Anda di halaman 1dari 3

Masa Lalu dan Amnesia Bangsa Tikus

oleh : Fajar Setiawan Roekminto

"Rasa tidak tenteram itu berakar pada tidak adanya kepertjajaan akan
kemadjuan didalam masjarakat kita, selama korupsi masih meradjalela, selama
kepentingan daerah masih dilalaikan, dan selama usaha pembangunan ekonomi
setjara berarti tidak ada." (Petikan Tajuk Rencana berjudul Kearah Kekatjauan Jang
Lebih Besar ? Mingguan Siasat Tahun ke X, No 482, 5 September 1956)

Sebelas tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Mingguan Siasat


rupanya merasa khawatir melibat situasi bangsa yang semakin hari semakin
memburuk sehingga perlu mengingatkan masyarakat akan makna sebuah
kemerdekaan dan kesadaran berbangsa, dengan menurunkan Tajuk Rencana yang
salah satu bagiannya saya kutip di atas. Apakah bangsa ini memang bangsa yang
amat pelupa sehingga banyak fragmen – fragmen sejarah yang sekedar terlupakan,
dilupakan, sengaja ditutupi atau bahkan dimusnahkan sama sekali. Benarkah
bangsa ini harus menerima “kutukan” sehingga harus menerima dan ikhlas untuk
terus menerus menjadi bangsa yang menderita amnesia? Seolah - olah apa yang
terjadi dalam sejarah bangsa ini sudah dicetak biru oleh Sang Pencipta.
Suatu malam saya sempat merasakan nikmatnya tidur selama 7 jam di kamar
kos yang berantakan. Saking nikmatnya tidur itu saya bermimpi kembali ke Republik
Tikus, sebuah negeri yang mirip Republik Manusia. Rupa - rupanya “kutukan” serupa
juga dialami oleh negeri bernama Republik Tikus. Penyakit amnesia sudah
merupakan penyakit kutukan seperti layaknya penyakit kusta dalam kisah – kisah
yang ditulis dalam kitab Perjanjian Lama. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik
Tikus, banyak hal yang telah dilupakan oleh Bangsa Tikus ini, baik oleh para
pemimpinnya maupun warganya sendiri.
Mungkin telah terjadi brain washing yang luar biasa pada jutaan memori dalam
kepala tikus di Republik Tikus sehingga dengan mudah tikus – tikus itu melupakan
kejayaan dan kemakmuran yang pernah terjadi di awal – awal kemerdekaan
Republik Tikus, akibatnya kesalahan – kesalahan yang sama selalu terjadi berulang
- ulang. Dalam beberapa diskusi dengan intelektual – intelektual Republik Tikus,
mereka mengatakan bahwa Republik Tikus memiliki kemiripan dengan Republik
Manusia, katakanlah bernama Republik Indonesia. Pada saat reformasi seperti
sekarang ini masih banyak bandit dan maling yang merampas uang rakyat pada
masa Orba dengan leluasa bebas berkeliaran sementara mereka yang menjadi
“maling curut” harus ngendon bertahun – tahun di Cipinang dan bahkan kadang
dipenjarakan dengan tanpa proses hukum yang jelas. Inilah realitas Republik
Manusia bernama Indonesia ketika hukum memang tidak pandang bulu, namun
yang dipandang adalah bulunya siapa. Dalam kasus yang terjadi di Republik Tikus
memang agak berbeda karena berkaitan dengan integritas yang bersifat lebih
personal. Entahlah, mungkin dalam kehidupan bangsa tikus ini, memang harus ada
beberapa tikus yang ditakdirkan untuk menjadi Judas yang “wajib” untuk
mengkhianati Jesus hanya demi hepeng, atau memang amnesia sudah menjadi
penyakit yang sangat akut ketika kebaikan – kebaikan seseorang pada masa lalu
dan kesalahan – kesalahan besar dengan mudah hilang diterpa angin.
Ada sekian banyak kealpaan yang telah dilakukan Bangsa Tikus ini. Ambilah
contoh proyek ambisius pengadaan sistem informasi. Sebuah proyek di Republik
tikus pada masa lalu yang mempergunakan high-tech dengan ABRT (Anggaran
Belanja Republik Tikus) yang luar biasa besar. Beberapa oknum pemimpin Republik
Tikus rupanya terobsesi oleh Habibie. Dengan ambisinya yang luar biasa besar,
Habibie bermimpi untuk menjadikan Indonesia sebuah negara industri maju dan
salah satu negara pembuat pesawat terbang. Namun demikian Habibie lupa, dan
mungkin juga Bangsa Tikus, bahwa untuk dapat menjadi negara industri yang
pertama - tama harus dllakukan adalah kemampuan untuk mengolah biji besi,
kematangan SDM dan arah kebijakan politik ekonomi yang jelas. Punyakah Republik
Indonesia semua itu?
Satu hal yang dilupakan Habibie adalah bahwa Republik Indonesia adalah
negara agraris sehingga bidang pertanian harus mendapatkan prioritas utama dan
bukan industri bertekhnologi tinggi macam apa yang dilakukan oleh Habibie dengan
IPTN-nya. Apa yang terjadi kemudian? Semua kemudian telah lupa dimana IPTN,
pesawat - pesawat terbang itu dan bahkan Habibie saat ini karena industri tersebut
tidak pernah membumi. Ketika masih mahasiswa di tahun 90-an, saya sempat
terkekeh ketika membaca dan melihat foto – foto dari majalah – majalah undergound
pergerakan mahasiswa yang menampilkan sosok – sosok bule di IPTN dan mereka
terpaksa “disembunyikan” saat tamu – tamu negara datang bersama Suharto ke
sana, dari situlah kemudian lahir akronim IPTN, Industri Pariwisata Tamu Negara.
Saya juga sempat terkekeh ketika Republik Tikus berencana membangun
jaringan sistim informasi, bagaimana mungkin Republik Tikus mengadopsi sebuah
sistem informasi yang sebenarnya bisa dibuat sendiri oleh putra – putra terbaik
Republik Tikus. Saya terkekeh karena dengan kemampuan IT pas – pasan saja saya
bisa katakan bahwa Republik Tikus telah mengadopsi sebuah sistem yang mungkin
dalam beberapa tahun kedepan sudah ditinggalkan oleh Republik Monyet, negeri
tempat Republik Tikus mengadopsi sistem itu. Dalam rangka mengsukseskan
program itu Republik Tikus mendatangkan konsultan – konsultan dari luar negeri
dengan bayaran mahal. Dengan sedih saya membayangkan akankah tragedi IT ke-2
menimpa Bangsa Tikus? Semoga saja tidak. Semoga saja dengan dana ratusan juta
uskit (mata uang Republik Tikus) hasil itu sebanding dengan apa yang didapatkan.
Saya menjadi teringat apa yang terjadi dengan kondisi persebakbolaan
Indonesia. Dalam sebuah diskusi mengenai sepak bola saya mengatakan bahwa
membangun sebuah timnas yang tangguh bukan dengan cara study tour ke Real
Madrid, Chelsea dan Manchester United serta mendatangkan pelatih asing atau
mengikuti pelatihan jangka panjang di luar negeri melainkan dengan membangun
manajemen yang baik di tubuh federasi sepak bolanya serta menciptakan liga yang
kondusif. Akh, saya jadi geli bercampur sedih ketika menonton pertandingan timnas
Indonesia melawan Laos dan Vietnam.

Membangun Kesadaran dan Ingatan Kolektif


Membaca buku Ilustrated History of The World terbitan The Kingfisher New
York tahun 1992, membuat saya merasa tergugah. Buku itu memberikan pada
pembaca sebuah pengalaman dan kegairahan baru dalam belajar sejarah. Pembaca
disuguhi tidak hanya informasi tapi juga gambar – gambar full color mengenai
sejarah dunia. Buku setebal 761 halaman tersebut membantu kita untuk selalu
mengingat masa lalu, baik itu keberhasilan, kegagalan, kesalahan, kenangan indah
dan mimpi buruk yang telah dilakukan oleh peradaban manusia. Buku itu seolah
memberitahukan bahwa sejarah harus menjadi kunci untuk mengingatkan suatu
bangsa. Buku itulah yang kemudian saya hadiahkan kepada para pemimpin
Republik Tikus dalam kunjungan saya ke sana.
Seberapa pedulikah Bangsa Tikus terhadap masa lalu? Masa lalu, dalam
kemasan yang bernama sejarah, seyogyanya dipakai untuk membangun ingatan dan
kesadaran kolektif bangsa yang kemudian dijadikan dasar bagi pemahaman bahwa
sejarah adalah sebuah bentuk “belajar dengan cara terus menerus mencari" (leant
by inquiry) dengan maksud untuk mengoreksi dan mengevaluasi kerja keras Bangsa
Tikus, dengan tujuan untuk menjadikan masa kini dan masa mendatang menjadi
lebih baik.
Bagaimana sosok masa lalu itu dilihat oleh Bangsa Tikus? Masa lalu dipahami
sebagai absolutely past, ia tidak mempunyai ikatan apa - apa dengan masa
sekarang. la diartikan sebagai apa yang telah terjadi dan selesai pada masa lampau,
dengan demikian tidak mengherankan sejarah tidak diminati, pertama karena materi
dan buku - buku sejarah yang tidak menarik dan kedua sejarah itu sendiri dianggap
sebagai kumpulan cerita fiktif yang tidak mempunyai hubungan emosional dengan
realitas masa kini. Fenomena ini diperparah dengan adanya pembelokan fakta –
fakta sejarah bagi kepentingan sesaat penguasa.
Bangsa Tikus seharusnya melakukan flashback pada apa yang telah dialami,
dilakoni dan dikerjakan. Masa lalu bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk diingat
dan juga bukan sebuah kumpulan kepedihan yang bisa dilegalkan bagi pelampiasan
dendam pada masa kini dan masa datang. Bangsa Tikus sepertinya enggan
berdialog dengan masa lalu sehingga tidak jarang terjadi kekeliruan dalam membuat
keputusan pada masa sekarang serta selalu meleset dalam membuat suatu
perencanaan bagi masa depan. Setelah melakukan perjalanan selama satu minggu
di Republik Tikus, ternyata Bangsa Tikus diisi oleh banyak elemen - elemen yang
berpikir secara terkotak - kotak. Mereka merasa ada dalam sebuah masyarakat yang
selalu benar dan tidak mencoba merobohkan tembok - tembok yang mengisolasi
serta mengkungkung dirinya. Republik Tikus juga diisi oleh masyarakat yang begitu
reaktif terhadap kritik. Kritik dari kelompok lain ditanggapi dengan kemarahan
sehingga melahirkan dendam – dendam baru tak berkesudahan.
Tidak pernah ada dialog dalam arti yang sesungguhnya dan kalaupun ada
maka hanya berhenti pada sebuah tontotan dan bukan diskursus serius bagi
investasi pemikiran dan pencerdasan jangka panjang. Bangsa Tikus seharusnya
bisa belajar menerima kritik dan masukan. Tentu semua orang sudah tahu bahwa
ketika Nicolaus Copernicus dengan bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium
pada tahun 1543, menerima reaksi yang luar biasa “keji” dari gereja dan masyarakat
ketika ia menantang kosmologi geosentris yang sudah menjadi dogma sejak masa
Aristoteles. Republik Tikus akan terus mengalami proses pembodohan dan semakin
jauh terperosok apabila selalu memproteksi diri dari kritik dan masukan.
Sudah saatnya Bangsa Tikus memiliki sebuah buku harian, yang didalamnya
berisi detail catatan kejadian - kejadian masa lalu, entah itu yang baik maupun yang
buruk, sepanjang itu adalah fakta - fakta yang pernah hadir. Catatan itu pada
akhirnya dapat dipakai serta berguna untuk menjadi inspirasi dan renungan bagi
perbaikan pada masa kini dan masa mendatang. Tidak ada salahnya meniru apa
yang dilakukan oleh kaum Puritan New England Amerika akhir abad 17, yang
dengan buku hariannya mereka pada akhirnya mampu membangun struktur
masyarakat dengan pondasi ekonomi yang kuat, meskipun tentu tidak harus
bersikap sok peitis dengan gaya munafiknya. Tit...tit..tit..tit, tiba – tiba alarm
berbunyi, membangunkan saya dari tidur dan melenyapkan mimpi itu. Saya
bergegas bangun, mandi dan pergi ke kampus untuk mengajar dan mengambil THR
Natal. Kampus yang memberi saya banyak pelajaran berharga tentang hidup dan
berproses menjadi seorang manusia. Selamat Natal 2006 dan Tahun Baru 2007!!

Anda mungkin juga menyukai