Anda di halaman 1dari 13

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

A.     Pendahuluan

Segala puji bagi allah SWT yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang belum
diketahui. Shalawat dan salam kepada Rasul pembawa rahmat bagi sekalian alam; “Tidaklah
kamu memperhatikan bahwa Allah memudahkan untuk kamu apa yang di langit dan apa
yang     di bumi dan menyempurnakan ni’mat-Nya atas kamu, baik yang lahir maupun yang
bathin. Dan di antara manusia ada yang membantah Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan
tanpa kitab yang terang kebenarannya”. Alquran surah Luqman ayat 20: “Barangsiapa
menginginkan dunia dia harus berilmu, barangsiapa menginginkan akhirat dia harus berilmu
dan barangsiapa menginginkan keduanya maka dia harus berilmu”.[1] Hal senada juga pernah
diucapkan oleh Imam Syafi’i ra., dalam kata-kata hikmah dan nasehat-nasehat beliau: “Siapa
senang kepada dunia maka hendaklah ia mencari ilmu dan barangsiapa berkehendak kepada
akhirat juga hendaklah mencari ilmu. Karena menuntut ilmu lebih baik daripada shalat sunnat
dan barangsiapa menuntut ilmu hendaklah ia mendalaminya, tanpanya kehalusan ilmu akan
hilang serta manusia yang paling tinggi derajatnya ialah mereka yang tidak melihat derajatnya.
Begitu juga semulia-mulia manusia ialah mereka yang tidak melihat kemuliannya. Dan sabda
Nabi SAW: Sebaik-baik manusia diantara kalian ialah yang paling baik etika atau akhlaknya”.

Manusia dalam pencarian mereka terhadap alam semesta dalam berbagai sisinya
memperoleh penemuan-penemuan baru yang ketika diolah secara sistematis melalui
penyelidikan-penyelidikan dan pengujuian-pengujian lantas menjadi apa yang disebut dengan
ilmu pengetahuan. Beragamnya lapangan penggalian dan penyelidikan membuahkan
beragamnya lapangan ilmu pengetahuan yang dirumuskan yang dikira oleh manusia akan
memberikan keuntungan dan kemudahan bagi hidup mereka, namun dalam kenyataannya juga
menimbulkan akibat-akibat yang justru merusak dan meyusahkan mereka. Oleh karena itu,
diperlukan moral/etika dalam penggalian, perumusan dan pengembangan serta pemanfaatan ilmu
agar ilmu menjadi sesuatu yang memberikan kemudahan, ketentraman dan kebahagiaan bagi
manusia. Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini dikemukakan tentang pengertian etika,
standar buruk baik dan etika dalam pengembangan ilmu.

B.     Pengertian Etika

Dalam mendefinisikan etika ini para ahli mengemukakan beberapa pendapat diantaranya:

”Ethics is the branch of philosophy in which men attemp to evaluate and decide upon
particular courses of moral actions or general theories of conduct. The term “ethies” or “ethic”
from thr Greek Ethios (moral) and Ethos (character), also refers to the values of rules of
conduct held by agroup or individual, as for examplein the phrase “Cristian Ethies” or
“Unithical Behavior”.[2]

“Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan
kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh
tingkah laku manusia”.[3]

“Etika adalah ilmu tentang   filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-
nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya”.[4]

“Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang  buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran”.[5]

“Objek material etika adalah tingkah laku manusia dan objek formalnya adalah buruk
atau baiknya perbuatan mereka atau bermoral dan tidak bermoralnya tingkah laku manusia”.
[6]

Jika objek material dan objek formalnya adalah seperti di atas, maka di dalam Islam dapat
disebut dengan akhlak yang ukurannya telah ditetapkan Allah yang menciptakan semua
makhluk, Yang Maha Mengetahui, yang Dia informasikan kepada para Nabi dan Rasul melalui
Malaikat Jibril hingga kepada Rasul Muhammad SAW.[7] Di dalam sebuah hadits dinyatakan:  ِ‫ا‬

‫َخالَ ِق‬ ِ
ْ ‫ت ألُمَتِّ َم َم َك ا ِر َم األ‬
ُ ْ‫مَّنَ ا بُعث‬, yang artinya: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan

Akhlak”. Siti Aisyah isteri Rasulullah ditanya tantang akhlak Rasulullah, ia menjelaskan bahwa
akhlak Rasulullah adalah Alquran ]8[.‫الْ ُق رآن‬ ‫ َك ا َن ُخلُ ُق ه‬ Pertanyaan ini berkaitan dengan Alquran
surah 68 ayat 4:

)٤( ‫َّك لَ َعلى ُخلُ ٍق َع ِظي ٍم‬


َ ‫َوإِن‬
Artinya: ”Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam:
4)

Di dalam agama Islam standar akhlak diterangkan dengan sempurna pada semua hal yang
menyangkut kepentingan untuk menjaga dan memelihara kebahagiaan manusia dalam
menunaikan tugas mereka sebagai khalifah di bumi yang berdiri tegak di atas kata adil, yaitu
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan ihsan lawan fahsya, munkar dan melampaui batas
yang juga disebut zhalim, tabdziir dan israf. Dalam Alquran surah an-Nahal ayat 90 Allah SWT
menjelaskan:
‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرىَب َو َيْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر َوالَْب ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
ِ ‫إِ َّن اللَّه ي أْمر بِالْع ْد ِل واإلحس‬
َ ْ َ َ ُُ َ َ
)٩٠( ‫تَ َذ َّكُرو َن‬
Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.”[9] (Q.S. An-Nahal: 90)

Kata al-’adl dalam segala bentuknya disebut sebanyak 26 kali, merupakan penekanan


yang sangat tegas bahwa tanpa adil maka apapun yang dilakukan manusia pasti akan
mendatangkan bencana termasuk dalam pengembangan ilmu.

‫الر َّما َن‬ َّ ‫ع خُمْتَلِ ًف ا أُ ُكلُ هُ َو‬


ُّ ‫الز ْيتُ و َن َو‬ َ ‫َّخ َل َوال َّز ْر‬
ٍ َ ‫ات و َغي ر معر‬
ْ ‫وش ات َوالن‬ ُ ْ َ َ ْ َ ‫وش‬
ٍ َ ‫َّات معر‬ ٍ ِ َّ
ُ ْ َ ‫َو ُه َو الذي أَنْ َش أَ َجن‬
ِ ُّ ِ‫ص ِاد ِه َوال تُ ْس ِرفُوا إِنَّهُ ال حُي‬ ِ ٍ ‫هِب‬
( ‫ني‬َ ‫ب الْ ُم ْس ِرف‬ َ ‫ُمتَ َشا ًا َو َغْيَر ُمتَ َشابِه ُكلُوا م ْن مَثَِر ِه إِذَا أَمْثََر َوآتُوا َحقَّهُ َي ْو َم َح‬
)١٤١
Artinya:    ”Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan.” (Q.S. Al-An’am: 141)[10]

Ini tentang Israf (berlebih-lebihan), sesuatu yang berlebih-lebihan atau melampaui batas


maka akan menimbulkan bencana. Tentang israf ini disebutkan dalam segala aspeknya sebanyak
22 kali

َّ ‫ث ِش ْئتُ َما َوال َت ْقَربَا َه ِذ ِه‬


‫الش َجَر َة َفتَ ُكونَا‬ ُ ‫ك اجْلَنَّةَ َو ُكال ِمْن َه ا َر َغ ًدا َحْي‬ َ ْ‫اس ُك ْن أَن‬
َ ‫ت َو َز ْو ُج‬ ْ ‫آد ُم‬
َ ‫َو ُق ْلنَ ا يَا‬
ٍ ‫ض ُك ْم لَِب ْع‬ ِِ ‫مِم‬ ِِ ِ
‫ض َع ُد ٌّو‬ ُ ‫َخَر َج ُه َم ا َّا َكانَ ا في ه َو ُق ْلنَ ا ْاهبِطُ وا َب ْع‬ َّ ‫)فَأ ََزهَّلَُم ا‬٣٥( ‫ني‬
ْ ‫الش ْيطَا ُن َعْن َه ا فَأ‬ َ ‫م َن الظَّالم‬
ٍ ‫ض ُمسَت َقٌّر و َمتَاعٌ إِىَل ِح‬ ْ ‫َولَ ُك ْم يِف‬
)٣٦( ‫ني‬ َ ْ ِ ‫األر‬
Artinya: ”Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-
orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan
dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi,
dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (Q.S. Al-Baqarah: 35-36)

Zhalim, melangggar ketentuan Allah menyebabkan Adam dan Hawa dipindahkan


kepemukaan bumi, ini juga berarti zhalim mengakibatkan penderitaan dan bencana yang sangat
mengerikan. Allah menyebutkan dalam Alquran tentang zhalim dengan segala bentuk dan kaitan
pemahamannya sebanyak 321 kali, lebih dari 4% dari keseluruhan ayat Alquran yang berjumlah
6236 ayat.[11]

Inilah di antara batsan-batasan etika/moral/akhlak dalam alquran, belum lagi dalam


Hadits Nabi Muhammad SAW, jelas gamblang dan pasti, datang dari Rabbul ’Alamin yang
Maha Mengetahui. Dari hadits dan ayat-ayat di atas, dapat dikemukakan bahwa akhlak dalam
Islam adalah: ”Ketentuan dari Allah dan rasul-Nya tentang ukuran buruk dan baiknya tingkah
laku atau perbuatan manusia.”

Apapun ukuran etika/moral yang datang dari selain Allah, pada hakekatnya hanyalah
hasil akal pikiran dan hawa nafsu dengan interaksinya dengan alam yang dapat diindra baik
secara langsung maupun secara tidak langsung melalui apa yang disebut ilmu. Berikut akan
dikemukakan hal ini lebih jauh, berkenaan dengan ukuran baik dan buruk.

C.     Beberapa Pendapat Tentang Ukuran Buruk dan Baik di dalam Aliran Filsafat

Di dalam aliran filsafat terdapat beberapa pendapat mengenai ukuran buruk dan baiknya
perbuatan manusia, diantaranya:

1. Pendapat Aliran Hedonisme

Menurut penganut aliran ini perbuatan manusia dikatakan baik jika mendatangkan
kenikmatan, kebahagiaan dan kelezatan. Tidak perduli, yang penting nikmat, walaupun
sesudah itu mengakibatkan penderitaan. Sebaliknya semua perbuatan manusia itu
dipandang buruk jika mengakibatkan penderitaan walaupun dibalik penderitaan itu
sesungguhnya ada kebahagiaan.[12]

 
2. Pendapat Aliran Vitalisme

Aliran ini berpendapat bahwa orang yang baik atau perbuatan yang baik ialah orang atau
perbuatan yang mencerminkan kekuatan dan orang atau perbuatan yang tidak baik ialah
yang mencerminkan kelemahan.[13]

Paham aliran ini melahirkan penjajahan, feodalisme dan tirani, sebagaimana dapat
disaksikan dalam pentas sejarah dimulai dari penjajahan Inggris, kemudian Belanda,
Portugis dan negara-negara yang kuat hingga pecahnya perang dunia kedua yang
kemudian masih dilanjutkan dengan bentuk penjajahan ideologis, ekonomi dan lain-lain.

3. Aliran Utilitarisme

Aliran ini berpendapat bahwa benar suatu tindakan tergantung dengan manfaat
akibatnya. Sifat utalitarisme adalah universal, artinya yang menjadi norma-norma moral
bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri saja, melainkan juga bagi seluruh
manusia. Pengorbanan pribadi untuk kepentingan orang lain adalah tindakan yang
tertinggi nilainya.[14]

4. Aliran Sosialisme atau Adat Kebiasaan

Menurut aliran ini, buruk dan baik adalah tergantung dengan pandangan masyarakat yang
telah terlembaga dalam adat mereka. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat
maka itulah yang baik dan apa yang buruk menurut mereka maka itulah yang buruk.
Pendapat aliran ini condong hanya bersifat lokal.[15]

5. Aliran Humanisme

Menurut aliran ini perbuatan yang baik ialah perbuatan yang sesuai dengan kodrat
manusia itu sendiri, dalam arti bahwa seluruh faktor yang melingkupi mereka ikut
berperan menjadi alat ukur, seperti pikiran, perasaan dan situasi lingkungannya.[16]

6. Aliran Religiosisme

Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan yang baik ialah apa yang sesuai dengan
kehendak Tuhan dan perbuatan yang tidak baik ialah apa yang tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan. Maka tugas para agamawanlah untuk merumuskan apa yang menjadi
kehendak Tuhan itu.[17]

Jika rumusan-rumusan itu ditentukan oleh para agamawan, maka atas nama Tuhan
sesungguhnya yang terjadi bukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, tetapi lebih condong adalah
apa yang dikehendaki oleh orang-orang yang mengatas namakan Tuhan, kenyataan inilah yang
terjadi pada semua rumusan-rumusan yang mengatas namakan agama, kecuali agama Islam.
ِ ‫ون اللَّ ِه والْم ِس يح ابن م رمَي وم ا أ ُِم روا إِال لِيعب ُدوا إِهَل ا و‬
‫اح ًدا ال‬ ِ ‫اخَّتَ ُذوا أَحب ارهم ور ْهب ا َنهم أَرباب ا ِمن د‬
َ ً ُْ َ ُ ََ َ َْ َْ َ َ َ ُ ْ ً َ ْ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َْ
)٣١( ‫إِلَهَ إِال ُه َو ُسْب َحانَهُ َع َّما يُ ْش ِر ُكو َن‬
Artinya: ”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Al-
Taubah: 31)

Selain pendapat-pendapat aliran di atas, ada lagi beberapa teori moral yang lain seperti
yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa manusia berkewajiban
melaksanakan moral imperatif, sehingga manusia bertinfak baik tanpa ada pemaksaan dari pihak
lain, melainkan sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain akan merugikan diri kita sendiri.
Teori Etika Hak Asasi Manusia, yang dikemukakan oleh Jhon Lock (1632-1704). Dilihat dari
rekayasa teori moral ini lebih mengaksentuasikan hak setiap orang, terutama hak publik sebagai
konsumen produk rekayasa. Jhon Wals dengan theory of justice-nya mensinthesiskan dua teori
yang di atas.

Dua teori keadilan menurut Rawls, yaitu pertama bahwa setiap orang memiliki persamaan
hak atas kebebasan yang sangat luas sehingga kompatibel dengan orang lain, kedua bahwa
ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian sehingga keduanya, a) bermanfaat bagi
setiap orang sesuai dengan harapan yang patut dan b) memberi peluang yang sama bagi semua
untuk segala posisi dan jabatan.

Teori keutamaan dan jalan tengah yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang
tendensi (defisiensi). Keberanian merupakan jalan tengah antara nekad dan pengecut, kejujuran
merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang menghancurkan dengan
menyembunyikan segala sesuatu. Dilihat dari sisi rekayasawan teori moral ini sangat realitik.
Artinya akan terus terjadi konflik kepentingan antara produsen dan konsumen, antara strata
tertentu dengan strata yang lain, antara hak dan kewajiban profesional dengan hak kewajiban
publik, mungkin juga kelompok, sehingga perlu dicari jalan tengah yang baik.

D.    Etika Dalam Pengembangan Ilmu

Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam
semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Karena itu ilmu sebagai
masyarakat, karena ilmu didukung dan dikembangkan oleh masyarakat yang mematuhi kaedah-
kaedah tertentu.[18] Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan
yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia tidak
menimbulkan dampak negatif.
Tentang masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng Muhadjir membagi kepada
empat klaster, yaitu: 1) Temuan basic research, 2) Rekayasa teknologi, 3) Dampak sosial
rekayasa, dan 4) Rekayasa sosial.

”Etika merupakan acuan moral bagi pengembangan ilmu. Tampilnya dapat berupa: visi,
misi, keputusan, pedoman prilaku dan kebijakan moral dalam pengembangan ilmu.”[19]

Penjelasan :

1.      Temuan Basic Research dan Masalah Etika

Dunia ilmu telah menemukan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ditemukan
DNA unggul dan DNA cacat. Ketika mengembangkan DNA jati unggul untuk memperluas,
mempercepat dan meningkatkan kualitas reboisasi kita, tidak jadi masalah. Juga ketika kloning
domba kita berhasil dan tergambarkan bagaimana domba masa depan akan lebih dapat
memberikan protein hewani kepada manusia yang semakin bertambah dengan pesat, juga tidak
menimbulkan masalah. Tetapi ketika masuk ranah manusia, apakah manusia unggul perlu
dikloning dan pakah manusia yang memiliki DNA cacat tidak diberi hak untuk memiliki
keturunan, menimbulkan masalah HAM. Di Amerika Latin ditemukan DNA keluarga cacat
secara turun temurun, ditemukan pada keluarga tersebut tidak ada bulu-bulunya, berbeda dengan
DNA yang pada umumnya berbulu. Di suatu lokasi di Indonesiaditemukan penduduk desa
tersebut seluruhnya mengalami mental retarded. Apakah tidak dapat diadakan upaya.

Telah ditemukan tiga partikel radio aktif, yaitu sinar alpha, sinar beta dan sinar gamma
dan sejenisnya yang dikenal dengan sinar x, sangat berguna bagi dunia kedokteran, sinar beta
yang dikenal dengan sinar laser sangat berguna bagi dunia konstruksi, sinar alpha merupakan
radio aktif dan partikel alpha dikenal sebagai atom helium dan atom hydrogen. Temuan tiga
basic research itu sangat berguna bagi manusia, tetapi juga sekaligus direkayasa untuk tujuan
perang, mendeteksi musuh dalam gelap, untuk membuat senjata laser dan bom atom, sangat
menyedihkan jika dihadapkan untuk tujuan perang.

Penisilin yang ditemukan secara kebetulan oleh Alexander Fleming dalam wujud jamur
dapat dikembangkan menjadi adonan roti dan dapat dikembangkan menjadi bakteri antibiotiok
bagi banyak penyakit infeksi, sampai sekarang masih banyak digunakan orang. Temuan tersebut
disyukuri banyak orang karena karena banyak sekali gunanya untuk menyembuhkan keracunan
darah, penumonia meningitis, dan berbagai infeksi. Eksesnya baru diketahui akhir-akhir ini
masalahnya sejauhmana etika diterapkan pada penemuan tersebut.

Temuan DNA, atom dan penisilin sebagai temuan basic research memang benar-benar
hebat. Pengembangan DNA untuk teknlogi genetik berprosfek bagus, sekaligus membuka
masalah pengembangan temuan atom untuk pengembangan teknologi energi dan teknologi medis
sangat menjanjikan bagi manusia, tetapi sekaligus menimbulkan masalah dalam penggunaannya
dan juga terhadap eksesnya. Penggunaan penisilin sebagai obat antibiotik yang mujarab patut
dipujikan mengingat besar jumlah orang yang meninggal karena infeksi. Tetapi ekses menjadi
minimum terhadap sejumlah obat siapa yang mesti bertanggung jawab. Apakah lebih terkait
pada tanggung jawab professional dokter atau pemahaman pasien terhadap resiko.

2.      Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik

Thalidomide suatu temuan obat tidur yang dianggap aman yang telah diujikan kepada
binatang dan manusia. Kemudian para ilmuan menemukan bahwa obat itu berbahaya jika
dikonsumsi oleh ibu hamil memasuki bulan kedua karena akan mengakibatkan anaknya cacat,
ekses obat ini menyangkut masa depan anak yang selamanya cacat fisik dan mengerikan.

Kapal Tetanik (1912) dicanangkan sebagai kapal pesiar terbesar dan termewah dan
diyakini tidak akan mungkin tenggelam, tetapi kenyataannya tenggelam dari jumlah penumpang
2.227 orang hanya 705 orang yang selamat, siapa yang bertanggung jawab ?

3.      Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik

Dampak pengembangan teknologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas
hidup individu dan dampak pada kualitas hidup sosial menyeluruh. Dengan ditemukanya energi
partikel alpha yang radio aktif dalam konstruksi pemikiran destruktif telah dipergunakan untuk
membuat bom nuklir yang mengakibatkan kehancuran secara massal dan merusak kelestarian
alam. Alhamdulillah masyarakat manusia sadar sehingga energi nuklir yang radio aktif
digunakan untuk keperluan media dan untuk alternatif energi listrik.

4.      Rekayasa Sosial dan Masalah Etik

Sistem kapitalisme dan sistem sosialisme adalah merupakan rekayasa sosial. Sistem
sosialisme Rusia yang komonistik terbukti gagal sehingga memang harus ditinggalkan. Sistem
sosialisme Inggris dan Perancis mengalami banyak sekali modifikasi sehingga semakin
mendekat dengan kapitalisme, sementara kapitalisme itu sendiri juga mengalami banyak sekali
perubahan. Ide demokrasi yang mengakui persamaan antar manusia merupakan rekayasa sosial
yang konter terhadap legitimasi monarki atau sistem kasta. Ide demokrasi kapitalistik
menampilkan struktur masyarkat bentuk piramidal, hal mana 40 % merupakan masyarakat
miskin yang diidealkan menerima kue kekayaan dan pendapatan hanya sekitar 16 %, dan
kenyataanya banyak yang lebih kecil dari 10 %. Marxisme menteorikan bahwa masyarakat
terbelah menjadi dua golongan, yaitu borjuis dan proleter yang anta gonistik. Ternyata muncul
antar keduanya golongan menengah yang makin besar.

Sementara itu Noeng Muhadjir menawarkan ide demokrasi mayoritas terdidik. Pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dan peran iptek menggeser peran moral, maka teori rekayasa
sosial yang kami tawarkan yang dominan mengendalikan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Sedangkan 16 % yang lebih berhasil dan 2 % yang sangat berhasil akan menjadi
reference group keberhasilan. Sedangkan 16 % yang kurang berhasil dan 2 % yang gagal dalam
hidup akan menjadi eksponen penajaman prikemanusiaan yang perlu tumbuh dalam totalitas
kehidupan.[20]
Berkaitan dengan etika pengembangan ilmu ini, Yusuf Al-Qardhawi dalam
bukunya Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah mengemukakan bahwa ada
tujuh moralitas ilmu yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuan, yaitu:

1.         Rasa tanggung jawab di hadapan Allah, sebab ulama merupakan pewaris para anbiya.
Tidak ada pangkat yang lebih tinggi daripada pangkat kenabian dan tidak ada derajat
yang ketinggiannya melebihi para pewaris pangkat itu. “Pada hari kiamat nanti, kaki
manusia tidak akan bergerak sebelum ditanya kepadanya empat masalah: tentang
umurnya untuk apa dipergunakannya, tentang masa mudanya untuk apa dihabiskanya,
tentang hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan untuk apa serta tentang
ilmunya, apa yang telah dilakukannya denga ilmunya itu”. Diriwayatkan oleh Al-Bazzar
dan Ath-Thabrani, dengan isnad shahih dan dengan lapadznya, termaktub dalam Kitab
At-Targhib, hadits nomor 1564. Semakin luas penguasaan akan ilmu oleh seorang
ulama/ilmuwan, maka semakin berat tanggung jawabnya.

2.         Amanat Ilmiah. Sifat amanah merupakan kemestian iman termasuk ke dalam moralitas
ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Dalam memberikan
kriteria orang beriman Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

)٨( ‫ألمانَاهِتِ ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َراعُو َن‬


َ ‫ين ُه ْم‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”
(Q.S. Al-Mukminun: 8)

Sebaliknya sifat khianat merupakan kriteria orang yang munafik, yang salah satu sifatnya
yang paling menonjol adalah apabila diberikan amanat maka dia berkhianat. Rasulullah SAW
bersabda: “Hendaklah kamu saling menasehati dalam hal ilmu, karena sesungguhnya khianat
seseorang diantara kamu dalam ilmunya lebih dasyat daripada khianatnya dalam urusan harta
dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawabanmu pada hari kiamat.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, lihat Majmu’uz Zawaid jilid I halaman 141 dan At-
Targhib jilid I hadits nomor 206.

Salah satu dari amanat ilmiah adalah merujuk ucapan kepada orang yang mengucapkanya,
merujuk pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip dari orang lain kemudian mengklaim
bahwa itu pendapatnya karena hal seperti itu merupakan plagiat dan penipuan. Berkaitan dengan
ini dapat disaksikan bahwa ilmuan kaum muslimin sangat memprihatinkan tentang sanad di
dalam semua bidang ilmu yang mereka tekuni, bukan hanya dalam bidang hadits saja.

Seseorang yang tahu bertahan dengan pendirianya dan terhadap hal-hal yang tidak
diketahuinya dia berkata: “Aku tidak tahu.” Di dalam dunia ilmiah tidak dikenal sifat malu dan
sombong. Dunia ilmiah selalu mengakui kebenaran apapun atau faedah apapun yang sudah jelas,
sekalipun bersumber dari orang yang tidak memiliki ilmu yang luas atau berusia muda atau
berkedudukan rendah. Dari Zubair bin Math’am bahwa seorang pria bertanya: “Ya Rasulullah,
daerah mana yang paling disukai Allah dan daerah mana yang paling dimurkai Allah ?
Rasulullah menjawab: “aku tidak tahu sebelum aku menanyakannya kepada Jibril.” Rasulullah
didatangi Jibril dan memberitahukan bahwa: “Sesungguhnya daerah yang paling dicintai Allah
adalah mesjid-mesjid dan yang paling dimurkai Allah adalah pasar-pasar.” Ibnu Said dan Ibnu
Abdil Bar tentang ilmu, Khanzul Ummah jilid I hadits nomor 1419.

Para sahabat Rasulullah dan para tabi’in tidak malu untuk mengatakan tidak tahu,
terhadap hal-hal yang memang mereka tidak mengetahuinya atau mereka mempersilahkan
kepada orang lain demi kebenarann. Mereka tidak merasa rendah diri dan tidak pula takabbur.
Pendapat-pendapat mereka tanpa ragu merasa tarik jika kemudian ternyata ijtihad mereka tidak
benar.

3.         Tawadhu. Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan iaah tawadhu. Orang
yang benar berilmu tidak akan diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh
perasaan ‘ujub mengagumi diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah laksana
lautan yang tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil mencapai
pantainya. Maha benar Allah dengan firman-Nya:

)٨٥( ‫وح ِم ْن أ َْم ِر َريِّب َو َما أُوتِيتُ ْم ِم َن الْعِْل ِم إِال قَلِيال‬ ُّ ‫وح قُ ِل‬
ُ ‫الر‬ ُّ ‫ك َع ِن‬
ِ ‫الر‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra: 85)

Para ilmuwan merupan iring-iringan yang sangat panjang yang jauh mengakar pada masa
silam dan terus menjalar ke masa depan. Apa yang dimiliki oleh seorang ilmuan hanyalah
merupakan satu bagian dari iring-iringan yang panjang itu. Tidaklah layak jika ia mengingkari
kelebihan orang-orang yang terdahulu atau mengingkari upaya generasi yang berikutnya. Tidak
ada seorang pun yang ilmunya meliputi segala sesuatu kecuali Allah, manusia hanya mengetahui
sedikit sementara sejumlah besar tidak diketahuinya. Hari ini dia tahu apa yang kemaren belum
diketahuinya dan besok dia tidak mengetahui lagi apa yang telah diketahuinya hari ini.
Perhatikanlah pernyataan seorang ulama fiqih yang terkenal di bawah ini ketika beliau menimba
ilmu seorang shaleh, yatu Imam Syafi’i menatakan: “Setiap kali aku belajar dari sejarah aku
semakin tahubahwa akalku berkurang atau aku tahu bahwa ilmuku bertambah, semakin
bertambah pula ilmuku tentang kebodohanku.”[21]

4.         Izzah. Perasaan mulia yang merupakan fadhillah paling spesifik bagi kaum muslimin
secara umum. Allah berfirman:

‫ني َولَ ِك َّن‬ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫َي ُقولُ و َن لَئ ْن َر َج ْعنَ ا إِىَل الْ َمدينَ ة لَيُ ْخ ِر َج َّن‬
َ ‫األع ُّز مْن َه ا األ َذ َّل َوللَّه الْع َّزةُ َولَر ُس وله َول ْل ُم ْؤمن‬
)٨( ‫ني ال َي ْعلَ ُمو َن‬ ِِ
َ ‫الْ ُمنَافق‬
Artinya:    “Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar
orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin,
tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Q.S. Al-Munafiqun: 8)

Izzah di sini adalah perasaan diri mulia ketika menghadapi orang-orang yang takabbur
atau orang yang berbangga dengan kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan
lain yang bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa dan permusuhan.
Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah dan tidak mengharapkan apapun dari manusia,
tidak menjilat kepada orang yang berkuasa.

ِ َّ ِ َّ ‫يد الْعِ َّز َة فَلِلَّ ِه الْعِ َّزةُ مَجِ يع ا إِلَي ِه يص ع ُد الْ َكلِم الطَّيِّب والْعم ل‬
‫ين مَيْ ُك ُرو َن‬
َ ‫الص ال ُح َي ْر َفعُ هُ َوالذ‬ ُ ََ َ ُ ُ ََْ ْ ً ُ ‫َم ْن َك ا َن يُِر‬
ِ
)١٠( ‫ور‬ َ ِ‫اب َشدي ٌد َو َمك ُْر أُولَئ‬
ُ ُ‫ك ُه َو َيب‬
ِ َّ
ٌ ‫السيِّئَات هَلُ ْم َع َذ‬
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Q.S. Fathir: 10)

Merasa cukup adalah perasaan yang ada sebelum seseorang memiliki yang sesungguhnya.
Ada sementara orang yang memiliki harta banyak, tetapi sebenarnya jiwanya miskin dan
tangannya terbelenggu, kikir, padahal sementara orang lain yang bertangan hampa tidak berharta
masih tetap merasa lebih kaya dari Qarun. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: “Yang
disebut kaya bukanlah karena banyak harta akan tetapi yang sesungguhnya kaya adalah kaya
hati.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi dari Abu Hurairah)

5.         Mengutamakan Ilmu

Salah satu moralitas yang orisinil dalam Islam adalah menerapkan ilmu dalam pengertian
bahwa ada keterkaitan antara ilmu dan iradah. Kehancuran kebanyakan manusia adalah karena
mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan sesuatu yang ertolak
belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter yang mengetahui bahayanya suatu
makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga dia menikmatinya karena mengikuti hawa
nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut
melakukannya dan bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini
tidak diridhai dalam Islam. Menggambarkan hal ini Rasulullah bersabda: “Dunia ini
diperuntukkan bagi empat kelompok orang, yaitu:

1. Seorang hamba yang diberi rezeki oleh Allah berupa harta dan ilmu yang dengan rezeki itu dia bertaqwa
kepada Allah, menyambung silaturrahmi dan mengetahui bahwa disitu Allah mempunyai hak. Orang ini
menempati posisi peringkat teratas.
2. Seorang hamba yang diberi rezeki berupa ilmu, tetapi tidak diberi harta. Dia mempunyai niat yang benar
dan berkata: “kalau aku diberi harta aku akan mengamalkan perbuatan si Fulan. Dengan niatnya itu dia
mendapat pahala yang sama dengan yang pertama.

3. Seorang haba yang diberiharta tetapi tidak diberi ilmu. Dia membelanjakan hartanya secara sembarangan
dan tidk takut akan Tuhanya, tidak menyambung silaturrahmi dan tidak megetahui bahwa pada hartanya itu
ada hak Allah. Orang seperti ini menempati posisi peringkat yang paling hina.

4. Seorang hamba yang tidak diberi harta dan juga tidak diberi ilmu oleh Allah tetapi dia berkata: “Sekiranya
aku diberi harta aku akan mengerjakan pekerjaan si Fulan. Dengan niatnya ini dia mendapatkan pahala
yang sama dengan si Fulan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, At-Targhib hadits nomor 20)

6.         Menyebarkan ilmu

Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag harus dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka
berkewajiban agar ilmu tersebar dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang disembunyikan
tidak mendatangkan kebaikan, sama halnya dengan harta yang ditimbun.[22] Ketika Haji Wada’
diakhir khutbah Rasulullah SAW berpesan: “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi). Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW:
“Barangsiapa yang ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu dia menyembunyikannya,
ada hari kiamat dia dibelenggu dengan belenggu dari apai neraka.” (Diriwayatkan oleh Abu
Daud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Al-Naihaqi dan Al-Hakim)

Kewajiban menyebarkan ilmu hanya dibatasi jika ilmu yang disebarkan itu akan
menimbulkan akibat negatif bagi yang menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif
bagi orang lain atau jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak daripada
manfaatnya.[23]

7.         Hak Cipta dan Penerbit

Mengenai hak cipta dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak
semudah kehidupan orang lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus
mlebihi orang lan, seorang ilmuwan pengarang memerlukan perpustakaan  yang kaya dengan
referensi penting dan juga memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil,
mengkliping dan sebaginya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang khidupa
keluarganya. Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan menghasilkan suatu karya
ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika suatu karya ilmiah telah diterbitkan kadang-kadang
pengarang masih memerlukan lagi untuk mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua
ini memerlukan tenaga dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu karya ilmiah
maka dialah yang berhak mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya. Tetapi perlu
diingat dan dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan pengarang mengeksploitasi
para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku dengan harga yang tidak seimbang dengan
daya beli pembaca atau pendapatan yang diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka
hal itu tidak dibenarkan oleh syara’.

Dari uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pegembangan ilmu, untuk
menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan manusia dan kerusakan
lingkungan serta kehancuran di muka bumi. Kemudian sejauhana konsep-konsep etika yag
dirumuskan oleh para ilmuan dalam bidangnya akan efektif untuk menangkal penyalahgunaan
ilmu, mengingat konsep-konsepnya yang masih bertentangan antara satu dengan lainya sebagai
lazimnya pertentangan diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Orang-orang yang
mengkuti hawa nafsu, semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin tinggi teknologi yang
mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang mereka miliki, semua itu hanya
mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik
kewajiban mereka terhadap orang lain dan hak-hak orang lain.

Inilah yang terjadi dengan dunia kita sekarang, negara-negara yang disebut adikuasa
berbuat yang mereka kehendaki terhadap negara-negara yang sedang berkembang, demi
keuntungan dan kepentingan mereka walaupun dengan semboyan-semboyan demokrasi, hak
asasi manusia, dan lain-lain. Memang dalam data sejarah hanya ilmuwan-ilmuwan kaum muslim
yang membimbing para khalifah yang senantiasa menebarkan ilmu dan kemakmuran untuk
manusia secara bersama-sama walaupun berbeda agama.

E.     Kesimpulan

1. Ilmu adalah netral menghasilkan manfaat atau mengakibatkan bencana tergantung           di tangan yang
menguasainya. Bagaimana dia nantinya menerapkanya di dalam kehidupan.
2. Ilmu tanpa dilandasi etika yang benar akan mengakibatkan kerusakan bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

3. Diperlukan adanya orang-orang yang mampu untuk menjaga berlakunya etika yang benar dalam
pengembangan ilmu agar ilmu tersebut lebih bermanfaat nantinya baik didunia maupun di akhirat.

4. Di dalam Islam etika pengembangan ilmu pengetahuan disandarkan kepada iman akan Allah Rabbul
‘Alamin Yang Maha Mengetahui.

5. Etika yang baik akan memperoleh pahala dan etika yang jahat sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai