Anda di halaman 1dari 2

BENARKAH ITU JAWABAN ITU?

Hari itu benar – benar menjadi bagian penting dalam sejarah pembentukan aku. Ku langkahkan kaki
keluar dari singgasanaku, ku berharap untuk dapat memanjakan nalarku. Tetapi hal itu sirnah seketika ku
masukkan kakiku dalam ruang itu. Mamiku duduk manis di depan dengan sedikit aroma api yang ada pada
tatapan matanya. Sejenak ku berpikir sebelum ku putuskan untuk mengambil peran dalam dudukku. Kiranya
hadiah apa yang akan diberikan mamiku hari ini?? Berselang beberapa menit, benakku berkata “bentar lagi juga
akan ada kejutan”, sembari ku teruskan menoleh ke teman Profesorku. Dengan raut muka yang agak lesu,
teman Profesorku menatapku dan aku bertanya, “lho kenapa tugasnya gak dikumpulkan??”. Dengan nada
membiru temanku itu menjawab, “sudah, tapi ditolak”. Aku sempat berfikir, mengapa aku tidak mendapat
penolakan apapun ya dari Mamiku??.
Dari situlah ku sadar bahwa aku memang tidak melakukan apa – apa sehingga aku tidak mendapatkan
penolakan itu. Padahal malam sebelumnya teman profesorku itu sempat memberikan pencerahan kepadaku
dengan memberiku secarik kertas surat elektronik yang berbunyi “sesama Profesor harus saling mengingatkan,
besok ada tugas resume Psikologi Pendidikan”, begitu dia menggodaku. Tetapi sedikitpun aku tidak tergoda,
karena malam itu aku sedang merayakan sebuah malam yang bersejarah bersama teman – temanku ditempat
mereka beradu.
Setelah ku sadar aku dalam keadaan kurang menguntungkan, ku putuskan untuk sedikit menebar
senyum pada mamiku, dan dia pun bertanya, “mana tugas mu??”, aku menjawab, “saya tidak bawa tugas bu’”,
ooowww, mentang – mentang kau sudah semester atas, kau tak bawa tugas, kau mau meracuni adik – adikmu
ini..??” bentaknya, ku tersenyum dan merespon halus, “tidak bu’, karena saya memang gak bawa tugas”, kiranya
ku telah meluluhkan hatinya, ku merasa tenang. Tetapi tanpa ku sadari Mamiku langsung menembakku dengan
pertanyaan yang memang tak ku harapkan datang padaku, “mana makalah dan bukumu??”, oowww, otak mulai
berputar keras, ku jawab dengan tenang, saya tidak bawa makalah dan buku bu’”, tanpa membentakku lagi,
Mamiku langsung menawarkan opsi menguntungkan bagiku, “kapan kau poto-kopi makalah itu?”, minggu
depan bu’, jawabku sigap.
Lulus sudah ujian ketika Mamiku beranjak ke teman sebelahku – teman Profesorku. Mamiku
bertanya, “mana bukumu?”, teman Profesorku itu dengan sedikit lesu menjawab, buku saya ketinggalan buk”.
Oooww,, hebat ya gak usah bawa buku kuliah. Aku merasa heran ketika teman Profesorku mengatakan
demikian, padahal malam hari itu dia memberiku pencerahan untuk bersiap untuk mengasup nutrisi Psikologi
Pendidikan itu. Tetapi, ku katakan saja pada diriku, “mungkin pak Propesor lagi mumet mikirin aliran
Filsafatnya yang belum ketemu pangkalnya”.
Sesudah aku dan teman Profesorku itu lolos dari jerat interogasi Mamiku, Mamiku menelusuri seluruh
kelas bak pak polisi yang sedang merazia. Ditemukanlah berbagai adik – adik kelasku membawa kumpulan
makalah tak berbaju. Gubrak......gubrak..... bunyi tumpahan buku itu setelah diterbangkan ke atas udara oleh
Mamiku itu. “kau perempuan, mengapa tidak kau usaha untuk menyatukan berbagai makalah itu dalam satu
buku dan kau sampul”, benakku kembali terusik, tetapi tetap ku tahan untuk melatih kekuatanku yang
sebenarnya. Duazzz... duazzzz... gebrakan mejapun menjadi iringan razia hari itu, sampai – sampai tembokpun
merinding ketakutan.
Padahal hari itu adalah jadwal demonstrasi makalah kelompok temanku, tetapi harus disita oleh
kekuatan rezim berdaulat. Akhirnya, setelah Mamiku sedikit puas untuk memberikan siraman rohani pagi 17
menit, dia kembali ke singgasananya sembari memilah hasil resuman yang telah terkumpulkan. Belum sempat
ku tatapkan muka pada Mamiku, terdengar bunyi, “ambil resume yang tidak memenuhi standar”, semua
masyarakat disana kaget dan panik seketika. Mamiku meneruskan instruksinya, “siapa suruh kau meresume di
kertas folio??”, adik – adik ku menjawab, “ibu sendiri”, mamiku merespon, “siapa bilang”, kembali adik ku
ngotot untuk membela kebenarannya, “lha saya dengar langsung dari MULUT ibu”, wah masalah besar ne.
Langsung mamiku menyambar dengan ringtone khasnya, “MULUTmu??, kenapa gak sekalian Congormu??”.
Adikku yang lugupun tersimpuh malu.
Akhirnya tibalah saat yang dinantikan – memanjakan rasio. Persiapan demonstrasipun telah
dilakukan, tetapi dasar SMA plus – plus kata Mamiku, mereka kesulitan untuk mempersiapkan demonstrasi
itu. Datanglah seorang temanku yang unik, mas Opo untuk membantu adik – adikku. Diatasilah sudah masalah
itu. Layarpun telah membuka halaman awal, presenter telah duduk tenang, dan moderatorpun telah dipilih
untuk mengawal demonstrasi itu, tetapi demonstrasi hampir dimulai, Mamiku berulah lagi. Dia langsung
menghabisi presenter sekalian kelompok – kelompoknya karena kesalahan penulisan kata dalam judul yang
kurang srek menurut mamiku, lantas operator pun harus mereview ulang materi. Setelah materi telah tereview,
berangkatlah sudah presenter kelangkah berikutnya. Dasar emang Mamiku super kritis, kali ini latar slide
(background) jadi sasaran. “tidak usah menggunakan latar yang aneh – aneh tetapi isinya tidak kelihatan,
bukannya saya tidak mau kalian kreatif, tetapi yang jelas donk” , ujar Mamiku.
Latarpun diubah, dan waktu semakin tergerus seiring kawalan super ketat Mamiku. Demonstrasipun
dilanjutkan hingga sampailah pada pembahasan isi, disinilah titik panas presenter dihabisi mati – matian oleh
Mamiku. Mereka dituntut untuk mendefinisikan setiap kata yang terkandung dalam tulisan itu, mulai usia
berapa anak itu dianggap kelas awal, hingga berapa jam siswa sekolah dasar akan merasa jenuh, hingga
penggunaan kata siswa menjadi peserta didik harus diterakan. Batinku berkata, “habislah kau sebelum kau
berperang”. Sementara Mamiku mengkritisi ini dan itu, teman Profesorku sesekali menggodaku untuk
membantai balik sang Mami tercinta. Tetapi pada waktu itu aku masih dalam ujianku yang sebenarnya. Ku
tebar senyum saja pada sang Profesor sembari menggelengkan kepala tanda ku tak setuju.
Mamiku yang super pinter dan calon Filsuf katanya, melanjutkan siraman rohani kepada masyarakat
plus – plus ini. Kali ini yang menjadi sasaran pembahasan Mamiku adalah alasan mereka dan aku mempelajari
Psikologi Pendidikan ini. Dia mengklaim kita sebagai Mahasiswa penerus bangsa yang payah. Tentu hal ini
beralasan. Mereka dan akupun sedikit menunduk untuk sedikit berfikir. “katanya Mamiku itu orang sabar
karena paham konstruktivismenya, tetapi kenapa malah menjudge kita demikian”, tanyaku dan mereka yang
lain. “kata Mamiku sebagai seorang guru harus memberikan kebebasan kepada peserta didiknya untuk
berekspresi, tetapi mengapa malah mengekang mereka dan aku dengan sistem keyakinan yang kurang
mendasar?”.
Kembali lagi pada persoalan demonstrasi. Dengan segala upaya mereka yang telah terlanjur berada di
depan mempertahankan eksistensi yang telah ditelanjangi Mamiku itu. Bagaimana tidak, segala bentuk
penelanjangan karakter dengan mengeluhkan anak didiknya dengan sebutan perempuan yang harus
dipertanyakan karena seringnya “mekangkang” dan mengatakan ciri fisik seseorang “kurus dan berpaha besar”
kepada seorang presenter di depan telah memposisikan Mamiku itu sebagai Tuhan Diraja di dalam kelas karena
kebenaran hanya berasal dari dirinya. Dia pun sempat menyinggung, bagaimana kau mau masuk syurga apabila
kau seperti ini (perihal penganggapan fenomena – fenomena yang terjadi di dalam kelas selama itu). Sekilas
ungkapan itu menjadi sesuatu yang ungkapan yang membunuh karakter dan mental masyarakat kelas itu.
Begitu mengalahnya mereka dan aku sehingga ketika Mamiku melontarkan pertanyaan seputar
bahasan khotbah Mamiku Rodlia Allahu Anhu, semua masyarakat menjawab “iya”. Iya dalam tanda kutip.
Kutipan itu sungguh mengkristal sehingga memunculkan rasa yang begitu komplek menusuk relung ego.
Betapapun hebat mereka dan aku dengan potensi yang mereka dan aku bawa, mati seketika setelah mendengar
khotbah itu. Maklum mirip khotbah jum’at yang da’ boleh diinterupsi.
Akhirnya waktupun berlalu tanpa adanya hasil diskusi masyarakat, karena waktu itu pun telah
menjadi bagian dari penampilan gemilang Mamiku itu. Padahal waktu itu dua kelompok menanti yang
seharusnya mendemonstrasikan makalah mereka. Tentu sangat kecewa hati mereka dan hatiku, karena waktu
mereka dan waktuku telah Mamiku ambil demi menunjukkan kepakarannya sebagai calon Filsuf. Disitupun
aku dan teman Profesorku berdiskusi kecil. “bukannya minggu kemarin Mami itu bilang “Al Waktu Kas Syaif
idza Lam Ta’ Toq Qothoaka”, sambut aku dan temanku itu. Tetapi mungkin mami calon filusufku itu dalam
keadaan khilaf sehingga kebenarannyapun harus meninggalkan dirinya.
Begitulah tinta hari yang harus kutuliskan dalam sejarah pembentukanku. Dimana ku dapatkan
sesuatu yang langka untuk kupahami, tetapi ku mendapatkannya. Sekalipun ku harus sedikit kecewa karena
ku tak dapat apa yang seharusnya ku dapatkan, tetapi ku mendapatkan sesuatu yang memang ku inginkan.
Begitulah celotehan intuisiku membisiki nalar manjaku. Sehingga waktu pula yang akan memberikan warna
masyarakat TerRajakan dipertemuan berikutnya.

Oleh: Imam Syafi’I


Malang, 9 Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai