ASITEKTUR VENAKULER
OLEH :
YULI
44O901605
DOSEN
IBRAHIM TOHAR.ST.MT
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 45 SURABAYA
RUMAH ADAT SUKU BUGIS DI MAKASAR
LETAK DAN GEOGRAFISNYA
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara
administrasi pemerintahan terbagi menjadi 24 kabupaten dan 3 kota, dengan 296 kecamatan
dan 2.946 desa/kelurahan.
Saat ini, orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar
adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan
Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap
tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian
Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km2 atau luas
kabupaten tersebut merupakan 16,48% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Sedangkan
Sulawesi Selatan, 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi atau 4,1% dari luas seluruh Indonesia.
Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi Selatan rata-rata 173 jiwa/km. Kota
Makassar merupakan kabupaten/kota terpadat (7.200 jiwa/km2), menyusul Kota Parepare
(1.201 jiwa/km2) kemudian Kota Palopo (842 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan tingkat
kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu Timur (34 jiwa/km2), Luwu Utara (39 jiwa/km2)
dan Enrekang (94 jiwa/km2). Tujuh belas (17) kabupaten lainnya rata-rata mempunyak tingkat
kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km2 yaitu Selayar Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto,
Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Tator
dan Luwu.
Masyarakat Bugis-Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan sekitar pesisir
pantai. Iklim yang adapun terbilang seimbang karena tiap tahunnya terjadi pergantian musim,
yakni musim kemarau dan musim hujan. Perubahan musim yang terjadi tiap tahunnya
membuat wilayah ini sebagai wilayah yang subur yang dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman.
Baringeng merupakan salah satu Wilayah dalam kawasan Kedatuan Soppeng, baik dari suku
bangsa yang mendiaminya maupun bahasa yang dimiliki sebagai alat komunikasi dalam
percakapan dan pergaulan sehari-hari penduduknya, yaitu Bahasa Bugis. Bugis adalah salah
satu golongan etnis atau suku bangsa dari empat golongan etnis yang tersebar mendiami
daerah Selawesi Selatan ini, yaitu Bugis Makassar Toraja an Mandar.
Baringen adalah merupakan salah satu kerajaan pada kerajaan Datu Soppeng dari Kerajaan
dalam Wilayah Kecamatan, sekaligus sebagai pusat segala pemerintahan kecamatan /
Kerajaan.
Wilayah Desa Baringeng adalah salah satu Wilayah dataran dari beberapa Wilayah
Kecamatan / Desa dalam Daerah Kabupaten Soppeng yang memiliki ketinggian sekitar
beberapameter dari permukaan laut.
Topografi, tanah hanya sedikit datar dan merupakan tempoat pemukiman pendudu setempat
serta berfungsi pula sebagai lahan pertanian dan perkebunan pada bahagian Utara berbatasan
dengan Kecamatn Sabbangparu Kabupaten Wajo, dimana dilalui jalan raya menuju Ibu Kota
Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Sepanjang jalan tumbuh pohon-pohon kelapa, dan
coklat serta pisang yang tumbuh di sekitar rumah pemukiman penduduk. Karena itulah mata
pencaharian penduduk Baringeng ini adlah 95% sebagai petani lahan/kebun. Selain hasil
komoditi tersebut juga tersebut, juga beberapa penduduk setempat mengenal Air Enau sebagai
produksi gula merah, yang diambil dari kebun-kebun yang tumbuh atau hutan-hutan di
sekitarnya. Selebihnya pekerjaan penduduk ialah berusaha dalam jual beli.
Jenis tanah Baringeng ini adalah Alluvial Kelabu Regosol dengan keadaan medan 60% datar,
30% berbukit, 10% bergunung. Sedangkang cura hujan adalah sekitar 2550mm/tahun. Jadi
curah hujannya setiap tahun cukup tinggi.
Musim hujan setiap tahun mulai sekitar bulan November sampai dengan bulan April.
Sedangkan musim kemarau mulai sekitar bulan Mei sampai dengan bulan Agustus. Kawasan
Baringeng inidan sekitarnya senantiasa mendapat hujan sepanjang tahun dengan hari-hari
hujannya pendek.
Mata pencaharian penduduk setempat, selain yang dikemukakan di atas, masih ada lagi
pencaharian penduduk yang sebenarnya merupakan monopoli kaum wanita dari masyarakat
Baringeng pada khususnya dan suku Bugis pada umumnya, yaitu bertenun kain sarung baik
benang maupun sutra. Keterampilan menenun sarung ini merupakan pertanda keterampilan
sesorang wanita Bugis.
Menenun bagi orang Bugis merupakan salah satu alat pembinaan bagi anak wanita yang
diharapkan nantinya dapat memiliki sikap :
1. Penuh rasa tanggung jawab terhadap apa saja yang dilakukannya.
2. Tekun menghadapi sesuatu yang merupakan tanggung jawabnya.
3. Tabah dan sabar pada setiap sesuatu yang menimpanya.
4. Tidak cepat bosan terhadap sesuatu yang merupakan tanggung jawabnya.
Kesemua sifat ini harus dimiliki oleh si penenun, klarena apabila ditinggalkan salah satu di
antaranya akan berakibat buruk pada tenunannya dalam arti tidak akan menjadi kain (sarung)
yang menjadi tujuannya.
Pada dasarnya Baringeng ini adalah salah satu kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja
yang bergelar Petta Baringeng, namun dalam perkem-bangannya ia menggabungkan diri
dengan kerajaan Soppeng dengan Gelar Datu Soppeng, yang menjadi pusat kerajaan di
Soppeng. System kehidupan social budaya masyarakat Baringeng saat ini nampaknya masih
diwarisi oleh nilai-nilai cultural dari masa lalu (kerajaan), namun hal tersebut tiak setajam lagi
sebagaimana yang berlaku masa kini, karena pengaruh pemahaman masyarakat terhadap
Agama Islam, sebagai agama yang dianutnya. Salah satu warisan dari masa lalu itu ialah masih
nampak nyata adanya system pelapisan social (stratifukasi social).
Pitirin A. Sorokin pernah mengatakan bahwa system berlapin-lapis itu merupakan ciri yang
tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur (dalam Soerjono,1977).
Selanjutnya Sorokim menyatakan bahwa pelapisan social adalah pembedaan penduduk atau
masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkhis).
Perwujudannya adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Prof.DR.
Mattulada mengemukakan bahwa pelapisan masyarakat Orang Bone dan Orang Wajo (Bugis)
adalah sebagai berikut :
(Dengan Detail)
A. Anak Mattola (Anak Pewaris yang dipersiapkan untuk dapat menjadi Raja/arung)
1. Anak Mattola Anak Pewaris)
2. Anak Sangaji (Anak Terbilang Mulia)
3. Anak Rajeng
4. Anak Cera
a. Anak Cera Sawi (Anak Berdara Campuran Warga)
b. Anak Cera Pua’ (anak berdarah campuran Sahaya)
c. Anak Cera Ampulajeng (Anak Berdarah Campuran Sahaya Baru)
d. Anak Cera Yattang Dapureng (Anak berdarah Campuran Pribadi)
B. Anak Arung (Anak Bangsawan)
( A. 1, 2, 3, 4 )
C. Tau Deceng (Orang Baik-Baik)
a. Tau Deceng
b. Tau Deceng Karaja
D. Tau Maradeka (Warga Merdeka)
a. Tau Meradeka mannennungeng
b. Tau Maradeka Sampengi
E. Ata (Sahaya)
a. Ata Mana (Sahaya Warisan)
b. Ata Mabuang (Sahaya Baru)
Menurut adat istiadat yang berlaku pada suku bugis, strata sosial orang dapat dilihat dari atap
rumahnya. Pada atap rumah suku bugis berbentuk prisma, terdapat berbagai yang disebut
dengan timpa’ laja. Berbagai model tutup bubungan inilah yang mewujudkan perbedaan strata
sosial masyarakatnya.
Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis
dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu :
sao berarti, gelar rumah raja dan raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa. Jadi saoraja
adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum
bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau
orang biasa.
Bila dilihat dari segi bangsawannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai
perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran
rumahnya.
Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat
bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi
Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. Dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin
Farid SH.
Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat
(pusar rumah) diumpakan wanita.
Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia
berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:
I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.
II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.
Pusat mansuia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah
diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita
mengetahui fungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah
yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang
tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).
a.
Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaitu
Pada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan
antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.
b. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang
yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar
yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.
ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot.
Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu
tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau
tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya
yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae).
Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai
tersebut (lantai suci).
Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah
tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.
Tata Cara Mendirikan Rumah
b. Golla (gula)
c. Aju Cenning (kayu manis)
d. Ade Cenning (adas manis)
e. Buah Pala
ad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah
rezeki.
ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku
dalam rumah tangga itu sendiri.
2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati rumah baru tersebut,
terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :
1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.
2. Pisang bertandang (Otti Mattunrung) yang tua.
3. Nangka yang tua
4. Nenas yang tua
5. Tebu
6. Dan lain-lain yang manis-manis.
ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan
penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifomi-nasai).
3. Setelah upacar menempati rumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para
tamu-tamu dan bahkan seisi rumah, terutamah makanan yang menurut keper-cayaan orang-
orang bugis membawa penga-ruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu,
antara lain :
a. Lana-lana (bedda’) kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula
merah. Lana-lana artinya “Mas-agena” (Longgar) = berkecukupan.
b. Jompo-jompo dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya
gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air
yang se-dang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air.
Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memper-oleh
kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia. Mompo – Timbul – Muncul. Upacara
menempati rumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut,
yang dikunjungi oleh segenap famili, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.
2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan
atau bangsawan.
Disebut Tuka’ karena pemiliknya men-daki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu,
suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hierarchie
peraturan ade’.
Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar
bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini
dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak.
Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, bneserta timpa’laja serta tangganya membuktikan
bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :
a. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu,
termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).
b. Anakarung Bangsawan) yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi
dalam beberapa bagian.
c. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah
bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya
terbanyak.
d. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :
1. Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang
dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.
2. Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli (lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk
merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi
pengampunan, dapat hidup sebagai abdi raja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.
3. Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-
orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).
Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah
Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang
disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang
memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi
empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa
(laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih: ”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’
Eppa’e” berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.
Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan diri sebelum bangun, yang disebut
mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat
semesta dipandang persegi empat.
Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersediah tempat untuk :
a. Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.
b. Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola
lambang wanita dan kemakmuran.
c. Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.
d. Para abdi (kalau ada), bahagiab belakan juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim
ditempatkan di rumah kecil di saming atau di belakang induk rumah.
Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman
elompugi’ (nyanyioan Bugis yang mengandung makna yang mendalam sekali sebagai berikut:
Arti lett. :
Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.
Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isi rumah kita.
Hidup adat kita, hidup mengaharum mewangi isi negeri atau rumah kita.
Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagari secara persegi empat, maka
seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni : Ade’, Rafang, Wari’, dan
Tuppu (Adat, Yusrispudensi, Protokol, dan aturan chieracrchi).
Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah
bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya :
“Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngi rikira-kira
rimaja’e.
Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat
disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan
sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormati serta sesama anak bangsawan yang
mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang
bersatatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.
Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di
Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk
stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat ini sebagai interaksi simbolik alam
kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam
raya ini khususnya suku Bugis.
Seperti yan telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiami Baringeng ini adalah
100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis.
Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan
masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orang-
orang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan
orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannya-
ucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata
Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan.
Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :
- Ada Cenga, yaitu untkaspan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau
orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alen Petta Puang”.
- Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh
kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakana apabila kita berbincang
dengan seorang raja atau bangsawan.
- Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang
dibawahnya, seperti “iko, anummu”.
Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti
“Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.
Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih
nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi
kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotongroyong, seperti ketika terjadi atau adanya
warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru,
kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini
disebut ”Sibali reso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama
menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.
Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiami Baringeng ini tidak
mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan
bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya. Hal
itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang
dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam
penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.
Sebagaimana Baringeng ini mengenl berbagai macam seni budaya tradisional, seperti: seni tari,
seni sastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian
yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau
menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Seni sastra yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam
berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan
nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran
yang bermakna.
Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada
peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tap semua
dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu
ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah
Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
.
POLAPERKAMPUNGAN TRADISIONAL
A. Pola Spasial
1. Struktur Kampung
Kampung Kamal Muara berdasarkan foto udara, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
Berdasarkan gambar 1 , maka perkampungan orang Bugis dan terletak di garis pantai
dengan pola linier mengikuti alur sungai yang mengarah dari Barat Daya menuju ke Timur Laut.
Sementara, perkampungan orang Betawi berada di “daratan”.
Secara lebih terinci, permukiman dan rumah-rumah orang
Bugis di Kamal Muara dibangun mengikuti pola alur sungai,
jalan, dan gang.
Perkampungan orang Bugis di Kamal Muara adalah pakkaja (kampung nelayan) dengan
pola berderet dan mengelompok mengikuti alur sungai dan jalan. Sebagian dari rumah-rumah
tersebut membelakangi sungai. Pola demikian sesuai dengan pola spasial kampung pada
tradisional Bugis di daerah asalnya.
Orientasi rumah dalam struktur kampung menghadap ke jalan atau gang ( gambar.3 ), karena
tidak terdapat pusat orientasi yang biasanya berupa pohon yang besar. Namun demikian
kampung Bugis di Kamal Muara memiliki langgar atau masjid yang biasanya juga dapat menjadi
pusat orientasi.
2. Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis.
Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi
menjadi tiga bagian:
a. Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu
(public)
b. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur
kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private).
c. Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar mandi.
. Pembagian Ruang Rumah Orang Bugis
Tamping, pada umumnya hanya terletak di depan rumah. Tamping ini memiliki fungsi
sebagai tempat bersantai, mengobrol, maupun untuk ruang tamu sebelum dipersilakan masuk.
Bandingkan dengan rumah tradisional Bugis yang di TMII yang memiliki dua tamping di depan
dan belakang rumah.
Menurut fungsinya rumah orang Bugis di Kamal Muara dibagi juga menjadi tiga bagian secara
vertikal, yaitu :
Awaso di Kamal Muara pada umumnya masih difungsikan sebagaimana yang terdapat di
tempat asalnya, yakni untuk penyimpanan alat-alat untuk mencari ikan, beternak, motor, atau
tempat untuk istirahat siang
Orientasi rumah pada umumnya mengikuti arah jalan, dan tidak lagi memperhatikan orientasi
arah mata angin yang seharusnya menghadap ke Timur. Orientasi ini selain untuk menangkap
sinar matahari pagi juga dimaksudkan untuk menyesuaikan pada pola tidur penghuni di bagian
kanan ruang dalam bangunan dalam arah Selatan-Utara dan harus meletakkan kepalanya pada
arah Selatan serta kaki diarahkan ke sebelah kiri bangunan sesuai dengan arah buangan
segala kotoran dan ruh jahat.
Namun demikian pertimbangan lain berkaitan dengan sistem pembuangan air kotor dan arah
kaki ketika tidur masih mengikuti pola asal yaitu ke arah kiri bangunan.
A. Pola Stilistika
* Atap
Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan
bangunan di Kamal Muara tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas
(rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian
asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja.
Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam
pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada
umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah.
Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan
masyarakatnya.
Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang horisontal
dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng gelombang
yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu (babang/tange).
Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan berjumlah 5
(lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas setinggi
lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk
melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah
menempati daerah rawa.
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja
dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam
ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada
bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga
keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini
sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah rakyat biasa
Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan papan
kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan jendela
depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama berupa
bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah
* Ragam Hias
Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak laja
terdapat motif kayu tempel yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah sebagai
lambang pencerahan yang diilhami oleh elemen-elemen bentuk yang banyak digunakan oleh
simbol-simbol organisasi Islam.
Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan penyusunan
kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila dilihat dari sisi
dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat. Sinar matahari yang
masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi sebagai pertanda untuk
bangun dan sore pertanda malam akan tiba.
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang
biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar,
Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem
struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak
menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung
ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah
pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat
rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari
depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat
adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau
16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang
biasa
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting
dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan
kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
* Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau
bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan
adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga
diletakkan dengan cara sebagai berikut:
* Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar
rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya
disebut sariang atau parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua
dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut
(arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .
Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-
masing mempunyai fungsi khusus yaitu :
a. rakaeng dalam bahas Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian
rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-
benda pusaka
b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah
lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan
sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia.
Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung
di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat
bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang
tamu.
Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan
beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang
menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur.
Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat
biasa), dan ata (sahaya).
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang
disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa) è Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung).
Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya
(sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti è Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun
dua.
3. Bola è Merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi
sebagai berikut:
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum
adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di
depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah
atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar
yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat
ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan
rumah.
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat,
1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang è bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap
rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda
pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan
berdandan.
2. Alo-bola (alle bola) : terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan
dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso : kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan
tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian
dan ternak.
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis
disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu
sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
2. Dapureng (jonghe)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan
menyimpan peralatan masak
Kesimpulan
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola
penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat
Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural.
Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut :
- Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya
sangat mahal.
- Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam
perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat
kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.
Refrensi
http://www.kaskus.us/showthread.php?
sumber : The Bugis, Christian Pelras Oleh Razak Jr
http://www.okezone.com
KOMPAS.com
id.wikipedia.org
hamemayu.files.wordpress.com
pasarkreasi.com
christusrex.org
rnw.nl
gimonca.com
masivstar.blogspot.com
pondokhati.wordpress.com