PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta
akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah
kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah
salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat
dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa
memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan
dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka
darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan
disebut filsafat.
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang
ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang
Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa
tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak
kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat kenyataan yang
sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322
SM) yang juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato,
yang juga mencoba memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak
kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan
sebagainyaiv.
M).
Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang
dengan:
– experimental.
M - 1626 M).
1) Reduksi Fenomenologis.
2) Reduksi Eidetis.
3) Reduksi Transendental.
M - 1855 M).
- 1951 M).
M – 1980 M).
• Ia
mengangga
p manusia
bebas
memilih
moralitas
yang
diinginkan
hingga
menciptaka
n eksistensi
dirinya.
Manusia
melakukan
kebaikan,
pendidikan
bagi
keturunann
ya dan
hidup
bermasyara
kat.
• Ia juga
mengangga
p Tuhan
tidak ada
dan
manusia
dapat
memeranka
n peranan
Tuhan
(Vincent
Martin).
Williams).
BAB II
PEMBAHASAN
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana
terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun
tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia
perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya
1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal
positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman
obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya
Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin
Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari
tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga
B. Pengertian Fenomenologi.
memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang
artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal
yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah
fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang
lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang
kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau
di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada
dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu
pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar
untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
(tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air
untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut
asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar
Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii
ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan
C. Intensionalitas
sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung
dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu
bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa
kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh-
sungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih
menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari
mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran
itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan
obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama
antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran,
terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi
selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu Kita tidak
boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam
kardus”.
darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita,
sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana
tertentu.
objektivikasi tersebut.
korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah
pada dirinya yang lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam
korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain
daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh
sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita
melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya”. Tetapi
bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek
dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan
sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku
bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita menghadapi realitas. Karena
itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”.
Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah
hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran
pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan
pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat
pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat
segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif
dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain
yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu
sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman.
Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaranxix.
Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak
adalahxx:
tentangnya.
dilakukan “pengurungan”.
2. Reduksi Eidetis.
diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin
Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita
lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain
fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu,
saja.
sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara
Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan
idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat, di satu pihak Ia menafikan sama
sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak
menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan
tertinggi.
sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran,
justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang
murni.
E. Relevansi
secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-fenomena
yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa, salah satunya adalah tentang “Global Warming”. Adapun fenomena
yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun
yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan
dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya
sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan
hidup.
fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih
harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-kenomena alam bukan saja dari
luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan Fenomena yang berbicara pada
Kita”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa
menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada
benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu
sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita
filsafat utama.
lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl
membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak
hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal
yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti
berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan
etika.
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii.
xiv
xv
xvi
xvii
xviii
xix.
xx
xxi
xxii