Anda di halaman 1dari 2

Selasa, 17 Agustus 2004

Mengisi Kemerdekaan
Oleh : Leo sutrisno

Tanggal 17 Agustus 2004 ini, bangsa Indonesia genap berusia 59 tahun. Suatu usia yang
tidak dapat dikatakan muda lagi. hampir semua para pejuang pendiri negara ini telah
tiada. Masih ada sejumlah orang sebagai generasi kedua, yang tampil pada tahun 60-
70an. Generasi ketiga yang mulai tampil di awal 80-an sudah mulai menua. Dan, kini
generasi keempat sudah mulai tampil di panggung Indonesia.

Bila berhadapan dengan bangsa-bangsa lain terasa hambar karena tidak kelihatan warna
khasnya kecuali murah senyum. Namun, perlu dicatat bahwa, menurut psikolog, senyum
yang berlebihan dapat menjadi indikator dari kurang percaya diri. Dalam gurauan di luar
negeri tentang Indonesia sering muncul pertanyaan mengapa Indonesia dapat tertinggal
dari Malaysia. Jawaban yang kurang serius mengatakan karena Malaysia belajar merdeka
( dari Inggris ) lebih dahulu baru kemudian mengumumkan kemerdekaannya, sedangkan
Indonesia merebut kemerdekaan ( dari Belanda ) lebih dahulu, baru kemudian
mengisinya.

Karena sempat belajar merdeka lebih dahulu maka, di Malaysia, infra-strukturnya dapat
dipersiapkan dengan seksama. Baru kemudian, rakyat Malaysia memulai kehidupannya
di alam merdeka. sebaliknya, Indonesia, karena merebut kemerdekaan maka infra
strukturnya belum tersedia. Baru setelah kemerdekaan diproklamasikan ada prakarsa-
prakarsa membangun infra struktur ini sampai dengan usia yang ke-59 masih belum
mantap.

Salah satu pilar dari bangunan infra stuktur kehidupan berbangsa adalah kepastian
hukum. Masyarakat yang beradab memerlukan kepastian hukum ini. Seluruh kegiatan
baik perorangan maupun kelembagaan mesti dalam koridor hukum., akan menerima
sangsi. Itu yang semestinya.

Akibat lebih jauh dari pilar yang belum mantab ini adalah kehidupan berbangsa di
Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia '
merdeka' diartikan sebagai 1. ' bebas dari penghambatan atau penjajah'; 2. ' tidak terikat
atau bergantung dari orang atau pihak lain'.

Sebagai wilayah, Indonesia memang telah bebas dari penjajah Belanda. Namun, jika
seorang Belanda dulu yang hidup di Indonesia digambarkan sebagai ' Tuan Besar' yang di
dalam segala hal harus di-nomor-satukan maka kini di Indonesia banyak ' tuan Besar
berkulit sawo matang'. Tuan besar yang berkulit sawo matang ini sangat senang apabila
ditempatkan sebagai orang nomor satu, termasuk dalam hal memecah koridor kepastian
hukum. Mereka ini sangat bangga apabila berhasil mematahkan kepastian hukum dengan
alasan apa pun. Bagi mereka, melanggar hukum bukan sesuatu yang memalukan, bukan
perbuatan aib karena bagi mereka hukum adalah mereka itu sendiri. Memang betul
bahwa mereka adalah Tuan Besar berkulit hitam.
Akibat lebih dari ketiadaan kepastian hukum ini, banyak orang Indonesia yang belum
merdeka dalam arti yang kedua, yaitu ' tidak terkait atau bergantung kepada orang atau
pihak lain'. Dengan dalih demi kebersamaan, maka setiap orang di Indonesia ditempatkan
dalam ' pigura' pihak lain. Pihak lain ini dapat berwujud kelompok suku, agama, profesi,
kelembagaan dan bahkan 'trah'-alur hubungan sesaudara yang sedarah. Di dalam pigura
itu orang Indonesia ' tidak boleh' berbeda dari anggota yang lain. Karena sudah
menyandang gelar doktor maka tidak baik kalau ' hanya' naik motor butut. Karena
sebagai dosen pascasarjana maka tidak baik kalau tidak berdasi dan 'hanya' bersepatu
sandal. Sebagai anggota civitas academika universitas terkemuka maka tidak sepatutnya
berbeda pendapat dengan pandangan rektor. Sebagai guru maka tidak baik kalau masih
ngojek. Sebagai anggota dewan yang terhormat maka tidak baik kalau rumahnya masih
seperti dulu. Sebagi walikota tidak baik kalau masih buka praktek dokter, dsb. Pendek
kata, setiap orang Indonesia masih terikat kepada pigura pihak lain. jadi, sebagai pribadi,
banyak orang Indonesia belum merdeka.

Tidak banyak orang Indonesia yang berani berbeda dari kelompok, dari golongannya,
dari trahnya secara terbuka. Akibatnya, banyak di antara kita yang berpura-pura sesuai
dengan kelompoknya. tampak berbeda secara terbuka dengan kelompoknya berarti
mengundang ancaman.

Sesudah 59 tahun memproklamasikan kemerdekaan, sudah sepantasnya kita, masing-


masing memiliki tekad mengisi kemerdekaan ini dengan mencoba hidup merdeka.
Mencoba hidup tanpa terikat kepada orang atau pihak lain. Menurut Ki Ageng
Suryomentaram, seorang filsuf Jawa, kita perlu berusaha menjadi manusia yang sejati
yakni manusia yang bebas, yang dapat mengambil jarak terhadap segala dorongan
perasaan dan keinginan, bertindak menurut apa yang diyakininya benar, perlu dan
seharusnya dilakukan. Sehingga, tindakannya merupakan aksi yang bebas, bukan
merupakan reaksi terhadap segala hal yang menyentuh dirinya. Manusia yang sejati
adalah manusia yang kreatif bukan yang reaktif. Keberanian untuk mencoba menjadi
salah satu syarat untuk menjadi manusia yang kreatif karena satu-satunya kegagalan
adalah kegagalan untuk mencoba. semoga!

Anda mungkin juga menyukai