Anda di halaman 1dari 27

c  c 



Terdapat banyak aspek dan masalah yang diketahui termasuk ke dalam pembangunan,
sehingga pembangunan tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang. Hal ini menyebabkan
kesulitan dalam mendefinisikan pembangunan, terutama bukan karena orang tidak faham yang
dimaksud dengan pembangunan itu, tapi justru karena ruang lingkup pembangunan tersebut
begitu banyak, sehingga hampir tidak mungkin untuk menyatukan semuanya menjadi suatu
bentuk rumusan sederhana sebagai suatu definisi yang komplit: ³Inilah dia pembangunan itu.´
Menurut Soetomo (2008), pembangunan sebagai proses perubahan dapat dipahami dan
dijelaskan dengan cara yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam hal sumber atau
faktor yang mendorong perubahan tadi, misalnya yang ditempatkan dalam posisi lebih dominan,
sumber perubahan internal atau eksternal. Disamping itu, sebagai proses perubahan juga dapat
dilihat dari intensitas atau fundamental tidaknya perubahan yang diharapkan, melalui
transformasi struktural ataukah tidak. Sebagai proses mobilisasi sumberdaya juga dapat dilihat
pandangan dan penjelasan yang berbeda, misalnya pihak yang diberi kewenangan dalam
pengelolaannya diantara tiga stakeholders pembangunan, yaitu negara, masyarakat, dan swasta.
Perbedaan pandangan juga menyangkut level pengelolaan sumber daya tersebut, tingkat lokal,
regional, atau nasional. Perspektif yang berbeda juga dapat menyebabkan pemberian perhatian
yang berbeda terhadap sumber daya yang ada. Perspektif tertentu lebih memberikan perhatian
pada sumber daya alam dan sumber daya manusia, sedangkan perspektif yang lain disamping
kedua jenis sumber daya tersebut juga mencoba menggali, mengembangkan dan
mendayagunakan sumber daya sosial yang sering disebut juga dengan modal sosial atau energi
sosial. Bahkan dalam masing-masing perspektif yang bersikap terhadap sumber daya manusia
juga dapat dijumpai pandangan dan perlakuan yang berbeda. Disatu pihak dijumpai perspektif
yang melihatnya sebagai sekedar objek yang sama dengan sumber daya alam yang dapat
digerakkan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pembangunan, dan dilain pihak melihatnya
sebagai aktor atau pelaku dari proses pembangunan itu sendiri.
Pengertian pembangunan harus dilihat secara dinamis, bukan dilihat sebagai konsep statis
yang selama ini sering kita anggap sebagai suatu kesalahan yang wajar. Pembangunan pada
dasarnya adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. ´Development is not a
static concept. It is continuously changing³, artinya juga bisa dikatakan bahwa pembangunan itu
sebagai ³never ending goal´. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu
perubahan sosial budaya. Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju
atas kekuatan sendiri (self sustaining proces) tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya.
Jadi bukan hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah belaka. Pembangunan
tergantung dari suatu ³innerwill´, dan proses emansipasi diri, dan suatu partisipasi kreatif dalam
proses pembangunan hanya menjadi mungkin karena proses pendewasaan (Tjokroamidjoja dan
Mustapadijaja dalam Nawawi, 2009).
Banyak pakar memberikan definisi tentang pembangunan. Dalam tulisan-tulisan
mengenai pembangunan tersebut, pengertian-pengertian seperti modernisasi, perubahan sosial,
industrialisasi, westernasi, pertumbuhan (growth), dan evolusi sosio-kultural biasanya selalu
dikaitkan dalam menyusun suatu definisi pembangunan. Namun demikian, menurut para ahli,
istilah tersebut di atas terasa kurang sesuai dengan yang sesungguhnya dimaksud dengan
pembangunan. Frey dalam Zulkarimen Nasution (2004) menyebutkan bahwa pengertian
pertumbuhan (growth) terasa terlalu luas, sedangkan industrialisasi terlalu sempit. Begitu pun
dengan istilah westernisasi yang terasa bersifat parokial (sempit wawasannya).
Menurut Rogers dalam Zulkarimen Nasution (2004), pembangunan diartikan sebagai
proses yang terjadi pada level atau tingkatan sistem sosial, sedangkan modernisasi menunjuk
pada proses yang terjadi pada level individu. Yang paling sering, kalaupun kedua pengertian
istilah tersebut dibedakan, maka pembangunan dimaksudkan yang terjadi pada bidang ekonomi,
atau lebih mencakup seluruh proses analog dan seiring dengan itu, dalam masyarakat secara
keseluruhan.
Sebagai suatu istilah teknis, pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di negara-
negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang
rendah, pengangguran, dan ketidakadilan sosial (Seers dalam Zulkarimen Nasution, 2004
Menurut Seers dalam Zulkarimen Nasution (2004).
Menurut Sondang P. Siagian (2008), pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha
mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu
negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).

     c  



Berdasarkan beragamnya pengertian pembangunan di atas, maka karakteristik
pembangunan dapat dilihat dari perkembangan paradigma pembangunan yang berlangsung dari
waktu ke waktu. Berikut ini merupakan paradigma yang aktivitas pembangunannya didasarkan
pada tiga karakterstik, yaitu integral, universal, dan partisipasi total
(patriotproklamasi.blogspot.com).
Karakteristik pembangunan integral mengandung arti bahwa program pembangunan
disatu sektor tidak bisa dipisahkan dengan pembangunan disektor lain. Pembangunan ekonomi
misalnya, tidak terlepas dari pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, pembangunan
politik yang adil dan jujur serta bersih dari penyimpangan, pembangunan hukum yang
berkeadilan, pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumpu pada kekuatan
sendiri, serta pembangunan sosial budaya yang berakhlak. Dalam Paradigma ini, karakteristik
pembangunan yang bersifat integral akan meniadakan ketimpangan pembangunan antara
ekonomi fisik yang dominan (mercusuaris) dengan pembangunan sumber daya manusia, ilmu
pengetahun dan teknologi, kemandirian, serta sosial budaya.
Karakteristik pembangunan universal memberikan pengertian bahwa aset-aset
pembangunan haruslah dipergunakan untuk kepentingan lintas generasi, lintas teritorial, dan
bahkan lintas kehidupan (dunia akhirat). Lintas generasi berarti harus berkelanjutan
(sustainable), jangan sampai pembangunan sekarang menyebabkan terpuruknya generasi-
generasi yang akan datang. Mungkin pembangunan telah mengabaikan hal ini, pembangunan-
pembangunan fisik yang gegap gempita di masa lalu membuat generasi sekarang menderita
lantaran pembiayaannya melalui utang. Lintas teritorial maksudnya adalah bahwa pembangunan
disuatu tempat tidak menyebabkan tempat lain terlantar atau bahkan terkena dampak negatifnya.
Dalam paradigma ini, terdapat pula visi pemerataan pembangunan dan pembangunan yang
ramah lingkungan. Sedangkan lintas kehidupan bermakna menginspirasikan pelaku-pelaku
pembangunan supaya berbuat sambil membangun pula akhirat yang lebih baik, aktivitas dalam
hal ini merupakan ekspresi relijius.
Karakteristik pembangunan partisipasi total adalah bahwa pembangunan harus dilakukan
oleh seluruh aktor pembangunan sesuai perannya. Untuk itu, diperlukan pemberdayaan
masyarakat agar mereka setara sebagai mitra pemerintah dalam merumuskan kepentingan
bersama. Kesetaraan ini tidak hanya dari segi kedudukannya tetapi juga kualitasnya, sehingga
diperlukan pendidikan politik.
ÿc  

Pada dasarnya, ciri-ciri pembangunan itu dapat dilihat dari pengertian pembangunan itu
sendiri. Ciri-ciri pembangunan yang dikemukakan disini adalah berdasarkan tujuh ide pokok
yang muncul dari definisi pembangunan yang diberikan oleh Sondang P. Siagian (2008), yaitu:

1.? Pembangunan merupakan suatu proses. Berarti pembangunan merupakan rangkaian


kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap-tahap yang disatu
pihak independen akan tetapi dipihak lain merupakan ³bagian´ dari sesuatu yang bersifat
tanpa akhir (never ending). Banyak cara yang dapat digunakan untuk menentukan
pentahapan tersebut, seperti berdasarkan jangka waktu, biaya, atau hasil tertentu yang
diharapkan akan diperoleh.
2.? Pembangunan merupakan upaya yang secara sadar ditetapkan sebagai sesuatu untuk
dilaksanakan. Dengan perkataan lain, jika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara terdapat kegiatan yang kelihatannya seperti pembangunan, akan tetapi
tidak ditetapkan secara sadar dan hanya terjadi secara sporadis atau insidental, maka
kegiatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembangunan.
3.? Pembangunan dilakukan secara terencana, baik dalam arti jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Seperti dimaklumi, merencanakan berarti mengambil
keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dilakukan pada jangka waktu tertentu di
masa depan.
4.? Rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan perubahan. Pertumbuhan
dimaksudkan sebagai peningkatan kemampuan suatu negara bangsa untuk berkembang
dan tidak sekedar mampu mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, dan eksistensinya.
Perubahan mengandung makna bahwa suatu negara bangsa harus bersikap antisipatif dan
proaktif dalam menghadapi tuntutan situasi yang berbeda dari jangka waktu tertentu ke
jangka waktu yang lain, terlepas apakah situasi yang berbeda itu dapat diprediksikan
sebelumnya atau tidak. Dengan perkatan lain, suatu negara bangsa yang sedang
membangun tidak akan puas jika hanya mampu mempertahankan status quo yang ada.
5.? Pembangunan mengarah pada moderntias. Modernitas di sini diartikan antara lain sebagai
cara hidup yang baru dan lebih baik daripada sebelumnya, cara berpikir yang rasional dan
sistem budaya yang kuat tetapi fleksibel.
‰.? Modernitas yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan pembangunan perdefinisi
bersifat multidimensional, artinya modernitas tersebut mencakup seluruh segi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta
pertahan dan keamanan.
7.? Semua hal yang telah disinggung di atas ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa,
sehingga negara bangsa yang bersangkutan semakin kokoh fondasinya dan semakin
mantap keberadaannya.

à

c  

Tujuan pembangunan di negara manapun tentunya untuk kebaikan masyarakatnya dan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Siagian dalam Nawawi (2009), pada
umumnya komponen yang dicita-citakan dalam keberhasilan pembangunan adalah bersifat relatif
dan sukar membayangkan tercapainya
titik jenuh yang absolut´, dan yang sudah tercapai tidak
mungkin ditingkatkan lagi, seperti: keadilan sosial; kemakmuran yang merata; perlakuan yang
sama dimata hukum; kesejahteraan material, mental, dan spiritual; kebahagian untuk semua;
ketentraman; serta keamanan. Untuk mencapai tujuan ini, maka masyarakat harus lebih
berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan yang meliputi keterlibatan aktif, keterlibatan dalam
memikul beban dan tanggung jawab, serta keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat
(Tjokroamidjojo dalam Nawawi, 2009).
Menurut Zulkarimen Nasution (2004), yang menjadi tujuan umum (goals) pembangunan
adalah proyeksi terjauh dari harapan-harapan dan ide-ide manusia, komponen-komponen dari
yang terbaik yang mungkin, atau masyarakat ideal yang terbaik yang dapat dibayangkan. Tujuan
khusus (objectives) pembangunan adalah tujuan jangka pendek, biasanya yang dipilih sebagai
tingkat pencapaian sasaran dari suatu program tertentu. Sedangkan target pembangunan adalah
tujuan-tujuan yang dirumuskan secara konkret, dipertimbangkan rasional dan dapat
direalisasikan sebatas teknologi dan sumber-sumber yang tersedia, yang ditegakkan sebagai
aspirasi suatu situasi yang ada dengan tujuan akhir pembangunan.
Î  c  

???????????? ügar program-progam pembangunan dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang
telah dituangkan dalam prioritas pembangunan, maka visi dan misi pembangunan haruslah
selaras dengan tujuan pembangunan, sehingga dapat menumbuhkan komitmen pelaksana
pembangunan untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan dalam proses kreatif dan intuitif. Visi
adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
Sedangkan misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk
mewujudkan visi.
ügar dapat menentukan visi pembangunan dengan jelas, maka haruslah dapat menjawab
pertanyaan ´dalam pembangunan apa kita sekarang berada?´. Langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjawab pertanyaan itu adalah:

1.? Menganalisis skala, lingkup, ukuran, bauran hasil pembangunan, dan aktivitas
pembangunan saat ini;
2.? Memandang ke depan dengan cara membandingkan celah antara apa yang sesungguhnya
dicapai dengan apa yang ingin dicapai;
3.? Celah tersebut digunakan oleh pelaksana pembangunan untuk menentukan arah dan pola
organisasi di masa depan.

Visi yang hendak dicapai memerlukan penjabaran kegiatan yang selaras dengan visi
tersebut. Menurut Suprayitno dalam Nawawi (2009), penjabaran dari kegiatan inilah yang
disebut dengan misi. Untuk menyatakan misi tersebut, maka harus memuat antara lain:

1.? Menentukan apa yang dicita-citakan organisasi;


2.? Membedakan organisasi dengan organisasi lain;
3.? Menjadikan kerangka untuk evaluasi aktivitas kini dan yang akan datang;
4.? Menjamin kebulatan maksud dalam organisasi;
5.? Menyediakan basis untuk memotivasi sumber-sumber organisasi;
‰.? Meyediakan standar untuk mengalokasikan sumber-sumber organisasi;
7.? Menentukan sifat dan iklim bisnis yang diinginkan;
8.? Menyediakan titik fokal untuk mengidentifikasikan tujuan dan arah organisasi;
9.? Memungkinkan penerjemahan maksud organisasi ke da;am tujuan-tujuan yang cocok;
10.?Memungkinkan penerjemahan tujuan ke dalam strategi dan aktivitas yang spesifik
lainnya.

  c  



Menurut Nawawi (2009), berdasarkan paradigma pembangunan yang berkembang
(intergrating Development Paradigma) pada empat dasawarsa pertama sejak awal 1950-an
hingga sekarang, sedikitnya terdapat lima model-model pembangunan, yaitu: model saling
hubungan, model pertumbuhan, model pemerataan, model pembangunan manusia, dan model
peningkatan daya saing.
Model saling hubungan adalah model pembangunan yang mempunyai relevansi antara
paradigma administrasi publik dengan paradigma pembangunan sosial ekonomi politik. Dalam
model ini, tercatat perkembangan model-model pembangunan lainnya yang mempengaruhi
proses pembangunan di negara-negara berkembang dan terbagi ke dalam tiga model, yaitu: (1)
Model pertumbuhan Gross Nasional Produk (GNP); (2) Model pemerataan dan pemenuhan
kebutuhan pokok; (3) Model pembangunan kualitas manusia.
Model pertumbuhan merupakan suatu model pembangunan yang sesuai dengan
paradigma pertumbuhan yang melandasi strategi pembangunan yang berorientasi pada
peningkatan pertumbuhan Gross Nasional Produk (GNP). Model ini beranggapan bahwa hal
tersebut dapat dicapai dengan menempuh industrialisasi dan penanaman modal secara ³big push´
dengan semangat modernisasi dan superioritas. Untuk itu, maka peranan yang dilakukan adalah
melakukan perencanaan dan langkah-langkah kebijakan guna petumbuhan ekonomi yang
diinginkan yang mempunyai sasaran pada adanya perubahan sosiokultural dan institusional,
sehingga masyarakat memiliki orientasi dan sifat-sifat ³achievernent, universalism, dan
fungtional specificity.
Model pemerataan dipandang sebagai pemerataan dalam berbagai aspek sosial,
lingkungan, dan kelembagaan. Model ini berawal pada pengembangan delivery service system
yang berhubungan langsung dengan kelompok sasaran pada organisasi lokal dan sektoral.
Pemberantasan pengangguran dan ketidakmerataan merupakan tujuan eksplisit pembangunan
dalam model ini. Hal tersebut disebabkan karena mekanisme pasar terganjal oleh ketimpangan
dalam pembagian pendapatan. Pembangunan yang berorientasi pada pemerataan dan pemenuhan
kebutuhan pokok, termasuk kesempatan kerja dan berusaha, air bersih dan perumahan,
dipandang sebagai strategi yang lebih baik, yang nantinya akan berdampak pada kemandirian
dan keadilan sosial.
Model pembangunan manusia didasari pada paradigma manusia yang menekankan
kegiatan dengan penuh tanggungjawab untuk membangkitkan kesadaran dan kemampuan insani
(Harmon dan Mayer dalam Nawawi, 2009) dan peningkatan sumber daya manusia, baik secara
individual maupun kolektif (UNDP dalam Nawawi, 2009). Korten sendiri menyebutkan jenis
manajemen dan administrasi yang cocok dalam rangka pelaksanaan model pembangunan
kualitas manusia ini sebagai community based resource management.
Model peningkatan daya saing merupakan model pembangunan yang dilakukan melalui
transformasi teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan sistem informasi,
modernisasi manajemen usaha, serta pembaruan kelembagaan, reinventing goverment, banishing
bureauracy, deregulasi dan debirokrasi, perkembangan ek-commece, e-goverment dan lain
sebagainya, yang secara keseluruhan mengacu pada peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan
yang didukung oleh kemampuan dan keterampilan profesional, interaksi budaya, dan kegiatan
bisnis antar bangsa.

 c  
 
Pembangunan sangat diperlukan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih baik
dan maju sesuai tuntutan jaman. Pada dasarnya, pembangunan yang diharapkan adalah
pembangunan yang berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
menurunkan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan berkeadilan sosial.
Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan dalam semua segi kehidupan dan
penghidupan bangsa menuntut komitmen seluruh komponen masyarakat. Idealnya, berdasarkan
strategi dan rencana pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah, semua warga masyarakat
turut menjadi ³pemain´ dan tidak ada yang sekedar menjadi ³penonton´. Memang benar bahwa
jenis, intensitas, dan ekstensitas keterlibatan berbagai pihak berbeda-beda karena pengetahuan,
keterampilan, pemikiran intelektual, waktu, tenaga, dan kesempatan yang dimiliki juga beraneka
ragam. Meskipun penyelenggaraan kegiatan pembangunan tidak menggunakan pendekatan
³elitist´, namun kelompok elit dalam masyarakat harus memberikan kontribusi yang lebih
substansial dibandingkan dengan warga masyarakat yang lain (Siagian, 2008).
G c  c  

Pembangunan merupakan proses perubahan secara sengaja untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan banyak dipengaruhi oleh kondisi fisik dan
nonfisik dari suatu masyarakat, sehingga akselerasi (percepatan) pembangunan disetiap negara
tidak sama. Menurut Tjokroamidjojo dalam Nawawi (2009), Faktor yang mempengaruhi
pembangunan dan mempunyai relevansi dengan kondisi masyarakat antara lain:

1.? Masyarakat yang masih tradisional;


2.? Masyarakat yang bersifat peralihan;
3.? Masyarakat maju (modern).

Menurut Didin S. Damanhuri (2010), berdasarkan problema empiris ekonomi politik dan
pembangunan di negara-negara sedang berkembang, faktor-faktor yang menjadi tantangan,
masalah, dan hambatan dalam menjalankan agenda pembangunan yang dapat dijadikan peluang
atau ancamannya adalah:

1.? Globalisasi;
2.? Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan;
3.? Industrialisasi, pertanian, dan informalisasi ekonomi;
4.? Korupsi, kebocoran, dan inefisiensi;
5.? Utang luar negeri;
‰.? Lingkungan (ekologi);
7.? Birokrasi.
ï Gà cà 



Damanhuri, Didin S. 2010. Akonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi
bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: PT. Penerbit IPB Press
Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nawawi, Ismail. 2009. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian, Konsep, Model,
Teori, dari Aspek Akonomi dan Sosiologi. Surabaya: Putra Media Nusantara.
Proklamasi, Patriot. 2008. Karakteristik Pembangunan.

http://patriotproklamasi.blogspot.com/2008/05/karakteristik-pembangunan.html

Siagian, Sondang P. 2008. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya.


Jakarta: Bumi üksara.
Soetomo. 2008. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
?


c     à

³KITü HüRUS senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan negara
Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama pada zaman
revolusi lahir batin sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat
segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu,
janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (*estalt) kepada pikiran-pikiran
yang masih mudah berubah´ (dikutip dari: Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, 18 Agustua 1945).

c 
  

PERUBüHüN masyarakat atau social change ialah suatu pergantian atau modifikasi
pola kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang menjadi
penyebab perubahan masyarakat dapat timbul dari dalam kehidupan masyarakat sendiri maupun
yang datang dari luar diri masyarakat tersebut. Kedua faktor yang menjadi sebab perubahan
masyarakat, baik faktor intern maupun faktor ekstern, tidak dapat dipilah secara tegas. Bahkan
kedua faktor tersebut juga dapat saling berpengaruh. Perubahan masyarakat ini sebenarnya
alami, artinya mengacu pada perubahan alam. Perubahan masyarakat yang alami ini mungkin
tidak disengaja, mungkin pula tidak atas kehendak masyarakat sendiri. Oleh karena perubahan
masyarakat tersebut mengacu pada hukum alam maka perubahannya terjadi secara terus menerus
dan berupa siklus. Karena perubahan masyarakat itu alami maka manusia sebagai anggota
masyarakat tidak kuasa menghentikan atau menolak perubahan tersebut.

Namun manusia mampu memanfaatkan mekanisme perubahan yang secara alami tersebut
untuk kepentingan kehidupan bersamanya. Untuk hal ini manusia dalam mengelola kehidupan
bersamanya sengaja melakukan perubahan tersebut. ücuan perubahan yang disengaja ini tetap
berlandaskan pada dalil-dalil perubahan alami, akan tetapi dirancang dengan persiapan
perencanaan secara matang dan dikelola pula dengan manajemen yang baik. Karena masyarakat
mengharapkan agar perubahan yang disengaja tersebut dapat membuahkan hasil berupa
kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Perubahan masyarakat yang disengaja, yang direncanakan dan dikelola dengan penerapan
manajemen yang baik ini dinamakan pembangunan masyarakat atau dikenal pula dengan istilah
social development atau community development. Jadi pembangunan adalah upaya melakukan
perubahan masyarakat yang dilaksanakan dengan sengaja, yang direncanakan secara matang dan
dikelola dengan penerapan manajemen. Tujuan pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara adil.

  

REFORMüSI adalah istilah untuk pembangunan masyarakat yang banyak digunakan di


negara-negara ümerika Latin. Dalam bahasa Inggrisnya disebut social reform. Reformasi sosial
atau pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk peningkatan taraf hidup masyarakat tentunya
harus berdasarkan dalil-dalil pembangunan pula. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu,
pengelolaan pembangunan masyarakat harus dilandasi perencanaan yang matang dan penerapan
manajemen yang baik. Selain itu reformasi di Indonesia harus dilandasii pula oleh dasar negara,
yaitu Pancasila baik sebagai landasan konstitusional maupun sebagai landasan moral. Karena itu
Pancasila adalah paradigma atau pola untuk pelaksanaan reformasi atau pembangunan
masyarakat.

Pembangunan masyarakat atau reformasi di Indonesia lazim disebut dengan pembangunan


nasional. Pancasila adalah paradigma pembangunan nasional. Pancasila sebagai landasan
reformasi masyarakat dan pemerintah Indonesia, mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan
reformasi baik yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat maupun berkaitan dengan
pengelolaan pemerintahan, keduanya harus berpijak pada etika moral yang terkandung dalam
lima prinsip Pancasila sebagai satu kesatuan tata nilai.

Di samping itu reformasi sebagai pembangunan masyarakat juga tidak dapat


menyimpang dari dalil-dalil perubahan masyarakat. Masyarakat yang telah berubah sebagai
dampak reformasi berdampak pula mengubah struktur dan fungsi sistem sosial serta struktur
sosial. Dalam hal ini masyarakat tidak dapat mengelak dari dampak tersebut. Oleh sebab itu
reformasi sebagai perubahan masyarakat bersifat dinamik, berubah terus menerus secara
berlanjut (change and continuity).
     

Reformasi yang telah berlangsung selama sepuluh tahun ini dengan sendirinya telah
mengubah kehidupan masyarakat di segala bidang. Reformasi sebagai perubahan masyarakat
tentu saja menimbulkan dampak yang positif maupun yang negatif bagi kehidupan masyarakat.
Dampak yang positif itulah yang harus dikembangkan lebih lanjut, sedangkan yang
menimbulkan dampak negaratif harus dapat diperkecil üpabila memungkinkan dampak yang
negatif tersebut harus diusahakan untuk dihapuskan sama sekali. Evaluasi pelaksanaan reformasi
baik yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif perlu dilakukan sekarang agar
lima atau sepuluh tahun yang akan datang membuahkan hasil yang makin mendekatkan
kehidupan masyarakat ke arah terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil.

Meneladan kepada kelapangan dada Para Pendiri Negara kita, hendaknya para pelaku
reformasi juga harus lapang dada untuk bersedia memperbaiki dampak-dampak negatif
reformasi. Perubahan berjalan terus dan kehidupan masyarakat juga berubah secara dinamik
sesuai tuntutan zaman serta sesuai pula dengan perubahan kehidupan secara global. Untuk
mengantisipasi dinamika perubahan nasional maupun perubahan global tersebut langkah
reformasi harus lebih difokuskan pada upaya peniadaan dampak-dampak negatif yang
menghambat dinamika kehidupan masyarakat, yaitu antara lain:

Pertama, pembenahan kembali penataan hukum dan peraturan perundang-undangan.


Dimulai dengan penataan amandemen pertama sampai dengan keempat Undang-Undang Dasar
Negara sesuai dengan prosedur dan tatacara amandemen yang benar dengan mengacu pada
Undang-Undang Dasar Negara sebagai hukum dasar. Hukum dasar hanya mengatur aturan-
aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang diperlukan untuk penyelenggaraan aturan-aturan
pokok tersebut harus ditetapkan dengan undang-undang.

Kedua, penegakan hukum harus dimulai dengan penataan hirarkhi peraturan perundang-
undangan secara nasional. Sehingga tidak timbul tumpang tindih peraturan, dan peraturan yang
di bawah harus mengacu pada peraturan di atasnya. Peraturan yang di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang di atasnya serta merupakan rincian dari peraturan di
atasnya.
Ketiga, penataan kembali otonomi daerah yang seluas-luasnya. Seluas-luasnya tidak dapat
diartikan sebagai sebebas-bebasnya tanpa mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
ada, khususnya tentang hak dan kewajiban Daerah.

Keempat, penataan demokrasi sebagai sarana (means) dan sistem pemerintahan yang
bersumber pada kedaulatan rakyat (kedaulatan di tangan rakyat). Demokrasi yang diterapkan di
Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang terkandung pada dasar negara
Pancasila, yaitu ³demokrasi berdasar permusyawaratan / perwakilan´. Demokrasi
permusyawaratan / perwakilan inilah yang harus dikembangkan dan diterapkan dalam
kehiduapan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.

Kelima, penataan kembali sistem pemilihan kepala daerah. ügar pengelolaan


pemerintahan tidak disibukkan hanya untuk mempersiapkan pemilihan kepala daerah yang
memakan banyak tenaga, pikiran dan dana, perlu pemikiran ulang untuk menyusun kebijakan
tentang pemilihan kepala daerah. Pertimbangan pokoknya adalah lebih perlu tenaga, pikiran dan
dana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dari pada untuk penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat bukan satu-stunya unsur
atau ciri demokrasi. Demokrasi bukan tujuan, melainkan hanyalah sarana untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia.

UNTUK mengantisipasi dinamika kehidupan masyarakat, mereformasi terhadap


pelaksanaan reformasi yang telah berlangsung selama satu dasawarsa ini perlu dan harus
dilakukan. Jika bangsa Indonesia tidak berani mereformasi pelaksanaan reformasi maka
reformasi akan statik, tidak bergerak dan hanya jalan di tempat seperti sekarang ini.
Memperbaiki hal-hal yang tidak baik dalam iklim reformasi saat ini bukanlah suatu kemunduran
! Harus dipahami bahwa kehidupan masyarakat yang dinamis bukan berjalan mundur.
J  c   ïc  
c   c  
 
C. ürti Definisi / Pengertian Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial
serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan
nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu
meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.

B. Macam-Macam / Jenis-Jenis Cara Pengendalian Sosial

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :

1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)

Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota
kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.

2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)

Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan,
iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.

3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)

Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat
si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti
main hakim sendiri.
cï   à  !à!! 

C.? PENGENDüLIüN SOSIüL

Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan
yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan
lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu
merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia
dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang
tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang
dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah
memenuhi kebutuhan dasarnya.

2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran
dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga
masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara
merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi
sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain
yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu
terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-
enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan
gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau
membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi
norma.
üpabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup
memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat ± atas dasar kekuatan otoritasnya ± mulai
bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control). Menurut Soerjono Soekanto,
pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang
bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah
perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat
berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan
demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak
direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya
merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat
untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.

1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan
tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.

2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-
norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.

3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai
dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaidah atau norma, maka ia akan dikenakan
sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok

2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya

3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.

B. JENIS-JENIS PENGENDüLIüN SOSIüL

Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial


sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa
jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang
melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya
pelanggaran atau dalam versi ´mengancam sanksi´ atau usaha pencegahan terhadap terjadinya
penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif
dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.

b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan
maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di
dalam versi ³menjatuhkan atau membebankan, sanksi´. Pengendalian ini berfungsi untuk
mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku
meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi,
pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang
akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan
norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan
represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan
kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang
lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-
badan resmi, misalnya negara maupun agama.

e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang


tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak
dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh
warga masyarakat.

f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang
dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja
mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga
tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu.
ürtinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan
teristimewa ajarannya juga dikenal.

C. CüRü DüN FUNGSI PENGENDüLIüN SOSIüL

Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :

1. Sosialisasi

Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa
paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat
diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.

2. Tekanan Sosial

Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan
kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok
tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan
informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan
tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan
pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih
besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat
buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. ülat
pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat,
pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan
itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam
menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai
tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang
berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam
keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging
dalam diri warga masyarakat.

b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang
tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).

Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan
pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap
norma-norma sosial yang berlaku.

2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan
harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang
tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.

2. Fungsi Pengendalian Sosial

Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :


a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.

b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.

c. Mengembangkan rasa malu

d. Mengembangkan rasa takut

e. Menciptakan sistem hokum

Kontrol sosial ± di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat
agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan
bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). üdapun yang
dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja
dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau
menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi
melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.

üda tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,

2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan

3. Sanksi yang bersifat ekonomik.

Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan
secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan
pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai
sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya
adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena
dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga
dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan
membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah,
Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;

2. Incentive yang bersifat psikologik; dan

3. Incentive yang bersif ekonomik.Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula
tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang
diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi
fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan
ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman
gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih
tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan
psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan
berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.

üpakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat
agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan
masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial
ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa
ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun. üda lima faktor yang ikut
menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok
masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :

1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;

2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;

3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,

4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan


5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.

1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.


Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol
sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol
conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh
warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya
agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. üpabila
terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti
keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka
berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma
sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah
juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.

Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah
jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-
norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.

Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa
kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan
terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak
kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu ± kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya
dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu Makin beragam


macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-
norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah
efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam
sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers. Dihadapkan pada sekian banyak norma-
norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat
lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen.
Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai
konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas
bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial
secara efektif.

4. Besar-Kecilnya dan Bersifat ünomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan


Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan
saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan
anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat
³semaunya´, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya. Hal demikian itu dapat
dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di
mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di
balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka
warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak
akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di
masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang
informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-
individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.

5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi


Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-
kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-
agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran,
pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari
sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
üdapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :

a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;

b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;

c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan

d. üsasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.

Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu
masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada
masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial. Bentuk kontrol sosial atau cara-cara
pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan
cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial
ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan
diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan
fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi
yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak
lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa
sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang
makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol
sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah
aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-
pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.

 
 
c 
 
Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga
dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang
berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau
besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan
masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang
direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai proses
perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi
ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.
üdapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial yang
terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti
pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula
direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial.
Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.


ï Gà cà

? Craib, Ian (198‰). Teori-teori Sosial Modern. Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta:
CV. Rajawali.
? Etzioni, Eva and ümiatai Etzioni (19‰7). Social Change: Sources, Pattern, and
Consequences. New York: Basic Books, Inc, Publishers.
? Hoselitz, Bert FR.., and Wilbert E Moore (19‰3). Industrialization and Society. Unecso
Mouton
? Soekanto, Soerjono (i987). Sosiologi, suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.
? Suwarsono, dan ülvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: LP3S.
? Taneko, Soleman B. (1993). Struktur dan Proses Sosial. (Cetakan II). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai