Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasa

cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta

akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah

mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaani. Dalam perspektif pencarian

kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah

salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat

dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa

memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan

dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka

ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran

darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan

inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan

demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini

disebut filsafat.

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material

adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang

sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang


bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka

dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.

Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat

ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang

ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang

tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Jika ditinjau dari segi historis tentang sejarah perkembangan filsafat

maka Kita bisa membaginya ke dalam empat periodeii:

1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM – Akhir Abad 3 SM).

Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas

secara menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek

ilmu filsafat seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek

Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa

nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya yg terkenal adalah seperti

Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan

yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides yang

berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetapiii. Plato (427 –

347 SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara

mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang

tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak

kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat kenyataan yang
sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah

bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 – 322

SM) yang juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato,

yang juga mencoba memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak

pada yang berubah. Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk.

Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan

kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai

materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan

sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu

kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan

sebagainyaiv.

2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM – Awal Abad 15

M).

Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang

mana dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian ± 5 abad

kemudian ketika masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi

± 529 M. Filsafat dilarang dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke

Dogma Gereja. Yang pada akhirnya akan memunculkan para ktitikus-

kritikus yang menolak Dogma-Dogma Gereja ini, yang menganggap

bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia untuk memjadi lebih

maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan memunculkan


aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme (± abad ke 13) yaitu

Platonisme manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas

Aquines (1225 M – 1274 M).

3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M – Abad 19 M). Di tandai

dengan:

a. Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) untuk

membentuk mentalitas individual – kebebasan,

persamaan, emansipasi, serta otonomi diri.

b. Revolusi Copernicus (1473 M – 1543 M)

dengan teorinya bahwa Matahari merupakan

pusat alam semesta, serta teori Metode induktif

– experimental.

c. Zaman Aufklarung (pencerahan / abad 18 M)

Menggunakan akal budi dengan inti :

1) Ajaran Rasionalisme (Rene Descartes,

1596 M - 1650 M).

2) Ajaran Empirisme (Francis Bacon, 1561

M - 1626 M).

3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724


M - 1804 M).

4) Filsafat Pragmatisme (William James,

1842 M - 1910 M).

d. Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859

M - 1938 M) dengan teori kebenaran adalah

kenyataan benda itu sendiri. Ada tiga tahap

dalam metode fenomenologis yaitu :

1) Reduksi Fenomenologis.

2) Reduksi Eidetis.

3) Reduksi Transendental.

e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813

M - 1855 M).

4. Masa Kontemporer (Abad 20 M).

a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889 M

- 1951 M).

b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905

M – 1980 M).

• Ia
mengangga

p manusia

bebas

memilih

moralitas

yang

diinginkan

hingga

menciptaka

n eksistensi

dirinya.

Manusia

melakukan

kebaikan,

pendidikan

bagi

keturunann

ya dan

hidup

bermasyara

kat.

• Ia juga

mengangga
p Tuhan

tidak ada

dan

manusia

dapat

memeranka

n peranan

Tuhan

(Vincent

Martin).

c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard

Williams).

Dengan luasnya wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga

kontemporer, maka penulis berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya

dalam ranah filsafat periode masa modern dengan spesifikasi Filsafat

Fenomenologi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Edmund Husserl.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Edmund Husserl (1859 M - 1938 M).

Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund


Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia

mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat.

Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana

Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian

terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun

tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran

adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang

dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia

tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang

perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya

di Jerman dan Perancisv.

Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April

1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal

sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni

positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman

subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang fenomena

obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya

filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith

Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin

Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl,

Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari

psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl

berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia


mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu

di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari

tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan

penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga

kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat -

karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga

anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada

tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumoniavi.

B. Pengertian Fenomenologi.

Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari

phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan atau

memperlihatkanvii. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang

artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena

bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal

yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai

ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah

fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang

lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang

kritisviii. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau

apa yang menampakkan diriix.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.

Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas

di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada

dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu

melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk

memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-

pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu

teori umum di luar substansi sesungguhnyax.

Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi

ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaranxi, Pertanyaannya adalah

bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena

sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar

mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat

pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar

untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi

kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur

yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi

memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme,

Kita akan terjebak pada dikotomixii (subyek-obyek yang menyesatkan atau

bertentangan satu sama lain).


Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis

(tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air

untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut

asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar

filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano.

Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigorisxiii

(sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya

suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan

ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan

penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat

tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh

langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni.

C. Intensionalitas

Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi

langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai

sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung

diberikan kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh

diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi

dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara

langsung kepada Kita sebagai subjekxiv.

“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung


yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada

realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut

kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki

kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen

harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian

baru untuk intensionalitas kesadaranxv. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan

tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu

bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa

kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya

tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena

kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguh-

sungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih

menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari

sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti

mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran

itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan

obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama

antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran,

obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.

Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang

terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi

selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu Kita tidak
boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam

kardus”.

Pengalaman bukanlah sebuah “celah” yang mana, dunia hadir terpisah

darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang

asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita,

sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana

sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana

pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannyaxvi.

Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:

1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya

bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk

kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek

tertentu.

2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini

merupakan akibat objektivikasi tadi, dalam arti bahwa

berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian

masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil

objektivikasi tersebut.

3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu

objek dengan segi-segi yang mendampinginya.

4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusixvii.


“Konstitusi” merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada

kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat

korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah

aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran

pada dirinya yang lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam

korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain

daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh

kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami

oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensionalxviii.

Sebagai contoh dari konstitusi: “Kita melihat suatu gelas, tetapi

sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita

melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya”. Tetapi

bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek

telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis

dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan

sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku

bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat

manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita menghadapi realitas. Karena

itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”.

Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi nyata dalam kesadaran,

adalah merupakan suatu aspek historis.


D. Tiga Jenis Reduksi

Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya.

Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah

hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran

pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan

pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat

pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat

dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi, yaitu penundaan

segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif

dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain

yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu

di antara dua kurung (metode bracketing). Maksudnya adalah melupakan

pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek

secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada

sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman.

Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaranxix.

Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam

pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan

Reduksi Fenomenologi Transedental.


1. Reduksi Fenomenologis.

Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap Kita harus obyektif,

terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Walaupun

demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak

disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang

diteliti hanya yang sejauh Kita sadari.

Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini

adalahxx:

a. Dengan “mengurung” atau bracketing yaitu

meminggirkan keyakinan Kita akan totalitas obyek-

obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya dari

pendirian alamiah ataupun bahkan pengalaman Kita

tentangnya.

b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah

dilakukan “pengurungan”.

2. Reduksi Eidetis.

Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang

diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin

menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen-nya (hakikat).

Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita

melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam

arti umum, misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan


suatu inti yang tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula

hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, “manusia adalah

binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur

dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki,

lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain

yang disadarixxi. Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk

mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu

fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu,

dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu

mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau

eksistensial. Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”.

Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaan-

perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi

saja.

3. Reduksi Fenomenologis Transedental.

Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala

sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara

dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut dapat

memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini

sudah bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus

pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran,

yakni mengenai kesadaran sendiri yang bersifat transedental.

Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya


kesadaran transedentalxxii.

Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund

Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan

sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya.

Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl

ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan

sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan

bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai pengalaman “supra-

empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori.

Husserl agaknya telah mampu mensintetesiskan sekaligus

mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu

idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat, di satu pihak Ia menafikan sama

sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak

menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran

tertinggi.

Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan yang

mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan

sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran,

justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang

murni.
E. Relevansi

Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik

secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-fenomena

yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam

media masa, salah satunya adalah tentang “Global Warming”. Adapun fenomena

yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun

tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat fenomena-fenomena alam

yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan

dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya

lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang Kita

yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan

sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan

hidup.

Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-

fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih

aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Karena Kita

harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-kenomena alam bukan saja dari

luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. “Biarkan Fenomena yang berbicara pada

Kita”.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun

masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang

bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu

kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).

Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa

adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu

menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada

benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu

sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita

itulah yang disebut fenomena.

Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan

strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena

kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya,

dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan

filsafat utama.

Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi

lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl

kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain, M. Scheler dan Merleau-

Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita harus memperkenalkan gejala-

gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan


argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai

“hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada Kita kalau Kita

membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak

hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal

yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan “bahasa” ini akan dapat dimengerti

berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan

manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan

etika.
i

ii

iii

iv

vi

vii
viii

ix

xi

xii

xiii.

xiv

xv

xvi

xvii

xviii

xix.
xx

xxi

xxii

Anda mungkin juga menyukai