Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PEMBAHASAN

ASPEK-ASPEK EKONOMI DALAM ALQURAN.

A. DASAR-DASAR KEPEMILIKAN ASPEK EKONOMI ISLAM.


Sistem Ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara
perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun
distribusi. Dengan membaca dan meneliti hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah
ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah menjelaskan bagaimana seharusnya harta
kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola
(mengkonsunisi dan mengembangkan)
harta tersebut serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada.
Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara
memperoleh kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta kekayaan
yang dilakukan manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah
mereka.
Menurut Zallum (1983); Az-Zein (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990), atas
dasar pandangan di atas maka asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi
menurut pandangan Islam berdiri di atas tiga pilar (fundamental) yakni :
a) bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
b) bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
c) bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarak.
 Pandangan Tentang Kepemilikan Ekonomi Islam(AI-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan merupakan izin As-Syari' (Allah SWT)
untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan
berdasarkan ketetapan dari As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab
pemilikannya.
Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat
itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi
kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat
tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi
sah menurut hokum Islam.
 Makna Kepemilikan.
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan
milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga
Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan.
Oleh karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan melarang
memiliki zat yang lain. Allah SWT )uga telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi
serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang Jain. Allah SWT melarang seorang muslim
untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang
menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah SWT
memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya, disamping melarang dan
mengharamkan riba.
 Macam-Macam Kepemilikan Ekonomi Islam.
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990) mengemukakan
bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu :
1) .Kepemilikan individu (private property);
2) kepemilikan umum (collective property); dan
3) kepemilikan negara (state property).

1) Kepemilikan Individu (private property)


Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara' yang berlaku bagi zat ataupun manfaat
(jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan
barang tersebut, serta memperoleh kompensasi - jika barangnya diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli -
dari barang tersebut.

Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara)
kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum
syara' yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa
sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini:
 Bekerja.
 Warisan.
 Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
 Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
 Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau
tenaga apapun.

2). Kepemilikan Umum (collective property)

Kepemilikan umum adalah izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama
memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan
umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa
benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan..
Didorong oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang
tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam,
dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada
orang-orang yang memiliki keadaan tersebut.
Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempuma, tapi kesenjangan ekonomi tetap
saja terjadi, Islam menempuh cara kedua, yakni melalui mekanisme non-ekonomi.
1) Cara kedua ini bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-
tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta
dengan mekanisme non-ekonomi tersebut adalah Pemberian harta negara kepada warga
negara yang dinilai memerlukan.
2) Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3) Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang
memerlukan.
4) Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
B. ASPEK EKONOMI LARANGAN MENIMBUN DALAM ISLAM.

Hadis menurut larangan menimbun antara lain :

Al humazah ayat 1-6

‫ب أَنَّ َمالَهُ أَ ْخلَ َدهُ كَاَّل لَيُ ْنبَ َذنَّ فِي ا ْل ُحطَ َم ِة َو َما‬ َ ‫َو ْي ٌل لِ ُك ِّل ُه َم َز ٍة لُ َمزَ ٍة الَّ ِذي َج َم َع َمااًل َو َع َّد َدهُ يَ ْح‬
ُ ‫س‬
ُ‫أَد َْراكَ َما ا ْل ُحطَ َمةُ نَا ُر هَّللا ِ ا ْل ُموقَ َدة‬
Artinya:

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, sekali-kali
tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah, Dan tahukah
kamu apa Huthamah itu, (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan.

Penafsiran:

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,


Wailun (kecelakaanlah), yakni azab yang beratlah. Menurut satu pendapat, Wail adalah
sebuah lembah di dalam neraka Jahannam yang berisi nanah dan darah. Dan ada pula yang
berpendapat, Wail adalah sebuah sumur yang ada di dalam neraka.
Li kulli humazatin (bagi setiap pengumpat), yakni orang yang suka menggunjing orang lain
di belakang mereka,Lumazah (lagi pencela), yakni orang yang suka mengecam, malaknat,
dan berbicara kotor di hadapan orang lain. Ayat ini berkenaan dengan al-Akhnas bin Syuraiq
–menurut yang lain, berkenaan dengan al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi– yang suka
mempergunjingkan perilaku Nabi Muhammad saw. di belakang beliau, dan juga suka
mencela Nabi Muhammad saw. di hadapan beliau.

yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.


Alladzī jama‘a mālan (yang suka mengumpulkan harta) di dunia.
Wa ‘addadah (dan menghitung-hitungnya), yakni menghitung-hitung hartanya. Menurut yang
lain, menghitung-hitung jumlah untanya.
Ia mengira bahwa hartanya dapat mengekalkannya,
Yahsabu (ia mengira), yakni ia menyangka.
Anna mālahū akhladah (bahwa hartanya dapat mengekalkannya), yakni dapat membuatnya
kekal di dunia.

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya ia benar-benar akan dilemparkan ke dalam


Huthamah.
Kallā (sekali-kali tidak). Ungkapan ini merupakan penyangkalan. Tegasnya, harta yang ia
miliki tidak akan membuatnya kekal, La yumbadzanna (sesungguhnya ia benar-benar akan
dilemparkan), yakni benar-benar akan dijerumuskan,Fil huthamah (ke dalam Huthamah).

Dan tahukah kamu, apa Huthamah itu?


Wa mā adrāka (dan tahukah kamu), hai Muhammad!Mal huthamah (apa Huthamah itu)?
Ungkapan ini bertujuan untuk membe sarkan perihal Huthamah. Kemudian Dia Menjelaskan
Huthamah kepada beliau, dengan Firman-Nya:

(Itulah) Api Allah yang dinyalakan,


Nārullāhil mūqadah ([itulah] Api Allah yang dinyalakan), yakni yang diperuntukkan bagi
orang-orang kafir.

At taubah ayat 34

ُ َ‫س بِا ْلبَا ِط ِل َوي‬


ْ‫صدُّونَ عَن‬ ِ ‫الر ْهبَا ِن لَيَأْ ُكلُونَ أَ ْم َوا َل النَّا‬
ُّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِنَّ َكثِي ًرا ِمنَ اأْل َ ْحبَا ِر َو‬
ٍ ِ‫ب أَل‬
‫يم‬ ٍ ‫سبِي ِل هَّللا ِ فَبَش ِّْر ُه ْم بِ َع َذا‬
َ ‫ضةَ َواَل يُ ْنفِقُونَ َها فِي‬ َّ ِ‫َب َوا ْلف‬ َّ َ‫يل هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ يَ ْكنِ ُزون‬
َ ‫الذه‬ ِ ِ‫سب‬ َ
Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang


alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil
dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

Penafsiran:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari para rabi


dan rahib-rahib (Nasrani) benar-benar memakan harta orang lain dengan cara yang
batil dan mereka juga menghalang-halangi dari Jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di Jalan Allah, maka
permaklumkanlah kepada mereka azab yang pedih.
Yā ayyuhal ladzīna āmanū (wahai orang-orang yang beriman) kepada Nabi
Muhammad saw. dan al-Quran.
Inna katsīram minal ahbāri (sesungguhnya kebanyakan dari para rabi), yakni orang–orang
alim dari kalangan Yahudi,War ruhbāni (dan rahib-rahib [Nasrani]), yakni para penghuni
biara,La ya’kulūna amwālan nāsi bil bāthili (benar-benar memakan harta orang lain dengan
cara yang batil), yakni dengan cara suap dan cara-cara lain yang diharamkan,Wa yashuddūna
‘aη sabīlillāh (dan mereka juga menghalang-halangi dari Jalan Allah), yakni dari Agama
Allah Dan ketaatan kepada-Nya,Wal ladzīna yaknizūna (dan orang-orang yang menyimpan),
yakni yang menumpuk-numpuk,Adz-dzahaba wal fidl-dlata wa lā yuηfiqūnahā (emas dan
perak serta tidak menginfakkannya), yakni tidak menginfakkan simpanan itu,Fī sabīlillāhi (di
Jalan Allah), yakni dalam rangka taat kepada-Nya. Menurut pendapat yang lain, dan tidak
mengeluarkan zakatnya,Fa basy-syirhum (maka permaklumkanlah kepada mereka), hai
Muhammad!Bi ‘adzābin alīm (azab yang pedih), yakni yang sangat menyakitkan.

Al imran ayat 180

ْ َ‫ون بِ َما آَتَا ُه ُم هَّللا ُ ِمنْ ف‬


‫ضلِ ِه ُه َو َخ ْي ًرا لَ ُه ْم بَ ْل ه َُو ش ٌَّر لَ ُه ْم‬ َ ‫سبَنَّ الَّ ِذ‬
َ ُ‫ين يَ ْب َخل‬ َ ‫َواَل يَ ْح‬
‫ون‬ ِ ‫ت َواأْل َ ْر‬
َ ُ‫ض َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َمل‬ ِ ‫اوا‬ َ ‫س َم‬ ُ ‫ون َما بَ ِخلُوا بِ ِه يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة َوهَّلِل ِ ِمي َر‬
َّ ‫اث ال‬ َ ُ‫سيُطَ َّوق‬ َ
‫َخبِي ٌر‬
Artinya:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada
mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan
(yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Penafsiran:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka dengan apa yang Allah
Berikan kepada mereka dari Karunia-Nya bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Kelak akan dikalungkan apa yang
mereka bakhilkan itu pada hari kiamat. Kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada
di langit dan di bumi; dan Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian perbuat.

Wa lā yahsabanna (sekali-kali janganlah menyangka), yakni janganlah sekali-kali


mengira,Alladzīna yabkhalūna bimā ātāhumullāhu (orang-orang yang bakhil dengan apa
yang Allah Berikan kepada mereka), yakni dengan apa yang telah Allah Ta‘ala Karuniakan
kepada mereka,Miη fadl-lihī (dari Karunia-Nya), yakni harta kekayaan,Huwa khairal lahum,
bal huwa syarrul lahum, sa yuthawwaqūna (bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka,Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Kelak akan dikalungkan), yakni kelak
akan dijadikan kalung,Mā bakhilū bihī (apa yang mereka bakhilkan itu), yakni harta
kekayaan, baik emas ataupun perak.

Harta yang mereka bakhilkan akan dijadikan kalung berupa api neraka dan
dipasangkan pada lehernya, Yaumal qiyāmah, wa lillāhi mīrā-tsus samāwāti wal ardl (pada
hari kiamat. Dan Kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada di langit dan di bumi). Yang
dimaksud adalah perbendaharaan langit yang berupa hujan dan perbendaharaan bumi yang
berupa tumbuh-tumbuhan,Wallāhu bimā ta‘malūna khabīr (dan Allah Maha Mengetahui atas
segala apa yang kalian perbuat), berupa kebakhilan dan kekikiran,Selanjutnya Allah swt.
Mengutarakan perkataan Fanhash bin ‘Azura’ dan kawan-kawannya, yang mengatakan,
“Muhammad, Allah itu fakir! Dia Meminta pinjaman dari kami.” Maka Allah Berfirman:

AL-Ma’aarij ayat 18

‫َو َج َم َع فَأ َ ْوعَى‬


Artinya:

serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.

Penafsiran:

Ke mudian Dia akan Mengembalikan kalian ke dalamnya dan mengeluarkan kalian


dengan sebenar-benarnya.
Tsumma yu‘īdukum fīhā (kemudian Dia akan Mengembalikan kalian ke dalamnya), yakni akan
mengubur kalian di dalam bumi,Wa yukhrijukum ikhrājā (dan mengeluarkan kalian dengan sebenar-
benarnya), yakni mengeluarkan kalian dari dalam kubur pada hari kiamat .
C. LARANGAN MENIMBUN HARTA DALAM ALQURAN.

Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-
ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan
penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak
dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam
Islam.

Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan


harta sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan
manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia
berusaha sesuai dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.

Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri
kepada Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan
harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya.
Jika sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang
mulia, baik di sisi Tuhan maupun terhadap sesam manusia.

Oleh karena itu, harta dalam perspektif Al-Qur’an sangat menarik untuk dibahas lebih
lanjut dalam makalah ini baik dalam hubungannya kepada sang Khaliq, maupun harta yang
bersifat materi maupun non materi.

A. Konsep Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal (Munawir, 1984).
Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min
kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai
segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum
Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990).
Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat
dalam 79 ayat dalam 38 surat.
Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia
dalam kehidupan sehari-hari (duniawi), seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam
katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak
lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna memperoleh
harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan beberapa cara meraih harta dalam islam:
 Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.

Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih harta dengan jerih payah keringatnya
sendiri selama hal itu berada pada koridor yang telah ditentukan oleh Allah dan ini
merupakan cara meraih harta yang paling mulia dalam islam. Islam adalah satu-satunya
agama samawi yang memuliakan pekerjaan bahkan memposisikan pekerjaan sebagai ibadah
disisi-Nya. menjadikannya asas dari kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk
ayat:15 Allah memerintahkan kita untuk berjalan di muka bumi guna meraih kehidupan:

َ ‫ه َُو الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم اأْل َ ْر‬


‫ض َذلُواًل فَا ْمشُوا فِي َمنَا ِكبِ َها َو ُكلُوا ِمنْ ِر ْزقِ ِه َوإِلَ ْي ِه النُّشُو ُر‬
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan hanya kepadaNya kamu kembali
(setelah) dibangkitkan.

Dalam surat Al-Muzammil ayat:20 Allah menjelaskan bahwa mencari kehidupan dengan
cara bekerja setara kedudukannya dengan berjihad di jalan Allah:

ُ ‫طائِفَةٌ ِمنَ الَّ ِذينَ َم َع َك َوهَّللا‬ َ ‫صفَهُ َوثُلُثَهُ َو‬ ْ ِ‫إِنَّ َربَّ َك يَ ْعلَ ُم أَنَّكَ تَقُو ُم أَ ْدنَى ِمنْ ثُلُثَ ِي اللَّ ْي ِل َون‬
ْ‫س َ–ر ِمنَ ا ْلقُ ْرآَ ِن َعلِ َم أَن‬َّ َ‫َاب َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق َر ُءوا َما تَي‬
َ ‫صوهُ فَت‬ ُ ‫ار َعلِ َم أَنْ لَنْ ت ُْح‬َ ‫يُقَ ِّد ُر اللَّ ْي َل َوالنَّ َه‬
َ‫ض ِل هَّللا ِ َوآَ َخ ُرونَ يُقَاتِلُون‬ ْ َ‫ض يَ ْبتَ ُغونَ ِمنْ ف‬ ِ ‫ض ِربُونَ فِي اأْل َ ْر‬ ْ َ‫ضى َوآَ َخ ُرونَ ي‬ َ ‫سيَ ُكونُ ِم ْن ُك ْم َم ْر‬ َ
‫سنًا‬
َ ‫ضا َح‬ ُ ‫صاَل ةَ َوآَتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ْق ِر‬
ً ‫ضوا هَّللا َ قَ ْر‬ َّ ‫س َ–ر ِم ْنهُ َوأَقِي ُموا ال‬
َّ َ‫يل هَّللا ِ فَا ْق َر ُءوا َما تَي‬
ِ ِ‫سب‬
َ ‫فِي‬
ْ ‫س ُك ْم ِمنْ َخ ْي ٍر تَ ِجدُوهُ ِع ْن َد هَّللا ِ ُه َو َخ ْي ًرا َوأَ ْعظَ َم أَ ْج ًرا َوا‬
َ ‫ستَ ْغفِ ُروا هَّللا َ إِنَّ هَّللا‬ ِ ُ‫َو َما تُقَ ِّد ُموا أِل َ ْنف‬
‫َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui
bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di
jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar
pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
 Harta warisan.
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih harta
kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak langsung. Dalam artian si-penerima
harta,tidaklah bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena itu adalah peninggalan dari
oarng yang meninggal (ayah atau keluarga dekatnya).
Kepemilikan yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk bertindak atas apa yang ia
miliki. Tetapi ketika hubungan yang mengikat antara si-pemilik harta dengan harta yang ia
miliki terputus disebabkan wafatnya si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang
menggantikan wewenang kepemilikan harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan orang
yang paling dekat hubungannya dengan si-mayit yang menerima wewenang dalam
kepemilikan harta si-mayit. Ini sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini yang paling dekat
adalah anak dan keluarga terdekat.
B. Hakikat Hak Milik.

 Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki


Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt kadang-kadang menisbatkan dalam ayat-
ayat Al-Quran kepemilikan harta itu langsung kepada Allah Swt.

‫َاب ِم َّما‬ ْ َ‫احا َحتَّى يُ ْغنِيَ ُه ُم هَّللا ُ ِمنْ ف‬


َ ‫ضلِ ِه َوالَّ ِذينَ يَ ْبتَ ُغونَ ا ْل ِكت‬ ً ‫ف الَّ ِذينَ اَل يَ ِجدُونَ نِ َك‬ ِ ِ‫ستَ ْعف‬ ْ َ‫َو ْلي‬
‫َملَ َكتْ أَ ْي َمانُ ُك ْم فَ َكاتِبُو ُه ْم إِنْ َعلِ ْمتُ ْم فِي ِه ْم‬
Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan kepada
kalian.” (QS Al-Nur:33)
Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti
harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ‘min malillah’, yang
bermakna Allah merupakan pemilik mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.
 Harta adalah fasilitas bagi Kehidupan Manusia
Allah adalah pemilik mutlak harta yang kemudian menganugrahkannya kepada
umat manusia. Penganugrahan dari Allah ini dalam rangka memberikan fasilitas bagi
kelangsungan kehidupan manusia. Allah memberikan segalanya kepada manusia
termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Seperti firman Allah:

‫س ْب َع‬ َ َ‫س َما ِء ف‬


َ َّ‫س َّواهُن‬ َّ ‫ست ََوى إِلَى ال‬ ِ ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َ ْر‬
ْ ‫ض َج ِمي ًعا ثُ َّم ا‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذي َخل‬
‫ت َوه َُو بِ ُك ِّل ش َْي ٍء َعلِي ٌم‬
ٍ ‫س َم َوا‬
َ

“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian
semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)

Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan oleh manusia yang
bukan secara mutlak hak milik karena pada hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada
Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah
disyariatkan Allah, oleh karena itu manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah
memberikan kuasa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan dan
melestarikan harta yang ada di bumi dengan bijak serta memerintahkan manusia untuk
senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya.

 Allah Menganugrahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia.


Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah manusia tersebut
berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Hal ini
tampak dalam Al Quran yang menyebutkan harta sebagai milik manusia:

ِ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِ َها إِلَى ا ْل ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِمنْ أَ ْم َو‬
‫ال‬
َ‫س بِاإْل ِ ْث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ِ ‫النَّا‬
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)

Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta ketika dikaitkan dengan
manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh
dengan cara yang legal menurut syariah Islam.

Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan dengan keimanan serta
kekufuran seseorang, seperti firman Allah:

‫ق ِل َمنْ يَشَا ُء َويَ ْق ِد ُر َوفَ ِر ُحوا بِا ْل َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َو َما ا ْل َحيَاةُ ال ُّد ْنيَا فِي‬
َ ‫سطُ ال ِّر ْز‬ُ ‫هَّللا ُ يَ ْب‬
ٌ ‫اآْل َ ِخ َر ِة إِاَّل َمتَا‬
‫ع‬

“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)

Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian hambaNya dan
menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaanNya.
Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan keimanan dan kekufuran.
Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan maksud memperdayakan dan
menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah pahalanya.

Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki di antara para
hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai kemudahan dalam
mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan keimanan dan kekufuran
seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika dibandingkan dengan kenikmatan
akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang.

Oleh sebab itu, mereka yang berharta di dunia tidak berhak untuk membanggakan
dan menyombongkan bagian dari dunia yang diberikan Allah kepada mereka.
C . Sikap Islam terhadap harta.

Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tangah dan seimbang.


Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang
menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan, yaitu dengan
menolak kawin dan melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan kenikmatan dunia
dari hal makanan, minuman, pakaian, perhiasan, dan kesenangan- kesenangan lainnya
serta menolak kerja keras untuk kepentingan duniawi.

Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal. Karena dunia ini merupakan
jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia yang melewatinya merasa aman dan
sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya, kita dapat melihat ungkapan Al- Quran
tentang umat Islam.

yang hidup moderat : ” Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia
dan pahala di akhirat”

Dalam hadist dijelaskan “ Ketika datang seorang lelaki kepada Rasulullah ia


berkata, “ Ya Rasulullah, apa yang saya ucapkan tatkala meminta kepada Allah?” Nabi
menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah saya, selamatkan saya (dari penyakit dan
malapetaka), karuniakan rizki bagiku.’

Sesungguhnya doa-doa ini menghimpun bagimu kebahagiaan dunia dan akhirat.


Ta’awwudz merupakan ungkapan meminta perlindungan dari Allah, baik dunia dan
akhirat. Dengan demikian, sikap jalan tengah merupakan prinsip dan syiar Islam, seperti
para sahabat yang hidup berlimpah harta untuk kepentingan agama tanpa sedikitpun
melupakan kehidupan dunia dan akhiratnya.

Diantara sahabat merupakan pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan
dan Ibnu Auf dan ada juga yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abud Darda dan
Salman.
D.     Harta adalah Perhiasan Dunia.

Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan. Miskin bukanlah
sebagai symbol manusia bertaqwa sebagaimana pandangan para penganut sufisme. Harta
dalam konteks Al-Quran adalah suatu kebaikan (khairun).

   “ Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada
khairun (kebaikan).” Pencinta kebaikan di sini meksudnya pencinta harta. Ayat
ini menerangklan bahwa cinta akan harta adalah tabiat manusia.
   “ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawaban,
‘Apa saja khairun (harta) yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada
ibu, bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
sedang  dalam perjalanan …”
   “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan khairun (harta) yang banyak, berwasiatlah
untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf …”
 
Pada ayat lainnya, Allah berfirman “ … Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tidak disangka-sangknya … ”

Maka harta menurut Islam adalah perhiasan kehidupan dunia dan pengokohannya seperti
pilar.

Firman Allah : “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalam-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.”

Dalam ayat ini, dengan harta tercapailah kemakmuran dunia dari segi materi dan
dengan anak tercapai kemakmuran dunia dari segi kelangsungan hidup.

Allah mengaruniakan sebagian kekayaan dan kehidupan nyaman yang


diperuntukkan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai balasan atas amal
saleh dan syukurnya. Sedangkan kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan
sebagai hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah.
Pentingnya harta menurut Islam tampak dari kenyataan bahwa Allah menurunkan surat
yang berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, anjuran bermualah
dengan cara menuliskannya dan perlunya dua orang saksi.

E.   Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan

Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh manusia, namun Al Quran


memandang orang yang membanggakan harta sebagai orang yang sombong dan tidak
terhormat.

‫ق نَ ْحنُ نَ ْر ُزقُ ُه ْم َوإِيَّا ُك ْم إِنَّ قَ ْتلَ ُه ْم َكانَ ِخ ْطئًا َكبِي ًرا‬ ْ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْواَل َد ُك ْم َخ‬
ٍ ‫شيَةَ– إِ ْماَل‬

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang
akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra :31)

Dalam ayat di atas, kebanggaan manusia terhadap harta, disejajarkan dengan


kebanggaannya terhadap anak dan keturunan. Hal ini terjadi karena harta yang
diupayakan, dan di saat seseorang gagal dalam mendapatkan harta terkadang dengan
sikap frustasi seseorang dapat berbuat dosa dengan melampiaskan kemiskinan dengan
membunuh anaknya. Tindakan ini dikecam Allah karena manusia tidak percaya bahwa
sebenarnya kehidupan telah dijamin oleh Allah.

F.  Harta sebagai Ujian dan Cobaan

Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Mulia atau hinanya
seseorang tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Harta hanyalah kenikmatan dari
Allah sebagai fitnah atau ujian untuk hambaNya apakah dengan harta tersebut mereka
akan bersyukur atau akan menjadi kufur.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.”

Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap musuh, musibah,


kelaparan dan kekurangan, serta kekurangan harta. Dalam ayat ini memberi pengertian
bahwa iman tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan
dan tidak ada rasa takut. Bagi seseorang yang mempunyai kesempurnan iman maka tiap
musibah akan semakin membersihkan jiwanya.

“ Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”

Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan sebagai sarana untuk


mencapai segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk mendapatkan harta manusia rela
menanggung kesusahan dan kesulitan, namun hukum syara menhgaruskan\ manusia
untuk mencari harta halal dan mendorong manusia untuk berhemat. Begitupula untuk
memelihara harta, mereka bersedia susah payah namun hawa nafsunya saling bertempur
dengan hati nuraninya sendiri dimana syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana
ada hak-hak tertentu yang harus dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak
dan istri, dll.

Sedangakan cinta kepada anak sering membawa orang sanggup melakukan dosa
dan perbuatan jahat demi dapat membiayai mereka, menjadi kikir untuk berzakat, dan
jika terjadi kesedihan atas anak mereka maka mereka membenci Tuhan atau
mementangnya. Fitnah yang ditimbulkan oleh anak lebih besar dari pada yang
ditimbulkan oleh harta, sehingga mereka mau saja mencari harta haram dan mengambil
harta orang lain secara batil demi anak.

Maka dalam ayat ini, seorang mukmin seharusnya dapat memelihara diri dari
kedua fitnah, yaitu pertama mendapatkan harta halal dan menafkahkan pada jalan
kebaikan. Dan juga menjaga fitnah anak dengan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya
dan melatih mereka melaksanakan perintah agam.
” Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan
kamu kepada Kami sedikitpun tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-
amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipatganda disebabkan apa
yang telah mereka kerjakan dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi
(dalam surga).”

Dalam ayat di atas Al Quran mengingatkan manusia bahwa harta dan anak yang
dibanggakan tidak menjamin dapat menyelamatkan dirinya dari siksaan Tuhan.
Terkadang manusia sifat kebanggaan yang berlebihan tersebut dapat menjadikan sikap
kikir serta mengumpulkan harta dengan sangat perhitungan dan menjadikan kecintaan
terhadap harta membabi buta.

Akhirnya dengan pandangan bahwa harta dapat membawa kesentosaan hidup


maka nereka beranggapan harta adalah segalanya dalam hidup. Dalam Al Quran tersirat
bahwa hak pemilikan manusia terhadap harta, hanya berfungsi untuk menunjukkan
“pemilik” dan “penanggung jawabnya”. Adapun fungsi harta dalam pendistribusian
sesuai dengan syariat adalah nilai yang patut diupayakan oleh pemilik harta.

Contohnya seperti golongan orang kaya dan angkuh dengan hartanya dan tidak mau
mengakui kerasulan Nabi Muhammad sedangkan mereka tahu, misalnya Abu Jahal Ibnu
Hisyam, Abu Lahab , Abu Ibnu Khalaf , Walid Ibnu Mughairah dan juga Karun.

G.    Harta sebagai Penyangga Stabilitas Sosial

Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa dan penopang
kebangkitan dan kemajuan. Namun, harta bisa membahayakan suatu bangsa dan
rakyatnya, juga membahayakan etika spiritual mereka, jika mereka menjadikannya suatu
prioritas dalam hidup ini. Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa harta bukan
segala-galanya dalam kehidupan ini, namun ironisnya kebanyakan manusia sangat
berambisi dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengumpulkan harta sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan sesuatu yang lebih besar yaitu kehidupan di akhirat.
Sesungguhnya etika yang mulia dan norma yang tinggi dari iman, amal saleh dan
akhlak mulia. Itulah kekayaan yang tidak pernah habis dan pusaka-pusaka yang tidak
akan sirna.oleh sebab itu Al Quran mengarahkan ambisi dan angan-angan orang-orang
mukmin kepadanya seperti firman Allah.

H.    Ekonomi yang Baik Sarana Mencapai Tujuan yang Lebih Besar

Islam tidak melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi
dan meningkatkan taraf hidup manusia. Namun, Islam selalu menekankan bahwa
kehidupan berekonomi yang baik  walaupun itu merupakan target yang perlu dicapai
dalam kehidupan dan bukanlah tujuan akhir.

Peran harta dianggap sangat penting seperti untuk berjihad dengan


memperjuangkan kemaslahatan yang diperintahkan Allah, harta menopang manusia
upaya untuk bertahan dalam kondisi kehidupan yang wajar, dah harta dapat digunakan
menjadi bagian penjagaan kehidupan (contonya dalam Al Quran memberikan alasan
bahwa kekuasaan laki laki atas wanita di antaranya karena prestasinya dalam mencukupi
kehidupan wanita), dll.

Manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi ekonomi


diciptakan untuk manusia. Manusia diciptakan untuk Allah, akal dan hatinya hanya
terfokus kepadaNya, sehingga jadwal kehidupannya harus diatur sesuai dengan keridhaan
Allah. Inilah arti ibadah yang dijadikan Allah sebagai kewajiban manusia.

 I.    Manusia Mulia Bukan Karena Harta Tetapi Karena Amalan-amalannya

Seperti yang diuraikan di atas, manusia tidak mulia karena harta dan kekayaannya
atau kedudukannya tetapi karena hatinya bertaqwa kepada Allah dan takut kepada Nya.
Ia ikhlas berbuat meskipun tidak memiliki apa-apa dan berpakaian compang-camping.

Dalam surat ini diketahui bahwa cirri-ciri orang yang berbahagia adalah yang
dapat menjalankan muamalah dengan Allah secara baik, dan muamalah mereka dengan
sesama makhluk. Allah dalam surat ini juga memberikan keringanan kepada umatnya
dari kesukaran menuju kemudahan, dimana Allah meminta kepada manusia agar
mengerjakan shalat malam dengan waktu sepertiga malam sesuai yang dapat kamu
kerjakan (karena manusia tidak sanggup menentukan waktu secara pasti).

Sehingga dengan keringanan yang diberikan, manusia dapat mengerjakan shalat


yang difardhukan sehingga hati mereka tidak lalai dan perbuatan mereka tidak keluar dari
apa yang ditentukan agama. Serta tunaikan zakat yang wajib, dan memberikan pinjaman
yang baik kepada Allah dengan jalan menafkahkan harta di jalan kebaikan, untuk tiap
individu dan golongan, sehingga dapat membawa manfaat bagi  mereka dalam kemajuan
peradaban dan sosial.

Dan jaminan terhadap apa yang manusia kerjakan di dunia, merupakan sedekah
atau nafkah yang kamu belanjakan di jalan Allah (seperti shalat, puasa, haji, dll)  akan
mendapatkan pahala di sisi Allah. Sehingga menusia yang mulia adalah manusia yang
dapat membelanjakan hartanya di jalan Allah dan beribadah sesuai yang diperintahkan
Allah (amal-amalnya

J.  Pengharaman Menimbun Harta

Islam mengharamkan seseorang menimbun harta, Islam mengancam mereka yang


menimbuh dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Ancaman-ancaman itu
tertera dalam nash-nash yang tegas dalam Al Quran, dalam firmanNya:

ِ ‫الر ْهبَا ِن لَيَأْ ُكلُونَ أَ ْم َوا َل النَّا‬


‫س بِا ْلبَا ِط ِل‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِنَّ َكثِي ًرا ِمنَ اأْل َ ْحبَا ِر َو‬
ِ ‫سبِي ِل هَّللا‬ َ ‫ضةَ َواَل يُ ْنفِقُونَ َها فِي‬ َّ ِ‫َب َوا ْلف‬ َّ َ‫يل هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ يَ ْكنِ ُزون‬
َ ‫الذه‬ ِ ِ‫سب‬
َ ْ‫صدُّونَ عَن‬ ُ َ‫َوي‬
‫يم يَ ْو َم يُ ْح َمى َعلَ ْي َها فِي نَا ِر َج َهنَّ َم فَتُ ْك َوى بِ َها ِجبَا ُه ُه ْم َو ُجنُوبُ ُه ْم‬ ٍ ِ‫ب أَل‬
ٍ ‫فَبَش ِّْر ُه ْم بِ َع َذا‬
‫س ُك ْم فَ ُذوقُوا َما ُك ْنتُ ْم تَ ْكنِ ُزون‬ ِ ُ‫َوظُ ُهو ُر ُه ْم َه َذا َما َكنَ ْزتُ ْم أِل َ ْنف‬

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang


alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada
hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat
dari) apa yang kamu simpan itu."  ( QS At Taubah : 34-35)

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya


dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian
dan terhadap moral. Bahaya dari penimbunan ini dapat menimbulkan hilangnya
kesempatan kerja (identik dengan menimbulkan pengangguran), dapat mengurangi
pendapatan yang akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat, produksi dan
permintaan menjadi menurun, dan akhirnya dapat menciptakan penurunan ekonomi
dalam masyarakat.

K.  Zakat Harta

Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu mendirikan


sholat, maka dilanjutkan dengan menceritakan bahwa manusia harus menunaikan zakat
dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir

Di antara mereka ada sebagian ada sebagian yang harus dipisahkan oleh mereka
yang dikhususkan untuk orang yang melarat meminta, atau orang yang menahan diri dari
meminta-minta, yang tidak memperoleh sesuatu yang membuatnya tidak berhajat, namun
tidak meminta kepada orang lain (disebut orang yang mahrum atau tudak kebagian) dan
tidak suka berbuat seperti itu supaya diberi sedekah. Orang miskin yang tidak mendapat
bagian maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.

Allah memerintahkan Rasul untuk mengambil harta orang-orang yang tidak ikut
perang, kaum mu’min yang kaya dan orang mu’min lainnya. Zakat ini dimaksudkan
untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada
harta benda dan tamak dan dapat mensucikan  yaitu menanamkan sifat-sifat kebaikan
dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka sehingga mereka patut
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dan Rosul mendoakan bagi orang-orang yang mau bersedekah dengan
memohonkan ampun mereka untuk ketenangan hati mereka dan Allah Maha Tahu taubat
mereka serta keikhlasan mereka dalam menyerahkan sedekah tersebut. 

L.  Etika Terhadap Harta

 Etika mencari harta

Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al Quran
mendorong muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Isalm
yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah
ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang divita-
citakan.

Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif
serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah
menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan
oleh manusia. Seperti pada QS An Nisa :100

ْ‫س َعةً َو َمنْ يَ ْخ ُر ْج ِمن‬ َ ‫ض ُم َرا َغ ًما َكثِي ًرا َو‬ ِ ‫سبِي ِل هَّللا ِ يَ ِج ْد ِفي اأْل َ ْر‬ َ ‫َو َمنْ يُ َها ِج ْر فِي‬
‫سولِ ِه ثُ َّم يُ ْد ِر ْكهُ ا ْل َم ْوتُ فَقَ ْد َوقَ َع أَ ْج ُرهُ َعلَى هَّللا ِ َو َكانَ هَّللا ُ َغفُو ًرا‬
ُ ‫اج ًرا إِلَى هَّللا ِ َو َر‬
ِ ‫بَ ْيتِ ِه ُم َه‬
‫َر ِحي ًما‬

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sehingga pada dasarnya Al Quran maupun al Sunah telah memberikan berbagai


apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan
potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan.
 Etika mencari Harta

Anjuran dan suruhan Al Quran terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab,
bukan sedekar parintah bekerja yang hanya menghasilkan materi. Al Quran menghendaki
agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara
unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslatan
dalam memenuhi hajat hidup manusia.

Al Quran memberikan orientasi melalui tata cara dalam mencari materi yang
harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha
manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan
sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya
sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di
antaranya adalah melarang manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif
yuridis maupun etis, penyempurnaan timbangan atau takaran dalam transaksi, larangan
bersistem raba, dan menekankan tanggung jawab. 

D. MEKANISME EKONOMI DALAM ALQURAN.

  Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat


produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-
akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) (An-Nabhani, 1990)

 Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak


melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif.
Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau warisan.
Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu
untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya
mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah
seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya
penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud
keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang
kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara
individu dan negara.

Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa


perintah atau anjuran syariah, seperti:

 pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan


 pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik
 pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu
kepada yang memerlukan, dan
 pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.

Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan
atau cegahan syariah, misalnya:

(1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah
dikeluarkan zakatnya
(2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu;
(3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi
pasar;
(4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa;
yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang
kaya atau pejabat. (suara-islam.com)
BAB III

A.     KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta


meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi),
seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil
perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal.

Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari
sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia. Oleh karena itu, di dalam
Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian, terdapat
keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan
yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap
Tuhan,.

Anda mungkin juga menyukai