Untitled
Untitled
Untitled
Istilah masyarakat Mandani hingga saat ini menjadi isu penting yang mewarnai jal
annya proses demokrasi di Indonesia. Tidak hanya itu, istilah masyarakat Mandani
telah menjadi pembicaraan penting dalam setiap diskusi-diskusi ilmiah.
1.Pengertian Masyarakat Mandani (Civil Society)
Dalam bahasa Arab konsep masyarakat Madani dikenal dengan istilah al-mujtama’ al-m
adani, dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah civil society. Selain kedua i
stilah tersebut, ada dua istilah yang merupakan istilah lain dari masyarakat mad
ani yaitu masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan.
Civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Cicero yang memulai
menggunakan istilah Societas Civilis dalam filsafat politiknya, yang berarti kom
unitas polotik yang beradap, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memili
ki kode hukum tersendiri. Masyarakat Mandani merupakan konsep yang merujuk pada
masyarakat yang pernah berkembang di Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw., yait
u masyarakat yang mengacau pada nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut al-khai
r.
Berkenaan dengan pengertian masyarakat Madani atau civil society, para pakar ban
yak mengemukakan pandangannya yang berbeda, diantaranya sebagai berikut :
a.A.S Hikam, berpendapat bahwa civil society secara institusional diartikan seba
gai pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang d
apat dengan bebas bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala hal y
ang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
b.Gallner, menunjuk konsep civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas be
rbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi neg
ara.
c.Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa civil society lebih menekankan pada keadaa
n pada keadaan masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, memil
iki kebebasan, mempunyai sistem ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi ma
syarakat yang mandiri serta satu sama lain saling menompang.
d.Nicos Mouzelis, mendrfinisikan civil society sebagai sebuah tatanan sosial, di
mana ada perbedaan yang jelas antara bidang individu dan bidang publik dan terj
adi tingkat mobilitas sosial dari warga masyarakat.
e.Eisenstadl, mengatakan bahwa civil society adalah sebuah masyarakat baik secar
a individual maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan
negara secara independen.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan secara umum masyarakat madani atau
civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang tero
rganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunya
i kesadaran hukum yang tinggi.
Untuk mewujudkan konsep tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperl
ukan berbagai prasyarat sebagaimana diungkapkan oleh Han Sung-Jun, yaitu :
a.Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta man
diri dari negara.
b.Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa saja dalam mengartiku
lasikan isu-isu politik.
c.Terdapatnya gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya terte
ntu.
d.Terdapatnya kelompok inti di antara kelompok-kelompok menengah yang mengakar d
alam masyarakat dan mampu menggerakkan masyarakat dalam melakukan modernisasi so
sial ekonomi.
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti ata
u sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggr
is, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposis
i dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madan
i sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes
place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masy
arakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaa
n organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keput
usan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim tot
aliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-indiv
idu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendir
i.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan b
erbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani ada
lah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak d
an kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentinga
nnya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatif
itas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Na
mun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa
udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentu
k dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita k
aji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyara
kat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyar
akat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang di
pilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil y
ang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civi
l resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat ma
syarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyaraka
t.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan da
n terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swad
ayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan ke
bijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap sali
ng menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonom
i, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarak
atan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara t
eratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak a
zasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai d
alam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-
rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah e
ntitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototi
pe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudi
an malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaera
han tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antar
a berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap mi
noritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mere
ka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakt
er etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Plurali
sme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman a
dalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap pote
nsi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kel
ompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi o
leh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferi
or dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud
sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terliha
t manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu
lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap l
embaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan ter
hadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Ses
eorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap
berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber ata
u mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap
kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspa
dai dan kalau perlu dibinasakan.
AGENDA JALAN KETIGA
Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dap
at dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas p
rofesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yait
u: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):
Politik Jalan Ketiga:
• Persamaan
• Perlindungan atas mereka yang lemah.
• Kebebasan sebagai otonomi.
• Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
• Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
• Pluralisme kosmopolitan.
• Konservatisme filosofis.
• Program Jalan Ketiga:
• Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
• Masyarakat madani yang aktif.
• Keluarga demokratis.
• Ekonomi campuran baru.
• Kesamaan sebagai inklusi.
• Kesejahteraan positif.
• Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
• Bangsa kosmopolitan.
• Demokrasi kosmopolitan
• Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakele
y dan Suggate, 1997):
1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peni
ngkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosia
l dasar yang lebih luas dan adil.
2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini melip
uti desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengemban
gan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan
kepentingan-kepentingannya.
3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorgan
isasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-le
mbaga swadaya masyarakat.
4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan k
esempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan
dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki
terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.
Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat
yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari communi
ty workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah m
impi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.
CATATAN
1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembang
an Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.
2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah
staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosia
l di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of
Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 be
lum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD
dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Inf
ormal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan S
ocial Policy.
BAHAN BACAAN
Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenanc
e of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bah
m.htm.
Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David R
obinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy St
udies, hal. 80 - 100.
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profe
ssion, Boston: Allyn and Bacon.
Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT G
ramedia Pustaka Utama
Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Pers
impangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East
Institute, hal.1-7.