Anda di halaman 1dari 4

Surat Kabar Harian “PIKIRAN RAKYAT”, terbit di

Bandung, Edisi 12 November 1997


_____________________________________________

ARAH PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 90-AN


Oleh : Ki Supriyoko

Tahun 90-an merupakan dasawarsa terakhir menjelang datangnya Era 2000. Di


dalam kurun waktu ini terjadi banyak perubahan yang cepat dan dahsyat dalam
kehidupan masyarakat, khususnya di bidang sosial dan budaya. Dari masyarakat
yang lebih berkultur lokal menuju masyarakat yang lebih berkultur global.
Perubahan yang cepat dan dahsyat seperti ini menuntut kesiapan masyarakat yang
tinggi; dan se-cara empirik memang terdapat kelompok masyarakat yang mampu
mengantisipasi akan datangnya perubahan sehingga mampu pula mem-persiapkan
diri, akan tetapi terdapat pula kelompok masyarakat yang tidak mampu
mengantisipasi akan datangnya perubahan sehingga tidak atau kurang siap
menerimanya.

Kompetisi atau persaingan merupakan elemen dominan di dalam kata kunci


perubahan itu sendiri; sehingga kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan
sebenarnya dapat diukur sejauh mana mereka dapat mempersiapkan daya saing.

Pendidikan merupakan media yang sangat tepat untuk membangun daya saing,
baik dalam tataran individual maupun kolegial. Hal itulah yang menyebabkan
pelaksanaan pendidikan di setiap negara harus di-arahkan pada pembentukan atau
pembangunan daya saing manusia. Dengan tanpa daya saing yang memadai maka
suatu bangsa tidak mungkin dapat berprestasi di tingkat internasional; bahkan untuk
seke-dar bertahan hidup saja bisa-bisa menjadi sulit.

Konvensi umum seperti pun juga berlaku di Indonesia. Itulah se-babnya


pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia dalam kurun waktu tahun 90-an lebih
diarahkan kepada pembangunan daya saing manusia Indonesia baik secara individual
maupun secara kolegial demi kemajuan bangsa dan negara. Meski demikian ternyata
dalam pelaksanaan pendidikan pada masing-masing jenjang (dasar, menengah, dan
tinggi) terjadi banyak fenomena yang layak dicatat

Pendidikan Dasar

Arah pendidikan di tingkat SD lebih cenderung pada peningkatan kualitas; hal ini
disebabkan daya tampung sudah mencapai titik yang optimal. Mengawali perjalanan
tahun 90-an maka Tingkat Partisipasi Pendidikan (TPP) SD secara nasional sudah
2

mencapai angka di atas 90 persen. Angka ini pun sebenarnya sudah tercapai sejak
tahun 1984 ketika untuk pertama kalinya Wajib Belajar Sekolah Dasar (WBSD)
dicanangkan. Dalam perkembangaan selanjutnya di beberapa propinsi bahkan terjadi
kelebihan daya tampung sekolah (over capacity); mi-salnya saja di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) angkanya mencapai 1,58 yang berarti dari setiap 158 kursi belajar
di sekolah hanya terisi 100 siswa. Tentu saja hal ini sangat tidak efisien
(inefficiency).

Oleh karena bisa dikatakan tak ada masalah lagi tentang kuantitas maka
pelaksanaan pendidikan nasional di tingkat SD lebih diarahkan pada peningkatan
kualitas.

Beberapa program telah diarahkan untuk meningkatkan kualitas SD baik secara


langsung maupun tidak langsung antara lain adalah: program pendiplomaan guru SD,
baik diploma prajabatan maupun di-ploma penyetaraan, kenaikan jabatan dengan
sistem kredit, program satu anak satu buku, Program Makanan Tambahan bagi Anak
Sekolah (PMTAS), Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), dan sebagainya.

Melalui program pendiplomaan diharapkan wawasan serta kete-rampilan guru


makin meningkat hingga profesionalisme mengajarnya juga semakin baik. Dengan
program kenaikan jabatan sistem kredit diharapkan kesejahteraan guru makin baik
setelah diberi "kemudahan" naik jabatan, dan dampak yang diharapkan adalah
peningkatan profesionalitas mengajar pula. Anak yang gizinya cukup dengan buku di
tangan diharapkan sangat membantu kelancaran proses belajar mengajarnya. Pada
dasarnya program-program ini sangat konstruktif, hanya saja di dalam pelaksanaanya
banyak ditemukan kendala; khususnya kendala kultural pada sang guru dan murid.

Pengembangan SD Unggulan akhirnya pun menjadi pilihan karena tidak mungkin


pemerintah mengembangkan mutu SD secara serentak mengingat banyaknya sekolah,
yaitu sekitar 150.000 SD.

Di tingkat SLTP arahnya lebih kepada pengembangan kuantitas pendidikan;


hal ini disebabkan daya tampung yang masih rendah. Di dalam belasan tahun yang
terakhir ini TPP SLTP masih bersikutat di angka 50 s/d 60 persen; mekipun daya
tampungnya lebih dari itu. Di beberapa propinsi angkanya bahkan jauh lebih rendah
lagi, misalnya di Nusa Tenggara Timur angkanya 41 persen, Kalimantan Tengah 45
persen, Jawa Barat 45 persen, dan Irian Jaya 46 persen.

Pada tanggal 2 Mei 1994 dicanangkanlah Gerakan Wajib Belajar Pendidikan


Dasar (WBPD) untuk memperbaiki TPP SLTP. Program ini sebenarnya sangat
strategis akan tetapi sayang Depdikbud kurang berhasil mempromosikan kepada
masyarakat sehingga meskipun saat ini sudah berjalan lebih dari tiga tahun hasil
WBPD masih jauh dari optimal. Sampai kini WBPD mengalami Kendala kultural
yang belum dapat diatasi secara tuntas.

Pendidikan Menengah
3

Arah pendidikan di jenjang pendidikan menengah lebih cenderung pada


peningkatan kualitas dan relevansitas. TPP SMU/SMK di dalam kurun waktu tahun
90-an bergerak dari 80 s/d 85 persen; dan untuk jenjang ini relatif sudah baik.

Pada awal tahun 90-an minat masyarakat kepada sekolah umum demikian
tinggi, bahkan cenderung kurang realistik. Saat itu hampir seluruh lulusan SLTP
ingin masuk SMU (SMA) meskipun banyak di antaranya yang tidak memiliki
kemampuan akademik secara memadai. SMU benar-benar menjadi "school of
choice"; sebaliknya sekolah kejuruan seperti STM, SMEA, SMKK, SMIK, SMSR,
SMKI, SMM, dsb menjadi sekolah "kelas dua". Lebih daripada itu bahkan banyak
anggota masyarakat yang tidak mengenal jenis-jenis sekolah kejuruan tertentu;
bahkan namanya saja asing di telinga.

Ketika Era Wardiman datang maka keberadaan SMK mulai dapat


dipopularitaskan kepada masyarakat. Konsepsi Link and Match (LM) yang
ditawarkan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro segera dioperasionalisasi ke
dalam program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di SMK.

Esensi pengembangan PSG pada SMK yang pelaksanaannya di-tempuh dengan


memberikan porsi secara proporsional kepada dunia usaha dan dunia industri
sebenarnya adalah peningkatan kualitas SMK itu sendiri sekaligus untuk
memperkokoh relevansitasnya. Dengan di-berikannya peluang bagi dunia usaha dan
dunia industri dalam proses belajar mengajar anak didik diharapkan lulusan SMK
menjadi lebih berkualitas dan lebih sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Seperti dike-
tahui lulusan SMK memang dipersiapkan untuk menjadi tenaga kerja terampil di
tingkat menengah (middle skilled worker).

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya pelaksanaan PSG di SMK sekarang


ini benar-benar sudah "go public". Dengan demikian orientasi masyarakat sekarang
ini tidak lagi terfokus pada SMU. Ki-ranya harus diakui bahwa masyarakat sekarang
ini makin realistik di dalam memilih sekolah.

Pendidikan Tinggi

Sebagaimana dengan jenjang pendidikan menengah maka jenjang pendidikan


tinggi di Indonesia pengembangannya lebih diarahkan pada peningkatan kualitas dan
relevansitas. Meskipun TPP PT di Indonesia masih tergolong rendah, sekitar 8 s/d 10
persen, akan tetapi keputusan ini kiranya cukup tepat.

Harus dimengerti bahwa PT merupakan lembaga pendidikan yang paling sensitif


terhadap perubahan. PT menjadi "prime mover" bagi perubahan sosial yang ada di
masyarakat. Hal itu berarti kalau PT kita tidak mengarahkan pengembangannya pada
peningkatan kualitas maka bukan hanya civitas PT saja yang akan kalah bersaing
akan tetapi se-luruh anak bangsa dapat "tertinggal kereta". Sementara bangsa-bangsa
lain sudah dapat menikmati buah kemajuan maka bangsa kita masih harus berjuang
mengejar kemajuan.
4

Meski keputusan untuk meningkatkan kualitas sudah benar tetapi di dalam


operasionalnya ternyata tidak mudah dikarenakan banyaknya kendala yang
menghadang; antara lain mutu dosen yang rendah, ratio dosen-mahasiswa yang tidak
seimbang, pemilihan disiplin yang tidak rasional, anggaran penelitian yang rendah,
dan sebagainya.

Banyaknya kendala tersebut ternyata telah menciptakan komplikasi dalam


pengembangan kualitas PT di Indonesia; akibatnya sangat sedikit PT Indonesia yang
mutunya bisa bersaing secara internasional. Secara umum mutu PT di Indonesia
sampai saat ini belum kompetitif bila dibandingkan dengan perguruan tinggi di
negara-negara tetangga; seperti Australia, Singapura, Taiwan dan bahkan dengan
Malaysia sekalipun.

Banyaknya lulusan sekolah menengah di Indonesia yang memilih PT di


Australia sebagai lembaga kelanjutan studi membuktikan bahwa kualitas PT di
Indonesia masih harus ditingkatkan secara terus mene-rus. Tuntutan kualitas ini
makin mendesak dengan adanya pemikiran untuk menerima sistem kuliah jarak jauh
(distance learning) dari PT di luar negeri serta pengembangan sistem waralaba oleh
beberapa PT ternama di luar negeri !!!*****

--------------------------------
BIODATA SINGKAT;
*: DR. Ki Supriyoko, M.Pd
*: Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa;
Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI); serta
Ketua Pusat Kerja Sama Ilmiah (PKSI) Yogyakarta
*: Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta
 

Anda mungkin juga menyukai