Anda di halaman 1dari 3

c   c 

NPM.
Semester 7
STISIP YKPMI PADANG


    

Peristiwa gempa dan tsunami pada hari Senin tanggal 25 Oktober 2010 yang lalu banyak
meninggalkan kenangan yang mendalam bagi yang mengalaminya. Teman saya, Rudrik-seorang wartawan,
berkesempatan meliput berita dan foto liputannya yang dirilis di portal Antara menjadi foto pertama yang
dipublikasikan dan diunggah oleh media nasional bahkan internasional. Berikut adalah beberapa cerita
yang saya sadur dari Antara dan media cetak lokal lainnya.

        

Gempa terjadi pada hari Senin tanggal 25 Oktober 2010 mengguncang Bumi Sikerei pada pukul
21.42 wib dengan kekuatan 7,2 SR. Pusat gempa berada pada 3,61 LSʹ 99,93 BT, 78 km barat daya Pagai
Selatan, Kepulauan Mentawai dengan kedalaman 10 km di bawah permukaan laut. Disusul gelombang
tsunami yang menyapu daerah tepi pantai ini yang datang 10 menit kemudian.

Gempa yang terasa berayun-ayun itu pada awalnya tidak mengkhawatirkan masyarakat, setelah
mereka lihat air laut tidak surut. Suasana malam yang gelap berubah menjadi panik setelah ada yang
berteriak ͞air naik....air naik..͟. Pasangan suami istri, sebut saja namanya Indra dan Ani, berlari menjauhi
pantai ke arah bukit, dengan putra mereka Dani dalam gendongan Ani.

Perjalalanan menuju daerah ketinggian itu haruslah melewati sebuah sungai dengan jembatan yang
hanya selebar setengah meter. Melihat banyaknya warga yang akan menyeberang melalui jembatan,
keluarga kecil ini akhirnya berbalik arah dan memutuskan mengungsi ke sebuah gereja yang tak jauh dari
situ. Beberapa warga berinisiatif menutup jendela gereja dengan maksud mengurangi kekuatan hantaman
air. Semua terjadi begitu cepat, air lebih dulu masuk sebelum mereka sempat menutup semua jendela.

Dani, balita 1,5 tahun, yang awalnya dalam gendongan Ani akhirnya dipindahkan ke gendongan
suaminya. Pusaran air terus berputar-putar selama lebih kurang setengah jam. Kekuatan tangan Indra
melemah setelah dihantam sepotong kayu, dan akhirnya Dani terlepas. Gelagapan dalam air bah, Indra dan
Ani hanya bisa pasrah dan berdoa untuk keselamatan mereka semua.

Setelah gelombang tsunami reda, Indra dan Ani bertemu dalam keadaan yang sangat lemah. Tak
lama mencari, mereka menemukan Dani sang putra tercinta, telah tergeletak tak bernyawa di pekarangan
gereja. Tsunami telah merenggut bocah tercinta mereka...

   

Patreik, 9 tahun, duduk termenung di pengungsian. Mukanya banyak goresan luka, pipi lebam dan
mata bengkak terhantam puing-puing yang berserakan dalam gelombang tsunami. Diajak bicara, dia hanya
diam dengan tatapan mata yang kosong. Patreik tidak pernah mengecap bangku sekolah dan tidak bisa
berbahasa Indonesia.
Melalui relawan setempat yang membantu menterjemahkan, rupanya Patreik tidak memahami
bahwa ibunya telah tiada. Sang ibu, diperkirakan ikut menjadi korban tsunami karena hingga berita ini
diturunkan belum juga ditemukan. Menonton anak-anak seusianya yang bermain di pengungsian, Patreik
bergumam lirih, ͞Ibu, kok belum datang juga...͟.

?      


  

Niram menuturkan, saat gempa, rumah kayunya hanya bergoyang sedikit, sehingga tidak ada
pemikiran macam-macam apalagi akan datang tsunami. Niram tidur lebih awal malam itu setelah kelelahan
bekerja di kebun coklatnya pada siang hari. Niram tinggal di rumah itu bersama istrinya, sementara
anaknya Irwandi tinggal bersama neneknya (ibu Niram) sekitar 400 meter dari rumahnya.

Ketika mendengar teriakan ͞air naik...air naik..., Niram kembali merasakan kembali guncangan
gempa yang lebih besar dari sebelumnya, disertai gelombang laut yang langsung menyeret Niram dan
istrinya sebelum mereka mencoba melarikan diri.

Digulung gelombang tsunami sekitar satu jam, Niram yang terpisah dari istrinya sejauh 20 meter
akhirnya tersangkut di pohon durian. Tak lama setelah air surut, Niram diselamatkan oleh warga yang mulai
turun dari perbukitan setelah mengungsi.

Hatinya pilu dan hancur saat jasad anaknya ditemukan warga di balik puing-puing material
bangunan rumah dan pohon tumbang, pada keesokan harinya, sedangkan jasad ibunya (nenek Irwandi)
belum juga ditemukan.

Dalam kepiluan Niram bersyukur karena istrinya juga selamat dan dievakuasi dua hari setelah itu ke
Puskesmas Sikakap untuk mendapatkan perawatan. Setelah tsunami meluluhlantakkan dusunnya, Niram
menyatakan menunggu keputusan bersama antara warga dan kepala dusunnya, apakah akan pindah ke
daerah yang lebih aman atau bergeser tempat tinggal ke arah perbukitan.

           




Yuli Purna Dewi, seorang guru SD di Mentawai, merupakan salah satu korban selamat dari bencana
tsunami di Mentawai yang dirawat di RSUP Dr. M. Djamil. Ia mengalami Ä  (trauma leher) dan lecet-
lecet di sekujur tubuhnya. Di samping suaminya, Eri, wanita ini dengan tabah berujar, ͞Alhamdulillah, saya
masih bertahan. Semua akan ada hikmahknya.͟

Masih terbayang dalam ingatannya peristriwa di malam nahas itu. Gempa membuat penduduk
kampungnya berhamburan ke luar rumah. Setelah melihat air laut yang tidak ada perubahan, warga
kembali masuk rumah, termasuk Yuli dan keluarganya. Sebelumnya ia sempat mengantarkan anaknya Rafa,
3 tahun yang minta buang air kecil ke kamar mandi.

Tak lama berselang, gelombang air laut setinggi 8 meter menghantam rumahnya. Suaminya, Eri
terbawa arus hingga ke perkampungan. Sedangkan ia bersama anaknya yang ada dalam gendongan,
terseret ke muara. Yuli masih bisa bertahan pada hantaman gelombang pertama. Pada hantaman kedua,
Rafa terlepas dari pelukannya, terjepit di antara reruntuhan. Beruntung, ia bisa menaiki  
yang
kebetulan mengapung didekatnya.

͞Tak lama ada seorang bapak yang juga tersangkut di dekat reruntuhan tak jauh dari  yang
saya tumpangi. Bapak itulah yang menolong saya hingga ke tepian,͟ tuturnya. Satu jam pasca tsunamiYuli
baru bisa bertemu suaminya. Dengan kaki terkilir, Eri membopong Yuli ke SDN 03 Berilulow yang dijadikan
tempat pengungsian.
Baru Rabu (27/10) ia mendapatkan perawatan medis setelah tim kesehatan tiba di pengungsian.
Pada hari ke-12 pascatsunami, ia dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil dan mendapat perawatan intensif.

͞Setelah sembuh nanti, saya ingin segera kembali ke Mentawai untuk mengajar. Kasihan anak didik
saya yang sudah lama tidak mendapatkan pelajaran,͟ tuturnya. Kendati Kabupaten Mentawai disebut-sebut
belum lepas dari ancaman gempa besar dan tsunami, nyatanya tidak menyurutkan niat Yuli untuk tetap
mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Biarpun ia harus membayar mahal untuk pengabdiannya, tapi
ia berikrar untuk tetap mengabdikan dirinya dalam mendidik anak-anak di pulau terluar Sumbar itu.

Anda mungkin juga menyukai