Anda di halaman 1dari 4

Lemahnya Metodologi Aksi Mahasiswa

lemah a 1 tidak kuat; tidak bertenaga

metodologi /métodologi/ n ilmu tt metode;


uraian tt metode

metode /métode/ n cara yg teratur dan terpikir


baik-baik untuk mencapai suatu
maksud (dl ilmu pengetahuan dsb); cara
kerja yg bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yg ditentukan

metode /métode/ n 1 cara yg teratur berdasarkan


pemikiran yg matang untuk
mencapai maksud (dl ilmu pengetahuan
dsb); 2 cara kerja yg teratur dan bersistem
untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan
dng mudah guna mencapai maksud yg
ditentukan;

aksi n 1 gerakan: -- penggalangan dana;


2 tindakan: -- pembalasan untuk korban
bencana alam;

demonstrasi /démonstrasi/ n 1 peragaan


atau pertunjukan tt cara melakukan atau
mengerjakan sesuatu; 2 tindakan bersama
berupa pawai dsb dng membawa panjipanji,
poster-poster, serta tulisan-tulisan
yg merupakan pencetusan perasaan atau
sikap para demonstran mengenai suatu
masalah;

Mengapa Ketika Demo Suka Rusuh?

Pertama, mahasiswa Makassar punya pemahaman politik yang bagus. Pendidikan politik cukup
efektif di kota ini sehingga mahasiswanya punya kesadaran yang tinggi dalam menyikapi
fenomena politik. Dalam setiap peristiwa politik, mahasiswa selalu menyikapinya dengan
demonstrasi atau nekad ke Jakarta untuk menemui politisi. Kalaupun demo rusuh dan selalu
memacetkan jalan, itu disebabkan karena kemiskinan metodologi. Mereka tidak memperkaya
dirinya dengan metodologi aksi yang baik, sehingga selalu mengulang-ulang apa yang dilakukan
senornya. Kalau bukan tutup jalan, ya pasti rusuh.

Kedua, demonstrasi mahasiswa Makassar terlampau sering ditunggangi para politisi. Makassar
sering jadi tempat pengalihan isu politik. Mungkin argumentasi ini menempatkan mahasiswa
sebagai subordinat dari para politisi. Tapi, apa boleh buat, sebab boleh jadi inilah kenyataannya.
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak aktivis yang tiba-tiba saja kaya mendadak, padahal
kerjaannya hanya demo saja. Ini adalah simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan politisi.
Indikasinya juga nampak pada setiap kali ada demo yang kemudian rusuh, selalu bersamaan
waktunya dengan peristiwa politik yang cukup besar, apakah itu pemilu, pilkada, atau momen
politik penting lainnya. Jangan-jangan ini cuma pengalihan isu saja. Entahlah.

Ketiga, fenomena demonstrasi itu bisa ditafsir sebagai tebalnya tembok kekuasaan sehingga
aspirasi mahasiswa tidak bisa tersalurkan. Kata seorang kawan, kita harus ribut dulu biar
didengar. Kalau demo dilakukan dengan santun, jangan harap akan didengarkan. Meskipun kita
punya mekanisme perwakilan seperti DPR, namun tidak berarti aspirasi rakyat akan
didengarkan dengan cepat. Buktinya, ada begitu banyak aspirasi yang mengalir begitu saja,
tanpa didengarkan. Nah, demo rusuh bisa dilihat sebagai siasat mereka untuk didengarkan.
Meskipun demo ini dampaknya sangat disayangkan sebab merugikan banyak pihak, termasuk
mahasiswa sendiri.

Keempat, secara kultural, orang-orang di Makassar memang gampang ‘panas’. Di Makassar,


saling melirik saja bisa menjadi awal perselisihan yang kemjudian berakhir pada saling tikam.
Orang Makassar menjunjung tinggi apa yang disebut siri’ (harga diri). Ia boleh saja tidak punya
apapun, namun ia mesti menjaga siri’. Pantas saja jika menonton televisi, berita-berita kriminal
dari Makassar selalu mendominasi. Dalam hal demo hari ini, pemicunya adalah pemukulan yang
dilakukan polisi. Mahasiswa lalu mengamuk dan menyerbu pos polisi. Selanjutnya konflik
menyebar atas nama harga diri (siri’). Sebenarnya, banyak budayawan Bugis-Makassar yang
mempertanyakan tafsir siri’ yang menurut mereka salah kaprah itu. “Siri bukan untuk
kriminalitas. Siri’ itu harus diarahkan kepada hal yang positif. Misalnya sikap untuk menolak
suap atau menolak korupsi,” kata Prof Nurhayati Rahman, budayawan Sulsel, kepada saya
dalam banyak kesempatan. Sayangnya, tidak semua berpikir seideal para budayawan.

Kelima, boleh jadi para mahasiswa itu berharap bisa diliput oleh media massa secara luas. Saya
sering mendengar cerita para mahasiswa yang menunda demonstrasi hanya gara-gara para
jurnalis belum tiba. Mungkin saja mahasiswa itu hendak meniru Presiden SBY yang menunda
pidato hanya gara gara belum datang reporter televisi. Sementara bagi para jurnalis, aksi
anarkis adalah lahan berita yang paling cepat tayang. Kata seorang jurnalis televisi, sekali berita
kriminal ditayangkan, maka sang jurnalis menerima bayaran Rp 250 ribu. Bayangkan berapa
penghasilan jurnalis kalau dalam sehari terdapat 10 kali peristiwa. Di sini terjadi simbiosis
mutualisme antara media dan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu memahami watak para
pengelola media yang memegang kalimat sakti “Bad news is good news.” Mereka menyajikan
good news demi berita yang segera tayang di semua televisi.

Keenam, demonstrasi besar adalah panggung bagi para aktivis untuk tampil. Ini sama dengan
kalimat yang dipopulerkan Tukul yakni “Masuk Tivi.” Para mahasiswa itu ibarat seorang
peragawati yang melintas di atas catwalk. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang
aktivis yang ikut demo, kemudian dipukuli. Media lalu meliput. Beberapa jam berikutnya, sang
aktivis itu lalu mengirim sms pada semua keluarganya di kampung. “Tolong liat tivi. Ada berita
saya dipukuli. Hebat kan?” Sering pula saya mendengar kisah tentang seorang aktivis yang tiba-
tiba tersohor gara-gara memimpin demo dan sempat diwawancarai televisi. Ia jadi terkenal.
Politisi dan bupati berebut untuk memasukkannya jadi tim sukses. Ia terkenal karena melewati
jalan pintas yakni memimpin massa yang anarkis. Meskipun caranya merugikan banyak orang,
tapi sang aktivis itu menuai popularitas.
Itu hanya beberapa argumentasi yang sempat saya catat. Terserah, pembaca mau sepakat atau
tidak dengan beberapa argumentasi itu. Bagi saya, semakin banyak argumentasi dan asumsi,
akan semakin baik untuk mengurai fenomena mengapa mahasiswa Makassar gampang rusuh.
Terimakasih.

Gambaran gerakan mahasiswa dulu dan kini

gerakan reformasi 1998, sempat singgah di hati kita memberikan spirit baru akan sebuah
demokratisasi di negeri ini, peristiwa heroik diatas alas aspal jalanan dan panas terik matahari,
tanpa kenal lelah dan lapar mahasiswa dengan lantang meneriakkan perubahan, cita-cita
reformasi bangsa yang berkeadilan, makmur dan sejahtera. Walau kini cita-cita itu kini tinggal
lembaran kenangan yang entah kapan akan terselesaikan !

sebuah teori umum bahwa untuk menciptakan reaksi mesti dengan sebuah aksi. secara
konservatif banyak diantara mahasiswa memaknai aksi sebagai gerakan turun ke jalan dengan
berbagai metodologi A, B, dan C melakukan pressure kepada pemerintah untuk segera
memenuhi aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan.

Dewasa ini berbagai fenomena aksi demonstrasi turun ke jalan justru tidak begitu memberikan
banyak konstribusi pada sebuah perbaikan bangsa dan negara, selain hanya menyisakan pilu
dan kesedihan bagi rakyat. Ada apa gerangan dengan gerakan mahasiswa hari ini ? mahasiswa
intelek tidak cukup hanya dengan mengatakan “rakyat hanya tidak tahu apa yang kami
perjuangkan ! yang kami lakukan semata-mata hanya untuk rakyat !” sungguh sangat naif ketika
bahasa pembenaran dan apologi menjadi jawaban untuk rakyat. Memang tidak ada yang salah
dari sebuah cita-cita, yakni sebuah perubahan dan kesejahteraan rakyat. Tetapi bukankah
mahasiswa mestinya lebih mampu memahami konteks masyarakat untukbisa menurunkan
konsep serta pola-pola tindakan pada ranah yang praksis dan menjamah kebutuhan rill rakyat.

cukup reformasi “98″ yang memberikan kebingunan dan kegamangan rakyat-rakyat kecil.
setelah reformasi, yang ada hanya kebebasan yang kebablasan, para aparatus ideologis bermain
dengan hegemoninya, dominasi asing yang mencerabut akar budaya, stagnansi birokrasi
pemerintahan dan mahasiswa-mahasiswa yang beromantisme ria dengan perjuangan masa lalu.

sebuah gerakan mahasiswa seolah-olah memiliki dua mata pisau yang tajam, yang ketika kita
salah menggunakannya, maka akan melukai diri sendiri atau melukai rakyat sendiri. wacana
transformasi gerakan mahasiswa kontemporer hanya akan terus menjadi isu yang akan usang
termakan waktu, sementara negara dzolim terus menindas dan memakan rakyatnya sendiri.
Inikah yang di inginkan para mahasiswa intelektual di kampus ? saya kira tidak, kita hanya
perlu sedikit merefleksi gerakan perubahan yang kita bangun akhir-akhir ini, lalu setelah itu
melakukan aksi-aksi yang nyata dan rill atas kebutuhan rakyat. kita mesti sadar bahwa
pengelompokan serta pengorganisasian rakyat adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan
terhadap gerakan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat. hal tersebut mestinya menjadi
salah satu otokritik dari koservatisme gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan mobilisasi massa yang hanya membawa ratusan massa
dalam satu kesadaran individu, yang mana mestinya membawa kesadaran kolektif dalam satu
mobilitas aksi. Aksi demonstrasi mahasiswa bukanlah tempat pelarian dari kebingungan dan
kegamangan mahasiswa dalam himpitan-himpitan persoalan perkuliahan, yang tentu akan
berefek pada disorientasi gerakan dan brutalisme demonstrasi ! Aksi demontrasi adalah
metodologi yang di ambil akibat dari kebuntuan kompromi dialogis yang dibangun, bukan
akibat dari kebuntuan metodologi ! semoga saja tidak.

Tidak cukup hanya dengan modal semangat dan tutup wajah mahasiswa turun ke jalan. Butuh
lebih banyak energi dan upaya dalam melakukan perubahan di negeri ini. Jalanan bukanlah
panggung buat selebriti-selebriti kampus untuk gagah-gagahan dan unjuk kekuatan. Tetapi
jalanan adalah kelas mahasiswa untuk berbagi ilmu,  tempat ibadah mahasiswa untuk berbagi
moralitas serta panser mahasiswa untuk berbagi kekuatan bersama rakyat !

Bangun kekuatan bersama rakyat untuk menumpas musuh yang nyata di depan kita. karena
sang “raja” lalim tak pernah terusik akibat konflik horizontal yang terjadi. Panjang umur
perlawanan, jaya lembaga mahasiswa !

penulis sadar tidak banyak memberikan konstribusi dalam moralitas gerakan mahasiswa,
sehingga dari semua yang diceritakan diatas bukanlah sebuah perjalanan empiris. Tetapi tulisan
diatas adalah sebuah dasar pemikiran ideal penulis serta sebagai bahan refleksi melihat
gerakan mahasiswa kekinian.

kejahatan yang terorganisir senantiasa mengalahakan kebaikan yang tidak terorganisir.

Anda mungkin juga menyukai