Anda di halaman 1dari 3

Romansa Kali Opak

Cerpen Maltuf A. Gungsuma

Seorang perempuan duduk di atas batu besar itu. Tepat di tengah kali Opak, berada
lima meter dari tempatku berdiri. Aku perhatikan punggungnya, rambut lurusnya. Aku
mengerutkan kening. Siapa gerangan di sore hari yang sepi duduk sendirian. Kadang ada
goncangan pada tubuhnya. Rintihan terdengar lirih sampai di telinga.
Aku mencoba mendekatinya. Rintihan itu semakin jelas di telinga. Sebuah suara
kepiluan yang mendalam. Apa yang terjadi dengan perempuan malang ini. Kenapa dia
memilih mengadu pada alam. Tidak adakah orang yang mau mendengarkan curahan
hatinya. Aku terus mendekatinya, hingga berada tepat di belakangnya.
“Wahai perempuan malang, bolehkah aku duduk di sampingmu?”
Sepontan perempuan itu menoleh ke arahku. Belum sempat ia menghapus, ada
beberapa butir air matanya jatuh berlinangan. Air mata itu jernih, mengalir bersama air
kali Opak. Seakan ada kegundahan yang terbuang bersama aliran kali Opak. Air mata itu
tidak mau bercampur. Terus mengalir dengan sendirinya, seakan ingin mengabarkan
kepada ikan-ikan kecil tentang kepiluan hati si empunya.
Aku tersenyum, mencoba memberikan keramahan padanya. Tapi, perempuan itu
malah memalingkan lagi wajahnya ke depan. “Silahkan duduk, batu ini bukan milikku
dan aku tidak berhak melarang orang lain duduk di atasnya. Tapi, kamu jangan merasa
risih bila aku berisik dengan tangisanku. Hatiku tidak akan tenang, bila tangis ini belum
tumpah dan mampu menjernihkan air kali Opak yang keruh.”
“Itu yang menjadi tujuanku mendekatimu,” tuturku.
“Maksudmu?”
“Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis. Dan bila kamu berkenan, aku
mau membantumu menghapus air mata itu.”
“Aku rasa, kau tidak akan sanggup!” tukasnya yang cukup mengejutkanku.
“Kau belum tau siapa diriku, kenapa kau membuat kesimpulan seperti itu?”
“Terserah, bagaimanapun tekadmu, kau tidak akan sanggup menghapusnya!”
Aku tidak bisa menangkap isyarat itu, tapi aku mencoba untuk mengerti. “Baiklah,
bila itu maumu. Aku akan menjadi pendengar setiamu. Aku akan mendengarkan keluh-
kesahmu. Aku siap menjadi keranjang sampah dukamu.”
“Sekali lagi, jangan risih mendengarkan tangisanku!”
Aku tatap wajahnya dari samping. Begitu indah wajah sendu perempuan ini. Siapa
yang berbuat keji padanya. Hingga pipinya merona dan hidung mancungnya
mengeluarkan mimisan. Bulu mata lentiknya basah.
“Aku adalah perempuan yang selalu berharap,” suara itu terdengar begitu serak.
Pandangannya menerawang mengikuti aliran kali Opak menari di sela kerikil-kerikil dan
batu-batu sebesar kepala serigala. “Aku terus berharap cinta itu tidak akan pergi. Cinta
yang selalu disangsikan orang-orang. Cinta yang membuatku tetap bertahan sampai
sekarang. Hanya Tuhan yang tahu, tentang cintaku yang masih utuh sampai sekian tahun
lamanya.”
Air matanya menetes kembali. Semakin deras. Disekanya perlahan dengan kedua
tangannya. “Banyak orang mengatakan, tentang diriku dan cinta ini, merupakan suatu hal
yang konyol. Menurut mereka, akulah perempuan paling bodoh dan tolol di dunia ini.
Hanya orang tolol yang mau mempertahankan cintanya bertahun-tahun tanpa adanya
kejelasan yang pasti.”
Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi hanya tercekat di tenggorokan. Aku harus
menghargainya yang tidak mau diusik. Tugasku hanya mendengarkan bukan bertanya.
Ya, hanya mendengarkan. Tidak lebih.
“Sekarang kamu boleh bertanya, lelaki baik hati!” serunya sambil menoleh ke arahku.
Dia seakan bisa menangkap kegundahanku. Tapi, tetap saja aku tidak mengerti, masih
ada senyum getir di bibirnya.
“Cinta itu indah, dan seharusnya diabadikan,” tukasku kemudian.
“Dimana letak keindahan itu, kalau aku sendiri tidak tahu, cinta ini akan berlabuh
kemana?”
“Ha ha ha, kenapa kau masih mau mempertahankan cinta itu?”
Mendengar pertanyaan itu, sepontan dia menoleh ke arahku. Matanya sembab. Dia
semakin deras mengalirkan air matanya. Ah, aku bodoh sekali, telah menertawakannya.
Aku menyesal.
“Aku minta maaf.....”
“Tidak apa-apa, memang sepantasnya kamu menertawakan kebodohanku.”
Disekanya air mata itu. Aku semakin serba salah mendengar kata-kata sendunya. “Aku
sadar, tidak ada seorangpun yang peduli terhadap cintaku mulai dulu. Bahkan, sampai
sekarang, semua mencemoohku.”
“Aku tidak seperti itu, aku ingin menghapus kesedihanmu, hingga kau bisa tersenyum
kembali.”
“Jangan munafik, sejak kapan kamu seperti itu?”
Aku mengerutkan dahi. “Siapa kamu sebenarnya?”
Dia tersenyum kecut. Sinis. “Ternyata benar, kata orang-orang itu, aku memang
perempuan paling bodoh di dunia ini, masih mengenang seseorang yang sudah jelas-jelas
melupakanku.”
“Maksud kamu?”
Dia menatap mataku lekat-lekat. Air matanya menggenang kembali, hampir tumpah.
“Mata itu tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Mata yang selalu membuatku
sejuk.”
Disekanya kembali air mata itu untuk kesekian kalinya. Aku memilih diam, menanti
kelanjutan kata-katanya. “Dimas, masihkah kau tidak mengenali bola mata ini? Tidak
juga dengan tahi lalat yang selalu kau sanjung dulu ini?”
Aku terperanjat setelah memandang matanya dengan seksama. Tahi lalat di pinggir
mata kananya itu mengajakku bernostalgia pada sepuluh tahun silam. Masa kecilku
bersama perempuan mungil yang tiba-tiba menghilang. Dan kini, dia berada di depanku.
“Kau Hani?”
“Aku masih seperti dulu, Mas!”
“Jadi, kau Hani kecilku?”
“Ya, tapi kau bukan lagi Dimasku yang dulu!”
“Kenapa?”
“Aku sudah mengenal Santi, istrimu.”
Aku terkejut. Jadi, karena aku perempuan ini menangis. “Maafkan aku Hani, sungguh
aku tidak mengira kamu akan kembali ke desa ini!”
“Semua sudah terlambat.”

Yogyakarta, November 2009


(Cerpen ini telah dimuat di Harian Jogja pada 16 Januari 2010)

*) Penulis kelahiran Sumenep, 17 Mei 1988. Menulis Cerpen, Puisi, Esai dan Resensi
Buku. Tulisannya telah dimuat di media lokal maupun nasional. Kini bergiat di Lesehan
Sastra Kutub Yogyakarta. Mahasiswa Ilmu Purpustakaan dan Informasi (IPI) Fak. Adab
dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai