PENDAHULUAN
1
Hukum Perdata Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abu Zahrah, 1957,hlm.285
2
Hukum Perdata Islam
kewarisan, yaitu dua kali dalam surah an-Nisa’ ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali
dalam dua surah al-Nisa’ ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu
kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176.
Setiap kata-kata “ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut diatas didahului oleh kata
“apa-apa”. Dalam bahasa arab kata “maa” itu disebut al-mawshul yang hubungannya
dengan maknanya mengandung pengertian umum.2 Dalam pengertian ini kata “apa-apa
yang ditinggalkan” itu adalah umum. Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir
ayat 7 surah an-Nisa, yang terjemahannya ialah: “…..baik apa yang ditinggalkan itu
sedikit ataupun banyak….”
Bahwa tidak keseluruhan dari apa yang ditinggalkan pewaris itu menjadi hak ahli
waris dapat dipahami dari dikaitkannya pelaksanaan pembagian warisan itu kepada
beberapa tindakan yang mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal
yaitu membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan segala utang
yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat 11
sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga kali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan adalah apa yang
ditingalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain di dalamnya.
Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama
Hanafi.3
Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah untuk harta warisan yaitu
“apa-apa yang ditinggalkan” yang dalam pandangan ahli ushul fikih berarti umum, maka
dapat dikatakan bahwa harta warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim
adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.
Tentang yang menyangkut dengan hak-hak yang bukan berbentuk benda, oleh karena
tidak ada petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an maupun hadits nabi, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan hukumnya. Dalam menentukan bentuk hak
yang mungkin dijadikan harta warisan menurut perbedaan pendapat para ulama tersebut
2
Abu Zahrah, op cit, hlm.150
3
Ibnu Abidin, 1966, VI, hlm. 759
3
Hukum Perdata Islam
Dr. Yusuf Musa mencoba membagi hak tersebut kepada beberapa bentuk sebagai
berikut:4
Hak kebendaan, yang dari segi haknya tidak dalam rupa benda/harta tetapi karena
hubungannya yang kuat dengan harta dinilai sebagai harta; seperti hak lewat dijalan
umum dan hak pengairan;
Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut pribadi si meninggal seperti hak mencabut
pemberian kepada seseorang;
Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak si mayit, seperti hak khiyar
(pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan sebuah transaksi);
Hak-hak bukan berbentuk benda dan menyangkut pribadi seseorang seperti hak ibu
untuk menyusukan anak.
Tentang hak-hak mana diantara hak-hak tersebut diatas yang dapat diwariskan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Hak—hak yang oleh ulama disepakati dapat diwariskan yaitu hak-hak kebendaan
yang dapat dinilai dengan harta seperti hak melewati jalan.
Hak-hak yang disepakati oleh ulama tidak dapat diwariskan yaitu hak-hak yang
bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak kewalian ayah atas anaknya.
Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama tentang kelegalan pewarisannya adalah
hak-hak yang tidak bersifat pribadi dan tidak pula bersifat kebendaan, seperti hak
khiyar dan hak pencabutan pemberian.
Yang menyangkut dengan utang-utang dari yang meninggal, menurut hukum Islam
tidak dapat diwarisi, dengan arti bukan kewajiban ahli waris untuk melunasinya dengan
hartanya sendiri. Kewajiban dari ahli waris untuk melunasinya dengan harta sendiri.
Kewajiban dari ahli waris hanya sekedar menolong membayarkan utangnya dari harta
peninggalannya sebanyak yang dapat dibayar atau ditutupi oleh hartanya itu. Tidak ada
kewajiban ahli waris untuk menutupi kekurangannya dengan hartanya sendiri.
4
Yusuf Musa, 1960, hlm. 96
4
Hukum Perdata Islam
3. Ahli waris
Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima
warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan
dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan
perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan
terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris;
b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan;
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.
Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan adalah suami atau istri.
Suami menjadi ahli waris bagi isterinya dan sebaliknya isteri adalah ahli waris bagi
suaminya. Kedudykan suami atau isteri sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam surah
An-Nisa ayat 12.
5
Hukum Perdata Islam
Status pewarisan anak di luar kawin dalam islam
Dalam hukum islam diterapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang
sekurang-kurangnya mesti ada antara waktu nikah si isteri dan kelahiran si anak; dan lagi
suatu tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan
kelahiran anak atau yang biasa disebut masa idah. Adapun tenggang yang dimaksud yaitu
sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelahiran si anak adalah 6 bulan sedang
tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran
anak yaitu tenggang iddah ialah 4bln dan 10 hari. 5
Menegnai tenggang waktu ini ada aliran diantara ahli fiqih yang berpendapat
seorang anak lahir setelah melampaui tenggang iddah sesudah perkawinan terputus,
adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan
oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami isteri itu. Dengan adanya perbedaan
pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang waktu maksimum selama empat tahun, asal
saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun tadi ibunya tidak mengeluarkan kotoran.6
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapak-
bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya saja.7
Agaknya pandangan ini didasarkan Hadits Rasulullah bersumber dari Ibnu Umar
yang artinya:
“seorang laki-laki telah me’lian isterinya pada zaman Nabi Muhammad SAW.,
dan menafikan anak yang lahir dari rahim isterinya tersebut. Nabi Muhammad
menceraikan keduanya dan mempertemukan nasab anaknya kepada ibunya. (HR. Al-
Bukhari dan Abu Daud).”
5
Oemarsalim,S.H. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, halaman 66-67
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), h. 72.
7
Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Halaman 280
6
Hukum Perdata Islam
Pada riwayat lain juga ada penjelasan:Rasulullah SAW. Menetapkan hak waris
anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya. (Abu Daud)
KHI sebagaimana terlihat juga memberikan aturan-aturan yang mirip untuk tidak
mengatakan persis sama dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam UUP.8
Pasal 100:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.”10
Oleh karena itu sudah jelaslah bahwa seorang anak diluar perkawinan itu dalam
islam telah diatur bahwa hanya akan mewarisi dan memiliki hubungan kewarisan dengan
ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan bapaknya.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
8
Dr. H. Amiur Nuruddin, MA dan Drs Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Halaman
281-283.
9
Kompilasi Hukum Islam Pasal 99
10
Kompilasi Hukum Islam Pasal 100
7
Hukum Perdata Islam
a. menurut ketentuan undang-undang;
b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).
Tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang
apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-
undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang
tersebut. Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan
pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah
“suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat utama
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal
dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat
masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia
surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.
2. Harta warisan
Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem
hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah
harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut
8
Hukum Perdata Islam
sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang bebas dari
tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW
itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap
ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli
waris, antara lain:
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu
terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris
pemilik hak tersebut, yaitu:
11
KUHPerdata pasal 833 ayat 1
9
Hukum Perdata Islam
“Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa
memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum
mengetahui tentang adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau
harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari
siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan
akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau
asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849
BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-
barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. 12 Sistem
hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan
“macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.
3. Ahli waris
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu:
Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta
keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling
lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai
12
KUHPerdata pasal 849
10
Hukum Perdata Islam
ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling
mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara,
baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada
peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼
(seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama
saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak
membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama
jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggiderajatnya
menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau
testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si
pembuat wasiat.
Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang
ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti
juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat
atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari
pewaris.
Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahliwaris yang manakah
yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris
menurut surat wasiat?
11
Hukum Perdata Islam
membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam BW
yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris
menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu:
“Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau
pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian
mutlak”.13
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime portie” ini termasuk
ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke
atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta
peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris.
12
Hukum Perdata Islam
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran
oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan.
Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan
sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan
dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiaire”, yang merupakan
suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap
tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai
jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW).15 Setelah jangka waktu
yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:
Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara beneficiaire atau
menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa
kewajiban yaitu:
a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;
d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak maupun
kreditur pemegang hipotik;
15
KUHPerdata Pasal 1024
13
Hukum Perdata Islam
e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris, maupun
kepada orang-orang yang menerima pemberian secara “legaat”;
f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.
2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya memberikan seluruh benda
bergerak;
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia bukan ahli waris
maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia hanya mempunyai hak
untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.16
Seorang anak sah(wettig kind) ialah anak yang lahir (dianggap lahir) dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Untuk menentukan keabsahan seorang
anak, ditentukan lahir minimal 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, atau
maksimal 300 hari setelah hari perceraian perkawinan orang tuanya (pasal 251,255). 17
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, atau dilahirkan sebelum 180 hari dari
hari perceraian perkawinan orang tuanya, disebut anak luar kawin (natuurlijk kind).
16
Joehasan, Hukum waris Perdata BW, diambil melalui (http://www.slideshare.net/joehasan/hukum-
waris-perdata-bw/download/html), pada tanggal 12/12/2010, pukul: 13:34 WIB.
17
KUHPerdata Pasal 251,255
14
Hukum Perdata Islam
Dalam BW semua anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum dengan
pihak orang tua (laki-laki dan perempuan) yang menyebabkan kelahiran orang tersebut.
Anak luar kawin baru dapat mempunyai hubungan hukum dengan pihak laki-laki atau
perempuan yang menyebabkan kelahirannya, kalau ada pengakuan (erkening) atau
pengesahan (wett/ging) dari laki-laki dan perempuan tersebut. Dalam pewarisan anak luar
kawin dikenal dengan adanya istilah Hukum waris aktif dan hukum wais pasif. Hukum
waris aktif mengatur tentang perolehan oleh anak luar kawin dari harta peninggalan
seseorang. Sedang hukum waris pasif mengatur perolehan seseorang dari peninggalan
harta anak luar kawin.
Pasal 862 sampai dengan pasal 866 dan 873 mengatur hak waris aktif dari anak-
anak luar kawin. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan, bahwa pada dasarnya hak anak-
anak luar kawin ini sama dengan keluarga sedarah yang sah. Mereka adalah benar-benar
sebagai ahli waris. Besarnya bagian anak luar kawin itu ditentukan sebagai berikut (pasal
862-873):
1. Mendapat sepertiga bagian dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya,
andaikata mereka anak0anak sah, apabila mewarisi bersama-sama dengan
golongan kesatu (pasal 863)
2. Mendapat setengah dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya
andaikata mereka anak-anak sah, apabila mereka bersama-sama dengan keluarga
sedarah dalam garis keatas dan atau bersama-sama dengan saudara-saudara atau
keturunannya (golongan kedua dan ketiga) (pasal 863)
3. Mendapat tiga perempat dari bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya
andaikata mereka anak-anak sah, apabila mereka bersama-sama dengan keluarga
sedarah dalam derajat yang lebih jauh (golongan keempat) (pasal 863)
4. Jika si pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka anak-anak luar
kawin tersebut mendapat seluruh harta warisan.
Pada dasarnya, anak-anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan
pihak orang tua yang mengakuinya. Adapun dengan keluarga sedarah dari orang tua yang
mengakui tersebut mereka tidak mempunyaihubungan hukum sama sekali. Jadi mereka
tidak berhak terhadap barang-barang keluarga sedarah orang tua yang mengakuinya
15
Hukum Perdata Islam
(pasal 872). Dengan pengecualian, apabila keluarga sedarah dari orang tua yang
mengakui tersebut tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat yang mengizinkan
pewarisan, maka anak luar kawin tersebut berhak menuntut seluruh harta warisan dengan
mengenyampingkan negara (pasal873)
16
Hukum Perdata Islam
BAB III
KESIMPULAN
17
Hukum Perdata Islam
2. Cucu baik laki-laki maupun
baru diakui sebagai ahli waris pada
perempuan
tahun 1935, sedangkan sebelumnya
3. Ayah
suami / isteri tidak saling mewarisi;
4. Ibu
5. Kakek
Golongan kedua, keluarga dalam
6. Nenek
garis lurus ke atas, meliputi orang
7. Saudara
tua dan saudara, baik laki-laki
8. Anak saudara
maupun perempuan, serta keturunan
9. Anak paman
mereka. Bagi orang tua ada
Disamping adanya hubungan
peraturan khusus yang menjamin
kekerabatan dan perkawinan itu,
bahwa bagian mereka tidak akan
mereka baru berhak menerima
kurang dari ¼ (seperempat) bagian
warisan secara hukum dengan
dari harta peninggalan, walaupun
terpenuhinya persyaratan sebagai
mereka mewaris bersamasama
berikut:
saudara pewaris;
a. Ahli waris itu telah atau masih
hidup pada waktu meninggalnya Golongan ketiga, meliputi kakek,
pewaris; nenek, dan leluhur selanjutnya ke
b. Tidak ada hal-hal yang atas dari pewaris;
menghalanginya secara hukum
Golongan keempat, meliputi
untuk menerima warisan;
anggota keluarga dalam garis ke
c. Tidak terhijab atau tertutup
samping dan sanak keluarga lainnya
secara penuh oleh ahli waris
sampai derajat keenam.
yang lebih dekat.
18
Hukum Perdata Islam