Anda di halaman 1dari 11

Perdamaian Israel dan Palestina-Suriah

vs Rasionalitas Negara
Introduksi

Kawasan dan daerah kekuasaan bagi sebuah negara adalah segalanya. Semakin besar daerah
teritori yang dimiliki dan dikuasai sebuah negara, semakin besar manfaat yang bisa diperoleh
negara tersebut, terutama sumber daya alamnya.

Demikianlah kiranya yang dipikirkan Israel. Israel berusaha menguasai kawasan-kawasan di


daerah Timur Tengah sebagai simbol kekuasaan dan memanfaatkan kawasan tersebut untuk
membuat zona aman saat perang bagi daerahnya. Selain itu, tentunya dengan daerah teritori
yang luas memberikan banyak manfaat mulai dari tempat pemukiman, pemanfaatan sumber
daya alamnya, lahan untuk industri, dan lain-lain. Hal-hal demikian membuat Israel semakin
terdorong untuk menguasai tanah-tanah di Timur Tengah.

Tentunya hal ini mengancam keberadaan dan kedaulatan negara-negara yang mempunyai
daerah teritori tersebut. Negara-negara yang dimaksud di antaranya adalah Palestina dan
Suriah. Kedua negara ini tidak terima dengan perlakuan Israel terhadap daerah teritori
mereka. Palestina dan Suriah berusaha meyakinkan Israel untuk mengembalikan tanahnya,
sementara Israel tetap pada pendiriannya yang memegang kuasa atas daerah tersebut.
Perselisihan mereka pun semakin tajam karena sisi rasionalitas akan negara mereka yang
sangat menonjol.

Perselisihan antara Israel dan beberapa negara Timur Tengah ini sudah berlangsung sejak
lama. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda ke arah penyelesaian yang “win-win
solution”. Jangankan penyelesaian, sikap parlemen Israel yang mengesahkan RUU mengenai
syarat-syarat perdamaian dikawasan Timur Tengah pada November 2010 lalu malah
mengisyaratkan redupnya api perdamaian.
Perspektif Konseptual – Dominasi Rasionalitas Negara dalam
Perspektif Realisme

Permasalahan ini menunjukkan bahwa hubungan internasional tak hanya menggambarkan


kerja sama dan persekutuan, tapi juga hubungan internasional yang menunjukkan perpecahan,
konflik, dan kepentingan negara sebagai yang utama. Karena itu, Saya akan membahas kasus
pendudukan Israel di Palestina da Suriah ini dengan sudut pandang Realisme.

Realisme adalah teori pendekatan dalam Hubungan Internasional yang melihat negara
sebagai aktor yang berusaha mencari kekuasaan atau fokus pada tujuan-tujuan atau
kepentingannya sendiri. Berbeda dengan Liberalisme yang menekankan perdamaian dan
kerja sama dalam hubungan internasional, realisme menekankan pada perang dan konflik
dalam hubungan internasional1.

Realisme mempunyai empat asumsi: State is a principal actor, State is an unitary actor,
State is a rational actor, dan National Security is the important issue2.

State is a principal actor artinya negara sebagai aktor utama/dominan dalam hubungan
internasional. Realisme memang mengakui keberadaan organisasi-organisasi dan kelompok-
kelompok kepentingan, tetapi tetap saja mereka memandang aktor non negara lebih tidak
penting. Negara selalu menjadi aktor dominan.

State is an unitary actor artinya negara sebagai satu kesatuan; negara menghadapi dunia luar
(negara) sebagai sebuah unit yang terintegrasi (pembauran menjadi satu kesatuan yang utuh).
State as an unitary actor biasa diasumsikan oleh realis untuk mempunyai satu kebijakan
untuk negara secara keseluruhan pada isu-isu tertentu3.

State is a rational actor artinya negara selalu mempertimbangkan secara rasional tindakan
dan keputusannya, yang tentunya dalam tindakan dan keputusan tersebut condong memenuhi
kepentingan dan keuntungan negara itu sendiri.

National Security is the important issue; artinya realisme menganggap keamanan nasional
merupakan isu terpenting dalam hubungan internasional. Power adalah kunci konsep bagi
1
Georg Sorensen, Introduction to International Relations (US. America: Oxford University Press Inc., 1999),
halaman 44.
2
Mark V. Kauppi, International Relations Theory 3rd edition, (US. America: Ally and Bacon, 1999), halaman10.
3
Mark V. Kauppi, International Relations Theory 3rd edition, (US. America: Ally and Bacon, 1999), halaman 6.
realisme. Keamanan militer dan isu strategis menunjuk pada isu politikal yang tinggi,
sedangkan isu ekonomi dan sosial dipandang sebagai isu politikal yang rendah4.

Pada kasus pendudukan Israel di Palestina dan Suriah ini, asumsi “negara adalah aktor yang
rasional” adalah asumsi yang paling menonjol. Ketiga aktor negara dengan rasionalitasnya
mempertahankan apa yang baik dan menguntungkan baginya. Hal ini akan dibahas lebih
lanjut pada Unit Eksplanasi.

Unit Analisis – Will be There a Peaceful End for Israel, Palestine,


and Syria?

Israel pada jaman dahulu kala hingga saat ini menganggap bahwa wilayah Palestina
merupakan “Tanah Perjanjian” yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang mereka. Tanah
Palestina sudah lama ditinggalkan dan mereka menyebar ke sagala penjuru dunia. Pada masa
Hitler di Jerman, banyak Orang Yahudi yang diburu dan dibunuh, mereka dikejar-kejar dan
merasa tidak ada tempat untuk berlindung. Beberapa tokoh-tokoh Yahudi berpikir untuk
dapat memiliki negara sendiri, mereka melakukan lobi kepada Inggris yang pada masa itu,
tahun 1917, menduduki tanah Palestina. Inggris (melalui deklarasi Balfour) menyetujui
Palestina menjadi negara orang Yahudi / Israel.5

Inggris memberikan kemerdekaan kepada Israel pada tahun 1947 dan tanpa
mempertimbangkan nasib orang Palestina di Tanah Palestina. Hal ini mengakibatkan
banyaknya orang Palestina yang melarikan diri (mengungsi) ke beberapa negara tetangga
yang juga merupakan negara Timur Tengah, seperti Jordania, Mesir, Suriah, Libanon dan lain
lain. Hal ini tentunya mengganggu keamanan negara-negara tersebut dan melebar menjadi
terganggunya stabilitas regional.

Hal ini, dilihat oleh negara-negara di Timur Tengah sebagai awal kekacauan. Negara-negara
Timur Tengah mencoba untuk merundingkan hal ini dengan Israel, tapi Israel tetap pada
pendiriannya untuk tetap menduduki tanah Palestina. Tekanan yang dibuat oleh Mesir,
Jordania, dan Suriah kepada Israel tidak membuahkan hasil, sehingga pecahlah perang pada
tahun 1948 dan 1956, dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab.

4
Mark V. Kauppi, International Relations Theory 3rd edition, (US. America: Ally and Bacon, 1999), halaman 7.
5
59 Tahun Zionis Israel menjajah Palestina. Hudzaifah. 5 Juni 2007.
http://www.hudzaifah.org/Article492.phtml
Pertikaian antara Negara Arab dengan Israel terus berlanjut sampai akhirnya terjadinya
Perang Enam Hari pada tahun 1967. Perang ini merupakan peperangan antara Israel
menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya
juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair.

Israel yang sebelumnya hanya ingin memenangkan perang dengan negara-negara Timur
Tengah tersebut, akhirnya jadi mempunyai keinginan untuk memiliki kawasan-kawasan
lawannya. Perang Enam Hari dimenangkan oleh Israel, dengan hasil akhir menduduki Sinai
(Wilayah Mesir), Dataran Tinggi Golan (Wilayah Suriah), Tepi Barat (Wilayah Jordania) dan
Jerusalem Timur. Total daerah yang dikuasai menjadi dua kali lipat dari wilayah yang
diduduki sebelumnya.2

Perang Enam Hari tahun 1967 sungguh membuat ketidakstabilan di kawasan Timur Tengah.
PBB dan beberapa negara Eropa, termasuk Amerika Serikat, selalu mengupayakan
perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab dan tentu dengan memperhatikan nasib
bangsa Palestina. Banyak tarik-ulur yang terjadi dalam negosiasi perdamaian, salah satunya
negara-negara Timur Tengah menginginkan atau memberikan syarat tercapainya perdamaian
dengan mengembalikan daerah-daerah yang dikuasai Israel saat ini kepada pemiliknya.

Seiring dengan berjalannya waktu, pergantian pemerintahan di Israel mempunyai kebijakan-


kebijakan yang berbeda dalam menghadapi proses perdamaian. Melihat hal ini, kelompok
Ultranasionalis mempengaruhi parlemen Israel untuk mengesahkan undang-undang dalam
proses penyerahan daerah yang diduduki Israel.

Palestina dan Suriah mengecam undang-undang referendum baru di Israel. Undang-undang


tersebut mengharuskan pemerintah Israel mendapat dukungan mayoritas parlemen atau
rakyat Israel sebelum mundur dari daerah pendudukan (di sini terutama Jerusalem Timur dan
Dataran Tinggi Golan). Hal ini dinilai telah melecehkan hukum internasional.

Kementerian Luar Negeri Suriah di Damaskus, menyatakan menolak UU referendum Israel


tersebut. Ia bersikeras bahwa syarat utama perdamaian mengembalikan seluruh wilayah
Golan ke Suriah, utuh seperti kondisi pada tanggal 4 Juni 1967.
Undang-undang referendum yang disahkan parlemen Israel mensyaratkan siapa pun yang
menjadi perdana menteri Israel harus mendapat dukungan 80 dari 120 anggota parlemen
untuk menarik mundur Israel dari wilayah pendudukan di Jerusalem Timur dan Dataran
Tinggi Golan. Jika dukungan parlemen tidak diperoleh, tidak mencapai 80 suara tersebut,
maka pemerintah Israel harus menggelar referendum nasional, yaitu meminta suara rakyat.
Dari referendum nasional ini juga akan dilihat suara yang terbanyak, yang akan menentukan
langkah selanjutnya pemerintah Israel.

Jerusalem Timur dan Golan direbut Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Jerusalem
Timur, wilayah Palestina yang waktu itu dikuasai Jordania, diduduki begitu perang usai,
sementara Golan baru secara resmi diduduki Israel pada 1981.

Saeb Erakat, ketua juru runding Palestina, mengatakan bahwa UU referendum tersebut
merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum internasional. Tata pergaulan internasional
tentulah tidak ditentukan oleh keinginan rakyat Israel. Karena di bawah hukum internasional
Israel memiliki kewajiban yang jelas dan mutlak untuk tidak hanya mundur dari Jerusalem
Timur dan Dataran Tinggi Golan, tetapi juga dari seluruh wilayah yang ia duduki sejak
1967.6

Unit Eksplanasi - State’s Rationality Close The Possibility for a


Peaceful End
Realisme

Kasus tak berujung antara Israel, Palestina, dan Suriah ini tentulah sangat relevan bila
dipandang dari perspektif realisme. Keempat asumsi realisme sangat cocok dan mendukung
kasus ini. Berikut pembuktian dan penjelasannya.

State is a unitary actor

“Palestina dan Suriah mengecam undang-undang referendum baru di Israel”, merupakan


salah satu bukti bahwa kasus ini dihadapi dengan konsep state as a unitary actor. Mereka
menggunakan nama negaranya sebagai kata gantinya, yang menunjukkan bahwa negara
mempunyai satu suara bulat untuk hal tersebut; tak menunjukkan pihak yang merupakan
bagian dari negara (seperti partai politik, masyarakat, organisasi dalam negara, atau pun
kelompok-kelompok tertentu) ambil andil di dalamnya atau mempunyai satu suara sendiri.

6
“Palestina dan Suriah Kecam UU Baru Israel”, Kompas, 25 November 2010, halaman 8.
Negara melakukan hubungan internasional secara satu, negara itu sendiri, bukan individual
atau kelompok (yang merupakan bagian dari negara itu).

Bukti lain bahwa kasus pendudukan Israel di Suriah dan Palestina ini menganut asumsi state
as a unitary actor adalah kutipan,”mensyaratkan siapa pun yang menjadi perdana menteri
Israel harus mendapat dukungan 80 dari 120 anggota parlemen untuk menarik mundur Israel
dari wilayah pendudukan di Jerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan. Jika dukungan
parlemen tidak diperoleh, tidak mencapai 80 suara tersebut, maka pemerintah Israel harus
menggelar referendum nasional, yaitu meminta suara rakyat mayoritas.”

Kutipan ini menyatakan dengan jelas bahwa negara harus mempunyai satu suara bulat untuk
satu keputusan. Tak hanya keputusan dari parlemen atau bagian pemerintahan, tapi benar-
benar dari seluruh rakyat juga. Apa pun nanti hasil yang keluar sebagai keputusan, adalah
keputusan negara, suara negara, dalam kasus ini, keputusan Israel. Inilah yang benar-benar
dimaksud dengan state as a unitary actor.

State is a principal actor

“Palestina dan Suriah mengecam undang-undang referendum baru di Israel.” Kutipan ini
menyatakan bahwa negaralah yang mempunyai peranan penting, atau sebagai aktor utama.
Karena ketiga aktor inilah yang mempunyai andil besar dalam kasus ini.

“Kementerian Luar Negeri Suriah di Damaskus, menyatakan menolak UU referendum Israel


tersebut dan menegaskan kembali status Dataran Tinggi Golan bukan sesuatu yang bisa
ditawar-tawar”. Walaupun kementrian luar negeri Suriah menyatakan beberapa pernyataan,
tapi tetaplah ia bukan aktor penting karena bukan merupakan aktor negara.

State is a rational actor

Dalam kasus ini, asumsi ini berperan paling besar. Ketiga aktor negara benar-benar
mementingkan urusan dan keuntungan negara mereka masing-masing.

Israel di sini merupakan aktor yang paling jelas menganut asumsi “negara adalah aktor
rasional” dalam-dalam. Israel hanya memikirkan agar bagaimana negaranya mendapatkan
daerah seluas-luasnya. Setelah mendapatkan daerah-daerah tersebut, ia juga menggunakan
berbagai cara untuk mempertahankan daerah-daerah yang sudah ia dapatkan. Dengan
rasionalitasnya, ia mengabaikan hubungan diplomasi dan kerja sama yang ia bisa dapatkan
dengan Palestina dan Suriah bila berdamai dan menyerahkan kembali semua wilayah mereka.

Israel tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah ia miliki
itu. Karena dengan adanya daerah-daerah itu, wilayah untuk pemukiman Israel lebih luas,
zona aman untuk perangnya pun lebih besar, sumber daya alam yang didapatkan lebih
banyak, dan hal ini pun menunjukkan Israel mempunyai power yang besar. Dengan semua
keuntungan yang didaptakannya itu, Israel secara rasional mempertahankan daerah-daerah
yang “dicurinya”.

Di lain pihak, Palestina dan Suriah juga secara rasional ingin mengambil kembali
kepunyaannya. Palestina dan Suriah tak begitu saja pasrah dengan keadaan Israel mengambil
sebagian tanah mereka. Mereka berusaha dengan cara diplomasi dan konflik untuk
mengambil kembali tanahnya, untuk kepentingan negaranya dan kembalinya kedaulatan
negaranya.

Tak ada pihak yang mau mengalah demi perdamaian di antara mereka. Sisi rasionalitas
mereka akan kepentingan negaranya masing-masing menjadi halangan terbesar bagi
perdamaian yang diharapkan dunia sejak lama.

National Security

Ini merupakan isu yang dianggap realisme paling penting. Demikian pula Palestina dan
Suriah menganggapnya.

Keamanan negara merupakan penunjang utama kedaulatan suatu negara. Karena itu,
Palestina dan Suriah menuntut Israel dengan keras untuk mengembalikan daerah-daerah yang
memang merupakan bagian dari mereka. Mereka tidak menyetujui sama sekali syarat yang
diajukan oleh pemerintah Israel mengenai pengumpulan suara untuk menentukan
dikembalikan atau tidaknya Jerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan pada Palestina dan
Suriah. Dataran Tinggi Golan pada faktanya adalah wilayah Suriah, begitu juga Jerusalem
Timur bagi Palestina, dan bagi mereka hal ini bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar dan
dinegosiasikan. Ini karena National Security merupakan sesuatu yang sangat penting.
Level Analysis

Kasus pendudukan Israel di Palestina dan Suriah ini dipandang mempunyai faktor negara,
regional, dan global.

Israel yang speak one voice, karena memungut suara terbanyak dari seluruh negaranya untuk
mengambil sebuah keputusan, merupakan faktor level negara. Agregasi individu-individu
dalam wilayah Israel hanya akan memiliki satu suara saja (suara terbanyak) untuk satu
tindakan. Hal tersebut juga menunjukkan Israel mempunyai caranya sendiri untuk mengatur
masalahnya dengan hubungan internasional.

Begitu pun dengan Palestina dan Suriah, mereka pun menjunjung tinggi kedaulatan
negaranya dengan bersikeras akan wilayah negaranya yang direbut oleh Israel. Karena fokus
pada negara berdaulat sebagai pemain utama hubungan internasional merupakan bagian
pengertian dari faktor level negara7. Hubungan internasional antara ketiganya ini
menunjukkan eksistensi dari faktor level negara.

Menyatunya Israel, Palestina, dan Suriah dalam sebuah regional, Asia Barat, membuat kasus
ini mempunyai faktor level regional. Bisa dilihat dari efek pendudukan Israel di Palestina ini,
menyebabkan terganggunya stabilitas regional. Karena sebagian wilayahnya dirampas,
sebagian penduduk Palestina mengungsi ke negara-negara tetangga dan hal ini tentunya
mengganggu stabilitas regional (karena beberapa negara dalam region Asia Barat tersebut
terganggu akan kehadiran sebagian penduduk Palestina).

Selain karena kehadiran para pengungsi Palestina ke negara-negara di Asia Barat, stabilitas
regional pun terguncang saat beberapa negara Asia Barat memutuskan berperang melawan
Israel. Kependudukan Israel di beberapa daerah di Asia Barat, terutama Palestina dan Suriah,
sudah sangat mempengaruhi secara regional.

Kasus kependudukan Israel di Suriah dan terutama Palestina, juga mengandung faktor level
global. Masalah ini mengundang perhatian dunia.

Kependudukan Israel di Palestina ternyata mempunyai pengaruh yang besar bagi rakyat
Palestina. Rakyat Palestina menjadi rakyat yang tak bebas karena hampir segala aspek,
seperti, ekonomi, pangan, pendidikan, kesehatan, dikendalikan oleh Israel yang notabene
menduduki daerah Palestina itu. Hal ini tentunya mengundang perhatian pihak internasional,
7
Mas Yulius Purwadi Hermawan. 3 Desember 2010.
terutama PBB dengan segala organisasinya. Misalnya UNICEF yang membantu di bidang
pendidikan, WHO di bidang kesehatan, FAO di bidang pangan, dan pengadilan internasional
yang berusaha menyelesaikan pertikaian antara Israel dan Palestina & Suriah.

Kesimpulan
Jadi, akankah ada akhir dari perselisihan Israel dan Palestina-Suriah ini secara damai? Sesuai
dengan analisis kasus yang tertera di atas, jawabannya tidak. Mengapa?

Kedua belah pihak sangat memakai rasionalitas akan negaranya, sehingga tindakan yang
timbul selalu semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan negaranya.

Jika setiap mereka masih memegang ego mereka seperti ini terus-menerus, kita harus
hapuskan bayangan dan impian akan perdamaian di Timur Tengah. Pintu perdamaian akan
tertutup rapat bila mereka, terutama Israel, tidak memikirkan sebuah hubungan internasional
dengan Palestina-Suriah yang baru, yaitu hubungan diplomasi dan kerja sama.

Kasus ini sudah sangat sulit diselesaikan jika hanya mengandalkan kedua belah pihak. Perlu
adanya mediasi untuk kasus ini agar dicapai setidaknya jalan tengah yang cukup baik bagi
keduanya.

Sebenarnya PBB sudah pernah turun tangan dalam kasus kependudukan Israel ini, dan tak
ada hasilnya. Dunia internasional bisa menggunakan alat mediasi lain demi terciptanya
perdamaian Israel dan Palestina-Suriah, yaitu sekutu Israel.

Teman adalah subjek yang paling bisa meyakinkan kita akan sesuatu di saat yang lainnya
tidak. Begitu pula dengan Israel dan sekutunya, Amerika dan Inggris. Demi terciptanya
perdamaian, diharapkan adanya dorongan dari Amerika atau Inggris terhadap Israel agar
menyerahkan kembali daerah-daerah Timur Tengah yang seharusnya bukan miliknya.
Memang sulit, karena Amerika dan Inggris pun sempat menjadi musuh daerah Timur Tengah.
Tapi setidaknya hal tersebut bisa dilupakan dulu agar tercipta perdamaian yang sudah lama
dinanti-nantikan dunia.
Perdamaian Israel dan Palestina-Suriah
vs Rasionalitas Negara

Tamar Naomi

2010330038

Kelas E

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

2010

Universitas Katolik Parahyangan Bandung


SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa paper ini adalah karya saya pribadi. Tidak pernah ditulis
oleh orang lain, dan paper ini tidak pernah dikumpulkan untuk mata kuliah lain. Kaidah
penulisan akademik sudah diikuti dalam paper ini, sehingga paper ini sudah bebas dari
plagiarisme. Penulis bersedia mendapatkan sanksi berupa nilai 0 (nol) jika terbukti bahwa
pernyataan ini tidak benar.

Bandung, Desember 2010

Tamar Naomi

Anda mungkin juga menyukai