Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum kewarisan Islam didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an. Sebagian dari
ayat-ayat kewarisan ini sudah begitu jelas dan pasti. Diantara ayat-ayat tersebut ada yang
masih memerlukan penjelasan dari Nabi, baik penjelasan arti, pembatasan maksud dan
perluasan makna. Penjelasan nabi ini terdapat dalam sunnah nabi atau Hadits. Firman
Allah dalam Al-Qur’an dan sabda Nabi dalam Sunnah-yang berfungsi menjelaskan Al-
Qur’an-yang berbicara tentang hukum itu disebut syari’ah. Dalam merumuskan maksud
ayat Al-Qur’an dan penjelasan Nabi tersebut menjadi aturan yang terurai untuk dapat
dijadikan pedoman dalam berbuat yang disebut operasional, diperlukan daya piker pakar
yang disebut ijtihad. Ijtihad inilah yang kemudian disebut dengan fikih. Bila firman allah
dan sabda nabi itu disebut syari’ah, maka fikih itu disebut penerapan syari’ah dalam
bentuknya yang terurai secara operasional dalam bentuk hukum.hukum kewarisan Islam
yang didasarkan kepada wahyu Allah dan sunnah Nabi adalah ajaran agama atau fikih
tentang kewarisan yang harus dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam menyelesaikan
masalah harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia.
Dalam permasalahan perdata, di Indonesia kita mengenal tiga macam sumber
hukum yang dijadikan pedoman bagi penyelesaian setiap permasalahan yang terjadi
sehari-hari. Sumber hukum tersebut yakni KUHP(BW), Kebiasaan atau Adat, dan
Hukum Islam. Dibandingkan ketiga sumber hukum tersebut, maka hanya KUHP dan
Hukum Islamlah yang memiliki aturan yang jelas dan tertulis, karena dalam hukum adat
aturannya berbeda-beda disetiap daerah tergantung dari aturan yang mereka buat. Oleh
karena itu, dalam makalah ini saya akan mencoba membandingkan hubungan perdata
kewarisan dalam KUHP dengan kewarisan dalam Hukum Islam dilihat dari unsur-unsur
kewarisannya.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah unsur-unsur kewarisan dalam islam?
2. Bagaimanakah unsur-unsur kewarisan dalam BW?

1
Hukum Perdata Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Kewarisan dalam Islam


1. Pewaris
Pewaris yang dalam literatur fikih disebut al-muwarrits, ialah seseorang yang telah
meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang
masih hidup. Berdasarkan prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris
berlaku sesudah matinya pewaris, maka kata pewaris itu sebenarnya tepat untuk
pengertian seseorang yang telah mati. Atas dasar prinsip ijbari maka pewaris itu
menjelang kematiannya tidak berhak menentukan siapa yang akan mendapatkan harta
peninggalannya, karena semua telah ditentukan secara pasti oleh Allah SWT.
Kemerdekannya bertindak atas harta itu terbatas pada jumlah sepertiga dari hartanya itu.
Syarat yang harus dipenuhi berkenaan dengan pewars ini adalah “telah jelas
matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat kematian, yang berarti bahwa harta
pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah kematiannya. Bila seseorang tidak jelas
kematiananyadan tidak ada pula berita tentang hidup atau matinya maka harta tetap
menjadi miliknya yang utuh sebagaimana dalam keadaan yang jelas
hidupnya.menganggap seseorang itu masih hidup selama belum ada kepastian tentang
kematiannya, dikalangan ushul fikih disebut “mengamalkan prinsip istishhab al-sifah”.1
2. Harta warisan
Harta warisan menurut hukum islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh
pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini
dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan
adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada
seseorang saat kematiannya; sedangkan harta warisan adalah harta peninggalan yang
secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.
Kalau diperhatikan ayat-ayat al-qur’an yang menetapkan hukum kewarisan , terlihat
bahwa untuk harta warisan Allah SWT. Meenggunakan kata “apa-apa yang ditinggalkan”
oleh si meninggal. Kata-kata itu didapati sebelas kali disebutkan dalam hubungan

1
Abu Zahrah, 1957,hlm.285

2
Hukum Perdata Islam
kewarisan, yaitu dua kali dalam surah an-Nisa’ ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali
dalam dua surah al-Nisa’ ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu
kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176.
Setiap kata-kata “ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut diatas didahului oleh kata
“apa-apa”. Dalam bahasa arab kata “maa” itu disebut al-mawshul yang hubungannya
dengan maknanya mengandung pengertian umum.2 Dalam pengertian ini kata “apa-apa
yang ditinggalkan” itu adalah umum. Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir
ayat 7 surah an-Nisa, yang terjemahannya ialah: “…..baik apa yang ditinggalkan itu
sedikit ataupun banyak….”
Bahwa tidak keseluruhan dari apa yang ditinggalkan pewaris itu menjadi hak ahli
waris dapat dipahami dari dikaitkannya pelaksanaan pembagian warisan itu kepada
beberapa tindakan yang mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal
yaitu membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan segala utang
yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat 11
sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga kali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan adalah apa yang
ditingalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain di dalamnya.
Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama
Hanafi.3

Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah untuk harta warisan yaitu
“apa-apa yang ditinggalkan” yang dalam pandangan ahli ushul fikih berarti umum, maka
dapat dikatakan bahwa harta warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim
adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.

Tentang yang menyangkut dengan hak-hak yang bukan berbentuk benda, oleh karena
tidak ada petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an maupun hadits nabi, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan hukumnya. Dalam menentukan bentuk hak
yang mungkin dijadikan harta warisan menurut perbedaan pendapat para ulama tersebut

2
Abu Zahrah, op cit, hlm.150
3
Ibnu Abidin, 1966, VI, hlm. 759

3
Hukum Perdata Islam
Dr. Yusuf Musa mencoba membagi hak tersebut kepada beberapa bentuk sebagai
berikut:4

 Hak kebendaan, yang dari segi haknya tidak dalam rupa benda/harta tetapi karena
hubungannya yang kuat dengan harta dinilai sebagai harta; seperti hak lewat dijalan
umum dan hak pengairan;
 Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut pribadi si meninggal seperti hak mencabut
pemberian kepada seseorang;
 Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak si mayit, seperti hak khiyar
(pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan sebuah transaksi);
 Hak-hak bukan berbentuk benda dan menyangkut pribadi seseorang seperti hak ibu
untuk menyusukan anak.

Tentang hak-hak mana diantara hak-hak tersebut diatas yang dapat diwariskan dapat
dirumuskan sebagai berikut:

 Hak—hak yang oleh ulama disepakati dapat diwariskan yaitu hak-hak kebendaan
yang dapat dinilai dengan harta seperti hak melewati jalan.
 Hak-hak yang disepakati oleh ulama tidak dapat diwariskan yaitu hak-hak yang
bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak kewalian ayah atas anaknya.
 Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama tentang kelegalan pewarisannya adalah
hak-hak yang tidak bersifat pribadi dan tidak pula bersifat kebendaan, seperti hak
khiyar dan hak pencabutan pemberian.

Yang menyangkut dengan utang-utang dari yang meninggal, menurut hukum Islam
tidak dapat diwarisi, dengan arti bukan kewajiban ahli waris untuk melunasinya dengan
hartanya sendiri. Kewajiban dari ahli waris untuk melunasinya dengan harta sendiri.
Kewajiban dari ahli waris hanya sekedar menolong membayarkan utangnya dari harta
peninggalannya sebanyak yang dapat dibayar atau ditutupi oleh hartanya itu. Tidak ada
kewajiban ahli waris untuk menutupi kekurangannya dengan hartanya sendiri.

4
Yusuf Musa, 1960, hlm. 96

4
Hukum Perdata Islam
3. Ahli waris
Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima
warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan
dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan
perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan
terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris;
b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan;
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

Ahli waris dalam hubungan kerabat

a. Anak laki-laki dan perempuan


b. Cucu baik laki-laki maupun perempuan
c. Ayah
d. Ibu
e. Kakek
f. Nenek
g. Saudara
h. Anak saudara
i. Anak paman

Ahli waris dalam hubungan perkawinan

Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan adalah suami atau istri.
Suami menjadi ahli waris bagi isterinya dan sebaliknya isteri adalah ahli waris bagi
suaminya. Kedudykan suami atau isteri sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam surah
An-Nisa ayat 12.

Adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan tidak


menyebabkan hak kewarisan apapun terhadap kerabat isteri maupun kerabat suami.
Dalam hal ini anak tiri dari suami bukanlah ahli waris dari suami; demikian pula anak tiri
dari isteri bukanlah ahli waris dari isteri.

5
Hukum Perdata Islam
Status pewarisan anak di luar kawin dalam islam

Dalam hukum islam diterapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang
sekurang-kurangnya mesti ada antara waktu nikah si isteri dan kelahiran si anak; dan lagi
suatu tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan
kelahiran anak atau yang biasa disebut masa idah. Adapun tenggang yang dimaksud yaitu
sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelahiran si anak adalah 6 bulan sedang
tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran
anak yaitu tenggang iddah ialah 4bln dan 10 hari. 5

Menegnai tenggang waktu ini ada aliran diantara ahli fiqih yang berpendapat
seorang anak lahir setelah melampaui tenggang iddah sesudah perkawinan terputus,
adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan
oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami isteri itu. Dengan adanya perbedaan
pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang waktu maksimum selama empat tahun, asal
saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun tadi ibunya tidak mengeluarkan kotoran.6

Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapak-
bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya saja.7

Agaknya pandangan ini didasarkan Hadits Rasulullah bersumber dari Ibnu Umar
yang artinya:

“seorang laki-laki telah me’lian isterinya pada zaman Nabi Muhammad SAW.,
dan menafikan anak yang lahir dari rahim isterinya tersebut. Nabi Muhammad
menceraikan keduanya dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya. (HR. Al-
Bukhari dan Abu Daud).”

5
Oemarsalim,S.H. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, halaman 66-67
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), h. 72.
7
Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Halaman 280

6
Hukum Perdata Islam
Pada riwayat lain juga ada penjelasan:Rasulullah SAW. Menetapkan hak waris
anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya. (Abu Daud)

KHI sebagaimana terlihat juga memberikan aturan-aturan yang mirip untuk tidak
mengatakan persis sama dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam UUP.8

Pasal 99: “Anak sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.


b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.9

Pasal 100:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.”10

Oleh karena itu sudah jelaslah bahwa seorang anak diluar perkawinan itu dalam
islam telah diatur bahwa hanya akan mewarisi dan memiliki hubungan kewarisan dengan
ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan bapaknya.

B. Unsur-Unsur Kewarisan dalam KUHP(BW)


1. Pewaris

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun


perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh
beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan
surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:

8
Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Halaman
281-283.
9
Kompilasi Hukum Islam Pasal 99
10
Kompilasi Hukum Islam Pasal 100

7
Hukum Perdata Islam
a. menurut ketentuan undang-undang;
b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).

Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum


seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang
yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.

Tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang
apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-
undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang
tersebut. Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan
pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah
“suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat utama
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal
dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat
masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia
surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.

Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat


wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat,
maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab
intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud
untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.

2. Harta warisan

Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem
hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah
harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut

8
Hukum Perdata Islam
sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang bebas dari
tuntutan kreditur pewaris.

Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW
itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap
ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli
waris, antara lain:

a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);


b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun
firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah
seoranganggota/persero.

Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu
terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris
pemilik hak tersebut, yaitu:

a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;


b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari
bapak atau ibunya.

Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW


mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli
warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian
ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang,
segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. 11Peralihan hak dan kewajiban dari
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Adapun yang dimaksud
dengan saisine yaitu:

11
KUHPerdata pasal 833 ayat 1

9
Hukum Perdata Islam
“Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa
memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum
mengetahui tentang adanya warisan itu.”

Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau
harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari
siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan
akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.

Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau
asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849
BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-
barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. 12 Sistem
hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan
“macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.

Dalam hukum BW harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah,


maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu
kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.

3. Ahli waris

Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu:
Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan, yaitu:

a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta
keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling
lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai

12
KUHPerdata pasal 849

10
Hukum Perdata Islam
ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling
mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara,
baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada
peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼
(seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama
saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak
membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama
jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggiderajatnya
menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau
testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si
pembuat wasiat.

Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang
ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti
juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat
atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari
pewaris.

Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahliwaris yang manakah
yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris
menurut surat wasiat?

Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang surat


wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-
undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk

11
Hukum Perdata Islam
membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam BW
yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris
menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu:
“Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau
pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian
mutlak”.13

Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime portie” ini termasuk
ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke
atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta
peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan dalam bukunya,


bahwa “peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang sebagai
pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testamen menurut
sekehendak hatinya sendiri”.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan menerima sejumlah


harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:

a. Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW);14


b. Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak
yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat
dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam
kandungan juga sudah diatur haknya oleh hokum sebagai ahli waris dan telah
dianggap cakap untuk mewaris;
c. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan
oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau
tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
13
KUHPerdata pasal 881 ayat 2
14
KUHPerdata Pasal 830

12
Hukum Perdata Islam
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran
oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan.
Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan
sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan
dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiaire”, yang merupakan
suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan.

Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap
tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai
jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW).15 Setelah jangka waktu
yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:

a. Menerima warisan dengan penuh;


b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan
membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau
disebut dengan istilah ”menerima warisan secara beneficiaire”;
c. Menolak warisan.

Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara beneficiaire atau
menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa
kewajiban yaitu:

a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;

b) wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;

c) wajib membereskan urusan waris dengan segera;

d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak maupun
kreditur pemegang hipotik;

15
KUHPerdata Pasal 1024

13
Hukum Perdata Islam
e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris, maupun
kepada orang-orang yang menerima pemberian secara “legaat”;

f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.

Pengertian LegaatR. Subekti, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata”


menerangkan pengertian legaat yaitu suatu pemberian kepada seseorang yang bukan ahli
waris melalui surat wasiat, berupa :

1) satu atau beberapa benda tertentu;

2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya memberikan seluruh benda
bergerak;

3) hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan;

4) sesuatu hak lain terhadap harta peninggalan.

Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia bukan ahli waris
maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia hanya mempunyai hak
untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.16

Hak waris anak luar kawin

Seorang anak sah(wettig kind) ialah anak yang lahir (dianggap lahir) dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Untuk menentukan keabsahan seorang
anak, ditentukan lahir minimal 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, atau
maksimal 300 hari setelah hari perceraian perkawinan orang tuanya (pasal 251,255). 17
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, atau dilahirkan sebelum 180 hari dari
hari perceraian perkawinan orang tuanya, disebut anak luar kawin (natuurlijk kind).

16
Joehasan, Hukum waris Perdata BW, diambil melalui (http://www.slideshare.net/joehasan/hukum-
waris-perdata-bw/download/html), pada tanggal 12/12/2010, pukul: 13:34 WIB.

17
KUHPerdata Pasal 251,255

14
Hukum Perdata Islam
Dalam BW semua anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum dengan
pihak orang tua (laki-laki dan perempuan) yang menyebabkan kelahiran orang tersebut.
Anak luar kawin baru dapat mempunyai hubungan hukum dengan pihak laki-laki atau
perempuan yang menyebabkan kelahirannya, kalau ada pengakuan (erkening) atau
pengesahan (wett/ging) dari laki-laki dan perempuan tersebut. Dalam pewarisan anak luar
kawin dikenal dengan adanya istilah Hukum waris aktif dan hukum wais pasif. Hukum
waris aktif mengatur tentang perolehan oleh anak luar kawin dari harta peninggalan
seseorang. Sedang hukum waris pasif mengatur perolehan seseorang dari peninggalan
harta anak luar kawin.

Pasal 862 sampai dengan pasal 866 dan 873 mengatur hak waris aktif dari anak-
anak luar kawin. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan, bahwa pada dasarnya hak anak-
anak luar kawin ini sama dengan keluarga sedarah yang sah. Mereka adalah benar-benar
sebagai ahli waris. Besarnya bagian anak luar kawin itu ditentukan sebagai berikut (pasal
862-873):

1. Mendapat sepertiga bagian dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya,
andaikata mereka anak0anak sah, apabila mewarisi bersama-sama dengan
golongan kesatu (pasal 863)
2. Mendapat setengah dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya
andaikata mereka anak-anak sah, apabila mereka bersama-sama dengan keluarga
sedarah dalam garis keatas dan atau bersama-sama dengan saudara-saudara atau
keturunannya (golongan kedua dan ketiga) (pasal 863)
3. Mendapat tiga perempat dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya
andaikata mereka anak-anak sah, apabila mereka bersama-sama dengan keluarga
sedarah dalam derajat yang lebih jauh (golongan keempat) (pasal 863)
4. Jika si pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka anak-anak luar
kawin tersebut mendapat seluruh harta warisan.

Pada dasarnya, anak-anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan
pihak orang tua yang mengakuinya. Adapun dengan keluarga sedarah dari orang tua yang
mengakui tersebut mereka tidak mempunyaihubungan hukum sama sekali. Jadi mereka
tidak berhak terhadap barang-barang keluarga sedarah orang tua yang mengakuinya

15
Hukum Perdata Islam
(pasal 872). Dengan pengecualian, apabila keluarga sedarah dari orang tua yang
mengakui tersebut tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat yang mengizinkan
pewarisan, maka anak luar kawin tersebut berhak menuntut seluruh harta warisan dengan
mengenyampingkan negara (pasal873)

16
Hukum Perdata Islam
BAB III

KESIMPULAN

Hukum Islam KUHPerdata


Pewaris “Seseorang yang telah meninggal Pewaris adalah seseorang yang
dunia dan meninggalkan sesuatu meninggal dunia, baik laki-laki
yang dapat beralih kepada maupun perempuan yang
keluarganya yang masih hidup.” meninggalkan sejumlah harta
kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan
selama hidupnya, baik dengan surat
wasiat maupun tanpa surat wasiat.

Seluruh harta benda beserta hak-hak


Harta Warisan Sesuatu yang ditinggalkan oleh
dan kewajiban-kewajiban pewaris
pewaris yang secara hukum dapat
dalam lapangan hukum harta
beralih kepada ahli warisnya.
kekayaan yang dapat dinilai dengan
uang.

Ahli waris menurut undang undang


Ahli Waris Ahli waris atau disebut juga warits
atau ahli waris ab intestate
dalam istilah fikih ialah orang yang
berdasarkan hubungan darah
berhak atas harta warisan yang
terdapat empat golongan, yaitu:
ditinggalkan oleh orang yang
meninggal. Yang berhak menerima Golongan pertama, keluarga dalam
warisan adalah orang yang garis lurus ke bawah, meliputi anak-
mempunyai hubungan kekerabatan anak beserta keturunan mereka
atau hubungan perkawinan dengan beserta suami atau isteri yang
pewaris yang meninggal. ditinggalkan / atau yang hidup
Ahli waris dalam hubungan kerabat paling lama. Suami atau isteri yang
1. Anak laki-laki dan perempuan ditinggalkan / hidup paling lama ini

17
Hukum Perdata Islam
2. Cucu baik laki-laki maupun
baru diakui sebagai ahli waris pada
perempuan
tahun 1935, sedangkan sebelumnya
3. Ayah
suami / isteri tidak saling mewarisi;
4. Ibu
5. Kakek
Golongan kedua, keluarga dalam
6. Nenek
garis lurus ke atas, meliputi orang
7. Saudara
tua dan saudara, baik laki-laki
8. Anak saudara
maupun perempuan, serta keturunan
9. Anak paman
mereka. Bagi orang tua ada
Disamping adanya hubungan
peraturan khusus yang menjamin
kekerabatan dan perkawinan itu,
bahwa bagian mereka tidak akan
mereka baru berhak menerima
kurang dari ¼ (seperempat) bagian
warisan secara hukum dengan
dari harta peninggalan, walaupun
terpenuhinya persyaratan sebagai
mereka mewaris bersamasama
berikut:
saudara pewaris;
a. Ahli waris itu telah atau masih
hidup pada waktu meninggalnya Golongan ketiga, meliputi kakek,
pewaris; nenek, dan leluhur selanjutnya ke
b. Tidak ada hal-hal yang atas dari pewaris;
menghalanginya secara hukum
Golongan keempat, meliputi
untuk menerima warisan;
anggota keluarga dalam garis ke
c. Tidak terhijab atau tertutup
samping dan sanak keluarga lainnya
secara penuh oleh ahli waris
sampai derajat keenam.
yang lebih dekat.

18
Hukum Perdata Islam

Anda mungkin juga menyukai