan kultur patriarki yang telah menghegemoni sekian abad. Tubuh
perempuan yang berbeda dari laki-laki—sementara cara pandang dalam segala hal di
dunia ini selalu berangkat dari kacamata laki-laki—membuat perempuan menjadi sasaran
empuk untuk penindasan. Misal: pemaksaan adanya RUU APP, bahwa perempuan harus
dipenjarakan di balik rok panjangnya karena tubuhnya yang di mata laki-laki selalu
mengundang untuk menyentuh, dan seterusnya.
Namun, aku juga bisa memasukkan diriku sebagai seorang feminis liberal yang percaya
bahwa perempuan sama baiknya, sama berkualitasnya dengan laki-laki. Sayangnya hal
ini belum banyak diterima oleh masyarakat, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri.
Sehingga, untuk memberi kesempatan kaum perempuan berkiprah di bidang politik—
yang selalu dipandang sebagai ranah maskulin—perempuan berhak diberi affirmative
action, seperti di pertengahan abad ke-20 peremintah Amerika memberi affirmative
action ini kepada kaum African American. Kalau memang cara inilah yang akan
mengangkat kaum perempuan di bidang politik, why not?
Aku juga setuju dengan feminis Marxis yang memandang relasi laki-laki perempuan
seperti relasi kelas si kapitalis dan si pekerja. Untuk menyamakan kedudukan perempuan
dengan laki-laki, perempuan harus bekerja, karena si empunya uanglah yang memiliki
hak untuk menentukan sesuatu. Betapa selama ini, kebanyakan orang selalu memandang
laki-laki sebagai the decision maker dan perempuan sebagai penjalan keputusan itu;
terutama dalam institusi keluarga.
Sebagai seseorang yang hidup di sebuah negara yang pernah dijajah oleh negara yang
kebanyakan penduduknya berkulit putih, sehingga secara tidak sadar orang-orang berkulit
warna menganggap orang yang berkulit putih memiliki kuasa lebih tinggi daripada si
kulit berwarna, tentu saja aku sangat setuju dengan Feminisme Poskolonial. Bahkan
setelah Indonesia merdeka selama lebih dari setengah abad, pandangan bahwa yang
berkulit putih tentu lebih menarik dibanding yang berkulit berwarna masih tetap saja ada.
Hal ini dikuatkan dengan adanya iklan-iklan di televisi maupun majalah/koran, bahwa
cantik itu putih.
In conclusion, meskipun banyak aliran dalam feminisme, belum tentu kita bisa mengacu
seorang feminis sepertiku ini hanya mengikuti satu aliran saja. Ideologi feminisme
bersifat dinamis yang akan selalu bergerak dan mengikuti perkembangan zaman, demi
kebangkitan kaum perempuan dalam kultus yang masih tetap saja male-dominated.
PT56 12.03 231206

6 Responses to “Feminisme”
1. # kriboon 01 Nov 2008 at 11:36 am

Halo Nana..gimana pendapatmu tentang laki-laki feminis?

Karena kelamin pada akhirnya menjadi segementasi pasar, dalam globalisasi yang mampu membuyarkan

nilai budaya, lokalitas bahkan ideologi…fleksibilitas yang ditawarkan cukup banyak mengalihkan para

feminism liberal menjadi feminism lifestyle, memuji diri dan kenikmatan yang diperoleh, kebebasan semu

yang dikecap, sambil mencela perempuan jelata yang tidak bisa menjadi bebas (tanpa pernah

membelanya).

Salam….

2. # Deeon 02 Feb 2009 at 4:25 am

hello, thanks yah untuk summary ttg aliran feminis, dan setelah baca summary dari mbak nana, jadi

makin mantep deh, thanks yah, btw apakah kita harus mengklasifikasikan diri kita dari pelabelan

feminisme? soalnya dr tadi saya baca dari artikel mbak, mbak tampaknya mencoba untuk memposisikan

diri ada dalam jalur feminisme mana, hehehe…

3. # Kayon 18 Feb 2009 at 5:23 am

haluuuu… aq suka tulisan ini kebetulan aq jg tertarik & sedang belajar soal feminisme! mungkin bs

sharing2 lain waktu!

4. # ahmadon 21 Jun 2009 at 8:18 pm

mbak,bisa minta tolong jelaskan lebih terperinci tentang teori feminisme?tentang kapan teori itu

muncul,ada berapa aliran feminisme, dan kapan masa kejayaannya?tolong mbak ya? terima kasih banyak
5. # Nana Podunggeon 22 Jun 2009 at 12:24 am

To Kribo:

Laki-laki feminis merupakan supporting group bagi para feminis kebanyakan.

Btw, sampai sekarang ini aku belum menemukan orang yang menganut feminism lifestyle. A ‘real’

feminist (maksudku yang benar-benar sudah paham tentang paham feminism, dan ‘a new player’ yang

baru belajar tentang feminisme) tidak akan pernah mencela perempuan jelatas yang tidak bisa menjadi

bebas. Kita semua perempuan (dan juga laki-laki yang mendukung feminism sepenuh hati) adalah satu,

tidak boleh mencela satu sama lain.

To Dee:

My pleasure, Dee.

Aku sendiri tidak melabeli diri masuk kategori feminist yang mana. Yang penting adalah memperbaiki

kondisi kehidupan perempuan di kultur patriarkal ini. Semua feminist dari kategori mana saja sebaiknya

bekerja sama.

To Kay:

My great pleasure.

To Ahmad:

Menurutku kok tidak ada ya masa kejayaan feminisme itu?

Istilah ‘feminism’ sendiri muncul pada dekade terakahir abad 19. Namun keinginan untuk memperbaiki

kondisi perempuan telah hadir jauh sebelumnya, mungkin satu abad sebelumnya. Cuma para ahli belum

melabelinya dengan istilah feminism.

Jumlah aliran feminisme tidak pasti. Secara global ya seperti yang kutulis di post ini.

Anda mungkin juga menyukai