Anda di halaman 1dari 6

Iran dan Irak memiliki sejarah panjang saling tidak percaya dan permusuhan, dimana mereka bahkan

bertempur perang 8-tahun berdarah (1980-1988). Namun, Maret 2003 yang dipimpin invasi ke Irak
berubah drastis situasi itu. Invasi tidak hanya menggulingkan didominasi Baathist sbg rezim sunni
Saddam Husein juga berjanji untuk melontarkan itu sampai sekarang Irak tertindas mayoritas Syi'ah,
yang berbagi iman yang sama dengan Iran, dengan mengadakan pemilu di mana numerik
preponderance 'Syiah akan menjamin mereka peran utama dalam negara politik baru didirikan.
Bahkan sebelum pemilihan, Syiah punya posisi dominasi pertama di Dewan Pemerintahan Irak (IGC),
dan kemudian di Pemerintah intern Irak. Pada 30 Januari 2005, pemilihan mendekat lebih dekat,
kelompok Syiah beragam termasuk Syiah pihak terorganisir yang paling, Dewan Tertinggi untuk
Revolusi Islam di Irak (SCIRI), dan Daawa, negara tertua di Syiah kelompok politik, tertutup peringkat
untuk kontes 30 Jan , 2005, pemilu sebagai front persatuan, orang Irak Aliansi Serikat (UIA), yang
menikmati berkat-berkat dari ulama Syiah paling dihormati negara, Grand Ayatollah Ali Sistani.
Karena komposisi sektarian masyarakat Irak, pemilihan ditakdirkan untuk menghasilkan sebuah
majelis konstituante yang akan memiliki Syiah dan mayoritas pimpinan UIA. The fact that the alliance
was dominated by the Shia groups which have had close relations with Iran, has led many to fear
that with the establishment of a Shia-dominated government in Iraq, the influence of Iran there will
increase enormously. Fakta bahwa aliansi itu didominasi oleh kelompok Syiah yang memiliki
hubungan erat dengan Iran, telah membuat banyak orang takut bahwa dengan pembentukan
pemerintah yang didominasi Syiah di Irak, pengaruh Iran di sana akan meningkat pesat. This has also
led many in the Western alliance to accuse Iran of interfering in the Iraqi affairs. Hal ini juga
menyebabkan banyak di aliansi Barat menuduh Iran campur tangan dalam urusan Irak. This study is
an effort to see how with the coming to power of a Shia-dominated government in Iraq, would the
country's relations with Iran evolve. Kajian ini merupakan upaya untuk melihat bagaimana dengan
kedatangan kekuasaan dari pemerintah yang didominasi Syiah di Irak, akan negara hubungan
dengan Iran berevolusi. It has been argued that the pattern of Iraq's relations with Iran will not alter
only because of the change in the sectarian identity of the Iraqi rulers, or due to their personal
relations with the Iranian leaders. Telah dikemukakan bahwa pola ini hubungan Irak dengan Iran
tidak akan mengubah hanya karena perubahan identitas sektarian dari penguasa Irak, atau karena
hubungan pribadi mereka dengan pemimpin Iran. Rather, many other factors – political, historical as
well as religious – will determine the stance of Iraq's new rulers towards Iran. Sebaliknya, banyak
faktor lain - politis, historis maupun keagamaan - akan menentukan sikap penguasa yang baru Irak
terhadap Iran. Against a brief historical background of Iran–Iraq relations, along with a description of
Iran's posture towards the US-led invasion of Iraq, this study takes stock of the post-invasion
developments there. Latar belakang sejarah singkat hubungan Iran-Irak, bersama dengan deskripsi
yang postur Iran terhadap invasi pimpinan AS ke Irak, penelitian ini mengambil saham dari
perkembangan pasca-invasi di sana. Besides, it takes account of Iraqi Shias' post-invasion
resurgence, and how it has raised many hackles both within and outside Iraq. Selain itu,
mempertimbangkan invasi-kebangkitan Syiah 'post Irak, dan bagaimana ia telah mengangkat banyak
hackles baik di dalam dan di luar Irak. The final part of the study discusses the factors that are likely
to have a bearing upon Iraq's new leadership's decision-making calculus vis -a- vis Iran, and vice
versa, as this could help us discern the emerging contours of Iran-Iraq relations. Bagian akhir dari
studi ini membahas faktor-faktor yang cenderung memiliki bantalan pada Irak yang baru
kepemimpinan pengambilan keputusan kalkulus vis-a-vis Iran, dan sebaliknya, hal ini akan
membantu kami membedakan kontur munculnya-Irak hubungan Iran.
Hubungan Iran-Irak selama dua dekade terakhir dipenuhi hawa permusuhan dan
saling curiga. Namun, perlahan, hubungan yang tegang itu mulai mencair seiring dengan
naiknya para pemimpin Syiah Irak ke tampuk kekuasaan pemerintahan di negara itu. Sejarah
masa lalu kedua negara sesungguhnya tidak terlepas dari dua aliran besar dalam Islam yang
dikenal dengan Sunni dan Syiah. Kedua aliran itu di banyak kelompok masyarakat lebih
dikenal ketimbang beberapa aliran besar lainnya dalam Islam. Konflik Iran-Irak juga tidak
terlepas dari sejarah wilayah itu pada masa kerajaan Mesopotamia hingga kekaisaran
Ottoman. Antara tahun 1555 dan 1918, menurut Wikipedia, kerajaan Persia dan kekaisaran
Ottoman telah menandatangani tidak kurang dari 18 perjanjian mengenai batas kedua wilayah
yang terus dipersengketakan. Persengketaan batas negara itu terus berlanjut hingga kemudian
pada 1975, atas desakan AS, Iran dan Irak menandatangani kesepakatan mengenai batas
negara di Algiers, Aljazair.

Sejak itu hubungan kedua pemerintahan agak membaik pada 1978, ketika agen-agen
Iran di Irak berhasil membongkar komplotan pro-Uni Soviet yang merencanakan kudeta
terhadap Pemerintah Irak. Akan tetapi, hubungan kedua negara memburuk lagi ketika
Saddam Hussein berkuasa dan kembali mengungkit masa lalu. Puncaknya, pasukan Irak
kemudian menyerbu masuk ke Iran pada 22 September 1980. Selain masalah sengketa
perbatasan yang kembali diungkit, Saddam ketika itu juga mengkhawatirkan perlawanan
warga Syiah yang notabene mayoritas di Irak. Warga Syiah Irak kian aktif menuntut hak-
haknya, terinspirasi oleh keberhasilan revolusi di Iran. Perang Iran-Irak yang berlangsung
hingga 1988 menewaskan ratusan ribu warga dari kedua belah pihak. Kekuatan angkatan
bersenjata Irak yang saat itu lebih menonjol dilawan dengan keberanian dan perlawanan yang
tinggi dari bangsa Iran.Konflik kedua negara semakin memburuk dengan keterlibatan AS
membantu Irak. Perang juga meluas hingga penghancuran kapal-kapal pengangkut minyak,
yang menjadi sumber penghasilan bagi kedua negara tersebut. Akhirnya setelah sama-sama
babak belur, Iran dan Irak menyepakati untuk berdamai pada 20 Agustus 1988.

Sunni-Syiah

Meski di tataran formal pemerintahan kedua negara telah menghentikan perang, di dalam
negeri Irak sendiri perebutan pengaruh tidak pernah berhenti antara warga Syiah dan warga
Sunni yang menduduki pemerintahan Irak di bawah Saddam. Oleh karena itulah, ketika AS
memutuskan menginvasi Irak dengan mengajak beberapa sekutunya dan menjatuhkan
Saddam Hussein, peta sosial-politik di Irak pun langsung berubah. Warga Syiah kemudian
menuntut haknya sebagai mayoritas di Irak. Di sisi lain, AS dan sekutunya juga tidak punya
pilihan lain karena mengkhawatirkan perlawanan sebagian besar warga Sunni yang sangat
marah dengan dijatuhkan dan dieksekusinya Saddam Hussein.

Kini, Irak dipimpin oleh Nuri al-Maliki yang jelas-jelas Syiah. Presiden Irak Jalal
Talabani pun meski seorang Kurdi, tetapi fasih berbahasa Farsi (Iran). Tidak mengherankan
bila kemudian hubungan Iran dan Irak kini membaik di tataran yang jauh lebih dalam karena
pertemuan kembali warga Syiah yang terpisahkan dua negara. Tinggallah kini AS yang
bingung menghadapi menguatnya Syiah di kawasan.

///////////////

Hubungan antara negara-negara modern di Iran dan Irak telah ditandai oleh
kecurigaan dan ketidakpercayaan. Persaingan tradisional antara Iran dan Irak dapat
disimpulkan dalam upaya berulang-ulang oleh kedua pihak untuk memaksakan hegemoni
mereka di wilayah Teluk dan melakukan gangguan keamanan internal dengan mendorong
elemen pembangkang di lain wilayah masing-masing. Ketika Britania memutuskan untuk
memberikan kemerdekaan Irak berdasarkan pada pengakuan kepada Liga Bangsa-Bangsa,
Iran menunda untuk mengakui negara baru ini karena masalah teritori. Kompromi dicapai
antara Iran dan Irak yang menyerukan perundingan untuk memulai penentuan batas-batas
mereka. Selanjutnya, 'Batas Perjanjian antara Kerajaan Irak dan Kekaisaran Iran' disimpulkan
pada tahun 1937 yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak.
Perjanjian itu diberikan untuk batas-batas sepanjang tepi kiri (bank timur) dari Shatt al-Arab,
kecuali hamparan 8 kilometer di depan Abadan yang dimana prinsip thalweg akan berlaku
(thalweg adalah garis yang menghubungkan titik terendah di sepanjang sebuah lembah, dan
prinsip thalweg adalah prinsip untuk menentukan batas-batas nasional di sungai thalweg yang
memisahkan dua negara). Namun, Syah mencabut Perjanjian 1937 pada tahun 1969, setelah
rezim Baath telah diambil alih di Irak yang menuntut penerapan thalweg sepanjang seluruh
batas antara dua negara tersebut. Kemudian setelah Shah mulai mendukung klaim dari
populasi Kurdi untuk otonomi dalam Irak dia aktif mendukung pemberontakan militer Kurdi
dan bersumpah untuk tidak membatasi dukungan sampai al-Arab sampai sengketa Shatt
diselesaikan sesuai keinginannya. Shah berhasil mendapatkan titik di seberang. Pada tahun
1975, di Algiers, Syah dan Wakil Presiden Irak, Saddam Hussein, menandatangani perjanjian
yang memberi Iran thalweg dengan imbalan janji Iran untuk tidak ikut campur dalam urusan
internal Irak, dan untuk berhenti mendukung pemberontakan Kurdi. Namun, setelah Revolusi
Islam Iran 1979 yang menggulingkan rezim Shah, hubungan antara dua tetangga memasuki
fase yang terburuk. Tidak mengherankan bahwa hubungan akan menjadi tegang di antara
ulama yang didominasi Syiah-Iran dan Arab, serta nasionalis, sekuler yang didominasi Sunni
revolusiener Irak. Permusuhan baru antara kedua negara mengakibatkan pengumuman Irak
bulan September 1980 untuk membatalkan perjanjian 1975 dan menuduh bahwa Iran telah
gagal untuk hidup sesuai dengan kewajiban perjanjian tersebut. Empat hari kemudian,
pasukan Irak dan angkatan udara melintasi perbatasan ke Iran dalam apa yang menandai awal
perang Iran-Irak delapan tahun yang panjang. Perang berakhir pada tahun 1988, tetapi hanya
setelah mengklaim lebih dari satu juta jiwa melayang dari kedua belah pihak.

Namun, dalam tidak adanya perjanjian damai formal, kedua negara terus untuk
melihat satu sama lain dengan penuh kecurigaan. Irak akan menuduh Iran menyediakan
perlindungan bagi para pembangkang Syiah yang memasang serangan di Irak selatan,
sementara Iran untuk bagian ini dituduh mempersenjatai Baghdad Iran di pengasingan
Organisasi Rakyat Mujahidin dan menyediakan kamp-kamp militer di sepanjang perbatasan.
Sebuah hubungan mulai mencair pada tahun 2000, dengan kesepakatan untuk mengatasi
perbedaan. Namun, masih banyak masalah, termasuk repatriasi tawanan perang dan
pertanyaan tentang siapa yang membayar pampasan perang, sampai invasi pimpinan Amerika
ke Irak pada Maret 2003.

Kedua hal inilah, keberadaan Israel yang Yahudi dan adanya aliran dalam Islam
membuat suasana kurang menguntungkan bagi terciptanya perdamaian yang abadi.
Kesimpulannya, negara-negara yang sangat berkepentingan dengan lingkungan dunia
Arablah yang membuat tidak tercapainya ketenteraman di wilayah ini. Lihatlah perang-
perang besar yang terjadi di dunia Arab setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mesir yang
waktu itu merupakan kerajaan di bawah raja Farouk digulung oleh Inggris dan Perancis.
Perang ini dikenal sebagai Perang Suez. Farouk terguling dalam suatu kudeta, Mesir menjadi
sebuah republik.

Peristiwa demi peristiwa bermunculan terus. Tahun 1967, Israel menduduki wilayah
Mesir, Syria dan Lebanon serta menguasai seluruh kota Jerusalem. Sesama negara Islam pun
saling bertentangan, Palestina yang menuntut wilayah yang diduduki Israel ikut meramaikan
pertentangan. Palestina yang memicu sendiri konflik internal mereka antara kelompok Fatah
di bawah Yasser Arafat yang moderat dengan kelompok Hamas yang garis keras tanpa
kompromi dengan Israel.

Kemudian, Irak semasa Presiden Saddam Hussein berseteru dengan Iran. Saddam
kemudian menyerbu Iran karena Saddam yang beraliran Sunni dan Iran yang Syiah dianggap
oleh Presiden Saddam Hussein membantu kelompok Syiah Irak yang menentang Saddam
Hussein. Perang Irak dengan Iran dikenal dengan Perang Delapan Tahun, 1980-1988.
Amerika Serikat (AS) yang melihat Irak di bawah Saddam Hussein sedang mengembangkan
senjata pemusnah massal yang menaklukkan Kuwait dan dianggap oleh Saddam Hussein
sebagai wilayah Irak. Juga, dengan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak akan
membahayakan Israel yang dilindungi AS, akhirnya AS melakukan invasi ke Irak, 1991.
Perang yang dimotori oleh AS ini sangat dikenal dengan nama Perang Teluk, waktu itu
Presiden AS adalah George Bush Sr., ayahnya Presiden George W. Bush. Bush Jr. yang tak
kalah semangatnya untuk menghancurkan Saddam Hussein, tanpa menghiraukan PBB,
bersama-sama dengan kelompoknya menyerbu Irak dengan alasan ingin memusnahkan
senjata yang merupakan perekayasaan uranium. Invasi AS ini mengundang kecaman dunia
internasional, bahkan sampai Irak takluk dan Saddam Hussein dihukum mati oleh pengadilan
Irak, tidak ditemukan senjata yang menakutkan itu. Sementara itu, Iran mulai melihat bahwa
kebrutalan AS di Timur Tengah sudah di luar kepatutan dan mengancam perdamaian dunia.
Iran yang tak pernah bisa ditaklukkan oleh AS, mulai unjuk gigi memperlihatkan kepada
dunia internasional bahwa Iran tidak gentar atas ancaman AS.

Setelah Irak mulai masuk ke pemerintahan sendiri dan situasi dalam negeri Irak mulai
agak kondusif, pimpinan pemerintahan Irak, Presiden Jalal Talabani keturunan suku Kurdi,
bersama dengan PM Nuri al-Maliki seorang pengikut Syiah, mulai melakukan pendekatan
dengan negara tetangga Irak. Mereka berdua melakukan perjalanan historis ke Iran, seteru
Irak selama perang delapan tahun. Kunjungan pimpinan pemerintahan Irak ini membuka
lembaran baru situasi di Timur Tengah. Iran pun tidak tinggal diam, Presiden Iran Mahmoud
Ahmedinejat pun melakukan kunjungan bersejarah ke Irak. Irak dan Iran bersepakat
menyelesaikan perbedaan yang terjadi di antara kedua negara dan membenamkan dalam-
dalam perasaan bermusuhan selama ini. Irak pun mengharapkan agar Iran berperan untuk
meredam kaum Syiah Irak untuk tidak lagi menimbulkan pertentangan dengan kaum Sunni
Irak. Dengan demikian situasi Irak akan lebih damai, masing-masing aliran keagamaan bisa
duduk dan menyelesaikan masalah agar tercapai ketenteraman bagi rakyat Irak seluruhnya.
Namun yang menarik di sini dengan terjadinya perdamaian Irak dengan Iran, timbul rasa
kekuatiran AS dan sekutunya serta negara Yahudi Israel, karena Iran justru tidak mundur
dengan sikap anti Amerikanya bahkan Presiden Ahmedinejad dengan lantang berucap bahwa
Israel akan tumbang karena Israel adalah ‘kuman’ jahat yang harus dimusnahkan.
Penyerangan Israel ke Jalur Gaza baru-baru ini telah membunuh orang-orang tak berdosa
termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak Suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai