Untitled

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

HAKIKAT MASYARAKAT MANDANI (CIVIL SOCIETTY)

Istilah masyarakat Mandani hingga saat ini menjadi isu penting yang mewarnai jal
annya proses demokrasi di Indonesia. Tidak hanya itu, istilah masyarakat Mandani
telah menjadi pembicaraan penting dalam setiap diskusi-diskusi ilmiah.
1.Pengertian Masyarakat Mandani (Civil Society)
Dalam bahasa Arab konsep masyarakat Madani dikenal dengan istilah al-mujtama’ al-m
adani, dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah civil society. Selain kedua i
stilah tersebut, ada dua istilah yang merupakan istilah lain dari masyarakat mad
ani yaitu masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan.
Civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Cicero yang memulai
menggunakan istilah Societas Civilis dalam filsafat politiknya, yang berarti kom
unitas polotik yang beradap, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memili
ki kode hukum tersendiri. Masyarakat Mandani merupakan konsep yang merujuk pada
masyarakat yang pernah berkembang di Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw., yait
u masyarakat yang mengacau pada nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut al-khai
r.
Berkenaan dengan pengertian masyarakat Madani atau civil society, para pakar ban
yak mengemukakan pandangannya yang berbeda, diantaranya sebagai berikut :
a.A.S Hikam, berpendapat bahwa civil society secara institusional diartikan seba
gai pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang d
apat dengan bebas bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala hal y
ang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
b.Gallner, menunjuk konsep civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas be
rbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi neg
ara.
c.Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa civil society lebih menekankan pada keadaa
n pada keadaan masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, memil
iki kebebasan, mempunyai sistem ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi ma
syarakat yang mandiri serta satu sama lain saling menompang.
d.Nicos Mouzelis, mendrfinisikan civil society sebagai sebuah tatanan sosial, di
mana ada perbedaan yang jelas antara bidang individu dan bidang publik dan terj
adi tingkat mobilitas sosial dari warga masyarakat.
e.Eisenstadl, mengatakan bahwa civil society adalah sebuah masyarakat baik secar
a individual maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan
negara secara independen.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan secara umum masyarakat madani atau
civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang tero
rganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunya
i kesadaran hukum yang tinggi.
Untuk mewujudkan konsep tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperl
ukan berbagai prasyarat sebagaimana diungkapkan oleh Han Sung-Jun, yaitu :
a.Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta man
diri dari negara.
b.Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa saja dalam mengartiku
lasikan isu-isu politik.
c.Terdapatnya gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya terte
ntu.
d.Terdapatnya kelompok inti di antara kelompok-kelompok menengah yang mengakar d
alam masyarakat dan mampu menggerakkan masyarakat dalam melakukan modernisasi so
sial ekonomi.

2.Ciri-ciri Masyarakat Madani (civil society)


Masyarakat madani (civil society) sebagai sebuah tatanan masyarakat yang mandiri
dan menunjukkan kemajuan dalam hal peradaban, mempunyai ciri-ciri atau karakter
istik tertentu yang membedakannya dengan bentuk masyarakat lainnya.
Menurut A.S Hikam ada empat ciri utama dari masyarakat mandani, yaitu sebagai be
rikut :
a.Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen bersama untuk
mewujudkan cita-cita bersama
b.Keswasembadaan, setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri yang
kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-lembaga negara atau organisas
i lainnya.
c.Kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dal
am masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara.
d.Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Masyarakat madani
adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.
Dalam sudut pandang lain, Nurcholis madjid mengemukakan ciri-ciri masyarakat mad
ani sebagai berikut :
a.Semangat egalitarianisme atau kesetaraan.
b.Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturuna
n kesukuan, ras, dan lain-lain.
c.Keterbukaan.
d.Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
e.Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan.
Sedangkan menurut Hidayat Syarif, masyarakat madani mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a.Masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, Pancasilais, dan memili
ki cita-cita serta harapan masa depan.
b.Masyarakat yang demokratis dan beradab yang menghargai perbedaan pendapat.
c.Masyarakat yang menghargai Hak Azazi Manusia (HAM).
d.Masyarakat yang tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya m
alu apabila melanggar hukum.
e.Masyarakat yang memiliki kepercayaan diri dan kemandirian.
f.Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kompetitif dalam suasana kooperatif,
penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan univers
al (pluralis).
3.Perwujudan Masyarakat Madani Model Indonesia
Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara l
ainnya. Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar pengemba
ngan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
b.Adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat.
c.Toleransi yang tinggi.
d.Adanya kepastian hukum.
Karakteristik-karakteristik tersebut selalu mewarnai perwujudan konsep masyaraka
t madani model Indonesia. Perwujudan konsep masyarakat madani di Indonesia dapat
kalian kaji dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Secara historis perwujuda
n masyarakat madani di Indonesia bisa dirunut semenjak terjadinya perunahan sosi
al ekonomi pada masa kolonial, terutama ketika kapitalisme mulai diperkenalkan o
leh Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses
industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain muncul
nya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang mendorong terbentuknya org
anisasi sosial modern.
Pada masa De3mokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mob
ilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilak
ukan masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra rev
olusi. Sehingga perkembangan masyarakat madani kembali terhambat.
Perkembangan orde lama dan munculnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi
perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, dalam bidang
sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarak
at agraris, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya tingkat
pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara d
i segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan bi
rokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat pada terjadinya kemerosotan
kemandirian dan partisipasi politik masyarakat serta menyempitkan ruang-ruang be
bas yang dahulu pernah ada, sehingga prospek masyarakat madani kembali mengalami
kegelapan.
Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan masyaraka
t madani kembali menorehkan secercah harapan. Hal ini dikarenakan adanya perluas
an jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yang intinya me
ngarahkan pada aspek kemandirian dari setiap warga negara.
Dari zaman orde lama sampai era reformasi saat ini, permasalahan perwujudan masy
arakat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yang sama. Berikut ini beberap
a permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan m
asyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Semakin berkembangnya kelas menengah.
b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat.
c. Pertumbuhan pers sangat pesat dari segi kuantitas maupun teknologi.
d. Kaum cendikiawan makin banyak yang merasa aman ketika dekat dengan pusat-pusa
t kekuasaan.
Proses pemberdayaan itu dapat dilakukan dengan tiga model strategi sebagaimana d
ikemukakan oleh Dawam Rahardjo, yaitu sebagai berikut :
a.Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
b.Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c.Strategi yang memilih pembangunan masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke
arah demokratisasi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menuju masyarakat madan
i Indonesia tidak ditempuh melalui proses yang radikal dan cepat (revolusi), tet
api proses yang sistematis dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu
melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI
(PETUNJUK-PETUNJUK)
Frans Magnis-Suseno SJ
1. Hal civil society/masyarakat madani (MM) sebaiknya didekati secara faktu
al daripada normatif. Bukan : setuju atau tidak dengan MM, melainkan: adakah MM
di Indonesia, sejauh mana, dan implikasinya apa? Secara normatif dapat ditanyaka
n; Bagaimana MM dapat diperkuat? Ke arah mana masyarakat, jadi; MM juga, sebaikn
ya diarahkan? Maka, "masyarakat madani: tentu bukan "gagasan yang diimpor" maupu
n "gagasan yang tidak diimpor", karena dia sama sekali bukan sebuah gagasan, mel
ainkan sebuah kenyataan yang ada atau tidak ada atau untuk sebagian ada tetapi t
idak peduli apakah kita menggagaskannya atau tidak.
2. MM pada hakekatnya (dan mengikuti faham hegel) adalah kehidupan masyarak
at di luar lingkungan keluarga/primordial/lingkungan kenalan pribadi yang dimina
ti secara pribadi, di satu fihak, dan dilain fihak (barangkali diatur, tetapi) t
idak ditentukan, diadakan oleh negara. Jadi MM hidup dan berkembang karena dinam
ikanya sendiri, bukan karena dorongan, apalagi inisiatif-inisiatif dari negara.
Input-input dari negara (yang tentu terus menerus ada) ditampung dengan respons
yang mandiri (hubungan negara - MM bukan generatif, (melainkan menurut ideal typ
enya) dialogal-dialektis.
3. MM dapat dideskripsikan sebagai "wilayah-wilayah kehidupan sosial yang t
erorganisasi dan bercirikan, a.l., kesukarelaan (voluntary), keswasembadayaan (s
elf-generating), dan keswadayaan (self-supporing), kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang d
iikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik civil society adalah suatu wi
layah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, dan
tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam j
aringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suat
u ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa d
ilakukan oleh warga masyarakat (Hikam 1996,3). Yang juga penting: MM perlu difah
ami sebagai proses (ib.), bukan sebagai sesuatu yang jadi.
4. MM sebaiknya dilihat secara historis, sebagai perkembangan khas pasca-tr
adisional.
5. Dalam masyarakat tradisional belum ada MM dan belum ada "negara" dalam a
rti lembaga pusat yang kehadirannya nyata dalam segenap wilayah kehidupan. Yang
ada adalah keluarga (inti-luas), komunitas lokal (desa, kampung sekitar kraton,
masyarakat sebuah kota), golongan-golongan feodal menurut jajaran masing-masing
(kasta-kasta, Stande/estates seperti bangsawan, gilda, pedagang). masing-masing
dengan tatanannya sendiri dan dalam interaksi, dan di atasnya pemerintah (bukan:
negara) dengan fungsi-fungsi sangat terbatas: perlindungan ke luar, representas
i makna sosial dan karena itu prinsip ideal kesatuan masyarakat yang pluriform.
Negara tidak mencoba "membangun masyarakat", dan masyarakat (barangkali menderit
a karena penindasan atau perang-perangan raja) tetapi tidak berwawasan "memperta
hankan kemandirian terhadap negara" dan lain faham modern seperti itu.
6. Di negara-negara industri/perekonomian modern primer MM terbentuk bersam
aan dengan burjuasi yang mengambil alih kemudi perkembangan ekonomis menurut pri
nsip-prinsip kapitalisme. 100 tahun permulaan zaman industri (akhir abad ke-18 m
asuk ke abad ke-19) adalah satu-satunya zaman di mana perekonomian mengembangkan
dinamika mendahului perkembangan sosial-politis (yang menimbulkan ilusi pada Ma
rx bahwa "perkembangan alat-alat produksi" selalu mendahului dan menentukan perk
embangan hubungan sosial dan "bangunan atas" (cf. Habermas 1976).
7. MM dengan sendirinya tidak mempunya kaitan dengan egalitarianisme atau i
sme-isme lain. Adanya egalitarisme tidak berarti ada MM. Yang betul ialah bahwa
MM, dalam kontestasinya terhadap kekuatan-kekuatan feodalisme yang mengekang din
amikanya mengambil faham kesamaan dan kebebasan sebagai pengertian-pengertian ya
ng sangat cocok untuk membongkar legitimasi tatanan feodal itu. Sedangkan cita-c
ita ketiga Revolusi Perancis, persaudaraan, tidak mendapat gema banyak dalam MM,
melainkan kemudian disuarakan oleh sebagian dari MM, yaitu kelas-kelas bawah da
n kelompok-kelompok militan, sebagai senjata perjuangan mereka. Cita-cita kesama
an dalam MM tidak menjadi amat dominan karena malah akan mengurangi kebebasan da
n dinamikanya.
8. Dalam negara-negara berkembang (gelombang industrialisasinya kedua, keti
ga, dsl) MM dengan sendirinya hanya berkembang dengan lambat. Ia berkembang seja
lan dengan modernisasi struktur produksi dan kerja. Ia lambat karena modernisasi
dalam segala dimensi, termasuk pembangunan ekonomis, dirintis oleh negara. Maka
kita menemukan sesuatu yang tidak banyak kelihatan dalam negara-negara industri
primer (saya tidak masuk di semua bidang menjadi perintis, pemrakarsa, penggera
k, pendorong, dan sponsor finansial. Ketergantungan masyarakat yang semakin mode
rn dari negara luar biasa besarnya. (perlu diperhatikan bahwa di negara-negara i
ndustri primer pun peran negara semakin bertambah; tetapi karena MM sudah mapan,
ia tetapi mempertahankan diri sebagai padanan dialektis negara).
9. Akan tetapi MM perlu juga berkembang di negara-negara berkembang apabila
cita-cita lepas landas mau tercapai. Lepas landas berarti: perkembangan masyara
kat, terutama juga di bidang ekonomi, berdasarkan dinamika masyarakat sendiri. P
eran negara semakin sebagai fasilisator dan penata, jadi bukan lagi sebagai mesi
n pendorong satu-satunya.
10. Apakah (di negara-negara berkembang) tahap tinggal landas merupakan sesu
atu yang niscaya, ataukan mungkin juga berkembang sebuah masyarakat yang tetap d
itopang oleh negara? Jawaban tentu spekulalatif. Akan tetapi ada petunjuk bahwa
dinamika ke MM ada, meskipun sangat tergantung dari keputusan politik yang bersi
fat struktural. Kegagalan total semua bentuk perekonomian sosialis (di mana nega
ra menjadi pusat perekonomian (dan kehidupan) bangsa (pada umumnya) akan terbena
m dalam lumpur korupsi dan inefisiensi apabila tidak terjadi emansipasi proses e
konomis dari pengurusan langsung oleh negara, menunjukkan bahwa tanpa adanya MM
lepas landas tidak tercapai dan perkembangan ekonomis akan macet , hal mana akan
menjerumuskan negara yang bersangkutan ke dalam kehancuran.
11. Terwujudnya MM untuk sebagian berjalan dengan sendirinya, tetapi untuk s
ebagian tergantung dari apakah, dengan keputusan-keputusan politik yang tepat, d
iciptakan kondisi-kondisi yang konduktif. Deregulasi ekonomis (tetapi: tak ada a
lasan mengapa deregulasi itu mesti menyeluruh; yang menjadi tolok ukur bagi dere
gulasi adalah bahwa terutama hal-hal seperti kartel, monopoli serta dominasi kon
eksi atas prestasi ekonomis dicabut landasanya), keterbukaan politis sampai taha
p tertentu (sejauh mana perkembangan demokratis merupakan syarat pembangunan eko
nomis berkelanjutan masih diperdebatkan), lalu, amat penting, perwujudan negara
hukum secara efektif, termasuk jaminan hal-hak asasi manusia (di antaranya pemas
tian bahwa pelanggaran hak-hak asasi inti sedikit pun tidak ditolerir lagi), itu
lah syarat-syarat pemberdayaan masyarakat yang semakin mengoptimalkan kondisi pe
rwujudan MM.
12. Hubungan antara penciptaan kondisi-kondisi itu dan MM adalah timbal bali
k: Deregulasi, keterbukaan dan negara hukum mengandaikan adanya MM, meskipun bar
angkali masih kecil dan lemah. MM itu sendiri terus menerus, berdasarkan dinamik
a internal, memberi tekanan agar deregulasi, keterbukaan dan negara hukum diusah
akan terus, dan deregulasi, keterbukaan dan negara hukum itu sendiri memperkuat
MM.
13. Baru sekarang saya mau ke pertanyaan pokok bahasan bersama ini: Apa rele
vansi pembicaraan tentang MM itu? Pertama: meskipun MM merupakan perkembangan fa
ktual yang, senang atau tidak senang, akan terjadi, akan tetapi sejauh mana MM d
apat berkembang lebih lanjut, atau malah macet, lalu masyarakat menjadi lemah, f
ungsi negara semakin super-dominan dan akhirnya semunya terperosok dalam keambru
kan, kekacauan, anarki dan (kemungkinan nyata) negara bubar, - sangat tergantung
dari keputusan-keputusan politik (mengenai deregulasi, keterbukaan dan negara h
ukum itu). Dengan lain kata, dalam kondisi modernitas dan globalisasi, dapat dir
agukan apakah dengan MM yang lemah suatu stabilitas positif kehidupan kemasyarak
atan dan bahkan kenegaraan dapat dipertahankan. Alternatifnya adalah diktatur ge
lap.
14. Maka, kedua, ada kaitan cukup erat antara kemajuan ekonomi, perwujudan n
egara hukum, demokrasi dan keberadaban kehidupan masyarakat dengan apakah MM ber
kembang terus atau tidak. Hal itu dapat dirumuskan sbb: Kalau Indonesia mau memp
ertahankan diri sebagai negara dan masyarakat yang "adil makmur", yang beradab,
sejahtera, terang, terbuka, berbudaya dan merdeka (ke luar), memperkuat MM terus
menerus harus menjadi opsi pengarahan pembangunan politis dan sosial.
15. Dengan demikian implikasi-implikasi opsi pro pengembangan MM perlu diper
hatikan. Di atas sudah dikemukan bahwa MM hanya dapat menjadi mantap apabila kit
a meneruskan deregulasi, mengambil tindakan untuk memantapkan keterbukaan dan be
rhasil mewujudkan negara hukum. Sekarang kita dapat melihatnya dengan lebih prin
sipil. MM karena merupakan kehidupan sosial yang berdasarkan dinamika sendiri se
cara hakiki harus bebas secara internal. Artinya, dinamika-dinamika yang ada dal
am masyarakat tidak boleh ditindas, diregulasi, dipotong berdasarkan apriori-apr
iori ideologis dsb.
16. Lebih terinci, masyarakat itu di satu fihak harus menjamin kebebasan seg
enap warga masyarakat, individual dan kolektif, untuk mewujudkan kehidupan menur
ut cita-cita mereka sendiri, asal tidak mengintervensi saudara, tetangga, komuni
tas, kelompok dan golongan lain. Hak-hak asasi manusia perlu dijamin dan menjadi
ukuran toleransi kehidupan bersama. Di lain fihak kehidupan bersama harus diduk
ung oleh suatu konsensus dasar, konsensus tentang nilai-nilai yang mendasari keh
iudpan bersama sebagai bangsa (contoh: Pancasila).
17. Hal itu berarti dua. Pertama, MM tidak mengatur nilai-nilai, cita-cita,
keyakinan-keyakinan para warganya. Adanya MM berarti bahwa ia tidak memerlukan n
egara untuk menjadi sandaran moralitasnya. Ia memilikinya sendiri - dan pada umu
mnya secara pluralistik karena MM terdiri atas komunitas-komunitas dengan tradis
i-tradisi lokal dan sosial sendiri-sendiri, dengan cerite- ceritera kecilnya mas
ing-masing. Keluar hal itu berarti maksimum toleransi. Ke dalam itu berarti; mas
ing-masing kelompok mantap dalam identitasnya. Yang diatur oleh negara - dalam h
ukum - adalah kepentingan-kepentingan utiliter dan pragmatis bersama, presis apa
yang memang menjadi raison d etre (dasar eksistensi) negara.
18. Tetapi, kedua, suatu masyarakat hanya dapat meruipakan kesatuan politis
apabila memiliki suatu tandon nilai bersama, di antaranya apa yang disebut keyak
inan dan keutamaan republika" (Ch. Taylor 1989), yaitu keterlibatan pada negara
sendiri dan kesediaan untuk seperlunya berkurban demi negara bersama itu. Tetap
i perlu diperhatikan: keyakinan kebersamaan dalam MM majemuk justru dapat tinggi
apabila (dan hanya apabila) masing-masing warganya merasa utuh dalam identitas
dan kebebasan untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri.
19. Barangkali tidak selalu mungkin menghindari adanya hubungan-hubungan bud
aya yang hegemonikal, tetapi suatu dominasi pandangan moral-budaya tertentu mest
i akan merusak negara itu, memperlemah MM secara kontinyu. Karena lalu negaralah
yang harus menopang tatanan moral-kultural, jadi MM sudah tidak vitas lagi. Den
gan lain kata, apabila MM mau didukung, transfer cita-cita ideologis, moral dan
kultural hanya dapat dibenarkan apabila terjadi dalam suasana kebebasan dan berd
asarkan daya tarik cita-cita itu sendiri.
20. Dengan demikian saya baru sampai pada hal agama. Kiranya jelas bahwa ter
bentuknya MM merupakan tantangan bagi agama-agama. Memang, secara teoritis dan a
n sich agama-agama seharusnya tidak keberatan dengan MM yagn bebas dan toleran.
Semua agama secara ekplisit mengakui nilai-nilai itu.
21. Akan tetapi dalam kenyataan agama-agama - atau lebih tepat: umat-umat be
ragama, para panutan dan juru bicaranya - sering tidak biasa untuk berpandangan
seperti itu tadi. Agama-agama mudah berkecenderungan totaliter dan absolutistik
karena senantiasa merasa digota menerapkan kemutlakan Tuhan yang mereka akui pad
a diri mereka sendiri. Jadi kemungkinan bahwa agama-agama menjadi hambatan perke
mbangan MM tidak terkecuali.
22. Maka MM hanya dapat berkembang, dan masyarakat modern baru dapat menjadi
mantap dan percaya diri, apabila dalam agama-agama terjadi proses-proses belaja
r. Terutama belajar hidup dalam masyarakat pluralistik dan majemuk. Sebagai hasi
l proses-proses belajar itu dapat diharapkan meningkatkan kemantapan agama-agama
dalam lingkungan sosial yang ditentukan kondisi-kondisi modernitas - tanpa mera
terancam.
23. Terbentuknya MM dapat dipandang sebagai prasyarat pemeliharaan ruang kem
andirian manusia berhadapan dengan kekuasaan negara yang semakin bertambah. Apab
ila menusia tidak mau membiarkan diri direduksi menjadi sekrup dalam proses anon
im sebuah adnimistrasi menyeluruh yang semakin irasional dan imoral, terbentukny
a MM perlu disambut dengan positif dan, sejauh mungkin perlu diusahakan kondisi-
kondisi optimal bagi proses itu.
Perkembangan Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya
sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh
aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan
profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya
. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemi
mpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuat
an kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), se
hingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemeri
ntah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beber
apa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kem
andirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat
madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan
Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakuka
n intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena merek
a memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan org
anisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada
.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Pre
siden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep ma
syarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus
tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppre
s No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga denga
n tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Kon
sep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang meneka
nkan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto
terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan R
eformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Ge
rakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil
society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesi
a), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ket
ua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mend
ekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik
. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto
. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu ca
ra dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep
masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan
, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan
gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hu
kum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bah
wa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestar
ikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokras
i, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokras
i karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan
tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari
hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaa
n politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses
pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperpara
h dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Mer
deka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Bar
u yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, ti
dak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerus
uhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak ma
syarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di s
amping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradi
sionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). H
al ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak s
epenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan.
Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarak
at non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begit
u keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang art
i sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai L
embaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khi
ttah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus D
ur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia
dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Poli
tik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU men
erima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan
dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) as
pek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu uni
versal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) ata
u Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspe
k horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maup
un agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang
perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismai
l, 1999: 17).
Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk neg
ara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri
tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan
ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 200
0: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia
sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan ps
ikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal ord
er) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya k
ebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuk
a terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam
Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama
(al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hu
kum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk b
erpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta be
nda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan kon
sep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas po
litik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kec
enderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat
(termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu d
engan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang
tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjad
i pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langs
ung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ort
odoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberaga
man. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat
beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksist
ensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah
Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (H
idayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong a
ntaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang b
ernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk
saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya,
tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederha
naan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tenta
ng prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunita
s non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” it
u sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilaku
kan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Sepert
i yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad
ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memera
nkan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan
pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya neg
ara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana
negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama d
engan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Kesimpulan
Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tan
ggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal
itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman d
alam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan
bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik
dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main.
Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan
tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan y
ang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai p
osisi yang lemah vis-à-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimb
angan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Rea
litas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendir
i oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah
karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara
modern.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan u
ntuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol
kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak m
asyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara
hendaknya dapat mewujudkan demokrasi.

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti ata
u sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggr
is, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposis
i dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madan
i sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes
place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masy
arakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaa
n organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keput
usan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim tot
aliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-indiv
idu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendir
i.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan b
erbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani ada
lah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak d
an kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentinga
nnya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatif
itas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Na
mun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa
udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentu
k dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita k
aji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyara
kat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyar
akat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang di
pilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil y
ang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civi
l resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat ma
syarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyaraka
t.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan da
n terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swad
ayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan ke
bijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap sali
ng menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonom
i, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarak
atan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara t
eratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak a
zasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai d
alam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-
rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah e
ntitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototi
pe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudi
an malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaera
han tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antar
a berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap mi
noritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mere
ka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakt
er etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Plurali
sme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman a
dalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap pote
nsi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kel
ompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi o
leh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferi
or dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud
sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terliha
t manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu
lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap l
embaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan ter
hadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Ses
eorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap
berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber ata
u mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap
kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspa
dai dan kalau perlu dibinasakan.
AGENDA JALAN KETIGA
Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dap
at dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas p
rofesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yait
u: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):
Politik Jalan Ketiga:
• Persamaan
• Perlindungan atas mereka yang lemah.
• Kebebasan sebagai otonomi.
• Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
• Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
• Pluralisme kosmopolitan.
• Konservatisme filosofis.
• Program Jalan Ketiga:
• Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
• Masyarakat madani yang aktif.
• Keluarga demokratis.
• Ekonomi campuran baru.
• Kesamaan sebagai inklusi.
• Kesejahteraan positif.
• Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
• Bangsa kosmopolitan.
• Demokrasi kosmopolitan
• Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakele
y dan Suggate, 1997):
1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peni
ngkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosia
l dasar yang lebih luas dan adil.
2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini melip
uti desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengemban
gan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan
kepentingan-kepentingannya.
3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorgan
isasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-le
mbaga swadaya masyarakat.
4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan k
esempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan
dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki
terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.
Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat
yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari communi
ty workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah m
impi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.

CATATAN
1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembang
an Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.
2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah
staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosia
l di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of
Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 be
lum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD
dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Inf
ormal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan S
ocial Policy.
BAHAN BACAAN
Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenanc
e of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bah
m.htm.
Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David R
obinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy St
udies, hal. 80 - 100.
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profe
ssion, Boston: Allyn and Bacon.
Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT G
ramedia Pustaka Utama
Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Pers
impangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East
Institute, hal.1-7.

Menuju Masyarakat Madani


Dunia pengetahuan modern menyebutkan, wacana civil society, yang, di Indonesia d
ikenal dengan term (istilah) masyarakat madani atau masyarakat sipil, adalah imb
as dari perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat.
Istilah tersebut dihidupkan oleh dua pemikir terkemuka John Locke (1632-1704) da
n JJ. Rousseau (1712-1778). Masyarakat madani (civil society), menurut mereka, m
enjadi sebuah keniscayaan (keharusan) untuk diwujudkan.
Ini, mengingat, masyarakat modern itu dihadapkan pada tata kehidupan politik yan
g terikat pada sistem (hukum), kehidupan ekonomi dengan uang sebagai alat tukar,
dan terjadinya kegiatan perdagangan dalam suatu pasar, serta ditandai pula oleh
perkembangan teknologi. Dimana inti dari semua itu, adalah demi mensejahterakan
dan memuliakan hidup, sebagai salah satu ciri masyarakat beradab.
Dalam Islam, konsep masyarakat madani dipercaya sebagai “warisan ideal” Nabi Muhamma
d Saw., dalam memimpin ummatnya di sebuah kota bernama Yatsrib, yang kelak diken
al dengan nama “Madinah”.
Madinah, secara bahasa berarti “kota”. Tetapi menurut ilmu kebahasaan, kata “madinah” me
ngandung arti “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” berasal dari kata “madaniyah” ata
“tamaddun”.
Masyarakat madani yang diterapkan Nabi itu, secara formal dimanifestasikan dalam
piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang diproklamirkan bersama pendukungnya.
Lewat piagam madinah itu, Nabi mengemukakan cita-cita besarnya mendirikan dan me
mbangun mansyarakat beradab. Dengan memperkenalkan umat manusia tentang (wawasan
) kebebasan baik di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersa
ma-sama.
Piagam madinah itu, oleh ilmuwan yang concern dalam ilmu politik, dipercaya seba
gai dokumen (resmi) pertama kali yang “lahir” di bumi ini.
Selain itu, masyarakat madani seperti digariskan Nabi, itu menjunjung tinggi ega
literisme (persamaan), penghargaan kepada seseorang berdasarkan prestasi (bukan
prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipa
si seluruh anggota masyarakat dalam pemilihan pemimpin melalui pemilihan.
Wacana masyarakat madani yang digariskan Nabi itu, tak pelak membuat kagum Sosio
log agama terkemuka Robert N. Bellah.
Dalam Beyond Belief (1976) ia menulis, masyarakat madani yang dibangun Nabi, ada
lah sebuah konsep tentang tata kemasyarakatan yang sangat modern, bahkan terlalu
modern pada zamannya. Sampai umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana
sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti d
irintis Nabi.
Darimana awal mula wacana masyarakat madani muncul? Rasanya, pertanyaan mengenai
wacana tersebut berasal dari Barat atau Islam, tidak lagi menjadi penting untuk
dibahas secara rigid.
Yang mendesak kemudian adalah bagaimana mewujudkannya. Bagaimana sebuah masyarak
at menjadi beradab dan berperadaban yang merupakan inti dari konsep masyarakat m
adani bisa tercipta, itulah yang harus dilakukan.
Islam mengajarkan, ambillah hikmah dari manapun datangnya. Meskipun hikmah itu d
atangnya dari anak kecil, bahkan dari orang Nasrani atau Yahudi sekalipun.
Ajaran lain yang sangat akrab dengan telinga kita, adalah konsep almuhafadlatu ‘al
a al-qadim al-shalil wa al akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Menjaga sesuatu yang l
ama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dalam kerangka mewujudkan masyarakat madani, Nabi, selama sepuluh tahun di Madin
ah, telah mengawali dan mengajarkan bagaimana membangunnya. Dimulai dengan bagai
mana membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan ta
kwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA.
Sebuah tatanan yang bertolak pada ruh dan semangat ketakwaan kepada Allah Swt.,
yang dalam peristilahan al-Qur’an dikenal dengan semangat rabbaniyah (QS Alu Imran
:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146).
Yaitu membangun hidup secara seimbang. Hidup dalam frame (kerangka) hablun mim A
llah, dimensi vertikal dalam membangun hubungan dengan Allah, agar tidak jatuh d
alam kehinaan dan kenistaan.
Pada gilirannya, semangat rabbaniyah atau ribbiyah itu, seharusnya bisa menjadi
spirit dalam membangun pola hubungan (interaksi) yang humanis antar sesama. Sebu
ah semangat hidup untuk membangun sebuah masyarakat yang beradab, adil, makmur d
an sejahtera. Hablun min al-nas.
Akhirnya, semoga masyarakat madani akan terwujud dalam masyarakat kita. Bukan se
baliknya, sekadar menjadi wacana yang akan usang dan lapuk ditelan sang waktu.
Jawa Pos Radar Kudus
30 Oktober 2005
MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI
DEMOKRATISASI PENDIDIKAN
Oleh :
Husaini Usman*)
Abstrak: Hasil pemikiran ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masya
rakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara
ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi
, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dar
i dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbu
l inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai me
lalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan.
Dengan demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik d
an peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berko
nteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik seh
ingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.
Kata kunci: masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, inovasi pendidikan, d
emokrasi pendidikan
*) Dr. Husaini Usman adalah Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan
I. Pendahuluan
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir i
ni seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai
dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha
mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat ya
ng madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapa
k tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen mas
ing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten da
lam suatu perjuangan yang gigih.
Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang ber
jangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksa
nakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (cre
dible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka
panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan
dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan pen
ting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian
dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewuj
udkan masyarakat madani.
Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyar
akat madani melalui demokratisasi pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidi
kan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehid
upan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keteramp
ilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta ra
sa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pen
didikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan ter
sebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional te
rsebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan
belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasi
onal tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani terma
suk di masyarakat kampus.
Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar I
brahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak i
tu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi
para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarak
at madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan
bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) m
enyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas t
ertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudk
an masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senad
a dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indones
ia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendi
dikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasa
an, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan pe
serta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesa
k untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi ma
syarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pe
mahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat
apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan b
agaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pen
didikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah
reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratis
asi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana ke
kuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demok
ratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan
masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah mak
na masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan
bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pen
didikan?
Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru m
asyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyaraka
t madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan
dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui peng
ujian empiris yang profesional.
2. Pembahasan
Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah civil societ
y sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sos
ial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraska
n berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan
civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat se
bagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog
demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni
. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan
solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik.
Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali
pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pe
rtanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama
pemerintah.
Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terja
di tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan.
Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari mon
opoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Set
iap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, digan
ggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena
itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjan
g dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi pa
ra penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelo
pori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal k
emerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata haru
s menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soeka
rno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan trans
formasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terb
endungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat mada
ni sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarn
ya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan soci
ety yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilizatio
n yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan seb
agai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Ko
nsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada aw
alnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab.
Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengem
bara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan ya
ng sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak mema
inkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif
lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang
ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa
hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI
untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67)
bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarak
at yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkeba
likan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.
Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan d
ari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum
Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero
(106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suat
u komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota y
ang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity
(budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, mel
ainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan
Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab,
madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tin
ggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya bera
dab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demik
ian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarak
at madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam men
ghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-we
nang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society,
artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dap
at terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku so
sial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) m
enyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan ke
bebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural d
an heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganis
asikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhi
rnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh pe
rsaingan dan perbedaan.
Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah
masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep ci
vil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhu
n (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep
Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh fils
uf Al Farabi pada abad pertengahan.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kau
m reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang me
reka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralis
tik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adi
l, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara
, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak a
sasi manusia (Farkan, 1999: 4).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada pri
nsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi,
aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifika
si, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling domina
n adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil so
ciety tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyara
kat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani
menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghor
mati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan s
osial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan menget
ahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami se
bagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di
suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.
Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya ma
syarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dala
m negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping it
u, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya
inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Dalima
n (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-perso
alan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, go
longan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue
bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan
antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, dir
ekayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara ari
f, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewu
judkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawati
ran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipas
i nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Sur
yadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewuj
udkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masi
ng-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan
penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap asp
ek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar l
ahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi lu
as di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik d
engan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontro
l aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sek
aligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak
demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum refor
mis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat te
kanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara p
enganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pa
da pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuan
nya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi
kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada g
ilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disint
egrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas
sebagai unity dan diversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapk
an di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persau
daraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terja
min. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia
adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang
mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum
dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55).
3. Pemecahan Masalah
Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demok
ratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri d
ari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, de
mokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik mer
upakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi
memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang
dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang
luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada
rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan
oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tu
juan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir
kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryad
i, 1999: 23).
Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk me
mbangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang
mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Harton
o, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyat
akan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jal
ur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh kar
ena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pend
idikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peser
ta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertangg
ung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan
baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang ting
gi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama
-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajar
i kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa,
maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya
bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemim
pin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terha
dap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedih
an dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pe
rnyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem
pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan plur
alisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat mada
ni. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan.
Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nas
ional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala l
okal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pend
idikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menu
rut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan.
Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik
untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan gu
ru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 1
15). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demo
kratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal ya
ng berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik d
an masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin.
Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani
, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan
anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta did
ik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarga
nya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatk
an produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar bela
kang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil
nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisni
snya, dan seterusnya.
Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendi
dikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masala
h pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan
metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang
diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang me
nekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik a
kan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Ba
rnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan
dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah seb
abnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi ak
an menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusia
an dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suas
ana kondusif bagi demokratisasi pendidikan.
Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrig
ues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk
ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adala
h pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (tut wuri handayani) kepada pes
erta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan inf
ormasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi
, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah dit
erimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan.
Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kem
bali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain.
Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat ma
sukan yang konstruktif dari pihak lain.
Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan men
cari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, med
iator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diteri
manya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang d
ialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberika
n rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, p
endidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam
menuntut ilmu.
Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pend
idikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Ka
lau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan b
angsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melai
nkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pe
mikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan
harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada kese
imbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga te
rcipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertin
dak lokal.
Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang
berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan
peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penu
h dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik.
Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan
(equity). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspiras
i dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid se
perti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan mema
ng merupakan wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan ke
bebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan.
Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan
hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan ju
ga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta
didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan
pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan,
mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru.
Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat ting
gi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh
dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network,
sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta di
dik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar da
ri pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru.
Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriente
d yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik y
ang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psiko
logis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan
perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu bero
rientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pad
a teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang p
andai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual terseb
ut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena
kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting
peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pel
aksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter
oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriente
d lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik s
ecara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting
, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.
Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat
dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus
top down namun diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan keh
endak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentu
kan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya.
Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika p
engajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka
hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk m
enggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang
mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tila
ar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai informasi yang tinggal
ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencern
a sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (199
6: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu mengharga
i bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya pese
rta didik akan menjadi pembebek-pembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih be
radab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148)
menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang
lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan
komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan
terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh
saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri da
n mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dip
ertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi te
tapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga dir
i orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting disku
si. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argu
mentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama
. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di
dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belaj
ar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling t
ukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan
akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan.
4. Kesimpulan
Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyaraka
t yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi,
aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifika
si, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling domin
an adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu
segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi d
ari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di
samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan d
an menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewuj
udkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokr
atisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang l
ebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui d
emokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peser
ta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks
demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengaja
ran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabk
an peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya

Anda mungkin juga menyukai